Pembimbing:
Penyusun:
Lettisia Amanda Ruslan 2011-061-157
Linda Anastasia 2011-061-158
Andika 2011-061-159
Kepaniteraan Klinik
Departemen Telinga, Hidung, Tenggorokan-Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran UNIKA Atmajaya
Periode 23 September 2013 – 26 Oktober 2013
Bab I
PENDAHULUAN
0
Bernafas dan tidur adalah dua proses yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Terhentinya pernafasan selama beberapa menit saja dapat
mengancam nyawa. Tidur merupakan periode istirahat bagi tubuh dan pikiran,
dimana selama periode tersebut kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian
atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Tidur juga
dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak
bergerak yang khas dan sensitivitas yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan
dari luar1. Sehingga jika proses ini terganggu maka akan mengganggu keseluruhan
aktivitas manusia itu sendiri. Karena itu penting untuk menjaga agar kedua proses
ini tetap harus berlangsung dengan baik.
Laporan pertama mengenai sleep apnea ditemukan pada tahun 1965, yang
dilakukan oleh seorang Jerman dan Perancis. Pada awal abad 20 William Osler
menyebut Obstructive Sleep Apnea sebagai Pickwickian syndrome yang diambil
dari novel Charles Dickens, yang menggambarkan seorang anak yang gendut pada
novel tersebut.
Pada laporan–laporan awal Obstructive Sleep Apnea dalam literatur
dijelaskan bahwa seseorang yang menderita sleep apnea sering menunjukkan
gejala –gejala seperti hypoxemia, hypercapnia, gagal jantung kongesti.
Trakeostomi merupakan terapi yang dianjurkan, bahkan dapat menyelamatkan
nyawa. Tetapi komplikasi setelah operasi ini sangat banyak dan dapat berakibat
fatal.
Pada tahun 1981 Collin Sulivan dari Sydney memperkenalkan metode
continous positive airway preassure (CPAP). Tipe pertama dari mesin ini sangat
besar dan berisik dan dengan kemudian dikembangkan pada tahun – tahun
selanjutnya. Ditemukannya mesin ini membuat terapi sleep apnea berkembang
dan semakin diterima oleh masyarakat luas. Topik obstructive sleep apnea ini
berkembang dengan sangat pesat sekitar 25 tahun terakhir ini dan menjadi sorotan
banyak ahli.
Menurut kamus kedokteran DORLAND Obstructive Sleep Apnea
didefinisikan sebagai apnea tidur yang terjadi karena kolaps jalan nafas dengan
penghambatan tonus otot yang terjadi selama tidur REM. Pada orang dewasa
gangguan ini terutama ditemukan pada orang – orang setengah baya gemuk,
1
predominan laki – laki; dan pada anak – anak sering ditemukan menyertai kondisi
– kondisi seperti hipertrofi adenotonsillar, sindroma down, atau obesitas morbid. 2
Seseorang dikatakan menderita Obstructive Sleep Apnea jika selama tidur malam
(nocturnal sleep):
Terjadi keadaan apnea/ hipopnea selama lebih dari 10 detik setiap kali
kejadian.
Terjadi lebih dari lima kali dalam 1 jam pada saat seseorang tidur.
Masih adanya usaha nafas.
Terjadinya apnea/hipopnea karena obstruksi saluran nafas atas.
Sleep Apnea Syndrome (SAS) adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat
terhentinya pernapasan selama tidur. Ini dapat menimbulkan hipoksemia dan
vasokonstriksi arteriol paru, yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi
arterial paru2. Sleep apnea syndrome (SAS) adalah suatu gangguan tidur yang
sangat umum. Sleep apnea syndrome memiliki 2 tipe primer, yaitu:
1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Apnea tidur yang terjadi karena kolaps jalan nafas dengan penghambatan
tonus otot yang terjadi selama tidur REM. Pada orang dewasa, gangguan
ini terutama ditemukan pada orang–orang setengah baya yang gemuk
dengan predominansi laki–laki. Pada anak–anak sering ditemukan
menyertai kondisi – kondisi seperti hipertrofi adenotonsillar, sindroma
down, atau obesitas morbid. Sekitar 10% penduduk pada usia diatas 65
tahun menderita OSA. 3
2. Central Sleep Apnea (CSA)
Apnea tidur yang disebabkan oleh kegagalan perangsangan oleh pusat
pernafasan di medulla; baik jenis yang herediter maupun yang menyertai
gangguan batang otak sehingga usaha napas dengan melibatkan otot-otot
pernafasan tambahan tidak dapat terjadi.3
Kedua tipe ini dapat dibedakan lebih jelas dengan melihat polisomnogram dari
kedua tipe.
Polisomnogram pada Obstructive Sleep Apnea dan Central Sleep Apnea
Bab II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi
Faring sendiri dibagi menjadi 3 area yaitu nasofaring, orofaring dan
hipofaring (laringofaring). Di belakang mukosa dinding belakang faring terdapat
dasar tulang sphenoid dan dasar tulang oksiput di sebelah atas, kemudian bagian
depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid
terletak pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba eustachius
kartilaginosa terdapat di depan lekukan yang disebut fossa Rosenmüller. Kedua
struktur ini berada di atas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot
tensor veli palatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka
tuba eustachius, masuk ke faring melalui ruangan ini. otot ini membentuk tendon
yang melekat di sekitar hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot
tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.5
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila
faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di
depan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan di
belakang arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Otot-otot ini
membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh
pleksus faringeus.4
Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa
yang berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa dari endodermal
muara arkus brankial kedua; dimana fistula brankial atau sinus internal bermuara.4
Hipofaring terbua ke arah depan masuk melalui introitus laring. Epiglotis
dilekatkan pada dasar lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis
tengah. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua valekula di setiap sisi. Di bawah
valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Di bawah muara muara glotis
bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina krikoid, dan terdapat muara esofagus.4
Pembagian daerah faring
Nasofaring
Otot-otot faring terdiri dari otot konstriktor superior, media dan inferior.
Serta otot salfingofaringeus,otot stilofaringeus dan otot faringopalatinus. 5
Otot-otot faring
Gejala klinik Obstructive sleep apnea (OSA) pada orang dewasa meliputi:
Gejala mengantuk yang tidak bisa dijelaskan pada siang hari pada saat
orang tersebut berakitivitas.
Tidur yang tidak tenang.
Sakit kepala pada pagi hari
Insomnia
Sulit berkonsentrasi
Perubahan mood: menjadi mudah marah, cemas, dan depresi
Kenaikan tekanan darah
Kenaikan berat badan yang tidak bisa dijelaskan.
Terjadi refluk gastroeosophageal.
Pengeluaran keringat yang banyak pada malam hari.
Sering merasa tercekik pada saat tidur.
2.3. Etiopatofisiologi
Faring manusia dapat diandaikan sebagai tabung yang mudah kolaps.
Secara unik rentan terhadap kolaps karena adanya tulang hyoid yang melayang,
jalan nafas yang lebih panjang, dan kurangnya rute langsung aliran udara inspirasi
jika dibandingkan dengan mamalia lain. Selain itu juga dipengaruhi oleh adanya
jaringan lunak dan struktur tulang yang mengelilingi jalan nafas atas yang dapat
meningkatkan tekanan jaringan ekstraluminal, serta adanya otot-otot dilator faring
yang secara kontras mempertahankan patensi faring melalui jalur refleks dari SSP
dan dari dalam faring sendiri. Faktor-faktor yang berlawanan ini memberi
kesimpulan bahwa peningkatan resiko kolapsnya faring disebabkan karena adanya
gangguan beban mekanis secara anatomis dan/atau respons neuromuskular
dinamis dari obstruksi jalan nafas atas selama tidur.8
Tiga area obstruksi yang paling sering adalah hidung, palatum, dan
hipofaring. Fujita menjabarkan pola kolaps ada tiga, yaitu retropalatal (tipe I),
retropalatal dan retrolingual (tipe II), dan retrolingual (tipe III). Obstruksi
retrolingual meliputi kolaps dasar lidah dan dinding lateral faring. Pada orang
obese lebih sering terjadi obstruksi hipofaring.6
OSA terjadi ketika otot relaksasi pada waktu tidur sehingga menyebabkan
jaringan lunak bagian belakang tenggorokan kolaps dan menyumbat jalan napas
atas, terutama pada orang yang mempunyai jalan napas yang sempit. Hal ini dapat
menyebabkan reduksi pernapasan parsial (hipopnea) atau henti total (apnea)
setidaknya selama 10 detik selama tidur. Kebanyakan henti napas terjadi antara 10
sampai 30 detik, tetapi beberapa di antaranya dapat menetap hingga lebih dari1
menit. Hal ini dapat menyebabkan penurunan mendadak dari saturasi oksigen
dalam darah, dengan penurunan level oksigen hingga 40 persen atau lebih pada
kasus-kasus berat. Oleh karena itu, hal ini dapat mengakibatkan stres pada
jantung, otak, maupun organ lain pada tubuh, sehingga dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, dan bahkan kematian mendadak
saat tidur.9
Otak akan merespon kurangnya oksigen dengan membuat tubuh menjadi
waspada, menyebabkan bangun sesaat dari tidur yang akan mengembalikan
pernafasan menjadi normal. Pola ini dapat terjadi ratusan kali dalam satu malam.
Hal ini akan mengakibatkan kualitas tidur yang terpecah yang sering
mengakibatkan rasa kantuk pada siang hari yang berlebih. Kebanyakan orang
dengan OSA sering mengorok dengan keras, dengan periode sunyi saat aliran
udara menurun atau terhenti. Selanjutnya mereka dapat mengalami rasa tercekik,
mendengus, atau megap ketika jalan nafas terbuka kembali.9
Saat pasien OSA bangun di pagi hari, aktivitas otot genioglossal dan
tensor palatini lebih tinggi dibandingkan orang normal. Diduga karena adanya
mekanisme kompensasi neuromuskular akibat adanya defek anatomis. Hal ini
dapat dilihat bahwa dengan pemberian CPAP, aktivitas otot-otot dilator faring
dapat diturunkan pada pasien OSA, sedangkan pada orang normal yang
mempunyai aktivitas otot genioglossal dan tensor palatini yang lebih rendah tidak
dapat diturunkan lebih jauh. Tetapi pada saat tidur, aktivitas otot-otot dilator
faring ini pada pasien OSA menurun. Hal ini diakibatkan karena hilangnya
mekanisme kompensasi neuromuskular pada saat sadar (“stimulus
wakefullness”)8,10
16
Mengendarai mobil
Menjadi penumpang mobil 1 jam tanpa henti
Bersantai sesudah makan tanpa alkohol
Berbaring untuk beristirahat
Skor total
Skala Epsworth < 8= normal
17
b. edema perifer
Total
Skor total:
Sepertiga tertinggi: > 13,8 Sepertiga tengah: 6,5 – 13,8
Sepertiga terendah: ≤ 6,5
Prosedur
1.
± 1 minggu sebelum pemeriksaan, beberapa persiapan harus dilakukan
pasien:
o Mempertahankan siklus bangun-tidur regular
o Menghindari konsumsi pil tidur
o Menghindari konsumsi alkohol
o Menghindari konsumsi stimulant
o Menghindari latihan dan aktivitas yang menguras tenaga
2.
Pasien datang ke tempat pemeriksaan pada sore hari.
3.
1-2 jam pertama dilakukan introduksi dan pemasangan elektroda.
4.
Perekaman data mulai dilakukan saat pertama lampu dimatikan.
5.
Hasil perekaman dijadikan data yang akan diolah oleh sebuah sistem
operasi komputer, dan akan ditampilkan secara tertulis dalam sebuah
kertas dengan format khusus yang memuat hasil bacaan seluruh peralatan
detik per detik, yang disebut polisomnogram. Untuk mempermudah
pembacaan dan interpretasi, dalam hasil bacaan kertas dibuat batas tiap 30
detik yang disebut epoch.
6.
Studi dilakukan selama seluruh waktu tidur malam hingga keesokan pagi
dan pasien dapat dipulangkan setelah jam 7 pagi. 11
Hasil
Sleep onset latency
Awal mula tidur dihitung dari waktu pertama lampu dimatikan. Awal mula
tidur ditentukan dengan kriteria EEG. 11
Normal: ≤ 20 menit.
Sleep efficiency (efisiensi tidur)
Rasio waktu tidur (dalam menit) dibandingkan dengan waktu yang
dihabiskan di tempat tidur (dalam menit). 11
Normal: ≤ 85-90%.
Sleep stages (stadium tidur)
Stadium tidur ditentukan dari hasil EKG, EOG dan EMG. Berdasarkan
hasil tersebut, tidur dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase bangun, non-REM
dan REM. Fase non-REM dibagi lagi menjadi stadium 1 sampai 4.
Penilaian tiap fase dan stadium ini memperhitungkan berbagai hal, mulai
dari gelombang khas EEG, gerakan mata dalam EOG dan tonus otot dari
EMG.11
Gelombang-gelombang khas EEG:12
Gelombang α θ (terbanyak) δ
Frekuensi 8-13 cps 3-7 cps 0.5-2 cps
Area dominan oksipital sentral verteks frontal
crescendo-
Amplitudo tanpa amplitudo > 75 mN
decrescendo
Stadium-stadium tidur: 12
EEG EOG EMG
Bangun α (> 50% epoch) Slow-rolling eye Relatively high muscle
movements or eye tone
blinks
Stad. 1 α (< 50% epoch) Slow-rolling eye Relatively high
θ (> 50% epoch) movements submental tone
Stad. 2 θ (hampir seluruhnya) - High tonic submental
tone
Stad. 3 δ (20- 50% epoch) - Submental muscle tone
may be slightly reduced
Stad. 4 δ (> 50% epoch) - Submental activity
slightly reduced
REM Gambaran gerigi Rapid eye movements Low tonic submental
(saw-tooth waves) tone
Gangguan Kriteria
Reduksi aliran udara pernafasan (airflow) ≥ 50%
Hypopnea Penurunan SaO2 ≥ 3%
Peningkatan usaha napas
Obstructive Tidak ada airflow ≥ 10 detik
Penurunan SaO2 ≥ 3%
apnea Peningkatan usaha napas
Tidak ada airflow nasal maupun oral ≥ 10 detik
Central apnea Penurunan SaO2 ≥ 3%
Tidak ada (complete absence) usaha napas
Tidak ada airflow nasal maupun oral ≥ 10 detik
Penurunan SaO2 ≥ 3%
Mixed apnea Tidak ada usaha napas pada awal gangguan, diikuti
peningkatan gradual usaha napas, yang pada akhirnya
mengakhiri apnea dan menyebabkan arousal.
2.5. Tatalaksana
Setelah melewati berbagai tahap pemeriksaan dan seorang pasien
dinyatakan menderita OSA, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
tindak lanjut terhadap keadaan pasien. Pada pasien OSA, obstruksi berulang dapat
menimbulkan dua sekuele utama, yaitu abnormalitas neurobehavioral dan
gangguan kardiopulmonal.6 Kedua sekuele ini menimbulkan kebutuhan akan
tatalaksana serius, baik dari sudut pandang subyektif personal pasien, maupun
sudut pandang obyektif medis.
Obstruksi pernapasan yang berulang saat tidur dapat menyebabkan
penurunan kandungan oksigen dalam darah hingga di bawah normal secara
dramatis, dengan efek resultan pada jantung dan otak.13 Pada pasien dengan index
hipopneu-apneu (AHI) lebih besar dari 5, terjadi peningkatan resiko terjadinya
cedera cerebrovaskular. Selain itu, pada pasien dengan index apneu (AI) lebih dari
20, terdapat peningkatan angka kejadian mortalitas, dan pada pasien OSA dengan
penurunan saturasi oksigen hingga di bawah 90% terjadi peningkatan frekuensi
aritmia jantung. 6
Sebagai respon terhadap obstruksi pernapasan saat tidur, tubuh
mengompensasi dengan melakukan reduksi kedalaman tidur sehingga terjadi
peningkatan tonus otot dan mengurangi hambatan bernapas.Akibatnya, kualitas
tidur menurun dan demikian juga dengan kualitas hidup.Deprivasi kualitas tidur
yang kronik dapat mengakibatkan rasa ngantuk yang berat di siang hari, rasa lelah
berlebihan, gangguan berpikir, daya ingat, dan komunikasi. Dapat juga timbul
iritabilitas, gangguan mood, gangguan depresi, dan peningkatan resiko terjadi
kecelakaan lalu lintas secara statistik. 13
Secara garis besar, tatalaksana pada pasien dengan OSA dapat dibagi
menjadi tatalaksana operatif yang secara langsung bertujuan menterapi penyebab
utama OSA, dan tatalaksana non-operatif yang lebih banyak berperan dalam
modifikasi faktor-faktor predisposisi. Agar dapat dilakukan terapi yang sesuai
dengan kondisi dan harapan pasien, petugas medis perlu memberikan informasi
lengkap pada pasien mengenai jenis-jenis prosedur terapi yang tersedia, tingkat
keberhasilannya masing-masing, resiko dan komplikasi yang dapat terjadi, serta
hasil akhir yang diharapkan dari jenis terapi tersebut.
2.5.1. Tatalaksana Non Operatif
Sesuai dengan namanya, metode tatalaksana ini merupakan upaya-upaya
medis tanpa melibatkan prosedur di kamar operasi. Berbagai metode yang telah
diteliti dan dikembangkan di antaranya adalah :
a. Nasal CPAP (Continuous Positive Airway pressure)
Metode ini adalah yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan pada
pasien OSA yang tidak membutuhkan tindak operatif. Nasal CPAP bekerja
dengan mengaplikasikan udara bertekanan positif pada saluran napas
bagian atas, dan bertindak secara efektif menyerupai pompa pneumatik
yang akan mempertahankan patensi saluran napas. Secara fisiologis, nasal
CPAP meningkatkan tekanan intraluminal untuk mempertahankan tekanan
udara berada di atas tekanan kolaps jalan napas, baik selama inspirasi
maupun ekspirasi. Alat ini juga dinyatakan dapat meningkatkan volume
paru, sehingga akan memperbaiki oksigenasi. 14
Tekanan nasal CPAP yang efektif dalam terapi terhadap OSA bervariasi,
tergantung pada posisi tidur, berat badan, stadium tidur, patensi nasal, dan
adanya penggunaan obat-obat sedatif.Tekanan CPAP harus dititrasi secara
individual dan mungkin membutuhkan periode penyesuaian.Penentuan
tekanan yang tidak tepat dapat menyebabkan under-treatment apneu
sehingga pasien mengalami penurunan kedalaman tidur dan bergerak saat
tidur, sehingga memungkinkan alat terlepas.Sebaliknya pada tekanan yang
terlalu tinggi, pasien dapat terbangun secara spontan, mengalami apneu
sentral, dan intoleransi.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan nasal CPAP dalam
mengatasi OSA adalah tergantung pada: 1) Tekanan mesin yang tepat, 2)
Pemakaian masker yang ketat tapi tetap nyaman, 3) Toleransi pasien, dan
4) Kerjasama pasien. Permasalahan yang sering timbul pada penggunaan
nasal CPAP biasanya berhubungan dengan rhinitis, rasa tidak nyaman
pada pemakaian masker, klaustrofobia, disfungsi tuba eustachius, dan
suara bising. 14
Perangkat mandibula
Prosedur Nasal
Rasionalisasi dari prosedur operatif nasal adalah untuk memperbaiki
patensi rongga hidung, sebagai usaha untuk mengembalikan pernapasan fisiologis;
untuk memfasilitasi CPAP; dan meminimalisasi pernapasan melalui mulut selama
tidur.1 Deviasi septum nasi, hipertrofi konkha, serta kolaps katup nasal dan alae
nasi, dikoreksi dengan septoplasty, reduksi konkha, implan kartilago katup nasal.
Hipertrofi adenoid diterapi dengan adenoidektomi.
Prosedur Palatal
Operasi jaringan lunak meliputi obstruksi pada area palatum mole atau
velofaring. Berbagai variasi prosedur baru telah muncul dalam usaha mengatasi
obstruksi pada tingkat ini, setelah diperkenalkankannya Uvulopalatofaringoplasty
(UPPP) oleh Fujita pada tahun 1981. 6
Prosedur UPPP bertujuan memperpendek dan menegangkan palatum
durum dengan cara mengangkat uvula secara parsial dan mereduksi tepi palatum
durum.Kini metode UPPP telah mengalami berbagai modifikasi, dimana anestesi
hanya secara lokal, tonsil tidak dieksisi, dan penutupan jaringan lunak tetap
berada pada aspek superior pilar tonsil.Teknik ini terutama dipakai pada
tatalaksana pasien mendengkur.
Metode operatif uvulopalatopharyngoplasty
1. Drazen JM: Sleep Apneu Syndrome, New england journal medicine 6:346,
2009.
2. Hartanto H, et al: Kamus Kedokteran Dorland, ed 29, Jakarta, 2000, EGC.
3. Anonim: Sleep-Related Breathing Disorders in Adults: Recommendations for
Syndrome Definition and Measurement Techniques in Clinical Research. The
Report of an American Academy of Sleep Medicine Task Force, SLEEP 5:22,
2009.
4. Boies, et al: Buku Ajar Penyakit THT, ed 6, Jakarta, 1997, EGC.
5. Gray, et al: The Anatomical Basis of Clinical Practice. Gray's Anatomy, ed
40, London, 2007, Churchill Livingstone.
6. Cummings CW, et al: Cummings Otolarygology – Head and Neck Surgery,
Philadelphia, 2005, Elsevier Mosby.
7. Anonim: Obstructive Sleep Apnea. Diambil dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Obstructive_sleep_apnea
8. Patil SP, et al: Adult Obstructive Sleep Apnea, Chest Journal of the American
College of Chest Physician, 132: 325-337, 2007. Diambil dari:
http://chestjournal.chestpubs.org/content/132/1/325.full.html
9. Anonim: Obstructive Sleep Apnea. America Academy of Sleep Medicine,
Westchester, 2008, One Westbrook Corporate Center. Diambil dari:
www.aasmnet.org
10. Pack AI: Sleep Apnea: Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment, New York,
2002, Marcel Dekker Inc.
11. Anonim: Polysomnography. Diambil dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Polysomnography
12. Armon C, Roy A, Nowack WJ: Polysomnography: Overview and Clinical
Application, eMedicine, 2007.
13. Anonim: Why OSA Should be Treated?. Diambil dari:
http://www.osasurgery.com/whytreat.htm
14. Anonim: Sleep Medicine: Treatments of Obstructive Sleep Apnea (OSA),
Medical College of Wisconsin, 2009. Diambil dari:
http://www.mcw.edu/sleepmed/ObstructiveSleepApneaOSA/TreatmentsofOS
A.htm
15. Anonim: Obstructive Sleep Apnea (OSA) Treatment, Sleep Channel, 2009.
Diambil dari: http://www.sleepdisorderchannel.com/osa/treatment.shtml
16. Anonim: Treatments Options for Adults with Obstructive Sleep Apnea,
American Sleep Apnea Association, 2008. Diambil dari:
http://www.sleepapnea.org/resources/pubs/treatment.html