Anda di halaman 1dari 32

Laporan Pendahuluan

Asuhan Keperawatan Gerontik

GOUT ARTHRITIS

Oleh :
Maulana zulfikar ahmad
2014.02.030
Lucky fajar firdaus
2014.02.058

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2017
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian Proses Penuaan


Lanjut usia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Menurut Bernice Neugarten
(1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa
puas dengan keberhasilannya. Sedangkan menurut (Prayitno dalam Aryo (2002) dalam buku
Keperawatan Gerontik edisi 2) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan
lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan
tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok kehidupannya sehari-hari.
Pada Lansia, menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dari atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang di derita (Nugroho, 2000 dalam buku Keperawatan Gerontik
edisi 2)
Pada orang orang sehat, perubahan anatomik fisiologik tersebut merupakan bagian dari
proses menua, Usia Ianjut bukanlah merupakan penyakit, tetapi merupakan tahap lanjut dari
suatu kehidupan yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi
terhadap stres atau pengaruh lingkungan. Proses menua melandasi berbagai kondisi yang
terjadi pada usia lanjut (Kumar et al, 1992. Di dalam buku R.Boedi-Dharmojo dan H.Hadi
Martono. 1999)
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu kemunduran fungsi tubuh adalah disebabkan
oleh proses menua dan bukan disebabkan oleh penyakit yang menyertai proses menua, ada 4
kriteria yang harus dipenuhi (Widjayakusumah, 1992. R Didalam buku R.Boedi-Dharmojo dan
H.Hadi Martono. 1999):
1. Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh tadi harus bersifat universal, artinya
umum terjadi pada setiap orang.
2. Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, yang berarti perubahan fungsi sel
dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi di dalam sel dan bukan oleh
faktor luar.
3. Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur Iambat dan tidak dapat
berbalik lagi.
4. Proses menua bersifat proses kemunduran atau kerusakan (injury).
2. Fungsi Normal Sistem Pernafasan
Pernafasan (respirasi) merupakan peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan CO2 (karbondioksida)
sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Adapun guna pernafasan banyak sekali
diantaranya: mengambil O2 yang kemudian dibawa keseluruh tubuh untuk mengadakan
pembakaran, mengelurakan CO2 sebagai sisa dari pembakaran karena tidak digunakan lagi
oleh tubuh dan menghangatkan dan melembabkan udara.
Saluran pernafasan mulai dari atas secara berturut-turut adalah:
a. Hidung (Nasal)
Merupakan saluran udara yang pertama, yang terdiri dari 2 kavum nasi, dipisah kan
oleh septum nasi. Didalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu
dan kotoran. Bagia luar terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang
rawan. Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, ke atas rongga hidung
berhubungan dengan sinus para nasalis. Adapun fungsi dari nasal ini sebagai saluran udara
pernafasan, penyaring udara pernafasan yang dilakukan bulu-bulu hidung, dapat
menghangatkan udara oleh mukosa serta membunuh kuman yang masuk bersamaan dengan
udara pernapasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
b. Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan nafas dan pencernaan. Terdapat di bawah
dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Ke
atas berhubungan dengan rongga hidung dengan perantaraan lubang (koana), kedepan
berhubungan dengan rongga mulut. Rongga faring terbagi atas tiga bagian: nasofaring,
orofaring dan laringofaring.
c. Laring
Laring merupakan lanjutan dari pharing yang terletak didepan oesophagus. Bentuknya
seperti kotak segi tiga dengan sebelah samping mendatar dan didepan menonjol. Laring ini
dibentuk oleh tulang rawan yang dihubungkan oleh jaringan ikat, pada laring terdapat selaput
pita suara.
d. Trachea
Trachea merupakan lanjutan dari laring, dibentuk oleh cincin tulang rawan yang
berbentuk huruf C. Diantara tulang rawan dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot polos yang
panjangnya 11,2 cm, lebarnya ± 2cm. Mulai dari bawah laring segitiga vertebra thorakalis V
dan akan bercabang menjadi bronchus kiri dan kanan. Trachea juga dilapisi oleh selaput
lendir (mukosa) yang mempunyai epitel torak yang berbulu getar. Permukaan mukosa ini
selalu basah oleh karena adanya kelenjar mukosa. Trachea berfungsi untuk menyaring debu-
debu yang halus dari udara pernafasan. Otot polos pada dinding trachea dapat berkontraksi
sehingga saluran akan menyempit sehingga timbul sesak nafas.
e. Bronchus
Bronchus merupakan cabang trachea sehingga vertebra thorakalis V yaitu terdiri dari
bronchus kiri dan brochus kanan. Bronchus ini dibentuk oleh cincin tulang rawan yang
ukurannya lebih kecil dari trachea yang dilapisi oleh selaput lendir. Perbedaan bronchus kiri
dan bronchus kanan adalah: bronchus kiri lebih kecil, horizontal dan lebih panjang sedangkan
bronchus kanan lebih besar, vertikal dan lebih pendek.
f. Bronchiolus
Bronchiolus merupakan cabang dari bronchus yang mana struktur sama dengan brochus
hanya saja ukuran dan letaknya berbeda. Bronchiolus sudah memasuki lobus paru-paru
sedangkan bronchus masih di luar paru-paru. Bronchiolus akan bercabang lagi menjadi
bronchiolus terminalis yang strukturnya sama dengan Bronchiolus dan letaknya lebih dalam
di jaringan paru-paru. Diujungnya baru terdapat rongga udara yaitu alveolus dan dinding dari
alveolus merupakan jaringan paru-paru.
g. Paru-paru
Paru-paru (pulmo) terletak dalam rongga dada yang terdiri dari paru kiri dan kanan,
diantara paru kiri dan kanan terdapat jantung, pembuluh darah besar trachea, bronchus dan
esophagus. Di sebelah depan, belakang dan lateral paru-paru berkontak dengan dinding dada,
sebelah bawah berkontak dengan diafragma dan sebelah medial adalah tempat masuk
bronchus kiri, kanan dan tempat masuk pembuluh darah arteri dan vena pulmonalis. Bentuk
dari paru ini seperti kubah (segitiga) yang puncaknya disebut apek pulmonum dan alasnya
disebut basis pulmonal.
Jaringan paru-paru ini bersifat elastis sehingga dapat mengembang dan mengempis
pada waktu bernafas. Didalam paru-paru terdapat kantong-kantong udara (alveolus), alveolus
ini mempunyai dinding yang tipis sekali dan pada dindingnya terdapat kapiler-kalpiler
pembuluh darah yang halus sekali dimana terjadi difusi oksigen dan CO2. Jumlah alveolus ini
± 700 juta banyaknya dengan diameter 100 micron. Luasnya permukaan dari seluruh
membran respirasi ini kalau direntang adalah 90 m2 atau ± 100 kali luas tubuh, akan tetapi
hanya 70 m2 yang dipergunakan untuk pernafasan selebihnya tidak mengembang.
Setiap paru-paru dilapisi oleh membran serosa rangkap dua yaitu pleura. Selaput ini
merupakan jaringan ikat yang terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseral yang langsung
melengket pada dinding paru-paru, masuk kedalam fisura dan memisahkan lobus satu dengan
yang lainnya, membran ini kemudian dilipat kembali sebelah tampuk paru-paru dan
membentuk pleura parietalis dan melapisi bagian dalam dinding dada. Pleura yang melapisi
iga-iga adalah pleura kostalis, bagian yang menutupi diafragmatika dan bagian yang terletak
dileher adalah pleura servicalis. Pleura ini diperkuat oleh membran yang kuat yang disebut
dengan membran supra renalis (fasia gison) dan diatas membran ini terletak arteri subklavia.
Diantara kedua lapisan pleura ini terdapat eksudat untuk melicinkan permukaannya dan
menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu bernafas. Dalam keadaan
normal kedua lapisan ini satu dengan yang lain erat bersentuhan. Ruang atau rongga pleura
itu hanyalah ruang yang tidak nyata, tetapi dalam keadaan tidak normal udara atau cairan
akan memisahlkan kedua pleura dan ruangan diantaranya akan menjadi lebih jelas.
Pernafasan paru-paru merupakan pertukaran oksigen dengan karbon dioksida yang
terjadi pada paru-paru. Adapun tujuan pernafasan adalah memenuhi kebutuhan jaringan
terhadap oksigen dan mengeluarkan sisa pembakaran berupa karbondioksida dari jaringan.
Pernafasan menyangkut dua proses :
1. Pernafasan luar (eksternal) adalah: Absorbsi O2 dari luar masuk kedalam paru-paru dan
pembuangan CO2 dari paru-paru keluar.
2. Pernafasan dalam (insternal) ialah: Proses transport O2 dari paru-paru ke jaringan dan
transport CO2 dari jaringan ke paru-paru.
Pernafasan melalui paru-paru (internal), oksigen diambil melalui mulut dan hidung
pada saat pernafasan dimana oksingen masuk melalui trachea sampai ke alveoli berhubungan
dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli memisahkan oksigen dari darah, oksigen
menembus membran diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung
dipompakan keseluruh tubuh.
Sementara itu karbondioksida sebagai sisa metabolisme dalam tubuh akan dipisahkan
dari pembuluh darah yang telah mengumpulkan karbondioksida itu dari seluruh tubuh
kedalam saluran nafas.
3. Perubahan Fungsi Dan Struktur Sistem Pernafasan Yang Terjadi Pada Lansia
3.1 Perubahan Anatomik sistem pernafasan
Adapun bagian yang mengalami perubahan adalah:
1. Dinding dada: tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang rawan mengalami
osifikasi.
2. Otot-otot pernafasan: mengalami kelemahan akibat atrofi.
3. Saluran nafas: akibat kelemahan otot berkurangnya jaringan elastis bronkus dan alveoli
menyebabkan lumen bronkus mengecil, cincin-cincin tulang rawan bronkus mengalami
pengapuran.
4. Struktur jaringan parenkim paru: bronkiolus, duktus alveolaris dan alveolus membesar
secara progeseif terjadi emfisema senilis.
3.2 Perubahan-perubahan fisilogik sistem pernafasan
1. Gerak pernafasan: adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun rongga dada akan
merubah mekanika pernafasan, amplitudo pernafasan menjadi dangkal sehingga akan timbul
keluhan sesak bernafas.
2. Distribusi gas: perubahan struktur anatomik saluran gas akan menimbulkan penumpukan
udara dalam alveolus (air traping) ataupun gangguan pendistribusian oksigen.
3. Volume dan kapasitas paru menurun.
4. Gangguan transport gas: pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang
penyebabnya terutama disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Selain
itu diketahui bahwa pengambilan O2 dalam darah dari alveoli (difusi) dan transport O2 ke
jaringan-jaringan berkurang, terutama saat melakukan olahraga.
5. Gangguan perubahan ventilasi paru: akibat adanya penurunan kepekaan kemoreseptor
perifer, kemoreseptor sentral ataupun pusat-pusat pernafasan pada medulla oblongata dan
pons.
Pada usia lanjut terjadi perubahan-perubahan anatomik yang mengenai hampir
seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ.
A. Perubahan Anatomik Sistem Pernafasan
Menurut Stanley, 2006 dalam buku Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit,
mengatakan bahwa perubahan anatomi yang terjadi pada sistem respiratory akibat penuaan
sebagai berikut:
a. Paru-paru kecil dan kendur.
b. Hilangnya recoil elastic.
c. Pembesaran alveoli.
d. Penurunan kapasitas vital: penurunan PaO2 dan residu.
e. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi.
f. Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangan.
g. Hilangnya tonus otot thoraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
h. Kelenjar mucus kurang produktif.
i. Penurunan sensitivitas sfingter esophagus.
j. Penurunan sensitivitas kemoreseptor.

B. Perubahan Fisiologis Sistem Pernafasan


Proses penuaan menyebabkan beberapa perubahan struktural dan fungsional pada
thoraks dan paru-paru. Kita ketahui bahwa tujuan pernapasan adalah untuk pertukaran
oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan darah. Pada lansia ditemukan
alveoli menjadi kurang elastis dan lebih berserabut serta berisi kapiler-kapiler yang kurang
berfungsi, sehingga kapasitas penggunaan menurun karena kapasitas difusi paru-paru untuk
oksigen tidak dapat memenuhi permintaan tubuh. Daya pegas paru-paru berkurang, sehingga
secara normal menahan thoraks sedikit pada posisi terkontraksi disertai dengan penurunan
kekuatan otot rangka pada toraks dan diafragma. Karena dinding toraks lebih kaku dan otot
pernapasan menjadi lemah, maka menyebabkan kemampuan lansia untuk batuk efektif
menurun. Dekalsifikasi iga dan peningkatan kalsifikasi dari kartilago kostal juga terjadi.
Membran mukosa lebih kering, sehingga menghalangi pembuangan sekret dan menciptakan
resiko tinggi terhadap infeksi pernapasan. (Maryam, 2008
www.JrPatrickGaskinsBlogger.com).
Sedangkan menurut Stokslager, 2003 dalam buku Fisiologi Manusia dan Mekanisme
Penyakit perubahan fisiologis pada sistem pernapasan sebagai berikut:
a. Pembesaran hidung akibat pertumbuhan kartilago yang terus-menerus.
b. Atrofi umum tonsil.
c. Deviasi trakea akibat perubahan di tulang belakang yang menua.
d. Peningkatan diameter dada anteropsterior sebagai akibat perubahan metabolisme kalsium
dan kartilago iga.
e. Kekakuan paru: penurunan jumlah dan ukuran alveolus.
f. Kiposis.
g. Degenerasi atau atrofi otot pernapasan.
h. Penurunan kapasitas difusi.
i. Penurunan kekuatan otot inspirasi dan ekspirasi: penurunan kapasitas vital.
j. Degenerasi jaringan paru, yang menyebabkan penurunan kemampuan recoil elastis paru
dan peningkatan kapasitas residual.
k. Ventilasi buruk pada area basal (akibat tertutupnya jalan napas) yang mengakibatkan
penurunan area permukaan untuk pertukaran gas dan pertukaran tekanan oksigen.
l. Penurunan saturasi oksigen sebesar 5%.
m. Penurunan cairan respiratorik sekitar 30%, peninggian resiko infeksi paru dan sumbat
mukus.
n. Toleransi rendah terhadap oksigen.

C. Perubahan Fisik Sistem Pernafasan Pada Lansia


a) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi berkurang,
sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
b) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial terjadi
penumpukan sekret.
c) Penurunan aktivitas paru (mengembang dan mengempisnya) sehingga jumlah udara
pernafasan yang masuk ke paru mengalami penurunan, jika pada pernafasan yang tenang
kira-kira 500 ml.
d) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas permukaan normal 50 m²),
menyebabkan terganggunya proses difusi.
e) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu proses oksigenasi dari
hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua ke jaringan.
f) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun yang lama-
kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
g) Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret dan corpus alium dari saluran
nafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.

4. Perubahan Psikososial Dan Spiritual Yang Dialami Lansia Akibat Adanya Perubahan Fungsi
dan Struktur Tubuh
4.1 Perubahan-perubahan Psikososial
a) Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan
dengan peranan dalam pekerjaan.
Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
a. Kehilangan finansial (income berkurang).
b. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan
segala fasilitasnya).
c. Kehilangan teman atau kenalan atau relasi.
d. Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.
d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
e) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit dan bertambahnya biaya
pengobatan.
f) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
g) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
h) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family.
i) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri dan perubahan
konsep diri.
4.2 Pengaruh Proses Penuaan Pada Fungsi Psikososial
a. Perubahan fisik, sosial mengakibatkan timbulnya penurunan fungsi, kemunduran
orientasi, penglihatan, pendengaran mengakibatkan kurangnya percaya diri pada fungsi
mereka.
b. Mundurnya daya ingat, penurunan degenerasi sel-sel otak.
c. Gangguan halusinasi.
d. Lebih mengambil jarak dalam berinteraksi.
e. Fungsi psikososial, seperti kemampuan berfikir dan gambaran diri.
4.3 Perubahan Spritual
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow, 1970
www.sulandraamensambas.blogspot.com).
b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan
bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970
www.sulandraamensambas.blogspot.com).
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), Universalizing,
perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai keadilan.

B. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meningens, ginjal,
tulang dan nodus limfe (Brunner & Suddarth, 2002 hal.584).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang di sebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya (www.infeksi.com).
Tuberkulosis paru adalah Penyakit yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosis,
yakni kuman aerob yang dapat menyerang semua sistem tubuh, yang mengenai paru (Dr.
Med. Ahmad Ramali, Dkk, 1992 :306 www.erfansyah.blogspot.com).
TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikobakterium
tuberkulosa tipe humanus (jarang oleh tipe M. Bovinus). TB paru merupakan penyakit infeksi
penting saluran napas bagian bawah. Basil mikobakterium tuberculosa tersebut masuk
kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infeksion) sampai alveoli, terjadilah
infeksi primer. Selanjutnya menyebar ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah
primer kompleks atau ranke (Muhammad Amin, Ilmu penyakit paru). TB paru adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang
sangat bervariasi.

2. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium tuberculosa. Sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 /mm dan tebal 0,3-0,6 /mm. Sebagian besar
kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat bertahan dalam lemari es).
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dengan tebal 0,3-0,6 mikron. Kuman ini
lebih tahan terhadap asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman ini lebih tahan
terhadap terhadap asam, gangguan kimia dan fisik.

2.1 Yang tergolong yang tergolong dalam kuman mycobacterium tuberculosae complex adalah:
1. M. Tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. Bovis
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.

2.2 Kelompok kuman Mycobacterium tuberculosae dan Mycobacteria Other Than TB (MOTT)
atypical adalah:
1. M. Kansaii
2. M. Avium
3. M. intra cellulare
4. M. Scrofulaceum
5. M. Malmacerse
6. M. Xenopi

3. Tanda Dan Gejala


Adapun tanda dan gejala yang ditimbulkan dari penyakit TB Paru, antara lain:
a) Batuk disertai dahak lebih dari 3 minggu.
b) Sesak napas dan nyeri dada.
c) Badan lemah, kurang enak badan.
d) Berkeringat pada malam hari walau tanpa kegiatan berat badan menurun.
(Penyakit infeksi TB paru dan ekstra paru, Misnadiarly).

3.1 Tanda dan gejala pada klien secara obyektif adalah:


1. Keadaan postur tubuh klien yang tampak terangkat kedua bahunya.
2. BB klien biasanya menurun: agak kurus.
3. Demam, dengan suhu tubuh bisa mencapai 40 - 41° C.
4. Batuk lama, > 1 bulan atau adanya batuk kronis.
5. Batuk yang kadang disertai hemaptoe.
6. Sesak nafas.
7. Nyeri dada.
8. Malaise, (anorexia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, berkeringat pada
malam hari).
4. Manifestasi Klinik
Sebagian besar tuberkulosis paru didiagnosa berdasarkan adanya keluhan penderita
yang merasakan kurang enak badan. Biasaya keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis
dapat bermacam-macam atau malah tanpa keluhan sama sekali.
Adapun keluhan yang tersering terjadi adalah :
a. Demam (panas)
Demam ini mungkin hanya sedikit peningkatan suhu tubuh pada malam hari. Biasanya
subfebris menyerupai demam influenza, tapi kadang-kadang panas dapat mencapai 40-41 0C.
Serangan demam ini sifatnya hilang timbul yang berlangsung terus-menerus sehingga
penderita tidak pernah merasa terbebas dari demam ini. Hal ini juga tergantung dari daya
tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis.
b. Batuk dan sputum
Gejala batuk ini banyak ditemukan. Hal ini terjadi karena adanya iritasi pada bronchus
yang diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Batuk ini timbul setelah
penyakit telah berkembang dalam jaringan paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-
bulan peradangan bermual. Sifat batuk ini dimulai dari batuk kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum) keadaan yang
lebih lanjut dapat terjadi batuk darah (hemaptoe) karena terdapatnya pembuluh darah yang
pecah.
c. Sesak nafas
Sesak nafas yang terjadi pada tuberkulosis berkaitan dengan penyakit yang sudah terjadi
infiltrasi yang luas di dalam paru atau telah terjadi komplikasi beripa efusi pleura. Sesak
nafas akan akan ditemukan pada penyakit tuberkulosis yang sudah lanjut.
d. Nyeri dada
Nyeri dada merupakan keluhan yang jarang dijumpai pada penderita tuberkulosis. Bila
dijumpai kadang bersifat nyeri tumpul dan rasa nyeri kadang dirasakan berat pada waktu
mengambil nafas (inspirasi), rasa nyeri ini juga berkaitan dengan tegangnya otot pada saat
penderita batuk nyeri ini juga timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
e. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun, Gejala malaise sering ditemukan
berupa: anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul.

Beberapa gambaran klinis yang telah disebutkan diatas merupakan gejala-gejala yang
mengarah ke diagnosis tuberkulosis. Akan tetapi gejala itu tidak jelas. Satu-satunya cara
untuk memastikannya yaitu dengan pengujian sputum untuk mencari kuman tuberkulosis
pada individu yang menderita batuk (DR. Dr. Soeparman, 1994:715,
www.ebookyuflihulkhair.blogspot.com).
Tuberkulosis juga dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku
tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia dan penurunan berat badan.
(Brunner & Suddarth-2002 hal. 585).
5. Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru jika tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi di bagi atas 2 yaitu:
5.1 Komplikasi dini
1. Pleurtis
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laringitis
5. Menjalar ke organ lain yaitu usus

5.2 Komplikasi lanjut


1. Obstruksi jalan nafas-SOPT (Syndrome Obstruksi Pasca Tuberkulosis)
2. Kerusakan parenkim berat-fibrosis paru, kor pulmonal
3. Amioloidosis
4. Karsinoma paru
5. Syndrom gagal nafas dewasa (ARDS)
(Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jili II, 2003 hal.829)

6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Fase Intensif (2-3 bulan).
2. Fase Lanjutan (4-7 bulan).

Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan adalah Kanamisin,
Kulnolon, Makvolide, dan Amoksilin ditambah dengan asam klavulanat, derivat rifampisin
atau INH.
Tuberculosis paru diobati karena agens kemotherapi (agen anti tuberkulosis) selama
periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan digunakan: isoniasid (INH),
rifampicin (RIF), streptomisin (SM), etambutol (EMB), dan pirazinamid (PZA).
Kapreomisin, kanamisin, etionamid, natirum para-aminosalisilat, amikasin dan siklisin
merupakan obat-obat baris kedua.
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat-obatan terus menjadi isu
berkembang di seluruh dunia. Meski TB yang resisten terhadap obat telah teridentifikasi
sejak tahun 1950, insiden dari resisten banyak obat telah menciptakan tantangan baru.
Beberapa jenis resisten obat harus dipertimbangkan ketika merencanakan terapi efektif:
a. Resisten obat primer adalah resisten terhadap satu agens tuberculosis garis depan pada
individu yang sebelumnya belum mendapatkan pengobatan.
b. Resiten obat didapat atau sekunder adalah resisten terhadap satu atau lebih agens anti
tuberculosis pada pasien yang sedang menjalani terapi.
c. Resisten banyak obat adalah resisten terhadap dua agens, sebut saja, INH dan RIF
Pengobatan yang direkomendasikan bagi kasus tuberculosis yang baru didiagnosa adalah
regimen pengobatan beragam termasuk INH, RIF dan PZA selama 4 bulan, dengan INH dan
RIF dilanjutkan untuk tambahan 2 bulan (totalnya 6 bulan).
Sekarang ini, setiap agens di buat dalam pil terpisah. Pil anti tuberculosis baru three in-
one yang terdiri atas INH, RIF dan PZA telah dikembangkan, yang akan memberikan
dampak besar dalam meningkatkan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Pada awalnya
etambutol dan streptomycin disertakan dalam terapi awal sampai sampai pemeriksaan
resisten obat didapatkan. Regimen pengobatan, bagaimanapun tetap dilanjutkan selama 12
bulan.
Individu akan dipertimbangkan non infeksius setelah menjalani 2 sampai 3 minggu
terapi obat kontinu. Isoniasid (INH) mungkin digunakan sebagai tindakan preventif bagi
mereka yang diketahui beresiko terhadap penyakit signifikan, sebagai contoh, anggota
keluarga dari pasien yang berpenyakit aktif.
Regimen pengobatan profilaktik ini mencakup penggunaan dosis harian INH selama 6
sampai 12 bulan. Untuk meminimalkan efek samping, dapat diberikan piridoksin (vitamin
B6).
Enzim-enzim hepar, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin di pantau setiap bulan
(Brunner & Suddarth, 2002 hal. 586-587).
Panduan OAT di Indonesia WHO dan IULTD (Intrenational Union Against
Tubercolosis and Lung Diase) merekomendasikan panduan OAT standar, yaitu:
1. Kategori-1
Tahap intensif terdiri dari Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yag terdiri dari Inosiasid (H) dan Rifampicin (R), diberikan
dalam tiga kali dalam seminggu selama empat bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negative, Rontgen Positif yang “sakit berat”
c. Penderita TBC Ekstra Paru berat
2. Kategori-2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Inosiasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK.
Dilanjutkan 1 bulan dengan Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3. Kategori-3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita paru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan.
b. Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar
adrenal.
OAT sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

6.1 Efek samping dari obat-obatan TBC:


Nama obat dan Efek samping
- Rifampisin
Sindrom flu: demam, muntah, mual, diare, kulit gatal dan merah SGOT/SGPT
meningkat (gangguan hati).
- INH
1. Nyeri syaraf
2. Hepatitis (radang hati)
3. Alergi, demam, ruam kulit
4. Pyrazinamid: muntah, mual, diare
5. Kulit merah dan gatal
6. Kadar asam urat meningkat
7. Gangguan fungsi hati
3. Streptomisin
Alergi, demam, ruam kulit, kerusakan vestibuler, vertigo (pusing) dan kerusakan
pendengaran.
4. Ethambutol
Gangguan syaraf mata.

6.2 Pembedahan pada TB paru


Peranan pembedahan dengan adanya OAT yang poten telah berkurang. Indikasi
pembedahan dibedakan menjadi indikasi mutlak dan indikasi relative.
6.2.1 Indikasi mutlak pembedahan adalah:
1. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi sputum tetap positif.
2. Pasien batuk darah pasien tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
3. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi dengan secara
konservatif.

6.2.2 Indikasi relative pembedahan, yaitu:


1. Pasien dengan sputum negatif dan batuk-batuk darah berulang.
2. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.
3. Sisa kavitas yang menetap.
(Kapita selekta kedokteran jilid II, 2001 hal. 474)

6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Kultur sputum: positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
2. Ziehl Neelsen: (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif
untuk basil asam cepat.
3. Test kulit: (PPD, Mantoux, potongan vollmer), reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi 48 –
72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti
body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien
yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi
disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
4. Elisa / Western Blot: dapat menyatakan adanya HIV.
5. Foto thorax: dapat menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi
sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga
area fibrosa.
6. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster: urine dan cairan serebrospinal,
biopsi kulit) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.
7. Biopsi jarum pada jarinagn paru: positif untuk granula TB, adanya sel raksasa menunjukan
nekrosis.
8. Elektrosit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi, ex: Hyponaremia,
karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal
tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
9. Pemeriksaan fungsi pada paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim atau fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit
pleural (TB paru kronis luas).
6.4 Penatalaksanaan
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian:
1. Jangka Pendek
Dengan tata cara pengobatan: setiap hari dengan jangka waktu 1-3 bulan.
 Streptomisin inj 750 mg.
 Pas 10 mg.
 Ethambutol 1000 mg.
 Isoniazid 400 mg.
Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap 2x
seminggu, selama 13-18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
Terapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis:
 INH.
 Rifampicin.
 Ethambutol.
Dengan fase selama 2x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6-9
bulan.
2. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam pemeriksan
sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat:
 Rifampicin.
 Isoniazid (INH).
 Ethambutol.
 Pyridoxin (B6)
 H. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
 1) PENGKAJIAN
 1. Identitas klien: selain nama klien, asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
 2. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
 3. Riwayat penyakit sekarang:
 Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar
seperti: leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
 4. Riwayat penyakit dahulu
 5. Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
  Riwayat keluarga.
 Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
  Aspek psikososial.
 Merasa dikucilkan dan tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
  Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
 Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama
dan biaya yang banyak.Tidak bersemangat dan putus harapan.
  Lingkungan:
 Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi rumah
yang kurang sehingga pertukaran udara kurang, daerah di dalam rumah lembab, tidak
cukup sinar matahari, jumlah anggota keluarga yang banyak.
 Pola fungsi kesehatan.
 1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
 Kurang menerapkan PHBS yang baik, rumah kumuh, jumlah anggota keluarga
banyak, lingkungan dalam rumah lembab, jendela jarang dibuka sehingga sinar
matahari tidak dapat masuk, ventilasi minim menybabkan pertukaran udara kurang,
sejak kecil anggita keluarga tidak dibiasakan imunisasi.

 2) Pola nutrisi - metabolik.
 Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor kulit jelek, kulit kering dan
kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan.
 3) Pola eliminasi
 Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan
hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan splenomegali.
 4) Pola aktifitas – latihan
 Pola aktivitas pada pasien TB Paru mengalami penurunan karena sesak nafas, mudah
lelah, tachicardia, jika melakukan aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
 5) Pola tidur dan istirahat
 sulit tidur, frekwensi tidur berkurang dari biasanya, sering berkeringat pada malam
hari.
 6) Pola kognitif – perceptual
 Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum, sedangkan dalam
hal daya panca indera (perciuman, perabaan, rasa, penglihatan dan pendengaran)
jarang ditemukan adanya gangguan
 7) Pola persepsi diri
 Pasien tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah, selain itu Ketakutan dan kecemasan
akan muncul pada penderita TB paru dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang
pernyakitnya yang akhirnya membuat kondisi penderita menjadi perasaan tak
berbedanya dan tak ada harapan. (Marilyn. E. Doenges, 2000)
 8) Pola peran – hubungan
 Penderita dengan TB paru akan mengalami gangguan dalam hal hubungan dan peran
yang dikarenakan adanya isolasi untuk menghindari penularan terhadap anggota
keluarga yang lain. (Marilyn. E. Doenges, 1999).
  Aktivitas/istirahat
 Gejala : kelemahan dan kelelahan
 Tanda : Kesulitan tidur pada malam atau demam malam hari dan
berkeringat pada malam hari
  Makanan/cairan
 Gejala : Kehilangan nafsu makan
 Tanda : Penurunan BB
  Nyeri/kenyamanan
 Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk, gangguan tidur pada malam hari
 Tanda : pasien meringis, tidur tidak nyenyak
  Pernapasan
 Gejala : batuk berdarah, Batuk produktif, Sesak nafas, Takipnea
  Cardiovaskuler
 Gejala : takikardia
 (Doengoes, 2000)
 Pemeriksaan Fisik
  Inspeksi
 Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat badan menurun.
Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
  Perkusi
 Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan timpani. Bila mengenai pleura,
perkusi memberikan suara pekak.
  Auskultasi
 Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas tambahan berupa
rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, auskultasi memberikan suara amforik. Bila mengenai pleura, auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
  Palpasi
 badan teraba hangat (demam)
 Pemeriksaan Diagnostik
 a. Pemeriksaan Laboratorium

  Kultur Sputum : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif

penyakit

  Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)

: Positif untuk basil asam-cepat.


  Tes kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau

lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan
infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan
penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa
TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang
berbeda.

  Anemia bila penyakit berjalan menahun

  Leukosit ringan dengan predominasi limfosit

  LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut kembali normal

pada tahap penyembuhan.

  GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.

  Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa

menunjukkan nekrosis.

  Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh

hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB
paru kronis luas.
 b. Radiologi

  Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi

sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas TB dapat termasuk
rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikan TB yang lebih berat dapat
mencakup area berlubang dan fibrous. Pada foto thorax tampak pada sisi yang sakit
bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.

  Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus

atau kerusakan paru karena TB.

  Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC adalah penebalan pleura,

efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen dipinggir
paru atau pleura).
 c. Pemeriksaan fungsi paru
 Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu:
kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural.
 Data Subyektif
  Pasien mengeluh panas
  Batuk/batuk berdarah
  Sesak bernafas
  Nyeri dada
  Malaise dan kelelahan
 Data Obyektif
  Ronchi basah, kasar dan nyaring.
  Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi
suara limforik.
  Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
  Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)
  Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
  Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan sub
mandibula.
  Kadang terjadi abses.

 2) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
 1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman
tuberkulosis
 2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret
darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan
permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental,
edema bronchial.
 4. Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan
kemampuan finansial.
 5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
 6. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
 7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
 8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan tidak ada yang menerangkan, informasi yang tidak akurat, terbatasnya
pengetahuan/kognitif

 3) Rencana Tindakan
 Dx 1
 Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman
tuberkulosis.
 Tujuan: Tujuan: Tidak terjadi penyebaran infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3x 24 jam.
 Kriteria Hasil :
 - Klien mengidentifikasi interfensi untuk mencegah resiko penyebaran infeksi

 - Klien menunjukkan teknik untuk melakukan perubahan pola hidup dalam


melakkan lingkungan yangnyaman.
 - TB yang diderita klien berkurang/ sembuhIntervensi
 Intervensi
 1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara
selama batuk, bersin,meludah, bicara, tertawa ataupun menyanyi.
 Untuk Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi program
pengobatan untukmencegah pengaktifan berrulang. Pemahaman bagaimana penyakit
disebarkan dan kesadarankemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat
untuk mengambil langkah mencegah infeksike orang lain
 2. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib, dan
tetangga.
 Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah
penyebaran/ terjadinya infeksi.
 3. Anjurkan pasien untuk batuk/ bersin dan mengeluarkan dahak pada tisu,
menghindari meludahsembarangan, kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik
mencuci tangan yang tepat. Dorong untukmengulangi demonstrasi.
 Perilaku yang diperlukan untuk melakukan pencegahan penyebaran infeksi.
 4. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh masker/ isolasi pernafasan.
 Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien an membuang stigma sosial
sehubungandengan penyakit menular.
 5. Observasi TTV (suhu tubuh).
 Untuk mengetahui keadaan umum klien karena reaksi demam indikator adanya
infeksi lanjut.
 6. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang tuberkolusis,
contoh tahanan bawah gunakan obat penekan imun adanya dibetes militus, kanker,
kalium.
 7. Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola hidup dan
menghindarimenurunkan insiden eksaserbasi.
 8. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
 Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya
rongga/ penyakitluas sedang, resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3
bulan.
 9. Dorong memilih/ mencerna makanan seimbang, berikan sering makanan kecil dan
makanan besardalam jumlah yang tepat.
 Adanya anoreksia dan malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan terhadap proses
infeksi danmengganggu penyembuhan.
 10. Kolaborasi dengan dokter tentang pengobatan dan terapi.
 Untuk mempercepat penyembuhan infeksi.
 Dx 2
 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
 Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x30 menit, diharapkan
bersihan jalan napas pasien efektif dengan kriteria hasil :
 - pasien melaporkan sesak berkurang
 - pernafasan teratur
 - ekspandi dinding dada simetris
 - ronchi tidak ada
 - sputum berkurang atau tidak ada
 - frekuensi nafas normal (16-24)x/menit
 Intervensi
 Mandiri
 1) Auskultasi suara nafas, perhatikan bunyi nafas abnormal
 Untuk mengidentifikasi kelainan pernafasan berhubungan dengan obstruksi
jalan napas
 2) Monitor usaha pernafasan, pengembangan dada, dan keteraturan
 Untuk menentukan intervensi yang tepat dan mengidentifikasi derajat
kelainan pernafasan
 3) Observasi produksi sputum, muntahan, atau lidah jatuh ke belakang
 Merupakan indikasi dari kerusakan jaringan otak
 4) Pantau tanda-tanda vital terutama frekuensi pernapasan
 Untuk mengetahui keadaan umum pasien
 5) Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi
 Meningkatkan ekspansi paru optimal
 6) Ajarkan klien napas dalam dan batuk efektif jika dalam keadaan sadar
 Batuk efektif akan membantu dalam pengeluaran secret sehingga jalan nafas
klien kembali efektif
 7) Berikan klien air putih hangat sesuai kebutuhan jika tidak ada kontraindikasi
 Untuk meningkatkan rasa nyaman pasien dan membantu pengeluaran sekret
 8) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi
 Fisioterapi dada terdiri dari postural drainase, perkusi dan fibrasi yang dapat
membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan nafas klien kembali efektif
 9) Lakukan suction bila perlu
 Membantu dalam pengeluaran sekret klien sehingga jalan nafas
klien kembali efektif secara mekanik
 10) Lakukan pemasangan selang orofaringeal sesuai indikasi
 Membantu membebaskan jalan napas
 Kolaborasi
 a. Berikan O2 sesuai indikasi
 Memenuhi kebutuhan O2
 b. Berikan obat sesuai indikasi misalnya bronkodilator, mukolitik, antibiotik, atau
steroid
 Membantu membebaskan jalan napas secara kimiawi
 Dx 3
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan kerusakan
membran alveolar kapiler.
 Tujuan: Setelah diberikan askep selama 2x30 menit diharapkan pertukaran gas
kembali efektif dengan kriteria :
  Pasien melaporkan keluhan sesak berkurang
  Pasien melaporkan tidak letih atau lemas
  Napas teratur
  Tanda vital stabil
  Hasil AGD dalam batas normal (PCO2 : 35-45 mmHg, PO2 : 95-100 mmH
 Intervensi :
 Mandiri
 1. Mengkaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori,
napas bibir, ketidak mampuan berbicara / berbincang
 Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan atau kronisnya proses penyakit
 2. Mengobservasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, serta mencatat adanya
sianosis perifer (kuku) atau sianosis pusat (circumoral).
 Sianosis kuku menggambarkan vasokontriksi/respon tubuh terhadap demam. Sianosis
cuping hidung, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut dapat mengindikasikan
adanya hipoksemia sistemik
 3. Mengobservasi kondisi yang memburuk. Mencatat adanya hipotensi,pucat,
cyanosis, perubahan dalam tingkat kesadaran, serta dispnea berat dan kelemahan.
 Mencegah kelelahan dan mengurangi komsumsi oksigen untuk memfasilitasi resolusi
infeksi.
 4. Menyiapkan untuk dilakukan tindakan keperawatan kritis jika diindikasikan
 Shock dan oedema paru-paru merupakan penyebab yang sering menyebabkan
kematian memerlukan intervensi medis secepatnya. Intubasi dan ventilasi mekanis
dilakukan pada kondisi insufisiensi respirasi berat.
 Kolaborasi
 1) Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan, misalnya: nasal kanul dan masker
 Pemberian terapi oksigen untuk menjaga PaO2 diatas 60 mmHg, oksigen yang
diberikan sesuai dengan toleransi dengan pasien
 2) Memonitor ABGs, pulse oximetry.
 Untuk memantau perubahan proses penyakit dan memfasilitasi perubahan
 Dx 4
 Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual
muntah dan intake tidak adekuat.
 Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi
adekuat, dengan kriteria hasil:
  Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn
normal dan bebas tanda malnutrisi.
  Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat
badan yang tepat.



 Intervensi:
 Mandiri
 1. Catat status nutrisi pasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa
mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
 Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat
 2. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
 Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
 3. Monitor intake dan output secara periodik.
 Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
 4. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan
medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
 Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk
meningkatkan intake nutrisi.
 5. Anjurkan bedrest.
 Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
 6. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan. Mengurangi
rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang
muntah.
 7. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
 Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
 Kolaborasi:
 1. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
 Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk
kebutuhan metabolik dan diet.
 2. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
 Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
 Dx 5
 Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap
 Tujuan:
 Setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeridapat berkurang atau terkontrol,
dengan KH:
  Menyatakan nyeri berkurang atau terkontrol
  Pasien tampak rileks
 Intervensi:
 Mandiri
 1. Observasi karakteristik nyeri, mis tajam, konstan , ditusuk. Selidiki perubahan
karakter /lokasi/intensitas nyeri.
 Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur
 2. Pantau TTV
 Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri,
khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
 3. Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang,
relaksasi/latihan nafas
 Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
 4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
 Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran
mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
 5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
 Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan
upaya batuk.
 Kloaborasi
 1. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai indikasi
 Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif, meningkatkan
kenyamanan
 Dx 6
 Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
 Tujuan :
 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan hipertermi
dapat diatasi, dengan kriteria hasil :
 - Pasien melaporkan panas badannya turun.
 - Kulit tidak merah.
 - Suhu dalam rentang normal : 36,5-37,70C.
 - Nadi dalam batas normal : 60-100 x/menit.
 - Tekanan darah dalam batas normal : 120/110-90/70 mmHg.
 - RR dalam batas normal : 16-20x/menit.
 Intervensi :
 Mandiri
 1) Pantau TTV
 Untuk mengetahui keadaan umum pasien
 2) Observasi suhu kulit dan catat keluhan demam
 Untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh pasien
 3) Berikan masukan cairan sesuai kebutuhan perhari, kecuali ada kontraindikasi.
 Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
 4) Berikan kompres air biasa/hangat
 Untuk menurunkan suhu tubuh
 Kolaborasi
 1) Kolaborasi pemberian cairan IV.
 Untuk menanggulangi terjadinya syok hipovolemi
 2) Kolaborasi pemberian obat antipiretik
 Untuk menurunkan suhu tubuh yang bekerja langsung di hipotalamus
 Dx 7
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
 Tujuan:
 Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu melakukan
aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria hasil:
  Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat
diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan
normal.

 Intervensi:
 1. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan
kelemahan atau kelelahan.
 Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan intervensi
 2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.
 Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat
 3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
 Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan
metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan.
 4. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat.
 Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk ke depan
meja atau bantal.
 5. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan
aktivitas selama fase penyembuhan.
 Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.

 Dx 8
 Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan
tidak ada yang menerangkan, informasi yang tidak akurat, terbatasnya
pengetahuan/kognitif
 Tujuan:
 Setelah diberikan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan pasien meningkat,
dengan kriteria hasil:
 Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.
  Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan
umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
  Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
  Menerima perawatan kesehatan adekuat.


 Intervensi
 1. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan, tingkat
partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
 Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik.
Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
 2. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum
obat.
 Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
 3. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi
dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis
dengan obat lain.
 Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
 4. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan
penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah. Mencegah keraguan terhadap
pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
 5. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH. Kebiasaan
minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
 6. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol. Efek
samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
 7. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya
misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan..
 Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
 8. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
 Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali.
Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi
pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal, fistula
bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.

Anda mungkin juga menyukai