Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA KLIEN DENGAN


ARTRITIS REUMATOID DI DESA DURIAN DUSUN SELA

Oleh:
SUPARMANTO, S.Kep
SRP143070087

STIK MUHAMMADIYAH PONTIANAK


S1 REGULER TAHAP NERS
2014/201
1

A. Pengertian Artritis Reumatoid


Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi sistemik kronis
yang tidak diketahui penyebabnya, diakrekteristikkan oleh kerusakan dan
proliferasi membran sinovial yang menyebabkan kerusakan pada tulang
sendi, ankilosis, dan deformitas. (Kusharyadi, 2010)
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis
dan terutama menyerang persendian, otot-otot, tendon, ligamen, dan
pembuluh darah yang ada disekitarnya. (Kowalak, 2011).

B. Etiologi Artritis Reumatoid


Penyebab utama penyakit artritis reumatoid masih belum diketahui
secara pasti. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis
reumatoid, yaitu :
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan
sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian karena
pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan
perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini.
3. Autoimmun

Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor


autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,
faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme
mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II
kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya
hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II,
khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Pengemban
HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.
C. Patofisiologi Artritis Reumatoid
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis artritis
reumatoid terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut : Suatu
antigen penyebab artritis reumatoid yang berada pada membran sinovial,
akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai
jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang
telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan
determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut
membentuk suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan
bantuan interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut
akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor
spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya
mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan
berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin

lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang
makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang
proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang
dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara
bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan
mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponenkomplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik
yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih
banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut.
Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi
yang paling dini dijumpai pada artritis reumatoid adalah peningkatan
permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan

dan

pembebasan

radikal

oksigen

bebas,

leukotrien,

prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan


menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen
bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan
dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan
IL-1 dan TNF-b. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti
bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan
tetapi pada artritis reumatoid, antigen atau komponen antigen umumnya
akan menetap pada struktur persendian, sehingga proses destruksi sendi
akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi persendian pada artritis
reumatoid kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid.

Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG


yang dijumpai pada 70-90 % pasien artritis reumatoid. Faktor reumatoid
akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,
sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks
imun

juga

menyebabkan

terjadinya

degranulasi

mast

cell

yang

menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim


proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat
pengendapan kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam patogenesis artritis
reumatoid. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan sendi dan pannus
terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai kerusakan
jaringan kolagen dan proteoglikan.

D. WOC
a.
Antigen penyebab RA berada pada membran sinovial

b.
c.

Monosit & makrofag mengeluarkan IL-1

d.

Aktivasi sel CD4+

e.

Sekresi IL-2

f.
g.

Merangsang pembentukan
IL-3 dan IL 4

Terjadi mitosis & proliferasi sel >>

h.
i.

Aktivasi sel B

j.

Terbentuk antibodi

k.

Reaksi antibodi terhadap penyebab RA

l.

Terbentuk kompleks imun di ruang sendi

m.

Pengendapan kompleks imun

n.
o.

Reumatoid Artritis (RA)


p.
Inflamasi membran sinovial

Pelepasan mediator kimiaq.bradikinin

Kurangnya pemajanan/mengingat

Stimulus ujung sarafr.nyeri

Kurang pengetahuan
Penebalan membran sinovial

Fagositosis kompleks imun


oleh sel radang
6

s.
Menyentuh serabut C
t.
Nyeri
u.

Terbentuk tannus
Pembentukan radikal oksigen bebas

Menghambat
v.
nutrisi pada
w.kartilago
Kerusakan kartilago
& tulang
Tendon & ligamen
melemah
Kekuatan otot

x.

Kartilago nekrosis

Terbentuk nodul

Depolimerasi hialorunat

Deformitas sendi

Veskositas cairan sendi

Gangguan body image

Pembentukan tulang terganggu

Erosi kartilago
Adhesi permukaan sendi
Ankylosis fibrosa

Pemendekan tulang
Kontraktur
Risiko cedera

Kekakuan pada sendi


Gangguan Mobilitas fisik

Keterbatasan gerak
Kurang perawatan diri

D. Manifestasi Klinik Artritis Reumatoid


y.

Jika

pasien

artritis

reumatoid

pada

lansia

tidak

diistirahatkan, maka penyakit ini akan berkembang menjadi empat tahap :


1. Terdapat radang sendi dengan pembengkakan membran sinovial dan
kelebihan produksi cairan sinovial. Tidak ada perubahan yang bersifat
merusak terlihat pada radiografi. Bukti osteoporosis mungkin ada.
z.
aa.
ab.
ac.
ad.
ae.
af.
ag.
ah.
2. Secara radiologis, kerusakan tulang pipih atau tulang rawan dapat dilihat.
Pasien mungkin mengalami keterbatasan gerak tetapi tidak ada
deformitas sendi.
3. Jaringan ikat fibrosa yang keras menggantikan pannus, sehingga
mengurangi ruang gerak sendi. Ankilosis fibrosa mengakibatkan
penurunan gerakan sendi, perubahan kesejajaran tubuh, dan deformitas.
Secara radiologis terlihat adanya kerusakan kartilago dan tulang.
4. Ketika jaringan fibrosa mengalami kalsifikasi, ankilosis tulang dapat
mengakibatkan terjadinya imobilisasi sendi secara total. Atrofi otot yang
meluas dan luka pada jaringan lunak seperti medula-nodula mungkin
terjadi.
ai.
aj.
ak.
al.
am.
an.

ao.

Pada lansia artritis reumatoid dapat digolongkan ke dalam

tiga kelompok, yaitu :


1. Kelompok 1
ap.

Artritis reumatoid klasik. Sendi-sendi kecil pada kaki dan

tangan sebagian besar terlibat. Terdapat faktor reumatoid, dan nodulanodula reumatoid yang sering terjadi. Penyakit dalam kelompok ini dapat
mendorong ke arah kerusakan sendi yang progresif.
2. Kelompok 2
aq.

Termasuk ke dalam klien yang memenuhi syarat dari

American Rheumatologic Association untuk artritis reumatoid karena


mereka mempunyai radang sinovitis yang terus-menerus dan simetris,
sering melibatkan pergelangan tangan dan sendi-sendi jari.
3. Kelompok 3
ar.

Sinovitis terutama memengaruhi bagian proksimal sendi,

bahu dan panggul. Awitannya mendadak, sering ditandai dengan


kekuatan pada pagi hari. Pergelangan tangan pasien sering mengalami hal
ini, dengan adanya bengkak, nyeri tekan, penurunan kekuatan
genggaman, dan sindrome karpal tunnel. Kelompok ini mewakili suatu
penyakit yang dapat sembuh sendiri yang dapat dikendalikan secara baik
dengan menggunakan prednison dosis rendah atau agens antiinflamasi
dan memiliki prognosis yang baik.
as.
a. Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid
2.7.1Pemeriksaan cairan synovial :
1. Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Leukosit 5.000 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses
inflamasi yang didominasi oleh sel neutrophil (65%).
3. Rheumatoid factor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan
berbanding terbalik dengan cairan sinovium.
at.
au.

2.7.2Pemeriksaan darah tepi :


1. Leukosit : normal atau meningkat ( <>3 ). Leukosit menurun bila
terdapat splenomegali; keadaan ini dikenal sebagai Feltys
Syndrome.
2. Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
2.7.3Pemeriksaan kadar sero-imunologi :
1. Rheumatoid factor + Ig M -75% penderita ; 95% + pada penderita
dengan nodul subkutan.
2. Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis
rheumatoid dini.
av.
E. Komplikasi Artritis Reumatoid
aw.

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah

gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan


obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan
penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi
faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
ax.
F. Penatalaksanaan Artritis Reumatoid
ay.

Tujuan utama dari program penatalaksanaan

perawatan

adalah sebagai berikut :


1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
penderita.
3. Untuk mencegah dan atau memperbaiki deformitas yang terjadi pada
sendi.
4. Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang
lain.
2.9.1Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pendidikan
az.

Pendidikan

yang

diberikan

meliputi

pengertian,

patofisiologi (perjalanan penyakit), penyebab dan perkiraan

10

perjalanan (prognosis) penyakit ini, semua komponen program


penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumbersumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan metode efektif
tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses
pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
2. Istirahat
ba.

Merupakan hal penting karena reumatik biasanya disertai

rasa lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat saja
timbul setiap hari, tetapi ada masa dimana penderita merasa lebih
baik atau lebih berat. Penderita harus membagi waktu seharinya
menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang diikuti oleh masa
istirahat.
3. Latihan Fisik dan Termoterapi
bb.

Latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan

fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada
semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat untuk
menghilangkan nyeri perlu diberikan sebelum memulai latihan.
Kompres panas pada sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat
mengurangi nyeri. Latihan dan termoterapi ini paling baik diatur
oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus,
seperti ahli terapi fisik atau terapi kerja. Latihan yang berlebihan
dapat merusak struktur penunjang sendi yang memang sudah lemah
oleh adanya penyakit.
2.9.2Penatalaksanaan Medikamentosa
1. Penggunaan OAINS
bc.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya

diberikan pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang


dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang
seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial
yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik. OAINS terutama
bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga

11

menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah


hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan
tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
a. Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal.
b. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi
(histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
c. Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.
d. Menghambat proliferasi seluler.
e. Menetralisasi radikal oksigen.
f. Menekan rasa nyeri
2. Penggunaan DMARD
bd.

Terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD

pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian


DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi
pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Cara pendekatan lain
adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara
simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. digunakan
untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi
akibat artritis reumatoid. Beberapa jenis DMARD yang lazim
digunakan untuk pengobatan AR adalah:
a. Klorokuin : Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari
hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada
dosis

harian,

berupa

penurunan

ketajaman

penglihatan,

dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.


b. Sulfazalazine : Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam
bentukenteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500
mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu
sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga

12

mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang


sampai remisi sempurna terjadi.
c. D-penicillamine : Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg
atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai
300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4
minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis
total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
3. Operasi
be.

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak

berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan


pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien AR
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektoni, artrodesis,
total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
bf.
bg.
bh.

13

bi. BAB 3
bj. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
bk.

Data dasar pengkajian pasien tergantung pada keparahan

dan keterlibatan organ-organ lainnya (misalnya mata, jantung, paru-paru,


ginjal), tahapan misalnya eksaserbasi akut atau remisi dan keberadaaan
bersama bentuk-bentuk arthritis lainnya.
1. Aktivitas/ istirahat
a. Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan
stres pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral
dan simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,
waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
b. Tanda : Malaise Keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit,
kontraktor/ kelaianan pada sendi.
2. Kardiovaskuler
a. Gejala : Fenomena Raynaud jari tangan/ kaki ( mis: pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal).
3. Integritas ego
a. Gejala : Faktor-faktor stres akut/ kronis: mis : finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan,

faktor-faktor

hubungan.

Keputusan

dan

ketidakberdayaan ( situasi ketidakmampuan )Ancaman pada konsep


diri, citra tubuh, identitas pribadi ( misalnya ketergantungan pada
orang lain).
4. Makanan/ cairan
a. Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi
makanan/

cairan

adekuat:

mual,

anoreksia

Kesulitan

untuk

mengunyah.
b. Tanda : Penurunan berat badan Kekeringan pada membran mukosa.
5. Hygiene
a. Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan
pribadi. Ketergantungan.

14

6. Neurosensori
a. Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada
jari tangan.
b. Tanda : Pembengkakan sendi simetris.
7. Nyeri/ kenyamanan
a. Gejala : Fase akut dari nyeri ( mungkin tidak disertai oleh
pembengkakan jaringan lunak pada sendi ).
8. Keamanan
a. Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutaneus. Lesi kulit, ulkus
kaki. Kesulitan dalam ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan
rumah tangga. Demam ringan menetap Kekeringan pada meta dan
membran mukosa.
bl.
3.2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
3. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.
4. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.
5. Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.
6. Kurang

pengetahuan

berhubungan

dengan

kurangnya

pemajanan/mengingat.
bm.
3.3. Rencana Intervensi
3.3.1.

Nyeri berhubungan dengan pelepasan mediator kimia (bradikinin).

1. Tujuan
bn.

Dalam waktu 2 x 60 menit setelah diberikan tindakan

keperawatan skala nyeri berkurang


2. Kriteria Hasil
a. Skala nyeri berkurang
b. Pasien dapat beristirahat
c. Ekspresi meringis (-)

15

d. TTV dalam batas normal (TD : 120-140/60-80 mmHg, N : 60100, RR : 16-24 x/menit, T : 36,5-37,5C)
3. Intervensi
bo.

MANDIRI

a. Kaji keluhan nyeri, kualitas, lokasi, intensitas dan waktu. Catat


faktor yang mempercepat dan tanda rasa sakit nonverbal.
bp. R/ Membantu menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program.
b. Pantau TTV pasien.
bq. R/ Mengetahui kondisi umum pasien
c. Berikan posisi nyaman waktu tidur/duduk di kursi. Tingkatkan
istirahat di tempat tidur sesuai indikasi.
br. R/ Penyakit berat/eksaserbasi, tirah baring diperlukan untuk
membatasi nyeri atau cedera sendi.
d. Pantau penggunaan bantal, karung pasir, bebat, dan brace.
bs. R/Mengistirahatkan sendi yang sakit dan mempertahankan
posisi netral. Catatan : penggunaan brace menurunkan nyeri dan
mengurangi kerusakan sendi.
e. Berikan masase yang lembut.
bt. R/ Meningkatkan relaksasi atau mengurangi ketegangan
otot.
f. Anjurkan mandi air hangat/pancuran pada waktu bangun.
Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi yang sakit
beberapa kali sehari.
bu. R/ Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas,
menurunkan rasa sakit dan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas
pada panas dapat hilang dan luka dermal dapat sembuh.
bv.

KOLABORASI

g. Berikan obat sesuai petunjuk :


1) Asetilsalisilat (aspirin)
bw.

R/ ASA bekerja antiinflamasi dan efek analgesik

ringan mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.

16

2) D-penisilamin
bx.

R/ Mengontrol efek sistemik reumatoid artritis jika

terapi lainnya tidak berhasil.


h. Bantu dengan terapi fisik, misal sarung tangan parafin.
by. R/ Memberi dukungan panas untuk sendi yang sakit.
i. Siapkan intervensi operasi (sinovektomi).
bz. R/ Pengangkatan sinovium yang meradang mengurangi
nyeri dan membatasi progresif perubahan degeneratif.
ca.
3.3.2.

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan

otot.
1. Tujuan
cb.

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan

keperawatan kekuatan otot pasien meningkat


2. Kriteria Hasil
a. Mempertahankan fungsi posisi dengan pembatasan kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi dari
dan/atau kompensasi bagian tubuh.
c. Mendemostrasikan

teknik/perilaku

yang

memungkinkan

melakukan aktivitas.
3. Intervensi
cc.

MANDIRI

a. Evaluasi pemantauan tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi.


cd. R/

Tingkat

aktivitas

atau

latihan

tergantung

Jadwal

aktivitas

dari

perkembangan proses inflamasi.


b. Pertahankan

tirah

baring/duduk.

untuk

memberikan periode istirahat terus-menerus dan tidur malam


hari.
ce. R/ Istirahant sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut
dan

seluruh

fase

penyakit

untuk

mencegah

kelelahan,

mempertahankan kekuatan.
c. Bantu rentang gerak aktif/pasif, latihan resistif dan isometrik.

17

cf. R/ Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina.


d. Dorong klien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi,
berdiri serta berjalan.
cg. R/

Memaksimalkan

fungsi

sendi,

mempertahankan

mobilitas.
ch.

KOLABORASI

e. Konsul dengan ahli terapi fisik atau okupasi dan spesialis


vokasional.
ci. R/ Memformulasi program latihan berdasarkan kebutuhan
individual dan mengidentifikasi bantuan mobilitas.
f. Berikan obat sesuai indikasi (Steroid)
cj. R/ Menekan inflamasi sistemik
ck.
3.3.3.

Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas sendi.

1. Tujuan
cl.

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan

keperawatan pasien menerima perubahan tubuh.


2. Kriteria Hasil
a. Mengungkapkan

peningkatan

rasa

percaya

diri

dalam

kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan gaya hidup


dan kemungkinan keterbatasan.
b. Menerima perubahan tubuh dan mengintegrasikan ke dalam
konsep diri.
c. Mengembangkan keterampilan perawatan diri agar dapat
berfungsi dalam masyarakat.
3. Intervensi
cm.

MANDIRI

a. Dorong pengungkapan mengenai proses penyakit dan harapan


masa depan.
cn. R/

Berikan

kesempatan

mengidentifiaksi

rasa

takut/kesalahan konsep dan menhadapi secara langsung.


b. Bantu pasien mengekspresikan perasaan kehilangan.

18

co. R/ Untuk mendapatkan dukungan proses berkabung yang


adaptif.
c. Perhatikan

perilaku

menarik

diri,

penggunaan

menyangkal/terlalu memperhatikan tubuh.


cp. R/ Menunjukkan emosional/metode koping maladaptif
sehingga

membutuhkan

intervensi

lebih

lanjut/dukungan

psikologis.
d. Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
cq. R/ Mempertahankan penampilan yang meningkatkan citra
diri.
cr.

KOLABORASI

e. Rujuk pada konseling psikiatri (misal perawat spesialis psikiatri,


psikologi, pekerja sosial)
cs. R/

Pasien/keluarga

membutuhkan

dukungan

selama

berhadapan dnegan proses jangka panjang.


f. Berikan obat sesuai indikasi (misal antiansietas)
ct. R/ Dibutuhkan saat munculnya depresi hebat sampai pasien
dapat menggunakan kemampuan koping efektif.
cu.
3.3.4.

Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak.

1. Tujuan
cv.

Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan

keperawatan pasien dapat melaksanakan aktivitas perawatan diri


2. Kriteria Hasil
a. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang
konsisten dengan kemampuan individual.
b. Mendemonstrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
c. Mengidentifikasikan sumber pribadi atau komunitas yang dapat
memenuhi kebutuhan perawatan diri.
3. Intervensi
cw.

MANDIRI

19

a. Kaji respons emosional pasien terhadap kemampuan merawat


diri yang menurun dan diberi dukungan emosional.
cx. R/

Perubahan

kemampuan

merawat

diri

dapat

membangkitkan perasaan cemas dan frustasi, dimana dapat


mengganggu kemampuan lebih lanjut.
b. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program
latihan.
cy. R/ Mendukung kemandirian fisik dan emosional.
c. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri.
Identifikasi modifikasi lingkungan.
cz. R/ Meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan
harga diri.
d. Beri dorongan agar berpartisipasi dalam merawat diri. Aktivitas
yang terjadwal memungkinkan waktu untuk merawat diri.
da. R/ Partisipasi pasien dalam merawat diri meningkatkan
harga diri dan menurunkan perasaan ketergantungan.
db.

KOLABORASI

e. Konsultasi dengan ahli terapi okulasi


dc. R/ Menentukan alat bantu memenuhi kebutuhan individu.
dd.
3.3.5.

Risiko cedera berhubungan dengan kontraktur sendi.

1. Tujuan
de.

Setelah diberikantindakan keperawatan selama 1 x 60 menit

pasientidak menderita cidera


2. Kriteria Hasil
a. Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mempersiapkan lingkungan yang aman
d. Mengidentifikasikan yang dapat meningkatkan reiko cedera
e. Menghindari cedera fisik
3. Intervensi
a. Lindungi klien dari kecelakaan jatuh.

20

df. R/karena klien rentan untuk mengalami fraktur patologis


bahkan oleh benturan ringan sekalipun. Bila klien mengalami
penurunan kesadaran pasanglah tirali tempat tidurnya.
b. Hindarkan klien dari satu posisi yang menetap, ubah posisi klien
dengan hati-hati.
dg. R/ perubahan posisi berguna untuk mencegah terjadinya
penekanan punggung dan memperlancar aliran darah serta
mencegah terjadinya dekubitus.
c. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari selama terjadi
kelemahan fisik.
dh. R/ kelemahan yang dialami oleh pasien hiperparatiroid
dapat mengganggu proses pemenuhan ADL pasien.
d. Atur aktivitas yang tidak melelahkan klien.
di. R/ aktivitas yang berlebihan dapat memperparah penyakit
pasien.
e. Ajarkan cara melindungi diri dari trauma fisik seperti cara
mengubah posisi tubuh, dan cara berjalan serta menghindari
perubahan posisi yang tiba-tiba.
dj. R/ mencegah terjadinya cedera pada pasien
dk.
3.3.6.

Kurang

penegtahuan

berhubungan

dengan

kurangnya

pemajanan/mengingat.
1. Tujuan
dl.

Dalam waktu 1 x 60 menit setelah diberikan tindakan

keperawatan pasien dan keluarga menunjukkan pemahaman


tentang kondisi dan perawatan.
2. Kriteria Hasil
a. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi dan perawatan.
b. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri, termasuk
modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas atau
pembatasan aktivitas.
3. Intervensi

21

a. Tinjau proses penyakit, prognosis, dan harapan masa depan.


dm. R/ Memberikan pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkna informasi.
b. Diskusikan kebiasaan pasien dalam penatalaksanaan proses sakit
melalui diet, obat, latihan dan istirahat.
dn. R/ Tujuan kontrol penyakit adalah untuk menekan
inflamasi atau jaringan lain untuk mempertahankan fungsi sendi
dan mencegah deformitas.
c. Tekankan

pentingnya

melanjutkan

manajemen

farmakoterapeutik.
do. R/ Keuntungan dari terpai obat tergantung pada ketepatan
dosis, misal : aspirin diberikan secara reguler untuk mendukung
kadar terapeutik darah 18 - 25 mg.
d. Berikan informasi mengenai alat bantu, misal : tongkat atau
palang keamanan.
dp. R/ Mengurangi paksaan untuk menggunakan sendi dan
memungkinkan pasien ikut serta secara lebih nyaman dalam
aktivitas yang dibutuhkan.
e. Diskusikan menghemat energi, misal : duduk daripada berdiri
untuk mempersiapkan makanan dan mandi
dq. R/

Mencegah

kepenatan,

memberikan

kemudahan

perawatan diri dan kemandirian.


dr.

22

ds. DAFTAR PUSTAKA


dt.
du.

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. EGC : Jakarta.

dv.

Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia.


Salemba Medika : Jakarta.

dw.

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2.


EGC : Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai