Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN LABORATORIUM REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI MARET


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PASIEN DENGAN


BRONKIOLITIS

Oleh :
Ninis Ilmi Octasari, S. Ked
K1A1 15 095

Pembimbing:
dr. Albertus Varera, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ninis Ilmi Octasari, S. Ked

Nim : K1A1 15 095

Judul referat : Gambaran Radiologi pada Pasien dengan Bronkiolitis

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Maret 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Albertus Varera, Sp.Rad


GAMBARAN RADIOLOGI PADA PASIEN DENGAN
BRONKIOLITIS
Ninis Ilmi Octasari, Albertus Varera

(Subdivisi Neurologi dan Spesial Sense)

I. Pendahuluan
Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus yang
disebabkan oleh virus, biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai
dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab paling sering adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat terjadi beberapa
bulan setelah serangan bronkiolitis. Episode pertama serangan, yang biasanya
paling berat, terjadi paling sering pada bayi usia 2-6 bulan. Kejadian
bronkiolitis dapat terjadi pada bulan pertama kehidupan dan episode berulang
akan terjadi di tahun kedua kehidupan oleh virus yang sama.1
Bronkiolitis lebih sering menyerang anak-anak dengan usia < 24 bulan.
dengan kejadian yang lebih parah sering terjadi pada bayi berusia 1-3 bulan.
Tanda-tanda pertama infeksi adalah coryza dan kadang-kadang demam ringan,
batuk, takipnea, hiperinflasi, retraksi dada, dan radang yang luas, mengi, atau
keduanya. Bronkiolitis adalah diagnosis klinis. Tes laboratorium rutin
menawarkan sedikit informasi bermanfaat dalam kebanyakan kasus.
Abnormalitas pada foto toraks berkisar antara 20% hingga 96%.2
Bronkiolitis mengacu pada peradangan dan/atau fibrosis yang
melibatkan saluran udara, biasanya bronkiolus (diameter <2 mm, yang sering
kekurangan dinding kartilaginosa) dan/atau saluran alveolar. Pada
pemeriksaan patologis, bronkiolitis biasanya dibagi menjadi dua kategori
besar: bronkiolitis seluler dan bronkiolitis konstriktif (fibrotik). Bronkiolitis
sel ditandai oleh sel-sel inflamasi sebagai gambaran utama, sedangkan
bronkiolitis konstriktif merujuk pada penyempitan bronkiolar dari fibrosis
adventisial dan submukosa.3
Beberapa jenis bronkiolitis seluler dikenal dengan baik: bronkiolitis
infeksi, bronkiolitis pernapasan, bronkiolitis aspirasi, bronkiolitis folikular,
pneumonitis hipersensitif, dan panbronkiolitis difus. Meskipun bronkiolitis
konstriktif, juga dikenal sebagai bronkiolitis obliterans dan bronkiolitis
obliteratif, dapat terjadi secara terpisah, biasanya merupakan pola patologis
yang dihasilkan dari kondisi lain (misalnya, proses autoimun, infeksi, atau
manifestasi penolakan kronis dalam pengaturan transplantasi).3

II. Epidemiologi
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai Disease of Infancy, umumnya
mengenai bayi dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6 bulan; lebih dari
80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di Amerika Serikat
kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada anak yang
tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk. Risiko lebih tinggi
pada anak dari ibu usia muda atau ibu yang merokok selama kehamilan.1
Sekitar 75000–125000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika
Serikat akibat infeksi RSV setiap tahun. Infeksi saluran napas bawah
disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari 100 anak pada tahun pertama kehidupan.
Dari semua infeksi RSV pada anak di bawah 12 bulan, sepertiga kasus diikuti
penyakit saluran napas bawah. Meskipun tingkat serangan RSV menurun
seiring dengan bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada
anak terinfeksi RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun.1

III.Etiologi
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV.
Tabel 1. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak

Etiologi bronkiolitis yang paling umum adalah Respiratory Syncytial


Virus (RSV), terhitung 50-90% kasus. Virus lain yang menyebabkan
bronkiolitis yaitu Rhinovirus, Virus Meta Pneumo, Influenza, Adenovirus,
Virus Corona dan Virus Para Influenza. Insiden infeksi tertinggi di Amerika
Utara terjadi antara bulan Desember dan Maret, namun tejadi variasi regional.
Di India, wabah Bronkiolitis terjadi dari bulan September hingga Maret.
Persentase anak-anak terinfeksi RSV dalam 2 tahun pertama kehidupan adalah
90%. Dalam penelitian di India, infeksi RSV didiagnosis pada 30-70% anak-
anak dengan Bronkiolitis. Sebagian besar penelitian melibatkan rhinovirus
(yang biasanya menyebabkan flu biasa) sebagai penyebab Bronkiolitis kedua
yang paling umum.4
Tabel 2. Klasifikasi Bronkiolitis

IV. Anatomi
Bronkus merupakan bagian dari traktus trakeobronkial, yaitu suatu
struktur yang dimulai dari trakea kemudian berlanjut menjadi bronkus dan
bronkiolus. Pada karina, trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan
kiri dengan bronkus kanan lebih lebar, pendek, serta lebih vertikal daripada
bronkus kiri. Hal ini menyebabkan partikel asing lebih sering terdeposit pada
bronkus kanan. Bronkus utama kanan akan bercabang menjadi tiga lobus,
yaitu lobus kanan atas, lobus kanan tengah, dan lobus kanan bawah. Bronkus
utama kiri terbagi menjadi dua lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri
bawah. Setiap lobus bronkus akan menghantarkan udara ke lobus paru yang
spesifik (Gambar 1).5
Gambar 1. Skema Traktus Trakeobronkial
Ukuran bronkus semakin ke bawah akan semakin mengecil dan
strukturnya pun berubah. Cincin kartilago yang mendukung setiap cabang
akan berubah menjadi kartilago yang ireguler dan pada akhirnya menghilang
saat mencapai bronkiolus. Sel epitel berubah dari sel kolumnar berlapis semu
menjadi sel kolumnar dan pada bagian terminal bronkiolus akan menjadi sel
kubus. Otot polos jumlahnya akan bertambah. Sel silia ataupun sel yang
memproduksi mukus tidak ada lagi pada bronkiolus sehingga partikel asing
tidak bisa dikeluarkan melalui sistem mukosiliar melainkan akan difagosit
oleh makrofag pada alveoli.5
Traktus trakeobronkial mengalirkan udara pernapasan dari dan ke
alveoli. Ujung distal dan percabangan trakea mengarah ke bawah selama
inhalasi. Hal itu penting untuk mendukung inspirasi. Perubahan epitel pada
bronkus menggambarkan fungsi saluran pernapasan. Epitel kolumnar bersilia
pada percabangan awal berfungsi untuk menghangatkan dan mengalirkan
udara serta melakukan penyaringan melalui peran mukosiliar yang mendorong
mukus ke arah atas menuju esofagus. Epitel berubah menjadi kubus pada
percabangan bagian distal agar dapat terjadi pertukaran gas.5
Gambar 2. Saluran pernapasan bagian atas dan bawah

Gambar 3. Trakea dan Bronkus


V. Patogenesis
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut ditandai
obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan lendir, serta
debris-debris seluler. Proses patologis yang terjadi akan mengganggu
pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang makin menurun pada
alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah virus RNA dari family
Paramyxoviridae. Virus ini terutama menginfeksi sel-sel epitel saluran napas
primer, dan juga dapat merusak saluran napas struktural dan sel-sel imunitas
lainnya, dengan menginvasi dan fusi permukaan glikoprotein. Sel inang
mengenali RSV melalui reseptor yang mempromosikan ekspresi dan sekresi
sitokin inflamasi (IFN-g, IL-1b, IL-4, IL-8) yang menentukan respon awal dan
selanjutnya terjadi mekanisme respon imun adaptif. Selanjutnya terjadi
aktivasi faktor-kB yang tampaknya menyebabkan peningkatan sel-sel
inflamasi.7
Selain itu, data terbaru telah menggambarkan peran IL-17 dalam
infeksi RSV adalah dengan meningkatkan produksi lendir, menghambat
aktivasi sel T CD8, dan mengurangi pembersihan virus. Mekanisme penularan
RSV adalah kontak langsung atau dekat dengan sekresi yang terkontaminasi.
Periode laten 4-6 hari sebelum infeksi klinis. Mekanisme RSV menyebar di
sepanjang saluran pernapasan masih belum jelas, tetapi transfer sel ke-sel di
sepanjang jembatan intracytoplasmic atau kemungkinan sekresi nasofaring
memungkinkan penularan.7
Invasi mikoorganisme pada saluran pernapasan, terutama bronkiolus,
akan menyebabksn perubahan struktur pada bagian tersebut. Infeksi virus pada
epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut, yeng diikuti
dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Keadaan ini
akan diikuti dengan timbulnya obstruksi bronkiolus akibat edema, sekesi
mukus, timbunan debris seluler sel-sel mati yang terkelupas. Pemulihan epitel
paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu
Jaringon mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. Karena tahanan aliran
udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori
maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara
yang besar terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori
yang kecil, Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang
berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi
hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi,
kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin
rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan
meningkat selama end expiratory lung volume meningkat dan compliance
paru menurun. Iliperkapnea biasanya baru terjadi pada respiratori mencapai 60
kali per menit.8

VI. Diagnosis
A. Gejala Klinis
Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak
membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi
memanjang, hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi
dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit makan, menyusu
atau minum.1
Diagnosis bronkiolitis harus dilakukan berdasarkan riwayat medis
dan pemeriksaan klinis. Sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda serologis
atau radiologis yang termasuk dalam pemeriksaan diagnostik.4
Tanda klinis dan gejala bronkiolitis terdiri dari rinore, batuk,
takipnea, mengi, ronki, dan peningkatan upaya pernapasan seperti
mendengus, hidung melebar, dan intercostals dan/atau retraksi sub kostalis
dan pemberian makan yang buruk. Bayi mungkin menunjukkan iritabilitas,
pemberian makanan yang buruk, dan muntah. Meskipun, dalam sebagian
besar kasus, penyakit ini tetap ringan dan pemulihan dimulai dalam 3-5
hari, beberapa dari anak-anak ini dapat terus memburuk. Penilaian anak
dengan bronkiolitis harus terdiri dari riwayat terperinci termasuk
komorbiditas seperti prematuritas, penyakit paru-paru kronis, penyakit
jantung bawaan, defisiensi imun, paparan asap dalam rahim, kelainan
genetik, atopi, konjungsi, otitis media, faringitis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh.4
Penilaian dengan menggunakan Oksimetri dengan cepat mampu
memberikan penilaian klinis anak-anak dengan bronkiolitis dan dapat
mendeteksi hipoksemia yang tidak diduga pada pemeriksaan fisik.
Penilaian dengan Oksimetri membantu kita menentukan kebutuhan akan
oksigen tambahan.4
Jenis dan frekuensi tes diagnostik yang digunakan untuk
bronkiolitis, seperti deteksi virus dan foto toraks sangat bervariasi. Seperti
yang dinyatakan dalam pedoman American Academy of Pediatrics (AAP),
hasil tinjauan berdasarkan bukti belum mendukung peran untuk tes
diagnostik dalam pengelolaan kasus bronkiolitis. Tes antigen virus cepat
memiliki sensitivitas dan spesifisitas variabel tergantung pada tes dan
kapan mereka digunakan. Karena sebagian besar virus yang menyebabkan
bronkiolitis memiliki perjalanan klinis yang serupa. Pada kasus-kasus khas
pasien, hasilnya kemungkinan akan berdampak kecil pada manajemen.
Namun, di rumah sakit, tes virus spesifik telah digunakan sebagai bagian
dari intervensi yang berhasil untuk mengurangi infeksi nosokomial.4

B. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Toraks
Pemeriksaan laboratorium dan foto toraks secara rutin tidak
diperlukan dalam membuat diagnosis bronkiolitis. Rontgen toraks
tidak boleh dilakukan secara rutin pada bayi dengan bronkiolitis akut
tipikal. Foto toraks harus dipertimbangkan dalam beberapa kondisi
berikut pada bayi dengan bronkiolitis yaitu ketidakpastian diagnostik,
perjalanan penyakit atipikal, terdapat penyakit komorbid seperti
penyakit paru-paru kronis atau penyakit jantung dan defisiensi imun,
tidak ada perbaikan dengan terapi konvensional dan jika penyakit tidak
ada perbaikan. Kelainan radiologi bronkiolitis bervariasi termasuk
hiperinflasi dan penebalan peribronkial. Bercak pada elektasis dapat
terjadi akibat penyempitan saluran napas dan penyumbatan oleh
sputum.2
Foto toraks tidak secara rutin dilakukan pada anak-anak dengan
bronkiolitis. Hasil foto dapat menunjukkan hiperekspansi termasuk
peningkatan diameter anterior-posterior dan perataan diafragma serta
infiltrat bilateral dan atelektasis bilateral. Foto toraks bayi dengan
bronkiolitis sering ditemukan hiperinflasi tidak spesifik dan tidak
merata serta area atelektasis, yang mungkin disalahartikan sebagai
konsolidasi. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan dan penggunaan
antibiotik yang tidak tepat. Pneumonia dengan konsolidasi terlihat
pada foto toraks dapat disebabkan oleh virus itu sendiri atau infeksi
bakteri sekunder. Manifestasi ekstra-paru RSV jarang terjadi tetapi
telah dijelaskan dan termasuk kejang, hiponatremia, aritmia jantung
dan kegagalan dan hepatitis.8,9

Gambar 4. Foto toraks bayi berusia 3 bulan dengan bronkiolitis


penyebabnya adalah RSV: menunjukkan lobus kanan atas yang kolaps, paru
kiri hiperinflasi dan infiltrat perihilar bilateral, penebalan peribronkial. Pasien
diintubasi dan terpasang nasogastrik tube.

Obliterative bronchiolitis (OB) juga disebut bronkioitis


obliterans atau bronkiolitis konstriktif merupakan tipe bronkiolitis
dimana terjadu inflamasi pada bronkiolus dan submukosa peribronkial
dan stenosis luminal dan oklusi. Temuan pada foto toraks dapat
normal, dan bila tidak normal yang biasa di dapatkan adalah gambaran
hiperinflasi, atenuasi atau tanda-tanda vascular, tanda opasitas
reticular/reticulonodular. Temuan Computerized tomography (CT)
yaitu bronkiektasis, penebalan dinding bronchial, dan opasitas ground
wall.10

Gambar 5. Hyperinflation, attenuation of vascular


markings,occasionally reticular/reticulonodular markings

Bronkiolitis merupakan infeksi virus pada saluran pernapasan


bagian bawah yang merupakan masalah kesehatan yang penting pada
anak-anak di seluruh dunia dan penyebab paling umum rawat inap
pada tahun pertama kehidupan di Amerika Serikat. Pedoman praktik
klinis dari American Academy of Pediatrics (AAP), yang diterbitkan
pada tahun 2006 dan direvisi pada tahun 2014 merekomendasikan
untuk radiografi rutin dalam evaluasi bayi dengan bronkiolitis.11
Untuk sebagian besar orang dewasa yang terinfeksi RSV,
tingkat gejalanya minimal, dengan gejala infeksi saluran pernapasan
atas yang tidak spesifik termasuk coryza, sakit tenggorokan, demam
dan malaise serta gejala saluran pernapasan yang umum seperti batuk.
Pasien-pasien dengan immunocompromised yang mendasarinya,
penyakit kardiorespirasi ataupun pasien lanjut usia dapat mengalami
morbiditas dan mortalitas yang lebih signifikan. Presentasi RSV pada
pasien usia lanjut hampir sama dengan yang terlihat pada orang
dewasa yang lebih muda, meskipun dengan tingkat keparahan yang
lebih besar dan peningkatan kemungkinan keterlibatan saluran
pernapasan yang lebih rendah. Biasanya, penyakit RSV dimulai
dengan hidung tersumbat sebelum berlanjut menjadi batuk pada 90-
97% kasus, dibandingkan dengan influenza, gejala sistemik termasuk
demam, myalgia dan keluhan gastrointestinal lebih jarang terjadi.
Berbeda dengan infeksi virus saluran pernapasan lainnya, mengi sering
dicatat, bahkan pada mereka yang tidak memiliki penyakit saluran
napas. Suara napas tambahan terdengar pada pemeriksaan dada dan
infiltrat pada radiografi dada terjadi pada 30-50% pasien usia lanjut.8
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan
infiltrat (patchy infiltrates) tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada Asma, Pneumonia Viral atau Atipikal, dan Aspirasi.
Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat
konvalesens akibat sekret yang pekat bercampur sel-sel mati yang
menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter
antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus,
Rapid Antigen Detection Tests (direct immunofluoresence assay dan
enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau Polymerase
Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut
dan konvalesens.3
Bronkiolitis biasanya tidak terdeteksi pada radiografi dada.
Namun, bronkiolitis dapat bermanifestasi dengan temuan tidak spesifik
seperti nodul berkerumun kecil atau tidak jelas (Gambar 1) atau area
perangkap udara yang ditandai oleh hiperlusen dan/atau oligemia.3
Gambar 6. Bronkiolitis menular pada pria berusia 36 tahun yang
mengalami demam, nyeri dada, dan batuk. (a) Radiografi Thoraks
posteroanterior menunjukkan kekeruhan mikronodular heterogen
(panah) di zona tengah paru kiri. (B) Gambar aksial CT menunjukkan
opasitas tree-in bud berkerumun (panah) di lobus kiri atas dan bawah.

Penggunaan radiografi dada untuk diagnosis dan


penatalaksanaan bronkiolitis juga sangat bervariasi dan tidak
direkomendasikan secara rutin oleh AAP. Sebuah studi prospektif
berikutnya pada anak-anak berusia 2 hingga 23 bulan yang datang ke
UGD dengan bronkiolitis lebih lanjut menunjukkan hasil rendah dari
radiografi rutin serta efek yang berpotensi merugikan. Radiografi rutin
mengidentifikasi temuan yang tidak konsisten dengan bronkiolitis
hanya dalam 2 kasus, dan dalam kedua kasus temuan tersebut tidak
berubah. Setelah meninjau radiograf, dokter lebih mungkin untuk
diobati dengan antibiotik, meskipun temuan itu tidak mendukung
pengobatan.3

2. Computerised Tomography (CT) Scan


Gambar CT hampir selalu menunjukkan temuan abnormal yang
mencakup mikronodula sentrilobular (sering dilihat sebagai kekeruhan
tree-inbud), penebalan dinding bronkial, dilatasi bronkiolar (sering
disebut sebagai bronkiolektasis). Dalam glosarium Fleischner Society
dari istilah pencitraan toraks, mikronodules didefinisikan sebagai
kekeruhan dengan ukuran diameter kurang dari 3 mm.3

Gambar 7. (a) Gambar mikronodula sentrilobular berkerumun dan


tersebar dan opasitas tree in bud (panah). (B) Gambar dari seorang pria
47 tahun dengan bronkiolitis infeksi akut menunjukkan opasitas tree-
in-bud dan nodul sentrilobular di lobus kanan atas.

Pendekatan Pencitraan Bronkiolitis adalah dengan memastikan


gambaran nodul mikro adalah sentrilobular. Imager harus memastikan
bahwa mikronodulnya sentrilobular dan tidak perilymphatic atau
miliary. Perbedaan antara mikronodul sentrilobular, perilymphatic, dan
miliary adalah didasarkan pada distribusi anatomi. Mikronodula
sentrilobular ditandai tidak meluas atau melibatkan pleura (termasuk
fisura), sedangkan mikronodularis perilimfatik (terlihat pada
sarkoidosis dan entitas lain) cenderung melibatkan permukaan pleura
dan fisura. Perbedaan ini disebabkan oleh letak bronkiolus secara
anatomis di tengah lobulus paru yang relatif jauh dari interstisium
subpleural atau interlobular yang terletak di pinggiran lobulus paru.
Nodularitas sepanjang celah yang digambarkan dengan baik pada
gambar yang diformat ulang secara sagital, adalah karakteristik
mikronodularis perilimfatik. Mikronodularis milier adalah lesi
hematogen yang melibatkan paru-paru dan menunjukkan distribusi
tersebar. Dengan demikian, mikronodul miliar melibatkan semua
aspek interstitium dan didistribusikan secara difus dan merata.3

Gambar 8. (3a) Gambar penebalan dinding bronkus dan bronkiektasis


menunjukkan dinding bronkial halus tipis normal (panah lurus),
dinding bronkus menebal (panah), dan bronkiektasis dengan tidak
adanya tapering bronkus normal (panah melengkung). (3b) Gambar
CT aksial dari seorang wanita 68 tahun dengan penyakit paru
obstruktif kronik dan bronchiolitis infeksi akut menunjukkan opasitas
tree-in-bud, bronkiektasis, dan penebalan dinding bronkus yang
ditandai.

Gambaran yang biasanya mewakili Bronkiolitis adalah


mikronodula yang dianggap sentrilobular, oleh sebab itu sangat
penting untuk menentukan bahwa keadaan klinis memang terkait
dengan penyakit saluran udara kecil (yaitu, bronkiolitis) dan bukan
karena penyebab vaskular, karena entitas vaskular tertentu mungkin
memperlihatkan mikronodularis sentrilobular yang mungkin sulit
untuk dibedakan dari mikronodules saluran udara kecil; selulosa
granulomatosis dan emboli tumor yang juga merupakan contoh dari
entitas vaskular seperti itu (Gambar 6, 7).3
Gambar 9. (6) Gambar menunjukkan opasitas nodular sentrilobular
yang tersebar dan merata. Pola keterlibatan ini harus meningkatkan
kecurigaan tinggi untuk penyebab vaskular, daripada penyebab saluran
napas, dan, khususnya, selulosa granulomatosis Perhatikan
karakteristik subpleural sparing (antara panah) dari distribusi penyakit
sentrilobular. (7) Selulosa granulomatosis pada pria berusia 37 tahun
yang mengalami hipertensi paru onset baru yang berat. (a) Gambar CT
menunjukkan nodul tree-in bud yang luas, difus, dan merata secara
bilateral.

Kedua entitas vaskular ini menghasilkan nodul sentrilobular


dan/atau mikronodus yang terkait dengan benda asing (yaitu, selulosa
atau bedak) atau emboli tumor (baik dalam bentuk pengisian arteri
paru dengan tumor atau karena hiperplasia intima fibroseluler yang
diprakarsai oleh tumor mikroemboli) bersarang di arteriol paru kaliber
kecil yang terletak di tengah lobulus paru sekunder, berdekatan dengan
bronkiolus yang sesuai. Meskipun mikronodules ini mungkin tidak
dapat dibedakan dari yang terlihat pada bronkiolitis, mereka cenderung
terdistribusi secara difus ke seluruh paru karena merupakan
manifestasi penyebaran penyakit secara hematogen. Faktanya,
keberadaan mikronodula sentrilobular yang terdistribusi secara merata
dan terdifusi atau opasitas tree in bud harus memperingatkan ahli
radiologi terhadap kemungkinan penyebab vaskular, terutama
granulomatosis selulosa, bukan bronkiolitis. Karena nodul sentrilobular
tidak selalu mencerminkan bronkiolitis, konteks klinis dan riwayat
sangat penting untuk merumuskan diagnosis banding yang tepat.3
Pada pemeriksaan CT scan, nodul sentrilobular merupakan
temuan khas penyakit yang mempengaruhi saluran udara kecil yang
memiliki spektrum entitas yang luas. Temuan ini secara histopatologis
berkorelasi dengan peradangan bronkial/peribronkiolar, dilatasi
bronkiolus atau pengendapan pada bronkiolar seperti perdarahan atau
benda asing yang terhirup. Secara umum, nodul sentrilobular
diklasifikasikan menjadi nodul yang terdefinisi dengan baik dan tidak
jelas menurut penampilannya. Berbagai kategori penyakit akan ditutup
dengan manifestasi klinis terperinci dan temuan radiologis. Dan juga
titik diferensial menggunakan distribusi lesi, riwayat pribadi, temuan
gambar terkait akan disarankan.12
Follicular bronchiolitis (FB) adalah kelainan bronkiolar langka
yang berhubungan dengan hiperplasia jaringan limfoid terkait bronkial
(BALT). Hal ini ditandai dengan perkembangan folikel limfoid dengan
pusat germinal di dinding saluran udara kecil. Bronkiolitis follicular
termasuk dalam kategori penyakit paru limfoproliferatif (LPD) dan
biasanya berkaitan dengan penyakit jaringan ikat, defisiensi imun,
infeksi, penyakit paru interstitial (ILD), dan penyakit radang saluran
napas. Temuan Computerized tomography (CT) termasuk nodul
centrilobular dengan infiltrat, temuan tree-in-bud, dan perangkap
udara. Ini sangat jarang muncul sebagai penyakit paru-paru kistik
difus.13
Gambar 10. Extensive bilateral tree-in-bud appearance

Gambar 11. Extensive bilateral tree-in-bud appearance


Gambar 12. Perkembangan interval nodul sentrilobular kecil dan
peribronkial, dan penebalan peribronkial. Temuan ini sangat
menunjukkan bronkiolitis folikel pada pasien artritis rheumatoid

3. Lung Ultrasound (LUS)


Ultrasound adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan frekuensi suara di atas 20.000 Hertz (Hz), di luar
jangkauan pendengaran manusia. Frekuensi 1–30 megahertz (MHz)
adalah tipikal untuk USG diagnostik. Pencitraan ultrasonik diagnostik
tergantung pada analisis terkomputerisasi dari gelombang ultrasonik
yang dipantulkan, yang secara non-invasif membentuk gambar-gambar
halus dari struktur tubuh internal. Resolusi yang dapat dicapai lebih
tinggi dengan panjang gelombang lebih pendek, panjang gelombang
berbanding terbalik dengan frekuensi. Namun, penggunaan frekuensi
tinggi dibatasi oleh atenuasi yang lebih besar (kehilangan kekuatan
sinyal) dalam jaringan dan dengan demikian kedalaman penetrasi lebih
pendek. Untuk alasan ini, rentang frekuensi yang berbeda digunakan
untuk pemeriksaan bagian tubuh yang berbeda: 3-5 MHz untuk area
perut, 5-10 MHz untuk bagian kecil dan dangkal, dan 10-30 MHz
untuk kulit atau mata.14
Pemeriksaan ultrasonografi pada dinding dada, daerah aksila
dan supraklavikula umumnya membutuhkan pemeriksaan linear
dengan frekuensi 5-8 MHz. Probe 10-13 MHz yang diperkenalkan
baru-baru ini sangat baik untuk mengevaluasi kelenjar getah bening.
Untuk menginvestigasi paru-paru, pemeriksaan cembung atau probe
sektor 3-5 MHz memberikan kedalaman penetrasi yang memadai.14
Ultrasonografi sangat bermanfaat untuk pemeriksaan radiologi
paru dan pleura karena bersifat real-time dengan kemampuan
pencitraan yang multiplanar. Ultrasonografi bersifat portable sehingga
dapat digunakan untuk pemeriksaan pasien-pasien emergensi dan di
ICU secara bed-side. Kelebihan lain adalah karena pemeriksaa USG
tidak mempunyai efek radiasi yang merugikan sehingga aman
digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan USG secara transtorakal
dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan pada parenkim paru
perifer, pleura dan dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura
tersebut dilakukan dengan melakukan sken sepanjang sela iga saat
pernapasan biasa dan saat menahan napas untuk melihat lesi secara
lebih rinci. Pemeriksaan USG toraks dapat juga digunakan untuk
menuntun tindakan yang bersifat invasif di bidang paru.8
Ultrasonografi sangat bermanfaat untuk pemeriksaan radiologi
paru dan pleura karena bersifat real-time dengan kemampuan
pencitraan yang multiplanar. Ultrasonografi bersifat portable sehingga
dapat digunakan untuk pemeriksaan pasien-pasien di emergensi dan di
ICU secara bed-side. Kelebihan lain adalah karena pemeriksaa USG
tidak mempunyai efek radiasi yang merugikan sehingga aman
digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan USG secara transtorakal
dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan pada parenkim paru
perifer, pleura dan dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura
tersebut dilakukan dengan melakukan sken sepanjang sela iga saat
pernapasan biasa dan saat menahan napas untuk melihat lesi secara
lebih rinci. Pemeriksaan USG toraks dapat juga digunakan untuk
menuntun tindakan yang bersifat invasif di bidang paru.8
Temuan normal yaitu

Gambar 13. Dinding dada di ruang interkostal ketiga. Pencitraan


ultrasonografi dibatasi oleh refleksi total dari paru-paru yang ketika
inspirasi, yang disebut visceral pleura (panah): garis echogenik,
bergantung pada pernapasan dan sliding line M.pectoralis

Lung Ultrasound (LUS) atau Ultrasonografi Paru dilakukan


dalam perawatan orang dewasa dan anak-anak untuk mengevaluasi
beberapa kondisi kardiopulmo dan sehubungan dengan penggunaan
sinar-X karena menyangkut penggunaan radiasi ionisasi. Daerah
disentilasi Paru dengan tidak adanya udara divisualisasikan dalam
bentuk konsolidasi yang berdekatan dengan tempat tersebut.8
Temuan USG Bronkiolitis yang muncul dari penilaian, seperti
pola karakteristik infeksi virus; adanya sliding paru dengan B-line, B-
line yang konfluen dan konsolidasi sub pleura (Gbr. 1) yang dianggap
sebagai tanda USG terbaik dari Bonkiolitis.
Gambar 14. Klasifikasi kuantitatif echographic sindrom interstitial

Klasifikasi kuantitatif Sindrom Interstitial Echografi diusulkan,


berdasarkan tingkat keterlibatan paru-paru sebagai koordinat (Gbr. 2).
Berdasarkan temuan USG, diagnosis dan tingkat bronkiolitis dinilai
sebagai berikut:8
A. Bronkiolitis ringan : Skor 1-3
B. Bronkiolitis sedang : Skor 4-6
C. Bronkiolitis berat : Skor 7-8
D. Pola ultrasonografi paru normal : Skor 0

Gambar 15. Konsolidasi subpleural


Penggunaan LUS dapat direkomendasikan pada bayi dengan
tanda-tanda klinis dan gejala dugaan bronkiolitis. Kesimpulan pada
tanda-tanda dan gejala klinis tetapi USG Paru yang diberikan tidak
adanya radiasi, dapat menawarkan alat diagnostik non-invasif, cepat,
dapat direproduksi, dan relatif murah yang dapat menjadi bantuan luar
biasa dalam pengelolaan klinis bronkiolitis.8
Dinding dada yang lebih tipis dan massa yang lebih kecil
membuat bayi dan neonatus ideal untuk pemindaian ultrasound, tanpa
memaparkan mereka pada risiko kanker yang lebih besar dari radiasi
pengion relatif terhadap orang dewasa. Pada pasien anak-anak dengan
Bronkiolitis, LUS mencerminkan status pernapasan klinis dan dapat
digunakan sebagai teknik skrining cepat dan dapat direproduksi untuk
membantu fisik dalam identifikasi bayi yang membutuhkan rawat inap
dan suplementasi oksigen. Biaya perawatan kesehatan pasien
bronkiolitis pada pasien tinggi.12
Meskipun penilaian klinis terus menjadi standar emas untuk
diagnosis bronkiolitis, penggunaan LUS untuk mengurangi rawat inap
dengan aman, mungkin memiliki dampak pada aspek sosial ekonomi
dari penyakit ini serta mengurangi biaya perawatan kesehatan.
Singkatnya, studi percontohan ini menunjukkan bahwa penggunaan
LUS pada bronkiolitis dapat dianggap sebagai perpanjangan evaluasi
klinis dan dapat dimasukkan ke dalam algoritma klinis untuk
membantu pengambilan keputusan. Data yang menjanjikan perlu
dikonfirmasi dalam studi kohort yang lebih besar juga melibatkan
pasien kritis.8

VII. Diagnosis Banding


A. Asma
Pemeriksaan penunjang pada asma antara lain:
1. Pemeriksaan radiologi yaitu gambaran radiologi pada asma pada
umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran
hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan
tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah
sebagai berikut: 1) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak
di hilus akan bertambah. 2) Bila terdapat komplikasi empisema
(COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. 3) Bila
terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru. 4)
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. 5) Bila terjadi
pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.15
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan
napas secara luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos
bronkus, edem mukosa karena inflamasi saluran napas, dan sumbatan
mukus. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru.
Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan
napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya
udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan
jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi.
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja napas.15

Gambar 16. Foto toraks menunjukkan adanya hiperaerasi, tidak


tampak atelektasis
B. Pneumonia Atipikal
Hasil pemeriksaan radiologis paru pada kasus pneumonia atipikal
tidak memberikan temuan yang spesifik. Pada infeksi M. pneumoniae
ditemukan gambaran yang bervariasi, lebih sering mengenai satu lobus
terutama lobus bawah, yaitu konsolidasi retikuler maupun interstisial,
terdapat pembesaran kelenjar hilus pada 30% kasus, dan dapat pula terjadi
efusi pleura. Gambaran radiologis paru pada infeksi C. pneumoniae
seringkali memperlihatkan gambaran yang lebih berat dibandingkan
kondisi klinik pasien pneumonia lain yang mungkin memperlihatkan
pneumonia ringan. Ditemukan ada konsolidasi difus atau lobar dengan
efusi pleura ringan.15

Gambar 17. Temuan foto toraks pasien dengan pneumonia virus yang
disebabkan oleh Respiratory synctival virus: hiperinflasi, peribronkial
ringan, tanda peningkatan parahilar, dan opacity lingular yang tambal
sulam (perhatikan hilangnya perbatasan jantung kiri pada tampilan depan),
kemungkinan mewakili atelektasis.16
Gambar 18. Temuan radiografi Mikoplasma pneumonia: Infiltrat
interstitial nodular reticular / nodular, dengan opacity alveolar yang lebih
fokal di lobus tengah kanan, dan opacity di lobus kanan atas berbatasan
dengan ukuran kecil yang sedikit meningkat, yang menunjukkan
atelektasis lobus kanan atas subsegmental.16

VIII. Tata Laksana


Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting sehingga pengobatan
biasanya hanya suportif. Prinsip Pengobatan:
A. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan
distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan
nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar
oksigen 30%–40%. Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan
dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap
dingin (mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan. Terapi
oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter
nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan
kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).8 Penggunaan
kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi
kebutuhan obat sedasi. 1
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis
perlu memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena
tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang
terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi paru.5,9
Transient oxygen desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur,
durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis
cenderung terjadi dalam hitungan jam sampai hari.1

B. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik
dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena
pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi,
dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan
aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh
lambung yang terisi cairan. Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau
intravena perlu pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.1

C. Bronkodilator dan Kortikosteroid


Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus
diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di
Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis,
namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat
inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada
keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan. Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason
oral pada anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat
inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit. Nebulisasi
hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk
membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran
pernapasan.1
D. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik.
Penggunaannya masih kontroversial baik efektivitas maupun
keamanannya. The American Academy of Pediatrics merekomendasikan
penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih
berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis
kistik, penyakit paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi
prematur. Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan penyakit
jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan
cara nebulizer aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam
per hari selama 3- 7 hari.1

E. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan
oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik
sering digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang
tidak terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder
oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga
penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal
napas. Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun
untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin.1

F. Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi
ataupun perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik
selain pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret
daerah nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau
obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan
deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada
anak usia 2 – 12 bulan.1

IX. Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene
perorangan meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau
dengan air dan sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien
atau objek tertentu yang berdekatan dengan pasien. Perlindungan terhadap
paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi anggota
keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai
evidence-base.1
Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi
paru, terutama yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu
dibatasi pada anak yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 29 minggu,
kecuali dengan penyakit jantung yang signifikan atau penyakit paru kronik
akibat prematuritas; dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis
diberikan 1 dosis setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama
musim RSV pada anak yang memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada
tahun pertama kehidupan.1
Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan
penyakit bronkiolitis. Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada
922 anak-anak Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-
hydroxyvitamin D (25 [OH] D) darah tali pusat berkaitan dengan peningkatan
risiko infeksi pernapasan dan mengi berulang. Selain itu, studi case-control
oleh Karatekin, dkk. menemukan bahwa pada bayi baru lahir dengan kadar 25-
hydroxyvitamin D (25 [OH] D) <10 ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena
Hal
infeksi saluran napas bawah. ini terkait dengan peran vitamin D dalam
aktivitas sistem kekebalan bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan,
khususnya aktivitas cathelicidin, membantu mencegah infeksi bakteri dan
virus. Wang, et al, menunjukkan bahwa vitamin D adalah pemicu langsung
gen cathelicidin ini. The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari untuk bayi baru
lahir dilanjutkan sampai memasuki usia remaja.1

X. Prognosis
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale pada
anak-anak yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah
karena bronkiolitis atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk
asma dan faktor lingkungan seperti asap rokok. Pada sebagian besar kasus,
mengi biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat episode mengi berulang dan
keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau eksim membantu
mendukung diagnosis asma. Beberapa bayi akan memiliki episode berulang
mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu
virus sama dengan asma bronkial.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Junawanto, I., Goutama, I.L., Sylvani. 2016. Diagnosis dan Penanganan
Terkini Bronkiolitis pada Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Katolik
Atma Jaya. Jakarta. Indonesia
2. Caiulo, V.A., Gargani, L., Caiulo, S., Fisicaro, A., Moramarco, F., Latini,
G., Picano, E. 2011. Lung ultrasound in bronchiolitis: comparison with
chest X-ray. Journal Pediatry Europe. Department of Pediatrics, Perrino
Hospital, Piazza Angeli, Brindisi. Italy
3. Winningham, P.J., Jiménez, S.M., Rosado-de-Christenson, M.L.,
Betancourt, S.L., Restrepo, C.S., Eraso, A. 2017. Bronchiolitis: A Practical
Approach for the General Radiologist. Journal Radiographics. Division of
Thoracic Imaging, Department of Radiology, University of Missouri-
Kansas City, St Luke’s Hospital
4. Sharma BS., Meena HM., Sharma P. 2017. Diagnosis & Management of
Bronkiolitis in Children: An Update. Austin J Emergency & Crit Care 4
(1) : 1053. Department of pediatrics, SMS Medical College, Jaipur. India
5. Paramita, D.V., Juniati, S.H. 2016. Fisiologi dan Fungsi Mukosiliar
Bronkus. Jurnal THT - KL 9(2); 64 – 7. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga-RSUD Dr. Soetomo. Surabaya
6. Vecchio, A.D., Ferrara, T., Maglione, M., Capasso, L., Raimondi, F. 2013.
New perspectives in Respiratory Syncitial Virus infection. J Matern Fetal
Neonatal Med, 26(2): 55–59. Division of Neonatology, Neonatal Intensive
Care Unit, Di Venere Hospital, Bari, Italy. Department of Translational
Medical Sciences, ‘‘Federico II’’ University Naples. Italy
7. Friedman, J.N., Rieder, M.J., Walton, J.M. 2014. Bronchiolitis:
Recommendations for diagnosis, monitoring and management of children
one to 24 months of age. Journal Paediatr Child Health 19(9): 485–491.
Canadian Paediatric Society, Acute Care Committee, Drug Therapy and
Hazardous Substances Committee. Canada
8. Jha, A., Jarvis, H., Fraser, C., Openshaw, P.J.M. 2018. Respiratory
Syncytial Virus. Journal European Respiratory Society Monograph.
SARS, MERS and other Viral Lung Infections. Respiratory Sciences,
National Heart and Lung Institute, Imperial College London (St Mary’s
Campus), London. UK
9. Basile, V., Mauro, A.D., Scalini, E., Comes, P., Lofu, I., Mostert, M.,
Tafuri, S., Manzionna, M.M. 2015. Lung ultrasound: a useful tool in
diagnosis and management of bronchiolitis. Journal Basile et al. BMC
Pediatrics. 15(63). Pediatric Unit, Maternal and Child Health Department,
“S. Giacomo” Hospital, ASL BA, Largo Simone Veneziani, Monopoli
(Bari). Italy
10. Jin, Y.T., Weerakkody, Y. 2020. Obliterative bronchiolitis. Journal
Radiopedia org. Quest Acquires Lab Business Of Oxford Immunotec
11. Redpath, B., Kancherla, V., Oakley, G.P. 2018. Use of Radiography in
Patients Diagnosed as Having Acute Bronchiolitis in US Emergency
Departments 2007-2015. Journal American Medical Association 320(15).
Department of Epidemiology Emory University Rollins School of Public
Health Atlanta. Georgia
12. Lee, J. Do, H.K. 2017. Many faces of the centrilobular nodules: What
should radiologists consider?. Journal European society radiology
13. Foster, T., Weerakkody, Y. 2020. Follicular bronchiolitis. Journal
Radiopedia org. Quest Acquires Lab Business Of Oxford Immunotec
14. Stensen, H. 2011. Manual of diagnostic ultrasound Second edition. WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data
15. Pribadi, A., Darmawan B.S. 2014. Serangan Asma Berat pada Asma
Episodik Serangan Asma Berat pada Asma Episodik Sering Sering Sering.
Jurnal Sari Pediatric 5(4): 171 - 17. Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta
16. Piedimonte, G., Perez, M.K. 2014. Respiratory Syncytial Virus Infection
and Bronchiolitis. Journal American A cademy of Pediatric

Anda mungkin juga menyukai