Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

EMFISEMA

OLEH :
FAJAR ISDIYANTO
20119057
RS WAVA HUSADA
LAPORAN PENDAHULUAN
EMFISEMA

A. Konsep Dasar Emfisema


1. Definisi Emfisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli. Emfisema adalah penyakit paru menahun yang paling
umum dan sering di klasifikasikan dengan bronkitis menahun karena kejadian simultan dari
dua kondisi. (Arif Muttaqin, 2018).
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang di
perlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis
dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok. (Sri Hariani, 2021).
Emfisema di sebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar di bandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan
kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru
ini. (Sri Hariani, 2021).

Tabel Klasifikasi Emfisema

Klasifikasi Deskripsi

Menyebar/Umum Lobulus atau acini seluruh paru yang terkena.

Fokal Di hubungkan dengan deposisi debu fokal (mis. debu karbon).

Irregular Di hubungkan dengan jaringan parut fibrotic, biasanya karena penyakit lama.

Obstruktif Di sertai dengan obstruksi bronkial yang dapat di lihat.

Bula Ruang emfisematous lebih dari 1 cm dalam paru yang mengembang; dapat
terjadi dalam emfisema apapun.
2. Etiologi
a. Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan
nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus bronkus. merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan
tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar
terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi
antitripsin-alpha 1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini,
enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik
sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen
infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala- gejala obstruktif kronik.

b. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit
infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat
mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema.
c. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfis ema. Insiden dan
angk a kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.

d. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik di antaranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin
E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada
keluarga, dan defisiensi protein alfa - 1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi
antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.

e. Hipotesis Elastase-Anti Elastase


Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Struktur paru akan berubah
dantimbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel sel PMN, dan
marofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru
antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak.
Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim
alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis
paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2018).

3. Patofisiologi
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-
alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai
sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat
dari obstruks sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana
pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya.
Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari
alveolus.
Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah
belahan pa r u ki r i at a s . Ha l ini di p e r ki ra k a n ol e h mekanisme katup penghentian.
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam bronkus-
bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.
Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronki a l se rt a pe n eka nan da ri lua r
aki bat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup penghentian: Pengisian
udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai
suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah sukar dari
pemasukannya di sebelah distal dari paru.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang
berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik
jaringan paru ke luar yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada
dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bil a terp ap ar iritas i yan g mengandu ng radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar
partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan
oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi
karena rusaknya dinding alveolus da n ti m bul nya mod i fi kas i fung s i da ri ant i
elastase pada saluran napas.
Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikel asap rokok dan
polusi udara mengenai pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga
menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang.
Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang
kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi
dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta
pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan
pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi
saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen
disertai kerusakan dinding alveoli.
4. Manifestasi Klinik
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-
bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun
mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul
batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada cor-pulmonal yang dapat menyebabkan
kegagalan nafas dan meninggal dunia. Pada pengkajian fisik di dapatkan :
a. Dispnea
b. Pada inspeksi: bentuk dada “barrel chest”.
c. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid).
d. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
e. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki dan perpanjangan ekspirasi.
f. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum.
g. Distensi vena leher selama ekspirasi.

5. Komplikasi
a. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan.
b. Daya tahan tubuh kurang sempurna.
c. Tingkat kerusakan paru semakin parah.
d. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas.
e. Pneumonia.
f. Atelektasis.
g. Pneumothoraks.
h. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
i. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Di lakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas
fungsi ters eb ut ap akah ak ibat obst ruksi at au res triks i, memperkirakan tingkat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal: bronchodilator.
b. Chest X-Ray
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang
udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), pelebaran margin
interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai tergantung (Heart till drop).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
perkembangan penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia
ringan dengan hiperkapnea.
a) Hemoglobin normal: 11.0-16.5 gr/dl
Hemoglobin pasien emfisema: 17 gr/dl
b) Hematokrit normal: 35.0-50.0 %
Hematokrit pasien emfisema: 51 %
c) PO2 Normal : 80-100 mmHg
d) Hipoksia ringan : PaO2 of 60-80 mmHg
Hipoksia sedang: PaO2 of 40-60 mmHg
Hipoksia Berat PaO2 < 40 mmHg
e) PaCO2 normal : 35-45 mmHg
PaCO2 pasien emfisema : <45 mmHg
f) Kimia darah : Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnose
emfisema primer.
g) Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
d. EKG
Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis),
peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS
(emfisema).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema dalah meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar tidak
terjadi hipoksia. Penatalaksanaan emfisema paru di lakukan secara berkesinambungan untuk
mencegah timbulnya penyulit, meliputi :
a) Pendekatan terapi mencakup :
1. Pemberian terapi untuk meningkatan ventilasi dan menurunkan kerja napas.
2. Mencegah dan mengobati infeksi.
3. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru.
4. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernapasan yang
adekuat.
5. Dukungan psikologis.
6. Edukasi dan rehabilitasi klien (Suradi. 2004. 60).
Edukasi yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk mengenali gejala dan
faktor-faktor pencetus kekambuhan emfisema paru.
b) Jenis obat yang di berikan
1. Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan baik edema
mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi
jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.medikasi ini mencakup agonis
betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin, aminofilin),
yang menghasilkan di l at as i br onk i al me la ui me kan i s m e ya n g berbeda.
Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau
inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser
balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
2. Terapi Aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel m e n j a d i s e r b u k ya n g s a n g a t ha l u s )
d a r i bronkodilator salin dan mukolitik sering kali di gunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi di deposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menghilangkan bronkospasme, menurunkan
edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan
memperbaiki fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati
pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan
Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut.
Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-
sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada
tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk
meningkat dan demam.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi.
Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk me nja ga pa s i en pa d a
do s i s ya ng te ren da h mungk i n. Efek sa m ping te rm as u k ga n gg uan
gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Ja ng ka pa n j an g, mun gk i n
me n g al am i ul ku s peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan
pembentukan katarak.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema
berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan
PaO2 hingga antara 65 - 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya
16 jam per hari dengan 24 jam per hari lebih baik.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Anamnesis
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset) yang
membahayakan. Klien biasaya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama, mengi
serta napas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi pernapasan.
Parawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa di minum klien, memeriksa kembali setiap
jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.
b) Riwayat Kesehatan
1) Keluhan
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan emfisema untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak napas, batuk produktif, berat badan menurun.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Keluhan batuk timbul paling
awal dan merupakan gangguan yang paling sering di keluhkan. Tanyakan selama keluhan
batuk muncul apakah ada keluhan lain. Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan klien
meminta pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan atau
menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara sesak napas yang di sebabkan oleh gangguan pada
sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita bronkhitis atau infeksi pada saluran pernapasan atas, keluhan batuk lama pada
masa kecil, dan penyakit lainnya yang memperberat emfisema.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Secara patologi emfisema di turunkan dan perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini
pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai lainnya sebagai faktor predisposisi
penularan di dalam rumah.
c) Pemeriksaan Fisik Fokus
1. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai
bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap),penipisan massa otot dan
pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan
otot-otot bantu napas (Sternokleidomastoideus).
Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-
hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen di
sertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan.
2. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
3. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragama
menurun.
4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya
obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, di dapatkan kadar oksigen yang
rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada
tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti
membungkuk untuk mengikatkan tali, sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan
(dispnea eksersional).
Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkonstraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus
tidak di kosongkan secara efektif dari seksresi yang di hasilkannya. Klien rentan
terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini
terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia,
penurunan berat badan dan kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis
mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
d) Pemeriksaan Fisik Umum
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala :
- Keletihan, kelelahan, malaise.
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas.
- Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda :
- Keletihan, gelisah, insomnia.
- Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala :
Pembengkakan padaekstremitas bawah.
Tanda :
- Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia,
distensi vena leher.
- Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
- Bunyi jantung redup (yang berhubungan denganpeningkatan diameter AP dada).
- Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis.
- Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Makanan/cairan
Gejala :
- Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema).
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
- Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronkitis).
Tanda:
- Turgor kulit buruk, edema dependen.
- Berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan
(emfisema).
- Palpitasi abdominal dapat menyebabkan hepatomegali (bronkitis).
4. Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tanda : Kebersihan buruk dan bau badan.
5. Keamanan
Gejala :
- Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan.
- Adanya/berulangnya infeksi.
- Kemerahan/berkeringat (asma).
6. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
7. Interaksi Sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, ketidak mampuan
membaik/penyakit lama.
Tanda :
- Ketidakmampuan untuk/membuat mempertahankan suara pernafasan.
- Keterbatasan mobilitas fisik, kelainan dengan anggota keluarga lalu.
8. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Penggunaan/penyalahgunaan obat pernapasan, kesulitan menghentikan
merokok, penggunaan alkohol secara teratur, kegagalan untuk membaik.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI (2017), masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan emfisema
yaitu sebagai berikut :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan napas.
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfisi.
c. Pola napas tidak efektif b.d depresi pusat pernapasan.

3. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan dari diagonosa yang ditegakkan oleh perawat, maka intervensi yang diberikan
sesuai dengan SDKI, SLKI, SIKI adalah sebagai berikut :
GAMBARAN KASUS

Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan di atas, telah di
lakukan pengkajian pada Ny. S usia 55 tahun di Ruang Rawat Inap D RS Wava Husada Kepanjen Malang.
Pasien datang ke IGD pada tgl 23-02-2024 jam 07.20 dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu,
disertai batuk pilek, dan di dapatkan tanda-tanda vital sebagai berikut Kesadaran Composmentis GCS 456
Td 129/74 N 93 S 36,4 RR 26 Spo2 74% dan ada riwayat penyakit asma. Pada saat di IGD di dapatkan
diagnosa awal asma akut dengan DPJP dr Hendri Wiyono, Sp.P dan terapi awal di IGD di dapatkan Ivfd
RL drip Aminopilin 120mg 12 tpm, Inj. Lansoprazole 1x30mg, Nebul Farbivent 2x1 respul, Nebul
Pulmicort 2x1 respul dan di lakukan pemeriksaan penunjang pemgambilan sampel darah lab, ecg dan foto
rontgen thorax. Advis dari dr Hendri Sp.P di IGD terapi yang di dapatkan berganti menjadi Ivfd RL 500cc
drip Aminophilin 120mg 12 tpm, Inj. Furosemide 1x20mg, Inj. Fartison 1x 50mg, Nebul Farbivent 3x1
respul. Kemudian pasien di pindahkan ke Ruang Rawat Inap D Pada tgl 24-02-2024 jam 16.19 wib oleh
Ns. R dengan kondisi kesadaran Composmentis, GCS 456 Td 140/80 N 90 S 36,2 RR 26 dengan alat
bantu oksigen NRBM 8-10lpm. Pada tgl 24-02-2024 dr. Hendri memeriksa pasien di Ruang RID dan di
dapatkan diagnosa akhir Emphysema dengan terapi; pemberian oksigen 4-6 lpm, Inj. Furosemide 1x20mg,
Nebul Farbivent 3x1 respul, Drip Aminopilin 120mg dalam RL 500cc 12 tpm, Inj. Fartison 1x50mg, Inj.
Clanexy 3x1vial.

1. Pengkajian
A. Keluhan Utama
Pasien mengalami sesak di sertai dengan batuk berdahak berwarna putih dan di dapatkan klinis
takipneu dan tidak di dapatkan bunyi suara nafas tambahan.
B. Keadaan Umum
Tanda-tanda vital 146/80 N 96 S 36,2 RR 26 Spo2 97% dengan penggunaan alat bantu nafas
oksigen 8 lpm
C. Pemeriksaan Penunjang
Lab, Ecg dan Rontgen Thorax.
1. Triage
2. Assesmen Medis Rawat Inap
3. Cppt
4. Transfer Pasien Antar Unit
5. Assesmen Keperawatan Rawat Inap Dewasa
6. Hand Over
7. Intervensi Keperawatan
8. Implementasi Keperawatan
9. Pemeriksaan Penunjang
DAFTAR PUSTAKA

Soemantri ES, Uyainah A. Bronkitis kronik dan emfisema paru. Dalam: Suyono S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001. Hal :
827-881

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Bethesda
(MD): Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2008

Hanania NA, Donohue JF. Pharmacologic interventions in chronic obstructive pulmonary


disease: bronchodilators. Proc Am Thorac Soc. Oct 1 2007;4(7):526-34

Rasad S. 2008. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta :BalaiPenerbit FKUI. p131-144.

Snel l R.S. 2007. An ato mi Kl inik untu k Mahasis wa Kedokteran Edisi 6.


Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC. p82-94.

Takahashi M, Fukuoka J, Nitta N, Takazakura R, Nagatani Y, Murakami Y, et al. Imaging


of pulmonary emphysema: a pictorial review. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis.
2008;3(2):193-204.

Anda mungkin juga menyukai