OLEH :
Puji dan syukur tak terhingga, kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dalam Program Pendidikan Dokter
Gigi Spesialis Ortodonti Di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin - Makasar dapat
menyelesaikan tugas refarat dengan judul “Sistem Pernapasn dan obstruktive Sleep Apnea ”.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi untuk para pembaca,
baik di Lingkungan Fakultas Kedokteran Gigi Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialas, dokter
gigi, mahasiswa kedokteran gigi di Lingkungan Universitas Hasanudin Makasar atau masyarakat
luas.
Namun kami menyadari dalam penyusunan Refarat ini banyak kekurangan, oleh karena
itu kami berharap adanya kritikan, saran, dan masukan untuk perbaikan kedepannya.
Semoga Refarat ini mudah di pahami oleh para pembaca, dan diharapkan dapat
meningkatkan ilmu pengetahuan terkait dengan pentingnya komunikasi dalam bidang kesehatan
gigi. Dan tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pengajar kami yang telah
memberikan kesempatan dan ilmu untuk membuat tugas makalah ini.
Penulis
BAB I
LATAR BELAKANG
Sistem pernapasan atau respirasi adalah proses pengambilan oksigen (O2) dari udara
bebas saat menarik napas. O2 tersebut kemudian melewati saluran napas (bronkus) dan sampai
ke dinding alveoli (kantong udara). Sesampainya di kantong udara, O2 akan ditransfer ke
pembuluh darah yang didalamnya mengalir sel-sel darah merah untuk dibawa ke sel-sel di
berbagai organ tubuh lain sebagai energy dalam proses metabolisme. Setelah metabolisme, sisa-
sisa metabolisme, terutama karb1ondioksida (CO2) akan dibawa darah untuk dibuang kembali ke
udara bebas melalui paru-paru pada saat membuang napas.1
Saluran-saluran udara yang dilalui oleh oksigen dan karbon dioksida, bukanlah sekadar
terowongan lalu lintas udara. Saluran-saluran tersebut juga berperan sebagai salah satu front
terdepan mekanisme pertahanan tubuh. Paru-paru memiliki permukaan yang terekspos pada
dunia luar, yang wilayahnya jauh lebih luas dibanding bagian tubuh yang lain, termasuk kulit.
Sehingga saluran pernapasan juga harus berfungsi mengusir kotoran, debu, tungau, dan bakteri
dari benda-benda asing yang merugikan lainnya.2
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan kronis umum yang mengganggu
pernapasan saat tidur. Ini mempengaruhi orang-orang dari segala usia tetapi terutama mereka
yang berusia setengah baya dan lebih tua.3 Pasien-pasien dengan OSA untuk sementara waktu
menghentikan atau mengurangi pernapasan mereka (apnea atau hypopnea) berulang-ulang
selama tidur.3 Penghentian atau penurunan pernapasan ini adalah hasil dari pengulangan
obstruksi sebagian atau seluruhnya jalan napas yang disebabkan oleh penyempitan saluran
pernapasan.4 Gangguan pernapasan ini dapat menyadarkan seseorang atau mencegah tidur
nyenyak yang nyenyak. Efek dari tidur yang terfragmentasi pada kelelahan siang hari dan rasa
kantuk diakui secara luas.
Prevalensi pasti OSA tidak diketahui, meskipun perkiraan berkisar dari 2% hingga 14%
pada populasi komunitas yang diskrining hingga prevalensi yang jauh lebih tinggi pada
subkelompok tertentu (mis., 20% hingga 90% orang yang dirujuk untuk studi tidur) .4
Pria tiga kali lebih mungkin memiliki OSA daripada wanita. Hal ini sangat jarang terjadi
pada wanita pramenopause yang nonobese. Prevalensi OSA meningkat dengan bertambahnya
usia, terutama pada orang yang lebih tua dari 60 tahun. OSA juga lebih umum di antara orang
yang mengalami obesitas. Baik populasi yang menua dan tingkat obesitas yang meningkat
berkontribusi pada peningkatan tingkat OSA.4
Obstructive sleep apnea merupakan bentuk umum sleep-disordered breathing (SDB) yang
telah dikenal secara umum dan berhubungan dengan berbagai masalah medis serta mempunyai
dampak pada angka kesakitan dan kematian sehingga menjadi beban dalam pelayanan kesehatan
masyarakat.
Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui tentang Mengetahui Sistem
Pernapasn dan obstruktive Sleep Apnea dan sebagai salah satu pemenuhan tugas residen
Ortodonti KedokteranGigi Universitas Hasanuddin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Faring (Tekak)
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan
jalan makanan. Faring atau tekak terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga
hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher. Nasofaring adalah bagian faring yang
terletak di belakang hidung di atas palatum yang lembut.
Pada dinding posterior terdapat lintasan jaringan limfoid yang disebut tonsil
faringeal, yang biasanya disebut sebagai adenoid. Jaringan ini kadang-kadang membesar
dan menutup faring. Tubulus auditorium terbuka dari dinding lateral nasofaring dan
melalui tabung tersebut udara dibawa kebagian tengah telinga.
Nasofaring dilapisi membran mukosa bersilia yang merupakan lanjutan membran
yang dilapisi bagian hidung. Orofaring terletak di belakang mulut di bawah palatum
lunak, dimana dinding lateralnya saling berhubungan. Diantara lipatan dinding ini, ada
yang disebut arkus palato-glosum yang merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
disebut tonsil palatum.
Dalam faring terdapat tuba eustachii yang bermuara pada nasofarings. Tuba ini
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani, dengan cara
menelan pada daerah laringofarings bertemu sistem pernapasan dan pencernaan. Udara
melalui bagian anterior ke dalam larings, dan makanan lewat posterior ke dalam esofagus
melalui epiglotis yang fleksibel.
6. Alveolus
Alveolus merupakan saluran akhir dari alat pernapasan yang berupa gelembung-
gelembung udara. Dindingnya tipis, lembap, dan berlekatan erat dengan kapiler-kapiler
darah. Alveolus terdiri atas satu lapis sel epitelium pipih dan di sinilah darah hampir
langsung bersentuhan dengan udara.
Adanya alveolus memungkinkan terjadinya perluasan daerah permukaan yang
berperan penting dalam pertukaran gas O2 dari udara bebas ke sel-sel darah dan CO2 dari
sel-sel darah ke udara. Membran alveolaris adalah permukaan tempat terjadinya
pertukaran gas. Darah yang kaya karbon dioksida dipompa dari seluruh tubuh ke dalam
pembuluh darah alveolaris, dimana, melalui difusi, ia melepaskan karbon dioksida dan
menyerap oksigen.
B. Fisiologi Pernapasan 7
Pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru.
Fungsi paru adalah tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernapasan melalui
paru/pernapasan eksterna. Oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Saat bernapas, oksigen
masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli, dan dapat erat berhubungan dengan darah di
dalam kapiler pulmonalis.
Pernapasan dapat berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel
kembali ke atmosfer. Proses ini menurut Guyton dan Hall dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih adanya
udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan
ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini
penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk menghasilkan darah.
2. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
3. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-sel.
4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
2. Pernafasan perut
Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot
dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar.
Hal itu menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udaranya
semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan mengembangnya paru-paru,
sehingga udara mengalir masuk ke paru- paru (inspirasi).
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan
tertidur sekalipun karma sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan atas 2
jenis, yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam.
Pernapasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus
dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernapasan dalam adalah pernapasan yang
terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh. Masuk keluarnya udara dalam
paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekanan udara dzalam rongga dada dengan
tekanan udara di luar tubuh. Jika tekanan di luar rongga dada lebih besar maka udara
akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar maka udara
akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukkan udara (inspirasi) dan
pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan atas dua macam,
yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut. Pernapasan dada dan perut terjadi secara
bersamaan.
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan napas saat tidur (Sleep- Disordered
Breathing, SDB) yang ditandai dengan obstruksi parsial atau total pada jalan napas bagian atas
meskipun ada upaya untuk bernapas saat tidur. Adanya obstruksi berulang menyebabkan
terjadinya periode henti napas (apnea) atau kurang napas (hypopnea) minimal 10 detik selama
tidur. OSA yang berhubungan dengan kantuk berlebihan di siang hari (Excessive Daytime
Sleepiness, ESS) disebut dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSA).
E. Patogenesis OSA9
1. Obesitas
Obesitasi menurut World Health Organization (WHO) 2011 adalah penumpukan
lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan.Parameter
yang paling sering digunakan untuk menilai adanya obesitas adalah IMT. Penghitungan
IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam
meter.34 Berdasarkan kriteria Asia-Pasifik, yang termasuk obesitas adalah orang dengan
IMT ≥ 25. Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya OSA.Sekitar 60-
90% penderita OSA memiliki IMT ≥ 28 kg/m2.
Pada penderita OSA, kelebihan berat badan sebanyak 10% meningkatkan risiko
perkembangan OSA menjadi sedang hingga berat sebanyak enam kali lipat.37,38 Tidak
hanya mengurangi patensi saluran napas atas akibat deposisi lemak pada faring, ada pula
mekanisme tidak langsung yang dapat menyebabkan faring kolaps.
Deposisi lemak pada abdomen dan posisi berbaring mengurangi volume paru. Selama
inspirasi, paru mengembang dan memicu tekanan negatif intralumen yang akan
mengaktifkan otot dilator faring. Hasilnya didapatkan kekuatan traksi longitudinal pada
saluran napas yang berfungsi melawan tekanan yang m enyebabkan saluran napas
kolaps. Ketika volume paruberkurang, kekuatan traksi longitudinal pada saluran napas
juga berkurang, akibatnya saluran napas bisa kolaps.
2 Lingkar Leher
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lingkar leher lebih dari 17 inci untuk
pria dan lebih dari 16 inci untuk wanita berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya OSA.Lingkar leher yang besar juga dikaitkan dengan peningkatan keparahan
OSA yang diukur dengan AHI, teruatama pada pasien non obes.42 Mekanisme yang
terlibat yaitu peningkatan deposisi lemak pada leher mengurangi patensi jalan napas.
Ada pula yang mengemukakan mekanisme lain, yaitu saat berbaring, akumulasi cairan
tubuh yang semula berada di tungkai dan kaki karena gravitasi pindah ke leher.
Akumulasi cairan di leher dapat meningkatkan besarnya lingkar leher dan memicu
kolapsnya saluran napas bagian atas.
3 Jenis Kelamin
Pada sebagian besar penelitian telah menemukan prevalensi OSA 2-3 kali lebih
besar pada pria dibanding wanita. Dominasi pria diperkirakan berkaitan dengan
perbedaan anatomi dan fungsi pada saluran napas atas, obesitas dan distribusi lemak,
kontrol ventilasi, dan status hormonal. Hormonal mungkin berperan penting pada
patogenesis OSA, dimana prevalensinya lebih besar pada wanita pasca menopause
dibanding pre menopause.
4 Usia
Prevalensi OSA meningkat seiring pertambahan umur, tidak bergantung pada
risiko lain termasuk obesitas, dengan prevalensi tertinggi pada usia paruh baya. Bixler et
al melaporkan adanya peningkatan frekuensi OSA setelah umur 16 tahun, tetapi frekuensi
sindrom OSA menurun setelah umur 65 tahun. Belum diketahui mekanisme yang
mendasari.
6 Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol menurunkan keluaran motorik pada saluran napas atas.
Akibatnya, otot dilator faring menjadi hipotoni. Pada studi yang dilakukan di
laboratorium, alkohol meningkatkan baik episode apnea dan durasi apnea. Svensson et al
melaporkan bahwa konsumsi alkohol berkaitan dengan mengorok hanya pada wanita
dengan IMT < 20 kg/m2. Oleh karena itu, mekanisme konsumsi alkohol yang
menginduksi hipotoni pada otot dilator faring lebih banyak terjadi pada wanita dengan
IMT normal tanpa adanya deposisi lemak pada leher.
2 Mengorok 11
Mengorok (snoring) juga merupakan gejala umum yang dikeluhkan pada
penderita OSA. Suara yang terdengar saat mendengkur timbul akibat turbulensi aliran
udara pada saluran napas atas akibat adanya obstruksi. Aliran udara yang masuk akan
menggetarkan palatum mole dan jaringan lunak sekitarnya. Keadaan ini dipermudah
dengan relaksasi lidah, uvula, dan otot dilator faring.
H. Terapi OSA 12
1 Non Invasif
Pemberian tekanan positif berguna untuk mencegah kolapsnya saluran napas atas
sehingga dapat mengurangi gejala-gejala pada OSA, seperti rasa kantuk di siang hari
(Excessive Daytime Sleepiness, EDS), fragmentasi dalam tidur, dan mendengkur. CPAP
dapat menurunkan tekanan darah, marker inflamasi dalam tubuh, serta risiko terkena
penyakit kardiovaskuler akibat OSA. Pada pasien stroke dengan OSA, CPAP
meningkatkan keluaran klinis serta menurunkan risiko rekurensi dan kematian. CPAP
bersifat lifetime treatment apabila tidak ada terapi lain yang digunakan. Namun, tidak
semua pasien OSA toleran terhadap CPAP. Beberapa pasien merasa tidak nyaman
menggunakan masker setiap hari selama tidur.
d) Terapi Posisi
Posisi tidur telentang atau supine berhubungan dengan peningkatan episode apnea
atau hipopnea dan keparahan desaturasi oksigen karena pengaruh gravitasi serta
perubahan ukuran dan posisi saluran napas atas pada posisi tersebut. Pasien OSA dapat
dikategorikan menjadi postural dan non postural.
Diagnosis OSA postural ditegakkan apabila episode obstruksi selama tidur terjadi
terutama saat posisi telentang (AHI pada posisi telentang minimal dua kali lebih besar
dibanding dengan posisi non telentang). Sebagian besar OSA ringan hingga sedang
adalah OSA postural (antara 65-87%) sehingga terapi posisi dapat menjadi solusi yang
sederhana, murah, dan efektif untuk mengurangi periode obstruksi saat tidur.
Berbagai strategi digunakan untuk mencegah punggung pasien menyentuh alas
tidur, contohnya memasang alarm yang berbunyi saat pasien tidur dalam posisi telentang.
Selain itu, punggung pasien OSA dapat dipasang bantal atau bola agar merasa tidak
nyaman saat tidur dalam posisi telentang. Terapi posisi dikatakan berhasil apabila
terdapat penurunan AHI hingga kurang dari 10 pasca terapi.
2 Pembedahan 13
Tindakan operatif pada kasus OSA bertujuan untuk menghilangkan penyebab
obstruksi saluran napas dan melebarkan jalan napas setelah deteksi secara akurat lokasi
obstruksi. Lokasi tersering yang mengalami obstruksi pada OSA adalah orofaring,
misalnya karena makroglosi atau hipertrofi tonsil.
Tonsilektomi dan adenoidektomi merupakan tindakan operatif yang paling sering
dilakukan dan merupakan terapi lini pertama pada anak dengan OSA sedang hingga
berat. Metode operatif yang lain meliputi Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP),
axillomandibular advancement (MMA), dan trakeotomi yang dilakukan pada pasien
OSA berat yang terancam hidupnya. Namun, efektivitas sebagian besar terapi operatif
untuk OSA menurun seiring dengan pertambahan umur dan berat badan. Hal ini yang
menjadi faktor utama terjadinya rekurensi OSA pasca operasi.
BAB III
KESIMPULAN
OSA (Obstructive Sleep Apnea) merupakan penyakit yang sering dijumpai pada gangguan
pernapasan saat tidur, di dasari oleh berbagai mekanisme dan faktor predisposisi yang kompleks
serta memerlukan penanganan tepat demi mengurangi dampak yang diakibatkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heil, M., Hazel, A. and Smith, J. The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology & Neurobiology. 2008 ; 163(1-3): 214-221.
2. Majumder, N. Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and Physical
Education. 2015; 2(3): 16-17.
3. Qaseem A, et al. Management of obstructive sleep apnea in adults: a clinical practice
guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2013;159(7):471-
483.
4. Greenstone M, Hack M. Obstructive sleep apnoea. BMJ. 2014; 348:g3745.
5. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant to
anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2015; 59(9): 533.
6. Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, Cetakan kedua puluh
Sembilan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. p. 141-142.
7. John W. Wet’s Respiratory Psyhcology Ten Edition. 2016 Wolters Kluwer
8. Srinivas, P. Steady State and Stability Analysis of Respiratory Control System using
Labview. International Journal of Control Theory and Computer Modeling. 2012; 2(6):
13-23.
9. White, S, Danowitz, M. and Solounias, N. Embryology and evolutionary history of the
respiratory tract. Edorium Journal of Anatomy and Embryology. 2016; 3: 54-62.
10. Semelka M, Wilson J. Diagnosis and Treatment of Obstructive Sleep Apnea in Adults.
American Family Physician. 2016: 94,( 5)
11. Young T, Skatrud J, Peppard PE. Risk factors for obstructive sleep apnea in adults.
JAMA. 2004;291(16):2013-2016.
12. Victor LD. Treatment of obstructive sleep apnea in primary care. Am Fam Physician.
2004;69(3):561-569.
13. Sundaram S, Bridgman SA, Lim J, Lasserson TJ. Surgery for obstructive sleep apnoea.
Cochrane Database Syst Rev. 2005;(4):CD001004.