Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Emfisema adalah suatu kelainan anatomi yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Gharby, 2010). Emfisema
menunjukkan kondisi peningkatan ukuran ruang udara, disertai dilatasi dan setruksi jaringan
paru dibagian distal dari bronkus terminal. Perokok dan penambang batu bara memiliki
insidensi yang lebih tinggi, dan kadang-kadang terdapat hubungan dengan defisiensi 1antitripsin (dimana emfisema secara dominan menyerang lobus bawah) (Patel, 2007).
Angka kejadian Emfisema bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan
bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. National Health Interview Survey di
Amerika Serikat memperkirahkan bahwa setidaknya 2 juta penduduknya mengalami
emfisema (KEMENKES, 2015). Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang
epidemiologi emfisema. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma,
emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(PDPI, 2003). Pada tahun 2001 di Indonesia rokok menyebabkan 9,8% kematian karena
penyakit Paru Kronik dan Emfisema (KEMENKES, 2011).
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia

epitel saluran pernafasan (KEMENKES, 2011). Selain rokok terdapat beberapa penyebab
emfisema faktor genetika, infeksi, polusi, dan obstruksi jalan nafas (Arbor, 2004).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi
Emfisema adalah suatu kelainan anatomi yang ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (Gharby, 2010). Emfisema
menunjukkan kondisi peningkatan ukuran ruang udara, disertai dilatasi dan setruksi
jaringan paru dibagian distal dari bronkus terminal. Perokok dan penambang batu bara
memiliki insidensi yang lebih tinggi, dan kadang-kadang terdapat hubungan dengan
defisiensi 1-antitripsin (dimana emfisema secara dominan menyerang lobus bawah)

2.

(Patel, 2007).
Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama
emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat
predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas
protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha yang merupakan suatu enzim inhibitor.
Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu
yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi
udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala
obstruktif kronik. Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
a) Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik
diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat
penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin
(Arbor, 2004).
b) Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis
dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat

fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus


bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan (KEMENKES, 2011).
c) Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia,
bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan
bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian
dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae
(Gharby, 2010).
d) Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan
gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi (KEMENKES, 2011).
e) Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga
terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu
inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada ekspirasi. Etiologinya adalah benda
asing di dalam lumen dengan reaksi local, tumor intrabronkial di mediastinum,
konginetal. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek tulang
rawan bronkus (Gharby, 2010).
3.
Klasifikasi
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

a) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer,


terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus
tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai
bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa.
b) Emfisema parasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah. Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan
umumnya juga merusak paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus
pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih
jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami
pembesaran serta kerusakan secara merata.
c) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal,

4.

duktus dan sakus alveolar. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
(PDPI, 2003)
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2
dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari
adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian,
dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan
septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs
dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan
menyebabkan peningkatan ventilatory pada dead space atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan

ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal
ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan
bronkhitis dan merokok (Gharby, 2010).
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari
elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT
merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT
dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam
paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini
menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase
menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin
(alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti
elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan
emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan
yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural
dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam
yaitu elastisitas paru (Braber, 2011).
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru
akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli
yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.

Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak


ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran
darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas
(Braber, 2011).
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau
terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan
dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu
bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi
lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan
udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus (Braber, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Patel P R, 2007, Lectures Note Radiology. Buku 1, Edisi 2, Ahli Bahasa: dr. Vidhia
Umami, Jakarta: Erlangga.
Barber S, 2011, The pathogenesis of lung emphysema: lessons learned from murine
models. Buku I, Edisi I, Netherland: GVO Ponson and looijen B.V
Arbor A. Department of Surgery: Lung Volume Reduction Surgery, University of
Michigan, 1(1), p 1-6. 2004.
KEMENKES RI. 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI
Gharbi N, et al. Characterization of Lungs Emphysema Distribution: Numerical
Assessment of Disease Development, Department of Medical Research, Marie-Lannelongue
Hospital. 1(1), p 1-6. 2010
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif (PPOK)
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta
Brunner, et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Jilid I. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai