Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Oleh:
Novitasari, S.Ked (K1A1 13 041)
Wa Ode Hediyati Maharani, S.Ked (K1A1 15 121)

Pembimbing :
dr. Nancy Sendra, M. Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama / NIM : Novitasari, S.Ked / K1A1 13 041

Wa Ode Hediyati Maharani, S.Ked/K1A1 15 121


Judul Referat : Obstructive Sleep Apnea

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Nancy Sendra, M. Kes., Sp.THT-KL

1
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA
Novitasari, Wa Ode Hediyati Maharani, Nancy Sendra

A. PENDAHULUAN
Tidur dan bernafas merupakan bagian proses fisiologis yang mendasar
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bila proses bernafas berhenti
sementara dalam beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti. Tidur
merupakan bagian lain dari proses fisiologis tersebut, bila terjadi gangguan
pada proses tidur akan berakibat gangguan pada kualitas hidup.1
Salah satu dari bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan
adalah sleep apnea (henti nafas saat tidur) dan gejala yang paling sering
timbul yaitu mrndengkur.Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal
pada frekuensi nafas yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas
atas pada keadaan tidur yang dapat berupa henti nafas (apnea) atau
menurunya ventilasi (hypopnea).Sleep apnea ditandai oleh terhentinya aliran
udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan lamanya lebih dari lebih dari
10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60 kali per jam, dan disertai
dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%. Ada tiga tipe
apnea/hypopnea yaitu tipe obstruktif (Obstructive Sleep Apnea / OSA) ialah
penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada, tipe sentral (Central
Sleep Apnea / CSA) ialah penghentian aliran udara dan usaha napas secara
bersamaan, dan tipe campuran (Mixed Sleep Apnea / MSA) yang merupakan
campuran dari keduanya.1,2
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah gangguan bernafas yang dialami
pada saat tidur dengan penyebab yang masih tidak jelas.Pada saat penderita
OSA tertidur, otot-otot daerah ini mengalami relaksasi ke tingkat dimana
saluran nafas ini menjadi kolaps dan terjadi obstruksi. Ketika saluran nafas
tertutup, penderita berhenti bernafas, dan penderita akan berusaha terbangun
dari tidurnya supaya saluran nafas dapat kembali terbuka. Proses terbangun
dari tidur ini biasanya hanya berlangsung beberapa detik, tetapi dapat
menganggu irama tidur yang berkesinambungan. Tidak dapatnya seseorang
masuk ke tingkat tidur yang dalam dapat menyebabkan penurunan kualitas

2
hidup seseorang, seperti mengantuk sepanjang hari, penurunan daya ingat,
erectile dysfunction (impotensi), depresi, dan perubahan
kepribadian.Walaupun ilmu kedokteran untuk gangguan tidur berkembang
pesat dan kesadaran meningkat akan dampak tidur terhadap kesehatan, OSA
masih sering under-diagnosed dan apabila dibiarkan, OSA dapat
menyebabkan berbagai komplikasi kardiovaskuler, metabolik, neuroendokrin,
dan inflamasi. Obesitas, OSA, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler
merupakan penyakit yang umum dijumpai pada populasi, dengan beban
ekonomi dan sosial yang tinggi.3,4
Penelitian menunjukkan OSA merupakan faktor risiko utama yang
merugikan pada masa perioperative. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi
pasien dengan OSA sebagai langkah pertama mencegah komplikasi post
operatif yang berkaitan dengan OSA. Ada beberapa metode untuk
mendiagnosis OSA, antara lain Overnight polysomnography (PSG) yang
menjadi standar paling baik.Akan tetapi metode diagnosis ini membutuhkan
biaya mahal dan waktu pemeriksaan lama. Oleh karena itu, untuk efektifitas
dikembangkan metode lain untuk mengukur risiko terjadinya OSA, antara
lain Epworth Sleepiness Scale dan kuesioner Berlin. Dari hasil penelitian di
India yang menguji validitas kuesioner Berlin untuk mengidentifikasi pasien
yang berisiko terkena OSA, kuesioner ini dinilai lebih mudah digunakan dan
lebih akurat, karena dengan kuesioner ini dapat dibedakan orang-orang yang
berisiko tinggi dan berisiko rendah terkena OSA, dan juga internal reliability-
nya baik karena jawaban dari tiap kuesioner dinilai per kategori.3

B. DEFINISI
Obstructive Sleep Apnea adalah keadaan apnea (penghentian aliran
udara selama 10 detik sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi
oksigen) dan hypopnea (penurunan aliran udara >30% untuk minimal 10
detik dengan desaturasi oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran
udara >50% untuk 10 detik dengan desaturasi oksihemoglobin >3% sehingga
menyebabkan penurunan saturasi oksigen) ada sumbatan total atau sebagian
jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM

3
atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.
Sumbatan ini menyebabkan pasien menjadi terbangun saat tidur atau terjadi
peralihan ke tahap tidur yang lebih awal. Kejadian apnea terjadi selama 10-60
detik dan OSA yang ekstrim dapat terjadi berulang setiap 30 detik.5

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah.Kantong ini
mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, seddngkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus
laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.Dinding faring
dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring
meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.6
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya.Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.Di
bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring; karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.Di
sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
pertahanan tubuh terdepan.6
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap
melalui hidung.Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang
terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke

4
belakang.Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran
yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim
Lyzozvme yang penting untuk proteksi.6

Gambar 1. Anatomi Pharynx


a. Otot-Otot Faring
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memqnjang (longitudinal).Otot-otot yang sirkul'ar terdiri dari
m.konstriktor faring superior, media dan inferior.Otot-otot ini terletak
di sebelah luar.Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di
sebelah depan. otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang
bertemu pada jaringan ikat yang disebut "rafe faring" (raphe
pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X).6
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan
m.palatofaring.Letak otot-otot ini di sebelah dalam.M.stilofaring
gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan
m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan
bagian bawah faring dan laring.Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator.Kerja kedua otot itu penting p'ada waktu

5
menelan.M.stilofaring dipersarafi oleh n.lX sedangkan m.palatofaring
dipersarafi oleh n.X.6
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu
dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini,
m.tensor veli palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring dan m.azigos
uvula.6
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole
dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar
ostium tuba Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n X.6
M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan
kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X.6
M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya
menyempitkan ismus faring.Otot ini dipersarafi oleh n.X. M
palatofaring membentuk arkus posterior faring Otot ini dipersarafi
oleh n.X M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya
memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.6

Gambar 2.Otot-otot pharynx

6
b. Vaskularisasi
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna
(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a.maksila interna yakni cabang palatina superior.6
c. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif.Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari
n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis.Cabang faring
dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif
ini keluar cabang-cabang untuk otototot faring kecuali m.stilofaring
yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.lX).6

Gambar 3.Persarafan faring


d. Struktur dalam faring
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :6
(1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang
relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral fanng dengan resesus faring yang disebut fosa

7
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus lubarius, suatu refleksi
mukosa faring di alas penonjolan kartlago fuba Euslachius, koana,
foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus dan
n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian
petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
(2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, balas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan
adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
(3) Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta
batas posterior ialah vertebra servikal.Bila laringofaring diperiksa
dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan ladng tidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligarnentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut luga
'kantong gil' (pill pockets), sebab pada beberapa orang,
kadangkadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah
valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan

8
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara.Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus.Nervus laring superior berjalan
di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringo faring.Hal
ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

Gambar 4.Nasofraing, Orofaring, Hipofaring


e. Fisiologi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, gada waklu
menelan, resonansi suara dan untuk arlikulasi.6
(1) Fungsi Menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase
faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut
menuju ke faring.Gerakan disini disengala (voluntary).Fase
faringal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring.Gerakan disini tidak sengaja (involuntary).Fase esofagal.
Di sini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus

9
makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung
Proses menelan selanjutnya dibicarakan dalam bab esofagus.
(2) Fungsi dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-
otot palatum dan faring Gerakan ini antara lain berupa pendekatan
palatum mole ke arah dinding belakang faring Gerakan penutupan
ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.levator veli
palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik
palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold o8
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2
macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m salpingofaring) dan oleh
kontraksi aktif m konstriktor faring superior. Mungkin kedua
gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan Ada yang
berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini
timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum.
2. Laring

Gambar 5.Anatomi Laring7

10
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian
atas.Bentukya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas
lebih besar daripada bagian bawah. Bagian atas laring adalah aditus
laring, sedangkan bagian bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid.6
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang
hyoid, dan beberapa buah tulang rawan.Tulang hyoid berbentuk seperti
huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,
dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi otot-
otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring
diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu
menggerakkan lidah.6
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago arytenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis, dan kartilago tritisea.6
Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh
ligamentum krikoid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran.6
Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago arytenoid yang terletak dekat
permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid.6
Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada
kartilago arytenoid di daerah apeks, sedangkan sepasang kartilago
kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan kartilago tritisea
terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.6
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikoid dan
artikulasi krikoaritenid. Ligamentum yang membentuk susunan laring
adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior),
ligamentum krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior,
ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum
hiotirioid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis,
ligamentum vokale yang menghubungaknan kartilago arytenoid dengan
kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.6

11
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik
dan otot-otot instrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring
seecara keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan
bagian-bagian laring tertentu yang berhubungan degan gerakan pita suara.6
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hyoid
(suprahioid), dab ada yang terletak di bawah tulang hyoid (infrahioid).
Otot-otot ekstrinsik yang di suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid,
m.stilohioid, dan m.milohioid.otot-otot infrahioid ialah m.sternohioid,
m.omohioid, dan m.tirodioid.Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik
laring ke atas.6
Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika, dan
m.krikotiroid.Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot
intrinsik laring yang terletak di bagian posterior ialah m.aritenoid
transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior.6
Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya
akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid
posterior yang merupakan otot abductor (kontraksinya akan menjauhkan
kedua pita suara).6

Gambar 6. Kartilago dan membrane dari laring8


a. Rongga Laring
Batas atas rongga laring (cavum larynges) ialah aditus laring, batas
bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago

12
krikoid.Batas depannya ialah permukaan belakang epiglottis,
tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua
belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas
lateralnya ialah membrane kuadrangularis, kartilago arytenoid, konus
elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya
ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.6
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara
asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika
vokalis kiri dan kanan disebut rima glottis, sedangkan antara kedua
plika ventrikularis disebut ruma vestibule.6
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam
3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik, dan subglotik.Vestibulum
laring ialah rongga laring yang terdapat yang terdapat diatas plika
ventrikularis.Daerah ini disebut supraglotik. Antara plika vokalis dan
plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring
morgagni.6
Rima glottis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan
bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua
plika vokalis, dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian
interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago arytenoid, dan
terletak di bagian posterior. Daerah subglotik adalah ringga laring
yang terlerak di bawah plika vokalis.6
b. Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu
n.laringis superior dan n.laringis inferior.Kedua saraf ini merupakan
campuran saraf motorik dan sensorik.Nervus laringis superior
memperarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada
mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas
m. konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna dan
eksterna, kemudian menuju kornu mayor tulang hyoid dan setelah
menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membangi

13
diri dalam 2 cabang yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus
eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior
dan menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh
m.tirohioid terletak di sebelah medial a.tiroid superior, menembus
membrane hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.laringis superior
menuju ke mukosa laring.6

Gambar 7.Persarafan Laring


c. Vaskularisasi
Vaskularisasi laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringis superior
dan a.laringis inferior.Arteri laringis superior merupakan cabang dari
a.tiroid superior. A. laringis superior berjalan agak mendatar melewati
bagian belakang membrane tiroid bersama-sama dengan cabang
internus dari n.laringis superior kemudian menembus membrane ini
untuk berjalan ke bawah di submukosa dari dinding lateral dan dasar
dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot
laring.6
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a.tiroid inferior dan
bersama-sama dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi
krikotiroid, masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari
m.konstriktor faring inferior. Di dalam laring arteri itu bercabang-
cabang, memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan
a.laringis superior.6

14
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar
dengan arteri laringis superior dan inferior. Kemudian bergabung
dengan vena tiroid superior dan inferior.6

Gambar 8.Vaskularisasi arteri pada laring9

Gambar 9.Vaskularisasi vena pada laring9

d. Fisiologi Laring

15
Laring berfunsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan,
emosi serta fonasi.Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah
makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan
menutup aditus laring dan rima glottis secara bersamaan.Terjadinya
penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas
akibat kotraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya
m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.6
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya
rima glottis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan
menyebabkan prosesus vokalis kartilago arytenoid bergerak ke lateral,
sehingga rima glottis terbuka (abduksi).6
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus
trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari
alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan
demikian laring berfungsi juga sebagai pengatur alat pengaturan
sirkulasi darah.6
Fungi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3
mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup
aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan
tidak mungkin masuk ke dalam laring. Laring juga berfungsi untuk
mengekspresikan emosi, seperti berteriak, menangis, dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara
serta menentukan tinggi rendahnya nada.6

D. EPIDEMIOLOGI
Obstructive Sleep Apneaumumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya
antara umur 40-50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak-anak dan
remaja.Berdasarkan penelitian dilaporkan 24% pria dan 9% wanita dewasa
mempunyai angka kejadian atau apnea-hipopnea index (AHI) lebih dari
5x/jam. Dilaporkan bahwa 4% pria, 2% wanita dan 1-3% pada anak
mempunyai gejala OSA, termasuk adanya gejala daytime
hipersomnolenceyang diakibatkan oleh kejadian apnea-hipopnea. Walaupun

16
kejadian OSA sudah menjadi pusat perhatian namun diperkirakan sekitar 80%
sampai 90% dari orang dewasa dengan OSA masih belum terdiagnosis.10

E. ETIOLOGI
Etiologi terjadinya OSA adalah keadan kompleks yang saling
memperngaruhi berupa neural, hormonal, muscular, dan struktur anatomi,
contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan
sebagai risiko utama terjadinya OSA. Angka prevalensi OSA pada orang
yang sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada
perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala OSA.11
Penyebab OSA dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor struktural dan
non-struktural di mana kedua bagian tersebut termasuk dalam faktor genetik.
Kelainan struktural OSA dalam bentuk kelainan kepala atau tulang pipi dan
penyempitan hidung akan berdampak pada penyempitan saluran pernapasan
bagian atas. Selagi etiologi nonstruktural dipengaruhi oleh perubahan dalam
refleks neurologis yang mengontrol jalan napas otot pernapasan, distribusi
jaringan lemak di dalam leher, obesitas, kerusakan akibat kebiasaan merokok,
dan alkoholisme.12

F. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan OSA seperti jenis
kelamin, usia, genetika, kelebihan berat badan atau obesitas, leher besar,
merokok, konsumsi alkohol, sumbatan hidung, kelainan kraniofasial. Namun,
faktor risiko utama adalah obesitas.Individu dengan kenaikan 10% berat
badan berhubungan dengan peningkatan risiko enam kali lipat OSA sedang
hingga berat.Sekitar dua pertiga pasien OSA memiliki berat badan 20% di
atas berat normal. Obesitas meningkatkan perkembangan rata-rata OSA dan
penurunan berat badan akan menurunkan perkembangan selanjutnya.13
Penekanan obesitas pada OSA bukan terletak pada penumpukan
jaringan lemak pada anterolateral saluran napas yang menyebabkan lumen
saluran napas menyempit.Studi menunjukkan lingkar leher merupakan
prediktor kuat OSA terutama pada laki-laki. Ambang batas lingkar leher yang
terkait dengan OSA adalah > 39 cm pada laki-laki dan > 35,5 cm pada

17
perempuan. Peppard dkk dalam penelitian Wisconsin Sleep Cohort Study
menunjukkan bahwa bila berat badan bertambah 10% pada pasien OSA
ringan (IAH 5-15) akan meningkatkan risiko OSA menjadi sedang berat
sebanyak enam kali lipat. Sementara itu, perubahan berat badan 1% saja bisa
mengubah 3% IAH.IMT menjadi faktor risiko OSA pada pasien laki-laki
dengan gagal jantung.Artz dkk melaporkan hasil yang berbeda yaitu tidak
terdapat korelasi yang kuat antara IAH dan IMT pada pasien gagal jantung
dengan OSA. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor risiko lain dalam
patofisiologi OSA, yaitu pergerakan cairan pada malam hari.14
Risiko OSA juga dapat dipicu dengan kebiasaan merokok dan minum
alkohol. Rokok mempengaruhi OSA melalui mekanisme gangguan tidur yang
tidak stabil karena kadar nikotin yang turun pada malam hari. Asap rokok
memicu inflamasi dan kerusakan mekanik dan saraf pada saluran napas atas,
serta meningkatkan risiko kolaps otot-otot faring selama tidur. Kebiasaan
minum alkohol terbukti pula memicu peningkatan resistensi nasal dan faring
secara akut. Konsumsi alkohol menjelang waktu tidur akan mempengaruhi
timbulnya hipopnea dan apnea saat tidur. Faktor lain yang mungkin berperan
dalam OSA adalah ras dan genetik. Analisis regresi pada penelitian Buxbaum
dkk menunjukkan bahwa 35% dari variasi gejala klinis OSA berkaitan
dengan faktor genetik. Mulai terkuaknya pengaruh genetik pada OSA tentu
memberi kabar baik dan perlu dikaji lebih lanjut agar dapat dilakukan
pencegahan lebih dini.14
Tabel 1. Faktor Risiko OSA15

Faktor-faktor risiko yang berperan pada OSA


Umum - Obesitas (IMT > 30 kg/m2)
- Gender (pria > wanita)
- Riwayat OSA pada keluarga
- Pasca menopause
Genetik atau kongenital - Sindrom Down
- Sindrom Pierre-Robin
- Sindrom Marfan
Abnormalitas hidung / - Rinitis
faring - Polip nasi
- Hipertrofi tonsil dan adenoid
- Deviasi septum nasi

18
Penyakit lain - Akromegali
- Hipotiroidisme
Kelainan struktur - Lingkar leher >40 cm
saluran napas atas - Abnormalitas sendi temporo mandibular
- Mikrognatia
- Retronagtia
- Makroglosia
- Abnormalitas palatum
- kraniosinostosi

G. PATOFISIOLOGI
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA: pertama,
obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum
ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang
menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih
berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai
periode arousal atau proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi
perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat di teruskan
kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian
berikutnya terulang kembali.15

Gambar 10.Ostruksi jalan napas pada pasien OSA.

Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot
dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m.

19
geniohioid dan m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan
tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat
kontraksi diafragma.Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator
faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di
otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,
saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea.15
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi
melebihi kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas
atas.Beberapa penderitadengan penyempitan saluran napas akibat
mikrognatia, retrognatia, hipertropiadenotosilar, magroglossia atau
akromegali.Reduksi ukuran orofaring menyebabkancomplaince saluran napas
atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif.16
Saat bangun, aktivitas otot saluran napas atas lebih besar dari normal,
kemungkinan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang
tinggi.Aktivitas otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran
napas atas sewaktu inspirasi.Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas
terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi
aktivitasotot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps.16
Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi
merupakan predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif
meningkat di faring saatinspirasi menyebabkan kontraksi diafragma
meningkat untuk mengatasi tahanan aliranudara di hidung. Akhir obstructive
apnea tergantung proses terbangun dari tidur ketingkat tidur yang lebih
dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor salurannapas atas
dan perbaikan posisi saluran napas.16
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar
lidah, saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring
ukuran dankonturnya normal (gambar 11).16

20
Gambar 11.Saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita
mendengkur.

Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai


hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas
atas.Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi.Tahanan ini
juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring
ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di antaranya memiliki
lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.15
Periode apnea adalah terjadinya henti napasselama 10 detik atau
lebih.Periode hypopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran
udarasebanyak lebih-kurang 30% selama 10 detik yangberhubungan dengan
penurunan saturasi oksigendarah sebesar 4%. Apnea terjadi karena
kolapsnyasaluran napas atas secara total, sedangkan hypopnea kolapsnya
sebagian, namun jika terjadi secaraterus-menerus dapat menyebabkan
apnea.15

H. GAMBARAN KLINIS
OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur.Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Episode rekuren
apnea, intermiten hipoksia dan fragmentasi tidur dapat memengaruhi fungsi

21
dari sistem organ terutama sistem saraf pusat dan kardiovaskular sehingga
dapat terjadi perubahan keseimbangan metabolic.17
Tabel 2.Gejala Klinis Pada OSA17

Nokturnal Diurnal
Snorring Mengantuk berat
Apnea Nyeri kepala saat pagi hari
Tersedak saat malam hari Depresi/iritabilitas
Nokturia Kehilangan memori
Insomnia Penurunan libido

Sekitar 80% gejala utama fragmentasi tidur nocturnal adalah mengantuk


pada siang hari.Kelainan tersebut dapat merugikan atau membahayakan
seperti gangguan saat bekerja dan dapat menyebabkan kecelakaan lalu
lintas.Pada beberapa kasus gangguan tersebut dapat berkembang kearah
gangguan kognitif dan neurobehaviour, ketidakmampuan konsentrasi,
gangguan memori dan perubahan suasana perasaan seperti iritabilitas dan
depresi.Pada akhirnya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.OSA yang
tidak mendapatkan tatalaksana adekuat dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas pada sistem kardiovaskular.Kelainan kardiovaskular utama adalah
resistensi obat hipertensi sistemik (>50 sampel), penyakit iskemik jantung,
aritima jantung dan stroke. Beberapa penelitian melaporkan tidur dengan
hipoksia, berhubungan dengan inflamasi ringan sistemik sehingga dapat
menimbulkan inisiasi atau akselerasi proses aterogenesis. Adapun kelainan
metabolik yang terjadi pada OSA tidak berhubungan dengan peningkatan
berat badan. Pada penderita OSA sering didapatkan resistensi insulin,
diabetes melitus tipe 2 dan perubahan profil lipid yang dapat meningkatkan
risiko morbiditas kardiovaskular.17
I. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Diagnosis OSA dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
penunjang khusus. Kuesioner Epworth Sleepiness Scale dapat digunakan
untuk mengetahui gejala OSA yang berkaitan dengan kebiasaan tidur dan
rasa mengantuk saat melakukan dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu

22
penting menanyakan kepada penderita OSA tentang pengalamannya
terbangun dari tidur apakah karena tersedak, mendengkur (dapat
ditanyakan pada teman tidur) serta saat bangun dari tidur apakah badan
terasa tidak segar, serta gejala-gejala lain pada siang dan malam harinya.
Kemudian ditanyakan faktor risiko seperti usia, riwayat penyakit yang
berhubungan dengan OSA seperti stroke, hipertensi, dan penyakit
jantung.17
Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian.Keluhan
tersering adalah rasa kantuk harian dan ternganggunya tidur malam.Gejala
klasik pada pasien dengan OSA selain mendengkur saat tidur adalah
excessive daytime sleepiness yaitu sering tertidur saat melakukan
kegiatan sehari-hari terutama siang hari, saat mengendarai mobil,
berbincang-bincang, membaca.Dengkuran yang terjadi biasanya cukup
keras dengan frekuensi suara berubah-ubah.Laporan teman tidur pasien
yang menyaksikan langsung apnea nokturnal merupakan gejala
terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat keluhan
sakit kepala, lelah saat bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan,
refluks asam lambung, episode seperti tercekik atau terengah-engah di
malam hari, nokturia hingga gejala berat seperti gangguan kognitif dan
ingatan.18
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik penderita OSA, didapatkan antara lain:17
a. Obesitas-indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg/m2
b. Lingkar leher yang besar, lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37
cm (15 inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki
Sensitivitas 61% dan Spesifitasnya 93% untuk OSA
c. Skor Mallampati abnormal (meningkat)
d. Penyempitan dinding saluran nafas lateral, yang merupakan predictor
independent dari adanya OSA pada pria tetapi tidak pada wanita
e. Tonsil yang membesar
f. Retrognatia atau mikrognathia
g. Langit-langit keras (palatum durum) melengkung tinggi

23
h. Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien
dengan OSA.

Baku emas untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur


semalam dengan alat Polysomnography/PSG).Parameterparameter yang
direkam pada polysomnogram adalah electroencephalography (EEG),
electrooculography (pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG),
electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur,
aktivitas pernapasan dan saturasi oksigen.Karakterisitik OSA pada saat
dilakukan PSG adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan
sebagian atau komplit dari jalan nafas atas (kadang-kadang pada kasus
yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan ≥50%
penurunan amplitudo pernafasan, peningkatan usaha pernafasan sehingga
terjadi perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi
desaturase oksigen. ). Biasanya indeks yang digunakan untuk mengetahui
derajat ringan-buruk OSA adalah Apnea-Hipoapnea Index (AHI), yaitu
menghitung jumlah peristiwa obstruktif per jam selama tidur dan hasil
monitoring kardiorespirasi.17

J. TATALAKSANA
Penanganan OSA berdasarkan gejala klinis, beratnya gangguan, dan
edukasi pasien mengenai faktor risiko dan komplikasi OSA.Tujuan
penanganan OSA adalahuntuk mengurangi gejala dan tanda OSA,
memperbaiki kualitas tidur, sertanormalisasi indeks apnea-hipopnea (AHI)
dan kadar saturasi oksi-hemoglobin. OSA dipertimbangkan sebagai penyakit
kronisyang memerlukan penanganan multidisiplinjangka panjang. Manfaat
penanganan OSAmeliputi perbaikan klinis (rasa mengantuksiang hari
berkurang), penurunan penggunaandan biayalayanankesehatan,serta
mengurangi morbiditasdan mortalitaskardiovaskuler.4
Rekomendasi American College of Physicians (ACP) (2013) untuk
penanganan OSA pada dewasa antara lain:4

24
1. Seluruh pasien overweight dan obesitas yang didiagnosis OSA harus
menurunkan berat badan.
2. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi inisial
pasien OSA.
3. Peralatan mandibular advancement dapat digunakan sebagai alternatif
CPAP atau pada pasien dengan efek samping yang berhubungan dengan
CPAP.
Beberapa metode pemberian positive airwaypressure antara lain
continuous positive airway pressure (CPAP), bilevel positive airway pressure
(BPAP), dan autotitrating positiveairway pressure (APAP).4
CPAP menghantarkan tekanan positif salurannapas pada tingkat
konstan melalui sikluspernapasan; cara ini paling banyak digunakankarena
paling sederhana, telah secara luasditeliti dengan pengalaman klinis
palingbanyak. Kondisi pemberian tekanan yangdikurangi (seperti
menurunkan tekananpositif pada saat awal ekshalasi) dapatdigunakan untuk
meningkatkan kenyamanandan toleransipasien terhadapalat ini.4
BPAP menghantarkan tekanan positif salurannapas yang telah
ditetapkan saat inspirasi(IPAP) dan ekspirasi (EPAP).Volume
tidalberhubungan dengan perbedaan antaraIPAP dan EPAP, misalnya volume
tidal lebihbesar menggunakan IPAP 15 cmH 2O dan EPAP 5 cmH2O
(perbedaan 10 cmH2O) dibandingkan IPAP 10 cm H2O dan EPAP5 cm H2O
(perbedaan 5 cm H2O). Studi masih belum menunjukkan manfaat nyata
penggunaan. BPAP bila dibandingkan dengan CPAP untuk penanganan rutin
OSA.4
APAP secara otomatis meningkatkan atau menurunkan tingkat tekanan
positif saluran napas sebagai respons terhadap perubahansaluran napas,
seperti perubahan tekanansaluran napas atau getaran dengkuran,sehingga
memberikan tekanan pasti yang dibutuhkan pasien untuk mempertahankan
saluran napas tidak tersumbat. Namun, penggunaan APAP sangat bervariasi,
studi klinis menunjukkan efikasinya masih terbatas; dan perbandingan
langsung tidak menunjukkan lebih bermanfaat bila dibandingkan dengan
CPAP.4

25
K. KOMPLIKASI
Walaupun ilmu kedokteran untuk gangguan tidur berkembang pesat dan
kesadaran meningkat akan dampak tidur terhadap kesehatan, OSA masih
sering under-diagnosed dan apabila dibiarkan, OSA dapat menyebabkan
berbagai komplikasi kardiovaskuler, metabolik, neuroendokrin, dan infl
amasi. Obesitas, OSA, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler merupakan
penyakit yang umum dijumpai pada populasi, dengan beban ekonomi dan
sosial yang tinggi.4

L. PROGNOSIS
Prognosis OSA baik jika ditangani secara multidisiplin dan jangka
panjang.4

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumardi, Hisjamin B, Ryanto BS, Budiono E. 2009. Sleep Apnea (Gangguan


Bernafas Saat Tidur). Dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Hlm. 2347-
2350.
2. Antariksa B, Santoso RM, Astuti P. 2009. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
dan Penyakit Kardiovaskular. Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi, FK-UI RS Persashabatan dan Departemen Kardiologi
dan Ilmu Kardio Vaskular, FK-UI RSPN Jantung Harapan Kita.
3. Kadarullah O, Annisa Y. 2016. Pengaruh Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Terhadap Terjadinya Hipertensi Di Poli Saraf RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo. Sainteks, Oktober 2016, 8(2): 11– 21.
4. Luman A. 2016. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada DM Tipe 2.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU. CDK-237, 2016, Vol. 43(2):
Hlm. 96-100.
5. Antariksa B. 2009. Obstructive Sleep Apnea (OSA).Departemen Pulmonologi
& Ilmu Kedokteran Respirasi FK-UI.
6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2017. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi 7. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Piazza C, Ribeiro JC, Bernal-Sprekelsen M, Paiva A, Perreti G. 2010.
Anatomy and Physiology of the Larynx and Hypopharynx.
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, p. 461–471.
8. Jones O, Barnes S. 2019. The Larynx. Teach Me Anatomy.
https://teachmeanatomy.info/neck/viscera/larynx/ (di akses 20 Juni 2020).
9. Gilry, A.M., MacPherson, B.R. 2016. Atlas of Anatomy. Edisi 3. Thieme
Medical Publisher, Inc. New York.
10. Mariani RHS, Yogiarto M. 2015.Obstructive Sleep Apnea (OSA). Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, September 2015, Vol. 2(3): 9-24.
11. Dixon JB, Schacter LM, O’Brien PE. 2001. Sleep Disturbance and Obesity.
Archives of Internal Medicine, Vol.161(1), p. 102.

27
12. Putra IDGAE, Pradiptha IPY. 2019. Correlation Between Waist
Circumferences With Obstructive Sleep Apnea Risk In Ent Clinic Sanglah
Hospital Denpasar. Biomedical & Pharmacology Journal, March 2019, Vol.
12(1):p. 347-351.
13. Susanto AD, Hisyam B, Maurits LS, Yunus F. 2015. Clinical Symptoms And
Related Factors Of Obstructive Sleep Apnea Among Overweight And Obese
Taxi Drivers. Medical Journal of Indonesia, Vol. 24(4) :206–214.
14. Purwowiyoto SL. 2017. Obstructive Sleep Apnea dan Gagal Jantung. Jurnal
Kedokteran Yarsi, Vol. 25(3): 172-183.
15. Cahyono A, Hermani B, Mangunkusumo E, Perdana RS. Hubungan
Obstructive Sleep Apnea Dengan Penyakit Sistem Kardiovaskuler.
Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
16. Antariksa B. 2009. Patogenesis , Diagnostik dan Skrining OSA (Obstructive
Sleep Apnea). Kepala Sleeplab RS PersahabatanDept Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi RS Persahabatan-FKUI. Jakarta.
17. Bahagia W, Ayu PR. 2020.Sindrom Obstructive Sleep Apnea. Medula,
Januari 2020, Vol. 9(4): 705-711.
18. Febriani D, Yunus F, Antariksa B, Andrianto H. Relationship Between
Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular. Jurnal Kardiologi Indonesia,
Vol. 32(1) : 45-52.

28

Anda mungkin juga menyukai