GOUT ARTHRITIS
Oleh :
Maulana zulfikar ahmad
2014.02.030
Lucky fajar firdaus
2014.02.058
4. Perubahan Psikososial Dan Spiritual Yang Dialami Lansia Akibat Adanya Perubahan Fungsi
dan Struktur Tubuh
4.1 Perubahan-perubahan Psikososial
a) Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan
dengan peranan dalam pekerjaan.
Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
a. Kehilangan finansial (income berkurang).
b. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan
segala fasilitasnya).
c. Kehilangan teman atau kenalan atau relasi.
d. Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.
b) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
c) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih sempit.
d) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
e) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit dan bertambahnya biaya
pengobatan.
f) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
g) Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.
h) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family.
i) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri dan perubahan
konsep diri.
4.2 Pengaruh Proses Penuaan Pada Fungsi Psikososial
a. Perubahan fisik, sosial mengakibatkan timbulnya penurunan fungsi, kemunduran
orientasi, penglihatan, pendengaran mengakibatkan kurangnya percaya diri pada fungsi
mereka.
b. Mundurnya daya ingat, penurunan degenerasi sel-sel otak.
c. Gangguan halusinasi.
d. Lebih mengambil jarak dalam berinteraksi.
e. Fungsi psikososial, seperti kemampuan berfikir dan gambaran diri.
4.3 Perubahan Spritual
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan (Maslow, 1970
www.sulandraamensambas.blogspot.com).
b. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaanya, hal ini terlihat dalam berfikir dan
bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970
www.sulandraamensambas.blogspot.com).
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), Universalizing,
perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara
memberikan contoh cara mencintai keadilan.
2. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium tuberculosa. Sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 /mm dan tebal 0,3-0,6 /mm. Sebagian besar
kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat bertahan dalam lemari es).
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron dengan tebal 0,3-0,6 mikron. Kuman ini
lebih tahan terhadap asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman ini lebih tahan
terhadap terhadap asam, gangguan kimia dan fisik.
2.1 Yang tergolong yang tergolong dalam kuman mycobacterium tuberculosae complex adalah:
1. M. Tuberculosae
2. Varian Asian
3. Varian African I
4. Varian African II
5. M. Bovis
Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
2.2 Kelompok kuman Mycobacterium tuberculosae dan Mycobacteria Other Than TB (MOTT)
atypical adalah:
1. M. Kansaii
2. M. Avium
3. M. intra cellulare
4. M. Scrofulaceum
5. M. Malmacerse
6. M. Xenopi
Beberapa gambaran klinis yang telah disebutkan diatas merupakan gejala-gejala yang
mengarah ke diagnosis tuberkulosis. Akan tetapi gejala itu tidak jelas. Satu-satunya cara
untuk memastikannya yaitu dengan pengujian sputum untuk mencari kuman tuberkulosis
pada individu yang menderita batuk (DR. Dr. Soeparman, 1994:715,
www.ebookyuflihulkhair.blogspot.com).
Tuberkulosis juga dapat mempunyai manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku
tidak biasa dan perubahan status mental, demam, anoreksia dan penurunan berat badan.
(Brunner & Suddarth-2002 hal. 585).
5. Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru jika tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi di bagi atas 2 yaitu:
5.1 Komplikasi dini
1. Pleurtis
2. Efusi pleura
3. Empiema
4. Laringitis
5. Menjalar ke organ lain yaitu usus
6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu:
1. Fase Intensif (2-3 bulan).
2. Fase Lanjutan (4-7 bulan).
Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan adalah Kanamisin,
Kulnolon, Makvolide, dan Amoksilin ditambah dengan asam klavulanat, derivat rifampisin
atau INH.
Tuberculosis paru diobati karena agens kemotherapi (agen anti tuberkulosis) selama
periode 6 sampai 12 bulan. Lima medikasi garis depan digunakan: isoniasid (INH),
rifampicin (RIF), streptomisin (SM), etambutol (EMB), dan pirazinamid (PZA).
Kapreomisin, kanamisin, etionamid, natirum para-aminosalisilat, amikasin dan siklisin
merupakan obat-obat baris kedua.
Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap obat-obatan terus menjadi isu
berkembang di seluruh dunia. Meski TB yang resisten terhadap obat telah teridentifikasi
sejak tahun 1950, insiden dari resisten banyak obat telah menciptakan tantangan baru.
Beberapa jenis resisten obat harus dipertimbangkan ketika merencanakan terapi efektif:
a. Resisten obat primer adalah resisten terhadap satu agens tuberculosis garis depan pada
individu yang sebelumnya belum mendapatkan pengobatan.
b. Resiten obat didapat atau sekunder adalah resisten terhadap satu atau lebih agens anti
tuberculosis pada pasien yang sedang menjalani terapi.
c. Resisten banyak obat adalah resisten terhadap dua agens, sebut saja, INH dan RIF
Pengobatan yang direkomendasikan bagi kasus tuberculosis yang baru didiagnosa adalah
regimen pengobatan beragam termasuk INH, RIF dan PZA selama 4 bulan, dengan INH dan
RIF dilanjutkan untuk tambahan 2 bulan (totalnya 6 bulan).
Sekarang ini, setiap agens di buat dalam pil terpisah. Pil anti tuberculosis baru three in-
one yang terdiri atas INH, RIF dan PZA telah dikembangkan, yang akan memberikan
dampak besar dalam meningkatkan kepatuhan terhadap regimen pengobatan. Pada awalnya
etambutol dan streptomycin disertakan dalam terapi awal sampai sampai pemeriksaan
resisten obat didapatkan. Regimen pengobatan, bagaimanapun tetap dilanjutkan selama 12
bulan.
Individu akan dipertimbangkan non infeksius setelah menjalani 2 sampai 3 minggu
terapi obat kontinu. Isoniasid (INH) mungkin digunakan sebagai tindakan preventif bagi
mereka yang diketahui beresiko terhadap penyakit signifikan, sebagai contoh, anggota
keluarga dari pasien yang berpenyakit aktif.
Regimen pengobatan profilaktik ini mencakup penggunaan dosis harian INH selama 6
sampai 12 bulan. Untuk meminimalkan efek samping, dapat diberikan piridoksin (vitamin
B6).
Enzim-enzim hepar, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin di pantau setiap bulan
(Brunner & Suddarth, 2002 hal. 586-587).
Panduan OAT di Indonesia WHO dan IULTD (Intrenational Union Against
Tubercolosis and Lung Diase) merekomendasikan panduan OAT standar, yaitu:
1. Kategori-1
Tahap intensif terdiri dari Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E). Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yag terdiri dari Inosiasid (H) dan Rifampicin (R), diberikan
dalam tiga kali dalam seminggu selama empat bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TBC Paru BTA Positif
b. Penderita TBC Paru BTA negative, Rontgen Positif yang “sakit berat”
c. Penderita TBC Ekstra Paru berat
2. Kategori-2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Inosiasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK.
Dilanjutkan 1 bulan dengan Inosiasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol
(E) setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3. Kategori-3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita paru BTA negative dan rontgen positif sakit ringan.
b. Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar
adrenal.
OAT sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
penyakit
Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan
infeksi masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan
penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa
TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang
berbeda.
LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut kembali normal
GDA : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma TB; adanya sel raksasa
menunjukkan nekrosis.
Elektrolit : Dapat tak normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi; contoh
hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB
paru kronis luas.
b. Radiologi
Foto thorax : Infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi
sembuh primer atau efusi cairan perubahan menunjukan lebih luas TB dapat termasuk
rongga akan fibrosa. Perubahan mengindikasikan TB yang lebih berat dapat
mencakup area berlubang dan fibrous. Pada foto thorax tampak pada sisi yang sakit
bayangan hitam dan diafragma menonjol ke atas.
Gambaran radiologi lain yang sering menyertai TBC adalah penebalan pleura,
efusi pleura atau empisema, penumothoraks (bayangan hitam radio lusen dipinggir
paru atau pleura).
c. Pemeriksaan fungsi paru
Penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu:
kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural.
Data Subyektif
Pasien mengeluh panas
Batuk/batuk berdarah
Sesak bernafas
Nyeri dada
Malaise dan kelelahan
Data Obyektif
Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi
suara limforik.
Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)
Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan sub
mandibula.
Kadang terjadi abses.
2) Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman
tuberkulosis
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret
darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan
permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental,
edema bronchial.
4. Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan
kemampuan finansial.
5. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap.
6. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan tidak ada yang menerangkan, informasi yang tidak akurat, terbatasnya
pengetahuan/kognitif
3) Rencana Tindakan
Dx 1
Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya infeksi kuman
tuberkulosis.
Tujuan: Tujuan: Tidak terjadi penyebaran infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3x 24 jam.
Kriteria Hasil :
- Klien mengidentifikasi interfensi untuk mencegah resiko penyebaran infeksi