Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

“Batuk”

Pembimbing:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
NIP. 19670613 200604 2 001

Disusun oleh :
Dias Kurniawan
G4A017024

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“Batuk”

Disusun oleh :
Dias Kurniawan
G4A017024

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui
Pada tanggal : April 2018

Dokter Pembimbing :

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


NIP. 19670613 200604 2 001
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai tambahan saluran napas memiliki mekanisme pertahanan,
batuk merupakan gejala umum yang ditemukan pada beberapa penyakit
pada sistem pernafasan[ CITATION Fra11 \l 1057 ]. Batuk dapat meningkatkan
klirens sekresi dan partikel-partikel dari saluran nafas dan melindungi dari
aspirasi benda asing. Pada beberapa kondisi batuk dapat menjadi produktif
maupun non-produktif akibat pengaruh dari mukosa saluran nafas. Setiap
batuk terjadi beberapa stimulasi lengkung reflek batuk. Hal ini diawali
adanya iritasi pada reseptor batuk yang ditemukan di trakea, carina, bagian
distal saluran nafas yang lebih kecil dan bahkan di faring (Mario, et.al.,
2012). Maka dari itu pada referat kali ini akan membahas terkait definisi,
etiologi, klasifikasi, dan mekanisme batuk di dalam tubuh.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi tentang batuk
2. Mengetahui etiologi dan faktor risiko batuk
3. Mengetahui klasifikasi batuk
4. Mengetahui patofisiologi batuk
5. Mengetahui farmakologi pada batuk
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Batuk merupakan salah satu gejala umum yang sekitar 40% sering
dikeluhkan oleh pasien. Batuk merupakan suatu hal yang penting sebagai
mekanisme defensif untuk mengeluarkan sekresi dan partikel asing dari
saluran nafas. Batuk memiliki empat fase dasar: (1) Fase iritasi; (2) Fase
inspirasi; (3) Usaha untuk ekspirasi dengan menutupnya glotis; (4)
Membukanya glotis dengan ekspirasi cepat dan timbulah suara
batuk[ CITATION Chu08 \l 1057 ].

B. Klasifikasi Batuk
Batuk akut berdurasi kurang dari 3 minggu, umumnya disebabkan oleh
infeksi saluran pernapasan, aspirasi, atau inhalasi bahan kimia tertentu. Batuk
dapat pula menjadi gejala kondisi yang membahayakan, seperti emboli paru,
gagal jantung kronik, atau pneumonia [ CITATION Fra11 \l 1057 ].

Gambar II.1 Batuk Akut [ CITATION Fra11 \l 1057 ].


Batuk subakut berdurasi 3-8 minggu, biasanya merupakan sisa
trakeobronkitis seperti pada pertusis atau sindrom tusif postviral. Batuk yang
merupakan sisa dari infeksi biasanya disebabkan oleh postnasal drip, iritasi
saluran napas atas, akumulasi mukus, atau bronki hiperresposif terkait asma
[ CITATION Fra11 \l 1057 ].

Gambar II.2 Batuk Subakut [ CITATION Fra11 \l 1057 ].

Batuk kronik berdurasi lebih dari 8 minggu, dapat disebabkan berbagai


etiologi dari penyakit kardiopulmonal, baik infeksi, inflamasi, neoplastik,
maupun kardiovaskular. Pada temuan pemeriksaan fisik dada dan foto toraks
normal, dicurigai terdapat asma tipe batuk, refluks gastroesofageal (stimulasi
n. vagus di esofagus oleh asam), drainase nasofaringeal, atau
obat angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I, terjadi pada 5-20%
pasien yang mengonsumsi golongan obat ini, umumnya muncul 1 minggu
sampai 6 bulan sejak awal pemakaian). Terlepas dari penyebabnya, batuk
biasanya memburuk ketika berbaring pada malam hari, berbicara, atau
aktivitas fisik, kecuali pada pertusis dan asma [ CITATION Fra11 \l 1057 ].
Gambar II.3 Batuk Kronis [ CITATION Fra11 \l 1057 ].

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang
reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan-keadaan
psikogenik tertentu. Tentunya diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk
mendeteksi keadaan-keadaan tersebut. Dalam hal ini perlu dilakukan
anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik, dan mungkin pemeriksaan lain
seperti laboratorium darah dan sputum, rontgen toraks, tes fungsi paru dan
lain-lain.
Tabel II.1. Etiologi dan Faktor Risiko

No Penyebab Contoh
1. Iritan Rokok, asap, gas di tempat kerja
2. Mekanik Retensi sekret bronkopulmoner benda asing,
postnasal drip, aspirasi
3. Penyakit Paru Bronkitis kronik, asma, emfisema, fibrosis kistik,
Obstruktif bronkiektasis
4. Penyakit Paru Pneumonia, Penyakit kolagen, penyakit
Restriktif granulomatosa
5. Infeksi Laringitis akut, bronkitis akut, pneumonia,
pleuritis, perikarditis
6. Tumor Tumor laring dan tumor paru
7. Psikogenik
Sumber: [ CITATION Fra11 \l 1057 ].

D. Patofisiologi
Batuk dapat bersifat volunter maupun refleks. Refleks batuk sebagai
fungsi perlindugan dipicu oleh stimulasi ujung saraf oleh bahan kimia (asam,
kapsaisin) maupun mekanik (polutan, suhu). Suatu kanal ion kationik,
yaitu transient receptor potential vanilloid  tipe 1 (TRPV1) dan transient
receptor potential ankyrin tipe 1 (TRPA1) yang terdapat pada rapidly
adapting receptors dan serat tipe C, diduga berperan dalam mekanisme
timbulnya batuk. Serabut saraf aferen banyak ditemukan pada faring, laring,
hingga bronkiolus terminalis, di samping meatus akustikus eksterna (cabang
aurikular n. vagus), perikardium, esofagus, dan lambung. Sinyal aferen
diteruskan lewat n. vagus, n. laringeal superior, n. trigeminal, dan n.
glosofaringeal ke pusat batuk di nukleus traktus solitarius. Setelah
dipersepsikan, pusat batuk mengirim sinyal eferen melalui saraf-saraf
laringeal dan saraf spinal ke berbagai efektor, di antaranya pita suara, otot-
otot ekspiratorius, dan otot polos bronkial (Mario, et.al., 2012).
Gambar II.4. Patofisologi Batuk [ CITATION Fra11 \l 1057 ].

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea,
bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus
dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di
lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat
kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara
dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak
masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat
kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada
membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke
dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan
memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan
mekanisme pembersihan yang potensial.

3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot
adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase
ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk
yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah
glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot
ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap
terbuka.
4. Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif
otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar
dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda
asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan
cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase
mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara
batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas
atau getaran pita suara. (Mario, et.al., 2012).
Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah
besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara
yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai
3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan
jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50%
dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar
volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi
nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat.
Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang
tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah (Mario, et.al., 2012).
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis
akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen
akan meningkat sampai 50 – 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri
khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain
karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan
bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi
paksa yang lain. Di sisi lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis
(Mario, et.al., 2012).
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase
ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta
udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus
udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 30–50 detik
setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap'
Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm
per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea
sampai 80% (Mario, et.al., 2012).

E. Penatalaksanaan
Terapi batuk dibedakan menjadi terapi definitif dan simtomatik.
Menjauhkan diri dari paparan agen seperti rokok dan ACE-I atau
mengontrol postnasal drip dan refluks gastroesofageal merupakan langkah
efektif pada batuk yang disebabkan faktor-faktor tersebut. Bentuk terapi lain
mencakup penggunaan antibiotik, bronkodilator, glukokortikoid, fisioterapi
dada, maupun terapi tumor dan penyakit interstisial [ CITATION Fra11 \l 1057 ].
Jenis-jenis obat batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan dahak
dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan dahak
umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan kausa
seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya, antibiotik akan
diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada penderita asma.
Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai variasi
jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak yang memerlukan
batuknya disupresikan pada waktu malam untuk mengelakkan dari gangguan
tidur. Pengobatan batuk secara umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan
jenis batuknya berdahak atau tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan
batuk yang berdahak dan tidak berdahak yang dibahaskan di sini adalah
mukolitik, ekspektoran dan antitusif [ CITATION Est08 \l 1033 ].

1. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan
sekret saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Agen mukolitik berfungsi
dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung
pada ikatan komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di
pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein[ CITATION Est08 \l
1033 ].
a. Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine
merupakan suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan
kepada penderita bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain.
Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus
untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien. Data mengenai
efektivitas klinis obat ini sangat terbatas dan memerlukan penelitian
yang lebih mendalam pada masa akan datang. Efek samping dari obat
ini jika diberikan secara oral adalah mual dan peninggian
transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan dengan hati-
hati pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa seperti yang
dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari [ CITATION Est08 \l 1033 ].
b. Ambroksol merupakan suatu metabolit bromheksin yang memiliki
mekanisme kerja yang sama dengan bromheksin. Ambroksol sedang
diteliti tentang kemungkinan manfaatnya pada keratokonjungtivitis
sika dan sebagai perangsang produksi surfaktan pada anak lahir
prematur dengan sindrom pernafasan[ CITATION Est08 \l 1033 ].
c. Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit
bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus,
penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan
kondisi lain yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor
penyulit. Ia diberikan secara semprotan (nebulization) atau obat tetes
hidung. Asetilsistein menurunkan viskositas sekret paru pada pasien
radang paru. Kerja utama dari asetilsistein adalah melalui pemecahan
ikatan disulfida. Reaksi ini menurunkan viskositasnya dan seterusnya
memudahkan penyingkiran sekret tersebut. Ia juga bisa menurunkan
viskositas sputum. Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan
mempunyai aktivitas yang paling besar pada batas basa kira-kira
dengan pH 7 hingga 9. Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1
menit, dan efek maksimal akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10
menit setelah diinhalasi. Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan
secara langsung pada trakea. Efek samping yang mungkin timbul
berupa spasme bronkus, terutama pada pasien asma. Selain itu,
terdapat juga timbul mual, muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan
terbentuknya sekret berlebihan sehingga perlu disedot (suction).
Maka, jika obat ini diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot
lendir nafas. Biasanya, larutan yang digunakan adalah asetilsistein
10% hingga 20% [ CITATION Est08 \l 1033 ].
2. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran
dahak dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini
didasarkan pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan
efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme
kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya
secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat
nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah
pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah ammonium
klorida dan gliseril guaiakoiat [ CITATION Est08 \l 1033 ].
a. Ammonium klorida jarang digunakan sebagai terapi obat tunggal yang
berperan sebagai ekspektoran tetapi lebih sering dalam bentuk
campuran dengan ekspektoran lain atau antitusif. Apabila digunakan
dengan dosis besar dapat menimbulkan asidosis metabolik, dan harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan insufisiensi hati,
ginjal, dan paru-paru. Dosisnya, sebagai ekspektoran untuk orang
dewasa ialah 300mg (5mL) tiap 2 hingga 4 jam. Obat ini hampir tidak
digunakan lagi untuk pengasaman urin pada keracunan sebab
berpotensi membebani fungsi ginjal dan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit [ CITATION Est08 \l 1033 ].
b. Gliseril guaiakolat digunakan berdasarkan pada tradisi dan kesan
subyektif pasien dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat
pada dosis yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul
dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia
dalam bentuk sirup 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 2
hingga 4 kali, 200-400 mg sehari [ CITATION Est08 \l 1033 ].
3. Antitusif
Antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk yang
menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan
menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang
merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein,
diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif. Antitusif yang
selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya termasuk morfin,
kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk
menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan pernafasan.
Juga terdapat penyalahgunaan. Antitusif adalah obat yang menekan refleks
batuk, digunakan pada gangguan saluran nafas yang tidak produktif dan
batuk akibat teriritasi. Secara umum berdasarkan tempat kerja obat
antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer dan antitusif yang
berkerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral dibagi atas golongan
narkotik dan non-narkotik [ CITATION Est08 \l 1033 ].
.
F.
III. KESIMPULAN

1. Batuk merupakan suatu hal yang penting sebagai mekanisme defensif untuk
mengeluarkan sekresi dan partikel asing dari saluran nafas
2. Klasifikasi batuk terdiri dari batuk akut, subakut, dan kronik
3. Batuk memiliki tiga fase dasar: (1) Fase iritasi (2). Fase inspirasi; (3) Usaha
untuk ekspirasi dengan menutup nya glotis; (4) Membukanya glotis dengan
ekspirasi cepat dan timbulah suara batuk
4.
DAFTAR PUSTAKA

Chung, K., & Ian, D. 2008. Prevalence, pathogenesis, and causes of chronic
cough. Lancet, 371:1364-74.
Estuningtyas, A., & Arif, A. 2008. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Francesco, D., Johann, C., Mario, P., Alessandro, Z., Panagiotis, K., Gunsely, K.,
Luigi, L. 2011. Cough management: a practical approach. Cough, 7(7):1-
12.
Mario, P., Francesca, P., Marco, F., Filippo, A., Antonio, A., & Francesco, D.
2012. Anatomy and neuro-patophysiology of the cough reflex arc.
Multidisciplinary Respiratory Medicine, 7(5): 1-5.

Anda mungkin juga menyukai