Oleh :
Ninis Ilmi Octasari, S. Ked
K1A1 15 095
Pembimbing:
dr. Albertus Varera, Sp.Rad
I. Pendahuluan
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang
disebabkan oleh virus, biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai
dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab paling sering adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat terjadi beberapa
bulan setelah serangan bronkiolitis. Episode pertama serangan, yang biasanya
paling berat, terjadi paling sering pada bayi usia 2-6 bulan. Kejadian
bronkiolitis dapat terjadi pada bulan pertama kehidupan dan episode berulang
akan terjadi di tahun kedua kehidupan oleh virus yang sama.1
Bronkiolitis lebih sering menyerang anak-anak dengan usia < 24 bulan.
dengan kejadian yang lebih parah sering terjadi pada bayi berusia 1-3 bulan.
Tanda-tanda pertama infeksi adalah coryza dan kadang-kadang demam ringan,
batuk, takipnea, hiperinflasi, retraksi dada, dan radang yang luas, mengi, atau
keduanya. Bronkiolitis adalah diagnosis klinis. Tes laboratorium rutin
menawarkan sedikit informasi bermanfaat dalam kebanyakan kasus.
Abnormalitas pada foto toraks berkisar antara 20% hingga 96%.2
Bronkiolitis mengacu pada peradangan dan/atau fibrosis yang
melibatkan saluran udara, biasanya bronkiolus (diameter <2 mm, yang sering
kekurangan dinding kartilaginosa) dan/atau saluran alveolar. Pada
pemeriksaan patologis, bronkiolitis biasanya dibagi menjadi dua kategori
besar: bronkiolitis seluler dan bronkiolitis konstriktif (fibrotik). Bronkiolitis
sel ditandai oleh sel-sel inflamasi sebagai gambaran utama, sedangkan
bronkiolitis konstriktif merujuk pada penyempitan bronkiolar dari fibrosis
adventisial dan submukosa.3
Beberapa jenis bronkiolitis seluler dikenal dengan baik: bronkiolitis
infeksi, bronkiolitis pernapasan, bronkiolitis aspirasi, bronkiolitis folikular,
pneumonitis hipersensitif, dan panbronkiolitis difus. Meskipun bronkiolitis
konstriktif, juga dikenal sebagai bronkiolitis obliterans dan bronkiolitis
obliteratif, dapat terjadi secara terpisah, biasanya merupakan pola patologis
yang dihasilkan dari kondisi lain (misalnya, proses autoimun, infeksi, atau
manifestasi penolakan kronis dalam pengaturan transplantasi).3
II. Epidemiologi
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai Disease of Infancy, umumnya
mengenai bayi dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan; lebih dari
80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di Amerika Serikat
kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang
tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi
pada anak dari ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan.1
Sekitar 75000–125000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika
Serikat akibat infeksi RSV setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah
disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari 100 anak pada tahun pertama kehidupan.
Dari semua infeksi RSV pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti
penyakit saluran napas bawah. Meskipun tingkat serangan RSV menurun
seiring dengan bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada
anak terinfeksi RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun.1
III.Etiologi
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV.
Tabel 1. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak
IV. Anatomi
Bronkus merupakan bagian dari traktus trakeobronkial, yaitu suatu
struktur yang dimulai dari trakea kemudian berlanjut menjadi bronkus dan
bronkiolus. Pada karina, trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan
kiri dengan bronkus kanan lebih lebar, pendek, serta lebih vertikal daripada
bronkus kiri. Hal ini menyebabkan partikel asing lebih sering terdeposit pada
bronkus kanan. Bronkus utama kanan akan bercabang menjadi tiga lobus,
yaitu lobus kanan atas, lobus kanan tengah, dan lobus kanan bawah. Bronkus
utama kiri terbagi menjadi dua lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri
bawah. Setiap lobus bronkus akan menghantarkan udara ke lobus paru yang
spesifik (Gambar 1).5
Gambar 1. Skema Traktus Trakeobronkial
Ukuran bronkus semakin ke bawah akan semakin mengecil dan
strukturnya pun berubah. Cincin kartilago yang mendukung setiap cabang
akan berubah menjadi kartilago yang ireguler dan pada akhirnya menghilang
saat mencapai bronkiolus. Sel epitel berubah dari sel kolumnar berlapis semu
menjadi sel kolumnar dan pada bagian terminal bronkiolus akan menjadi sel
kubus. Otot polos jumlahnya akan bertambah. Sel silia ataupun sel yang
memproduksi mukus tidak ada lagi pada bronkiolus sehingga partikel asing
tidak bisa dikeluarkan melalui sistem mukosiliar melainkan akan difagosit
oleh makrofag pada alveoli.5
Traktus trakeobronkial mengalirkan udara pernapasan dari dan ke
alveoli. Ujung distal dan percabangan trakea mengarah ke bawah selama
inhalasi. Hal itu penting untuk mendukung inspirasi. Perubahan epitel pada
bronkus menggambarkan fungsi saluran pernapasan. Epitel kolumnar bersilia
pada percabangan awal berfungsi untuk menghangatkan dan mengalirkan
udara serta melakukan penyaringan melalui peran mukosiliar yang mendorong
mukus ke arah atas menuju esofagus. Epitel berubah menjadi kubus pada
percabangan bagian distal agar dapat terjadi pertukaran gas.5
Gambar 2. Saluran pernapasan bagian atas dan bawah
VI. Diagnosis
A. Gejala Klinis
Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak
membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi
memanjang, hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi
dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit makan, menyusu
atau minum.1
Diagnosis bronkiolitis harus dilakukan berdasarkan riwayat medis
dan pemeriksaan klinis. Sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda serologis
atau radiologis yang termasuk dalam pemeriksaan diagnostik.4
Tanda klinis dan gejala bronkiolitis terdiri dari rinore, batuk,
takipnea, mengi, ronki, dan peningkatan upaya pernapasan seperti
mendengus, hidung melebar, dan intercostals dan/atau retraksi sub kostalis
dan pemberian makan yang buruk. Bayi mungkin menunjukkan iritabilitas,
pemberian makanan yang buruk, dan muntah. Meskipun, dalam sebagian
besar kasus, penyakit ini tetap ringan dan pemulihan dimulai dalam 3-5
hari, beberapa dari anak-anak ini dapat terus memburuk. Penilaian anak
dengan bronkiolitis harus terdiri dari riwayat terperinci termasuk
komorbiditas seperti prematuritas, penyakit paru-paru kronis, penyakit
jantung bawaan, defisiensi imun, paparan asap dalam rahim, kelainan
genetik, atopi, konjungsi, otitis media, faringitis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh.4
Penilaian dengan menggunakan Oksimetri dengan cepat mampu
memberikan penilaian klinis anak-anak dengan bronkiolitis dan dapat
mendeteksi hipoksemia yang tidak diduga pada pemeriksaan fisik.
Penilaian dengan Oksimetri membantu kita menentukan kebutuhan akan
oksigen tambahan.4
Jenis dan frekuensi tes diagnostik yang digunakan untuk
bronkiolitis, seperti deteksi virus dan foto toraks sangat bervariasi. Seperti
yang dinyatakan dalam pedoman American Academy of Pediatrics (AAP),
hasil tinjauan berdasarkan bukti belum mendukung peran untuk tes
diagnostik dalam pengelolaan kasus bronkiolitis. Tes antigen virus cepat
memiliki sensitivitas dan spesifisitas variabel tergantung pada tes dan
kapan mereka digunakan. Karena sebagian besar virus yang menyebabkan
bronkiolitis memiliki perjalanan klinis yang serupa. Pada kasus-kasus khas
pasien, hasilnya kemungkinan akan berdampak kecil pada manajemen.
Namun, di rumah sakit, tes virus spesifik telah digunakan sebagai bagian
dari intervensi yang berhasil untuk mengurangi infeksi nosokomial.4
B. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Toraks
Pemeriksaan laboratorium dan foto toraks secara rutin tidak
diperlukan dalam membuat diagnosis bronkiolitis. Rontgen toraks
tidak boleh dilakukan secara rutin pada bayi dengan bronkiolitis akut
tipikal. Foto toraks harus dipertimbangkan dalam beberapa kondisi
berikut pada bayi dengan bronkiolitis yaitu ketidakpastian diagnostik,
perjalanan penyakit atipikal, terdapat penyakit komorbid seperti
penyakit paru-paru kronis atau penyakit jantung dan defisiensi imun,
tidak ada perbaikan dengan terapi konvensional dan jika penyakit tidak
ada perbaikan. Kelainan radiologi bronkiolitis bervariasi termasuk
hiperinflasi dan penebalan peribronkial. Bercak pada elektasis dapat
terjadi akibat penyempitan saluran napas dan penyumbatan oleh
sputum.2
Foto toraks tidak secara rutin dilakukan pada anak-anak dengan
bronkiolitis. Hasil foto dapat menunjukkan hiperekspansi termasuk
peningkatan diameter anterior-posterior dan perataan diafragma serta
infiltrat bilateral dan atelektasis bilateral. Foto toraks bayi dengan
bronkiolitis sering ditemukan hiperinflasi tidak spesifik dan tidak
merata serta area atelektasis, yang mungkin disalahartikan sebagai
konsolidasi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan dan penggunaan
antibiotik yang tidak tepat. Pneumonia dengan konsolidasi terlihat
pada foto toraks dapat disebabkan oleh virus itu sendiri atau infeksi
bakteri sekunder. Manifestasi ekstra-paru RSV jarang terjadi tetapi
telah dijelaskan dan termasuk kejang, hiponatremia, aritmia jantung
dan kegagalan dan hepatitis.8,9
Gambar 17. Temuan foto toraks pasien dengan pneumonia virus yang
disebabkan oleh Respiratory synctival virus: hiperinflasi, peribronkial
ringan, tanda peningkatan parahilar, dan opacity lingular yang tambal
sulam (perhatikan hilangnya perbatasan jantung kiri pada tampilan depan),
kemungkinan mewakili atelektasis.16
Gambar 18. Temuan radiografi Mikoplasma pneumonia: Infiltrat
interstitial nodular reticular / nodular, dengan opacity alveolar yang lebih
fokal di lobus tengah kanan, dan opacity di lobus kanan atas berbatasan
dengan ukuran kecil yang sedikit meningkat, yang menunjukkan
atelektasis lobus kanan atas subsegmental.16
B. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik
dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena
pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi,
dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan
aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh
lambung yang terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau
intravena perlu pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.1
E. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan
oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik
sering digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang
tidak terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder
oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga
penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal
napas. Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun
untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin.1
F. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi
ataupun perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik
selain pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret
daerah nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau
obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan
deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada
anak usia 2 – 12 bulan.1
IX. Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene
perorangan meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau
dengan air dan sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien
atau objek tertentu yang berdekatan dengan pasien. Perlindungan terhadap
paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi anggota
keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai
evidence-base.1
Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi
paru, terutama yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu
dibatasi pada anak yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 29 minggu,
kecuali dengan penyakit jantung yang signifikan atau penyakit paru kronik
akibat prematuritas; dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis
diberikan 1 dosis setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama
musim RSV pada anak yang memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada
tahun pertama kehidupan.1
Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan
penyakit bronkiolitis. Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada
922 anak-anak Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-
hydroxyvitamin D (25 [OH] D) darah tali pusat berkaitan dengan peningkatan
risiko infeksi pernapasan dan mengi berulang. Selain itu, studi case-control
oleh Karatekin, dkk. menemukan bahwa pada bayi baru lahir dengan kadar 25-
hydroxyvitamin D (25 [OH] D) <10 ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena
Hal
infeksi saluran napas bawah. ini terkait dengan peran vitamin D dalam
aktivitas sistem kekebalan bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan,
khususnya aktivitas cathelicidin, membantu mencegah infeksi bakteri dan
virus. Wang, et al, menunjukkan bahwa vitamin D adalah pemicu langsung
gen cathelicidin ini. The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru
lahir dilanjutkan sampai memasuki usia remaja.1
X. Prognosis
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale pada
anak-anak yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah
karena bronkiolitis atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk
asma dan faktor lingkungan seperti asap rokok. Pada sebagian besar kasus,
mengi biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat episode mengi berulang dan
keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau eksim membantu
mendukung diagnosis asma. Beberapa bayi akan memiliki episode berulang
mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu
virus sama dengan asma bronkial.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Junawanto, I., Goutama, I.L., Sylvani. 2016. Diagnosis dan Penanganan
Terkini Bronkiolitis pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Katolik
Atma Jaya. Jakarta. Indonesia
2. Caiulo, V.A., Gargani, L., Caiulo, S., Fisicaro, A., Moramarco, F., Latini,
G., Picano, E. 2011. Lung ultrasound in bronchiolitis: comparison with
chest X-ray. Journal Pediatry Europe. Department of Pediatrics, Perrino
Hospital, Piazza Angeli, Brindisi. Italy
3. Winningham, P.J., Jiménez, S.M., Rosado-de-Christenson, M.L.,
Betancourt, S.L., Restrepo, C.S., Eraso, A. 2017. Bronchiolitis: A Practical
Approach for the General Radiologist. Journal Radiographics. Division of
Thoracic Imaging, Department of Radiology, University of Missouri-
Kansas City, St Luke’s Hospital
4. Sharma BS., Meena HM., Sharma P. 2017. Diagnosis & Management of
Bronkiolitis in Children: An Update. Austin J Emergency & Crit Care 4
(1) : 1053. Department of pediatrics, SMS Medical College, Jaipur. India
5. Paramita, D.V., Juniati, S.H. 2016. Fisiologi dan Fungsi Mukosiliar
Bronkus. Jurnal THT - KL 9(2); 64 – 7. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga-RSUD Dr. Soetomo. Surabaya
6. Vecchio, A.D., Ferrara, T., Maglione, M., Capasso, L., Raimondi, F. 2013.
New perspectives in Respiratory Syncitial Virus infection. J Matern Fetal
Neonatal Med, 26(2): 55–59. Division of Neonatology, Neonatal Intensive
Care Unit, Di Venere Hospital, Bari, Italy. Department of Translational
Medical Sciences, ‘‘Federico II’’ University Naples. Italy
7. Friedman, J.N., Rieder, M.J., Walton, J.M. 2014. Bronchiolitis:
Recommendations for diagnosis, monitoring and management of children
one to 24 months of age. Journal Paediatr Child Health 19(9): 485–491.
Canadian Paediatric Society, Acute Care Committee, Drug Therapy and
Hazardous Substances Committee. Canada
8. Jha, A., Jarvis, H., Fraser, C., Openshaw, P.J.M. 2018. Respiratory
Syncytial Virus. Journal European Respiratory Society Monograph.
SARS, MERS and other Viral Lung Infections. Respiratory Sciences,
National Heart and Lung Institute, Imperial College London (St Mary’s
Campus), London. UK
9. Basile, V., Mauro, A.D., Scalini, E., Comes, P., Lofu, I., Mostert, M.,
Tafuri, S., Manzionna, M.M. 2015. Lung ultrasound: a useful tool in
diagnosis and management of bronchiolitis. Journal Basile et al. BMC
Pediatrics. 15(63). Pediatric Unit, Maternal and Child Health Department,
“S. Giacomo” Hospital, ASL BA, Largo Simone Veneziani, Monopoli
(Bari). Italy
10. Jin, Y.T., Weerakkody, Y. 2020. Obliterative bronchiolitis. Journal
Radiopedia org. Quest Acquires Lab Business Of Oxford Immunotec
11. Redpath, B., Kancherla, V., Oakley, G.P. 2018. Use of Radiography in
Patients Diagnosed as Having Acute Bronchiolitis in US Emergency
Departments 2007-2015. Journal American Medical Association 320(15).
Department of Epidemiology Emory University Rollins School of Public
Health Atlanta. Georgia
12. Lee, J. Do, H.K. 2017. Many faces of the centrilobular nodules: What
should radiologists consider?. Journal European society radiology
13. Foster, T., Weerakkody, Y. 2020. Follicular bronchiolitis. Journal
Radiopedia org. Quest Acquires Lab Business Of Oxford Immunotec
14. Stensen, H. 2011. Manual of diagnostic ultrasound Second edition. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data
15. Pribadi, A., Darmawan B.S. 2014. Serangan Asma Berat pada Asma
Episodik Serangan Asma Berat pada Asma Episodik Sering Sering Sering.
Jurnal Sari Pediatric 5(4): 171 - 17. Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta
16. Piedimonte, G., Perez, M.K. 2014. Respiratory Syncytial Virus Infection
and Bronchiolitis. Journal American A cademy of Pediatric