Anda di halaman 1dari 19

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS

PROGRAM STUDI ORTODONSIA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN

SISTEM PERNAPASAN DAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

OLEH :

Meiky Eka Saputra (J055222001)


Levina Sisfianti (J055222003)

PEMBIMBING : Dr. drg. Nurlinda Hamrun, M.Kes

BAGIAN ORTODONSIA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak terhingga, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dalam Program Pendidikan Dokter
Gigi Spesialis Ortodonti Di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin - Makasar dapat
menyelesaikan tugas refarat dengan judul “Sistem Pernapasn dan obstruktive Sleep Apnea ”.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi untuk para pembaca,
baik di Lingkungan Fakultas Kedokteran Gigi Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialas, dokter
gigi, mahasiswa kedokteran gigi di Lingkungan Universitas Hasanudin Makasar atau masyarakat
luas.

Namun kami menyadari dalam penyusunan Refarat ini banyak kekurangan, oleh karena
itu kami berharap adanya kritikan, saran, dan masukan untuk perbaikan kedepannya.

Semoga Refarat ini mudah di pahami oleh para pembaca, dan diharapkan dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan terkait dengan pentingnya komunikasi dalam bidang kesehatan
gigi. Dan tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pengajar kami yang telah
memberikan kesempatan dan ilmu untuk membuat tugas makalah ini.

Makassar, Mai 2022

Penulis
BAB I
LATAR BELAKANG

Sistem pernapasan atau respirasi adalah proses pengambilan oksigen (O2) dari udara
bebas saat menarik napas. O2 tersebut kemudian melewati saluran napas (bronkus) dan sampai
ke dinding alveoli (kantong udara). Sesampainya di kantong udara, O2 akan ditransfer ke
pembuluh darah yang didalamnya mengalir sel-sel darah merah untuk dibawa ke sel-sel di
berbagai organ tubuh lain sebagai energy dalam proses metabolisme. Setelah metabolisme, sisa-
sisa metabolisme, terutama karb1ondioksida (CO2) akan dibawa darah untuk dibuang kembali ke
udara bebas melalui paru-paru pada saat membuang napas.1

Saluran-saluran udara yang dilalui oleh oksigen dan karbon dioksida, bukanlah sekadar
terowongan lalu lintas udara. Saluran-saluran tersebut juga berperan sebagai salah satu front
terdepan mekanisme pertahanan tubuh. Paru-paru memiliki permukaan yang terekspos pada
dunia luar, yang wilayahnya jauh lebih luas dibanding bagian tubuh yang lain, termasuk kulit.
Sehingga saluran pernapasan juga harus berfungsi mengusir kotoran, debu, tungau, dan bakteri
dari benda-benda asing yang merugikan lainnya.2

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan kronis umum yang mengganggu
pernapasan saat tidur. Ini mempengaruhi orang-orang dari segala usia tetapi terutama mereka
yang berusia setengah baya dan lebih tua.3 Pasien-pasien dengan OSA untuk sementara waktu
menghentikan atau mengurangi pernapasan mereka (apnea atau hypopnea) berulang-ulang
selama tidur.3 Penghentian atau penurunan pernapasan ini adalah hasil dari pengulangan
obstruksi sebagian atau seluruhnya jalan napas yang disebabkan oleh penyempitan saluran
pernapasan.4 Gangguan pernapasan ini dapat menyadarkan seseorang atau mencegah tidur
nyenyak yang nyenyak. Efek dari tidur yang terfragmentasi pada kelelahan siang hari dan rasa
kantuk diakui secara luas.
Prevalensi pasti OSA tidak diketahui, meskipun perkiraan berkisar dari 2% hingga 14%
pada populasi komunitas yang diskrining hingga prevalensi yang jauh lebih tinggi pada
subkelompok tertentu (mis., 20% hingga 90% orang yang dirujuk untuk studi tidur) .4

Pria tiga kali lebih mungkin memiliki OSA daripada wanita. Hal ini sangat jarang terjadi
pada wanita pramenopause yang nonobese. Prevalensi OSA meningkat dengan bertambahnya
usia, terutama pada orang yang lebih tua dari 60 tahun. OSA juga lebih umum di antara orang
yang mengalami obesitas. Baik populasi yang menua dan tingkat obesitas yang meningkat
berkontribusi pada peningkatan tingkat OSA.4

Obstructive sleep apnea merupakan bentuk umum sleep-disordered breathing (SDB) yang
telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai
dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan
masyarakat.

1.1 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari refarat ini adalah apa yang mempengaruhi Sistem
Pernapasn dan obstruktive Sleep Apnea?

I.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui tentang Mengetahui Sistem
Pernapasn dan obstruktive Sleep Apnea dan sebagai salah satu pemenuhan tugas residen
Ortodonti KedokteranGigi Universitas Hasanuddin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Respirasi (Sistem Pernapasan)


Pengertian secara umum dari pernapasan adalah peristiwa menghirup atau pergerakan udara
dari luar yang mengandung oksigen (O2) ke dalam tubuh atau paru-paru serta menghembuskan
udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi ke luar dari
tubuh. 5

Anatomi saluran pernapasan terdiri dari6 :


1. Hidung
Merupakan tempat masuknya udara, memiliki 2 (dua) lubang (kavum nasi) dan
dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga hidung mempunyai permukaan yang
dilapisi jaringan epithelium. Epithelium mengandung banyak kapiler darah dan sel yang
mensekresikan lender. Udara yang masuk melalui hidung mengalami beberapa perlakuan,
seperti diatur kelembapan dan suhunya dan akan mengalami penyaringan oleh rambut
atau bulu-bulu getar

Hidung merupakan saluran pernapasan udara yang pertama, mempunyai 2 lubang


(kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga hidung ini dilapisi
oleh selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah dan bersambung dengan faring
dan dengan semua selaput lendir semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam
rongga hidung. Rongga hidung mempunyai fungsi sebagai panyaring udara pernapasan
oleh bulu hidung dan menghangatkan udara pernapasan oleh mukosa.
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban
udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa,
lapisan lendir, dan enzim lisozim. Vibrisa adalah rambut pada vestibulum nasi yang
bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil
dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada
lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih
terdapat bekteri (partikel sangat kecil), maka enzim lisozom yang menghancurkannya

2. Faring (Tekak)
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan
jalan makanan. Faring atau tekak terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga
hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher. Nasofaring adalah bagian faring yang
terletak di belakang hidung di atas palatum yang lembut.
Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil
faringeal, yang biasanya disebut sebagai adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar
dan menutup faring. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral nasofaring dan
melalui tabung tersebut udara dibawa kebagian tengah telinga.
Nasofaring dilapisi membran mukosa bersilia yang merupakan lanjutan membran
yang dilapisi bagian hidung. Orofaring terletak di belakang mulut di bawah palatum
lunak, dimana dinding lateralnya saling berhubungan. Diantara lipatan dinding ini, ada
yang disebut arkus palato-glosum yang merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
disebut tonsil palatum.
Dalam faring terdapat tuba eustachii yang bermuara pada nasofarings. Tuba ini
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani, dengan cara
menelan pada daerah laringofarings bertemu sistem pernapasan dan pencernaan. Udara
melalui bagian anterior ke dalam larings, dan makanan lewat posterior ke dalam esofagus
melalui epiglotis yang fleksibel.

3. Laring (Pangkal Tenggorokan)


Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara yang
terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk kedalam
trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang
tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
pada waktu kita menelan makanan manutupi laring
Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang tersambung di garis tengah. Di
tepi atas terdapat lekuk berupa V. Tulang rawan krikoid terletak di bawah tiroid,
bentuknya seperti cincin mohor dengan mohor cincinnya di sebelah belakang (ini adalah
tulang rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang rawan lainnya
ialah kedua rawan tiroid terdapat epiglotis, yang berupa katup tulang rawan dan
membantu menutup laring sewaktu orang menelan, laring dilapisi oleh selaput lendir
yang sama dengan yang di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi
selepitelium berlapis.
Dalam laring terdapat pita suara yang berfungsi dalam pembentukan suara. Suara
dibentuk dari getaran pita suara. Tinggi rendah suara dipengaruhi panjang dan tebalnya
pita suara. Dan hasil akhir suara ditentukan oleh perubahan posisi bibir, lidah dan platum
mole.

4. Trachea (Batang Tenggorokan)


Dindingnya terdiri atas epitel, cincin tulang rawan yang berotot polos dan jaringan
pengikat. Pada tenggorokan ini terdapat bulu getar halus yang berfungsi sebagai penolak
benda asing selain gas Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra
torakalis kelima dan ditempati ini bercabang dua bronkus. Trakea tersusun atas enam
belas sampai dua puluh lingkaran tangan lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat
bersama oleh jaring fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea,
selain itu juga memuat beberapa jaringan otot.
Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel
cangkir. Jurusan silia ini bergerak keatas ke arah laring, maka dengan gerakan debu dan
butir-butir halus lainnya yang terus masuk bersama dengan pernapasan, dapat
dikeluarkan. Tulang rawan yang gunanya mempertahankan agar trakea tetap terbuka, di
sebelah belakangnya tidak tersambung, yaitu di tempat trakea menempel pada esofagus,
yang memisahkannya dari tulang belakang .

5. Bronkhus (Pembuluh Napas)


Bronchus merupakan cabang batang tenggorokan. Cabang pembuluh napas sudah
tidak terdapat cicin tulang rawan. Gelembung paru-paru, berdinding sangat elastis,
banyak kapiler darah serta merupakan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida . Kedua bronkhus yang terbentuk dari belahan dua trakhea pada
ketinggian kira-kira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trakhea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkhus itu berjalan ke bawah dan ke
samping ke arah tampuk paru-paru.
Bronkhus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang yang disebut bronkhus
lobus atas, cabang kedua timbul setelah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut
bronkhus lobus bawah. Bronkhus lobus tengah keluar dari bronkhus lobus bawah.
Bronkhus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah
arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalanke lobus atas
dan bawah.

6. Alveolus
Alveolus merupakan saluran akhir dari alat pernapasan yang berupa gelembung-
gelembung udara. Dindingnya tipis, lembap, dan berlekatan erat dengan kapiler-kapiler
darah. Alveolus terdiri atas satu lapis sel epitelium pipih dan di sinilah darah hampir
langsung bersentuhan dengan udara.
Adanya alveolus memungkinkan terjadinya perluasan daerah permukaan yang
berperan penting dalam pertukaran gas O2 dari udara bebas ke sel-sel darah dan CO2 dari
sel-sel darah ke udara. Membran alveolaris adalah permukaan tempat terjadinya
pertukaran gas. Darah yang kaya karbon dioksida dipompa dari seluruh tubuh ke dalam
pembuluh darah alveolaris, dimana, melalui difusi, ia melepaskan karbon dioksida dan
menyerap oksigen.

B. Fisiologi Pernapasan 7
Pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru.
Fungsi paru adalah tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernapasan melalui
paru/pernapasan eksterna. Oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Saat bernapas, oksigen
masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli, dan dapat erat berhubungan dengan darah di
dalam kapiler pulmonalis.
Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel
kembali ke atmosfer. Proses ini menurut Guyton dan Hall dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih adanya
udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan
ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini
penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah.
2. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
3. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-sel.
4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

C. Mekanisme Pernafasan Manusia7


Pernafasan pada manusia dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Pernafasan dada
Pada pernafasan dada otot yang erperan penting adalah otot antar tulang rusuk.
Otot tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otot tulang rusuk luar yang
berperan dalam mengangkat tulang-tulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang berfungsi
menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk ke posisi semula. Bila otot antar tulang
rusuk luar berkontraksi, maka tulang rusuk akan terangkat sehingga volume dada
bertanbah besar. Bertambah besarnya akan menybabkan tekanan dalam rongga dada
lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar.
Karena tekanan udara kecil pada rongga dada menyebabkan aliran udara mengalir
dari luar tubuh dan masuk ke dalam tubuh, proses ini disebut proses ’inspirasi’
Sedangkan pada proses espirasi terjadi apabila kontraksi dari otot dalam, tulang rusuk
kembali ke posisi semuladan menyebabkan tekanan udara didalam tubuh meningkat.
Sehingga udara dalam paru-paru tertekan dalam rongga dada, dan aliran udara terdorong
ke luar tubuh, proses ini disebut ’espirasi’.

2. Pernafasan perut
Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot
dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar.
Hal itu menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udaranya
semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan mengembangnya paru-paru,
sehingga udara mengalir masuk ke paru- paru (inspirasi).
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan
tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan atas 2
jenis, yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam.
Pernapasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus
dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah pernapasan yang
terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh. Masuk keluarnya udara dalam
paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dzalam rongga dada dengan
tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara
akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara
akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan
pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam,
yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara
bersamaan.

D. Definisi Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSA)8

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan napas saat tidur (Sleep- Disordered
Breathing, SDB) yang ditandai dengan obstruksi parsial atau total pada jalan napas bagian atas
meskipun ada upaya untuk bernapas saat tidur. Adanya obstruksi berulang menyebabkan
terjadinya periode henti napas (apnea) atau kurang napas (hypopnea) minimal 10 detik selama
tidur. OSA yang berhubungan dengan kantuk berlebihan di siang hari (Excessive Daytime
Sleepiness, ESS) disebut dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSA).

E. Patogenesis OSA9

1. Anatomi Saluran Napas Atas


Saluran napas bagian atas pada manusia terdiri dari hidung, nasofaring, orofaring,
hipofaring, dan laring. Pada individu normal, hidung merupakan komponen jalan napas
dengan resistensi terbesar. Dinding lateral hidung dibentuk oleh konka nasalis inferior,
konka nasalis media, dan konka nasalis superior, sedangkan dinding medialnya adalah
septum nasi.
Hidung bukan merupakan lokasi kolaps yang umum pada OSA meskipun resistensinya
besar. Hal ini karena patensitas hidung dipertahankan oleh struktur kolagen di sekitar
hidung dan hanya secara minimal dipengaruhi aktivitas otot sehingga resistensi pada
nasal tidak secara signifikan dipengaruhi oleh tidur. Namun, adanya peningkatan
resistensi pada hidung dapat memicu peningkatan tekanan negatif intrafaring yang dapat
menyebabkan faring kolaps. Nasofaring terletak di belakang konka nasal, umumnya
tidak berkontribusi terhadap kolapsnya faring.
Orofaring merupakan daerah di belakang cavum oris. Dinding anterior orofaring
dibentuk oleh palatum mole dan lidah, sedangkan dinding posteriornya terdiri dari otot
konstriktor faring superior, media, dan inferior. Dinding lateral faring tersusun terutama
dari jaringan otot (palatoglossus, palatopharyngeus, styloglosus, stylohyoid,
stylopharyngeus, dan hyoglossus). Otot-otot di sekeliling faring dapat secara signifikan
mempengaruhi bentuk dan ukurannya sehingga pada OSA, lokasi inilah yang paling
sering kolaps. Hipofaring terletak diantara basis epiglotis hingga percabangan antara
laring dan esofagus. Sama seperti nasofaring, hipofaring bukan merupakan lokasi yang
sering terjadi kolaps pada OSA.

2 Abnormalitas Jaringan Lunak dan Struktur Kraniofasial 9


Perubahan ukuran tulang kranial pada OSA termasuk penurunan panjang
mandibula, posisi tulang hyoid yang lebih rendah, dan retro posisi pada maksila,
mengurangi lebar lumen faring. Panjang jalan napas, mulai dari atap palatum durum
hingga basis epiglotis, juga meningkat pada pasien OSA, meningkatkan proporsi
terjadinya kolaps.
Struktur kraniofasial yang berbeda tersebut umumnya diturunkan secara genetik,
di mana relasi dari penderita OSA juga memiliki mandibula yang pendek dan
retroposisi, tulang hyoid yang lebih rendah, palatum mole yang lebih panjang, uvula
yang lebih lebar, dan palatum durum yang lebih tinggi dan sempit dibandingkan
kelompok kontrol. Pada sebagian besar kasus OSA, perluasan struktur jaringan lunak
baik di dalam maupun di sekitar jalan napas berpengaruh secara signifikan terhadap
penyempitan jalan napas. Palatum mole dan lidah yang besar akan mengganggu
diameter bidang anterior-posterior jalan napas, sedangkan dinding faring yang menebal
akan mengganggu bidang lateral. Penyempitan jalan napas terjadi lebih banyak pada
bidang lateral.
Terapi dengan CPAP, penurunan berat badan, atau Oral Appliance (OA)
menunjukkan peningkatan dimensi lateral jalan napas. Ada banyak penyebab dari
penebalan dinding lateral jalan napas pada pasien OSA. Pada penelitian yang dilakukan
manusia dan tikus, obesitas merupakan factor utama terjadinya kompresi jalan napas
dengan adanya peningkatan deposit lemak di sekitar faring. Pada anak-anak, hipertrofi
adenoid dan tonsil merupakan faktor utama yang memicu terjadinya OSA.

F. Faktor Predisposisi OSA 10

1. Obesitas
Obesitasi menurut World Health Organization (WHO) 2011 adalah penumpukan
lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan.Parameter
yang paling sering digunakan untuk menilai adanya obesitas adalah IMT. Penghitungan
IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam
meter.34 Berdasarkan kriteria Asia-Pasifik, yang termasuk obesitas adalah orang dengan
IMT ≥ 25. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya OSA.Sekitar 60-
90% penderita OSA memiliki IMT ≥ 28 kg/m2.
Pada penderita OSA, kelebihan berat badan sebanyak 10% meningkatkan risiko
perkembangan OSA menjadi sedang hingga berat sebanyak enam kali lipat.37,38 Tidak
hanya mengurangi patensi saluran napas atas akibat deposisi lemak pada faring, ada pula
mekanisme tidak langsung yang dapat menyebabkan faring kolaps.
Deposisi lemak pada abdomen dan posisi berbaring mengurangi volume paru. Selama
inspirasi, paru mengembang dan memicu tekanan negatif intralumen yang akan
mengaktifkan otot dilator faring. Hasilnya didapatkan kekuatan traksi longitudinal pada
saluran napas yang berfungsi melawan tekanan yang m enyebabkan saluran napas
kolaps. Ketika volume paruberkurang, kekuatan traksi longitudinal pada saluran napas
juga berkurang, akibatnya saluran napas bisa kolaps.
2 Lingkar Leher
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lingkar leher lebih dari 17 inci untuk
pria dan lebih dari 16 inci untuk wanita berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya OSA.Lingkar leher yang besar juga dikaitkan dengan peningkatan keparahan
OSA yang diukur dengan AHI, teruatama pada pasien non obes.42 Mekanisme yang
terlibat yaitu peningkatan deposisi lemak pada leher mengurangi patensi jalan napas.
Ada pula yang mengemukakan mekanisme lain, yaitu saat berbaring, akumulasi cairan
tubuh yang semula berada di tungkai dan kaki karena gravitasi pindah ke leher.
Akumulasi cairan di leher dapat meningkatkan besarnya lingkar leher dan memicu
kolapsnya saluran napas bagian atas.
3 Jenis Kelamin
Pada sebagian besar penelitian telah menemukan prevalensi OSA 2-3 kali lebih
besar pada pria dibanding wanita. Dominasi pria diperkirakan berkaitan dengan
perbedaan anatomi dan fungsi pada saluran napas atas, obesitas dan distribusi lemak,
kontrol ventilasi, dan status hormonal. Hormonal mungkin berperan penting pada
patogenesis OSA, dimana prevalensinya lebih besar pada wanita pasca menopause
dibanding pre menopause.

4 Usia
Prevalensi OSA meningkat seiring pertambahan umur, tidak bergantung pada
risiko lain termasuk obesitas, dengan prevalensi tertinggi pada usia paruh baya. Bixler et
al melaporkan adanya peningkatan frekuensi OSA setelah umur 16 tahun, tetapi frekuensi
sindrom OSA menurun setelah umur 65 tahun. Belum diketahui mekanisme yang
mendasari.

5 Kelainan Anatomi Saluran Napas Atas


Kelainan struktur saluran napas atas, contohnya deviasi septum nasi, hipertrofi
konka nasi, dan hipertrofi tonsil, dapat memicu adanya resistensi di saluran napas
sehingga mudah kolaps. Castilo et al melakukan penelitian pada penduduk di Ekuador,
hasilnya terdapat hubungan yang signifikan antara defleksi pada septum nasi dengan
terjadinya Excessive Daytime Sleepiness (EDS) yang merupakan gejala utama OSA.22
Hipertrofi tonsil jarang terjadi pada dewasa. Pada penelitian yang dilakukan oleh Enciso
et al pada 53 pasien OSA sedang atau berat didapatkan hanya sebesar 5,06% yang
menderita hipertrofi tonsil (usia 24-68 tahun).

6 Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol menurunkan keluaran motorik pada saluran napas atas.
Akibatnya, otot dilator faring menjadi hipotoni. Pada studi yang dilakukan di
laboratorium, alkohol meningkatkan baik episode apnea dan durasi apnea. Svensson et al
melaporkan bahwa konsumsi alkohol berkaitan dengan mengorok hanya pada wanita
dengan IMT < 20 kg/m2. Oleh karena itu, mekanisme konsumsi alkohol yang
menginduksi hipotoni pada otot dilator faring lebih banyak terjadi pada wanita dengan
IMT normal tanpa adanya deposisi lemak pada leher.

G. Manifestasi Klinis OSA 11


1 Kantuk Berlebihan di Siang Hari (Excessive Daytime Sleepiness, EDS)
EDS merupakan gejala yang paling umum terjadi pada OSA. Lebih dari 80%
penderita OSA memiliki EDS. Beberapa penelitian menyatakan adanya perbaikan yang
signifikan pada kantuk di siang hari (daytime sleepiness) ketika pasien secara efektif
diberikan salah satu terapi OSA yaitu Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).11
Seperti yang telah disebutkan dalam patogenesis OSA, pada saat tidur terjadi penurunan
aktivitas otot dilator faring. Pada OSA, ketika terjadi kolaps pada saluran napas atas
sedangkan aktivitas otot dilator faring lemah, tubuh akan mengkompensasi dengan
terbangunnya pasien sehingga aktivitas otot dilator faring dapat meningkat dan jalan
napas dapat terbuka kembali. Adanya periode tidur-bangun secara berulang dalam waktu
yang singkat atau fragmentasi tidur memicu timbulnya EDS.
EDS menimbulkan berbagai dampak negatif. Pada penderita stroke dengan OSA,
dampak EDS dapat dikategorikan menjadi neurokognitif, fungsional, dan yang
berhubungan dengan kesehatan. Dampak pada neurokognitif terdiri dari penurunan
kognitif, kewaspadaan (alertness), kemampuan belajar, dan memori. Secara fungsional,
penderita stroke dengan EDS mengalami penurunan fungsi fisik dan kualitas hidup.
Dampak yang berhubungan dengan kesehatan terdiri dari keluaran klinis yang buruk
pasca stroke, peningkatan angka kematian, ketidakstabilan suasana hati (mood) yang
ditandai dengan adanya kecemasan atau depresi, dan peningkatan risiko rekurensi stroke.

2 Mengorok 11
Mengorok (snoring) juga merupakan gejala umum yang dikeluhkan pada
penderita OSA. Suara yang terdengar saat mendengkur timbul akibat turbulensi aliran
udara pada saluran napas atas akibat adanya obstruksi. Aliran udara yang masuk akan
menggetarkan palatum mole dan jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah
dengan relaksasi lidah, uvula, dan otot dilator faring.
H. Terapi OSA 12
1 Non Invasif

a) Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)


CPAP adalah terapi non invasif lini pertama untuk OSA. CPAP terdiri dari masker yang
menutupi mulut dan hidung, pipa yang menghubungkan masker dengan mesin, dan mesin
yang berfungsi memberikan tekanan positif pada saluran napas. Indikasi penggunaan
CPAP adalah semua pasien dengan AHI > 15.Apabila AHI berkisar antara 5-15,
penggunaan CPAP diindikasikan ketika ada gejala-gejala seperti rasa kantuk berlebihan
di siang hari, gangguan kognitif, gangguan mood, atau adanya komplikasi akibat OSA,
seperti hipertensi atau penyakit kardiovaskuler.

Pemberian tekanan positif berguna untuk mencegah kolapsnya saluran napas atas
sehingga dapat mengurangi gejala-gejala pada OSA, seperti rasa kantuk di siang hari
(Excessive Daytime Sleepiness, EDS), fragmentasi dalam tidur, dan mendengkur. CPAP
dapat menurunkan tekanan darah, marker inflamasi dalam tubuh, serta risiko terkena
penyakit kardiovaskuler akibat OSA. Pada pasien stroke dengan OSA, CPAP
meningkatkan keluaran klinis serta menurunkan risiko rekurensi dan kematian. CPAP
bersifat lifetime treatment apabila tidak ada terapi lain yang digunakan. Namun, tidak
semua pasien OSA toleran terhadap CPAP. Beberapa pasien merasa tidak nyaman
menggunakan masker setiap hari selama tidur.

b) Oral Appliances (OA)


Terapi ini merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk pasien OSA ringan
sampai sedang dan pasien OSA berat yang tidak toleran terhadap CPAP atau menolak
dilakukan pembedahan. OA yang paling seing digunakan adalah Mandibular Advanced
Splints (MAS), yaitu alat yang melekat baik pada arkus dental atas maupun bawah untuk
mempertahankan posisi mandibula dan mencegah agar lidah tidak jatuh ke belakang.
Sama seperti CPAP, OA juga berfungsi mencegah kolapsnya saluran napas atas selama
tidur sehingga dapat menurunkan episode apnea atau hipopnea pada pasien OSA. Cilil et
al melakukan penelitian pada 15 pasien OSA ringan hingga sedang serta berat yang tidak
toleran terhadap CPAP atau menolak tindakan pembedahan. Hasilnya terdapat penurunan
rasa kantuk di siang hari yang diukur dengan ESS setelah diterapi dengan OA. Namun,
terapi ini juga memiliki beberapa efek samping yaitu produksi saliva yang berlebihan,
mulut kering, iritasi gusi, atralgia pada sendi temporomandibula, nyeri pada gigi, dan
perubahan oklusi gigi.

c) Penurunan Berat Badan


60-90% penderita OSA diperkirakan memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 28
kg/m2 sehingga penurunan berat badan harus menjadi salah satu tujuan terapi OSA. Pada
pasien obesitas berat (IMT > 40) dapat dipertimbangkan operasi bariatrik untuk
penurunan berat badan yang lebih signifikan.8 Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan AHI, perbaikan gejala OSA, seperti rasa kantuk di siang hari, serta
peningkatan saturasi oksigen setelah pasien OSA menjalani program penurunan berat
badan.

d) Terapi Posisi
Posisi tidur telentang atau supine berhubungan dengan peningkatan episode apnea
atau hipopnea dan keparahan desaturasi oksigen karena pengaruh gravitasi serta
perubahan ukuran dan posisi saluran napas atas pada posisi tersebut. Pasien OSA dapat
dikategorikan menjadi postural dan non postural.
Diagnosis OSA postural ditegakkan apabila episode obstruksi selama tidur terjadi
terutama saat posisi telentang (AHI pada posisi telentang minimal dua kali lebih besar
dibanding dengan posisi non telentang). Sebagian besar OSA ringan hingga sedang
adalah OSA postural (antara 65-87%) sehingga terapi posisi dapat menjadi solusi yang
sederhana, murah, dan efektif untuk mengurangi periode obstruksi saat tidur.
Berbagai strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien menyentuh alas
tidur, contohnya memasang alarm yang berbunyi saat pasien tidur dalam posisi telentang.
Selain itu, punggung pasien OSA dapat dipasang bantal atau bola agar merasa tidak
nyaman saat tidur dalam posisi telentang. Terapi posisi dikatakan berhasil apabila
terdapat penurunan AHI hingga kurang dari 10 pasca terapi.
2 Pembedahan 13
Tindakan operatif pada kasus OSA bertujuan untuk menghilangkan penyebab
obstruksi saluran napas dan melebarkan jalan napas setelah deteksi secara akurat lokasi
obstruksi. Lokasi tersering yang mengalami obstruksi pada OSA adalah orofaring,
misalnya karena makroglosi atau hipertrofi tonsil.
Tonsilektomi dan adenoidektomi merupakan tindakan operatif yang paling sering
dilakukan dan merupakan terapi lini pertama pada anak dengan OSA sedang hingga
berat. Metode operatif yang lain meliputi Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP),
axillomandibular advancement (MMA), dan trakeotomi yang dilakukan pada pasien
OSA berat yang terancam hidupnya. Namun, efektivitas sebagian besar terapi operatif
untuk OSA menurun seiring dengan pertambahan umur dan berat badan. Hal ini yang
menjadi faktor utama terjadinya rekurensi OSA pasca operasi.

BAB III
KESIMPULAN

OSA (Obstructive Sleep Apnea) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada gangguan
pernapasan saat tidur, di dasari oleh berbagai mekanisme dan faktor predisposisi yang kompleks
serta memerlukan penanganan tepat demi mengurangi dampak yang diakibatkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heil, M., Hazel, A. and Smith, J. The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology & Neurobiology. 2008 ; 163(1-3): 214-221.
2. Majumder, N. Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and Physical
Education. 2015; 2(3): 16-17.
3. Qaseem A, et al. Management of obstructive sleep apnea in adults: a clinical practice
guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2013;159(7):471-
483.
4. Greenstone M, Hack M. Obstructive sleep apnoea. BMJ. 2014; 348:g3745.
5. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2015; 59(9): 533.
6. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua puluh
Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. p. 141-142.
7. John W. Wet’s Respiratory Psyhcology Ten Edition. 2016 Wolters Kluwer
8. Srinivas, P. Steady State and Stability Analysis of Respiratory Control System using
Labview. International Journal of Control Theory and Computer Modeling. 2012; 2(6):
13-23.
9. White, S, Danowitz, M. and Solounias, N. Embryology and evolutionary history of the
respiratory tract. Edorium Journal of Anatomy and Embryology. 2016; 3: 54-62.
10. Semelka M, Wilson J. Diagnosis and Treatment of Obstructive Sleep Apnea in Adults.
American Family Physician. 2016: 94,( 5)
11. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk factors for obstructive sleep apnea in adults.
JAMA. 2004;291(16):2013-2016.
12. Victor LD. Treatment of obstructive sleep apnea in primary care. Am Fam Physician.
2004;69(3):561-569.
13. Sundaram S, Bridgman SA, Lim J, Lasserson TJ. Surgery for obstructive sleep apnoea.
Cochrane Database Syst Rev. 2005;(4):CD001004.

Anda mungkin juga menyukai