Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP GERONTIK DENGAN TUBERCULOSIS PARU

Disusun Oleh :

Efi Khori’ah
NIM : 72020040032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN TBC

KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK


A. Pengertian Keperawatan Gerontik
Keperawatan gerontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan pengkajian
kesahatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi, serta evaluasi.
Keperawatan geriatri adalah praktik perawatan yang berkaitan dengan
penyakit pada proses menua.
Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan
yang profesional dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan gerontik,
mencangkup bio psikososial dan spiritual, dimana klien adalah orang yang
telah berusia >60 tahun, baik yang kondisinya sehat maupun sakit.

B. Pengertian Lanjut Usia


Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia menurut Budi Anna Keliat dalam Buku Siti Maryam, dkk,
2008). Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai
usia lebih dari 60 tahun. (R. Siti Maryam, dkk, 2008: 32).

C. Batasan Lanjut Usia


Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan
umur.
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjutsia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
b. Departemen Kesehatan RI mengklasifikasikan lanjut usia sebagai
berikut:
a. Pralansia (prasenilis) : Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia : Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia risiko tinggi : Seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan
d. Lansia potensial : Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa
e. Lansia tidak potensial : Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

D. Tipologi Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho,
2010). Tipe tersebut dapat dibagi sebagai berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan
banyak menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, dan acuh tak acuh.
E. Mitos dan streotip lansia
Menurut Maryam, dkk, (2018: 35-36), mitos-mitos seputar lansia
antara lain :
1. Mitos kedamaian dan ketentraman
Adanya anggapan bahwa para lansia dapat santai menikmati hidup, hasil
kerja, dan jerih payah dimasa muda. Berbagai guncangan kehidupan
seakan-akan sudah berhasil dilewati. Kenyataannya, sering ditemui lansia
yang mengalami stres karena kemiskinan dan berbagai keluhan serta
penderitaan karena penyakit.
2. Mitos konservatif dan kemunduran
Konservatif berarti kolot, bersikap mempertahankan kebiasaan, tradisi,
dan keadaan yang berlaku. Adanya anggapan bahwa lansia itu tidak
kreatif, menolak inovasi, berorientasi ke masa silam, keras kepala dan
cerewat. Kenyataannya tidak semua lansia bersikap danmempunyai
pikiran demikian.
3. Mitos berpenyakitan
Adanya anggapan bahwa masa tua dipandang sebagai masa degenerasi
biologis yang disertai beberapa penyakit dan sakit-sakitan. Kenyataannya
tidak semua lansia berpenyakitan. Saat ini sudah banyak jenis
pengobatan serta lansia yang rajin melakukan pemeriksaan berkala
sehingga lansia tetap sehat dan bugar.
4. Mitos senilitas
Adanya anggapan bahwa lansia sudah pikun. Kenyataannya, banyak
yang masih tetap cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat, karena banyak
cara untuk menyesuaikan diri terhadap penurunan daya ingat.
5. Mitos tidak jatuh cinta
Adanya anggapan bahwa para lansia sudah tidak lagi jatuh cinta dan
bergairah kepada lawan jenis. Kenyataannya, perasaan dan emosi setiap
orang berubah sepanjang masa serta perasaan cinta tidak berhenti hanya
karena menjadi tua.
6. Mitos aseksualitas
Adanya anggapan bahwa pada lansia hubungan seks menurun, minat,
dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks berkurang. Kenyataannya
kehidupan seks para lansia normal-normal saja dan tetap bergaurah hal
itu dibuktikan dengan lansia yang ditinggal mati dengan pasangannya,
namun masih ada rencana ingin menikah lagi
7. Mitos ketidakproduktifan
Adanya anggapan bahwa para lansia tidak produktiflagi. Kenyataannya
banyak para lansia yang mencapai kematangan, kemantapan dan
produktivitas mental maupun material. Mitos-mitos tersebut harus
disadari perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, karena banyak
kondisi lansia yang sesuai dengan mitos tersebut dan sebagian lagi tidak
mengalaminya.
F. Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia
Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari
ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin
bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2010) perubahan yang terjadi pada
lansia adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Biologis
a. Sel
b. Perubahan Sistem Persyarafan
c. Perubahan Penglihatan
d. Perubahan Pendengaran
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
f. Perubahan Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
g. Perubahan Sistem Respirasi
h. Sistem Gastrointestinal
i. Sistem Genitourinaria
j. Sistem Endokrin
k. Sistem Kulit
l. Sistem Muskuloskeletal
m. Perubahan Sistem Reproduksi
2. Perubahan Psikososial
Perubahan lain adalah adanya perubahan psikososial yang
menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam
sering bingung panik dan depresif. Hal ini disebabkan antara lain karena :
a. Ketergantungan fisik dan sosioekonomi.
b. Pensiunan, kehilangan financial, pendapatan berkurang, kehilangan
status, teman atau relasi.
c. Sadar akan datangnya kematian.
d. Perubahan dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit.
e. Ekonomi akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi.
f. Penyakit kronis.
g. Kesepian, pengasingan dari lingkungan sosial.
h. Gangguan syaraf panca indra.
i. Gizi
j. Kehilangan teman dan keluarga.
k. Berkurangnya kekuatan fisik
TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)
A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan Mycobacterium
Tuberkulosis terutama menyerang parenkim paru, dapat juga ditularkan ke
bagian tubuh lainnya, termaksuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe.
(Brunner, 2008: hal 349).
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Depkes, 2009). Kuman TB
berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

B. Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis :
1. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan
secara genetik.
2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian
dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan.
3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat,
kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang
nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik)
6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan
memudahkan untuk penyebarluasan infeksi.
7. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi
lebih mudah.
8. Nutrisi ; status nutrisi kurang
9. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.
10. Tidak mematuhi aturan pengobatan.

C. Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara
tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat
lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet
nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan
pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini  terhirup oleh orang sehat,
maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkolosis. Penularan
bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri yang terisap
akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga
alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan fokus ini disebut
fokus primer atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan
limfe regional, yang bersama dengan fokus primer disebut sebagai kompleks
primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan
menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.
Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh
tubuh melalui berbagai jalan, yaitu:
1) Percabangan bronkhus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring
(menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
2) Sistem saluran limfe
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak
langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus
limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.
a. Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau
mengangkut material yang mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri
ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang,
ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak
berkembang lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tak dapat berkembang
biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat
kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang
melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis
yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi
primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun
setelah infeksi primer terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat
diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi
baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru
tempat timbulnya infeksi pasca-primer terutama berada di daerah apeks
paru.
b. Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang
belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer
terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan
membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau
dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan,
yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
c. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas
dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB
akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular
d. Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik,
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
D. Manifestasi Klinis
Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3,
diantaranya:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a) Batuk 
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian
berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya
pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c) Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau
karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax,
anemia dan lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik meliputi:
a) Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
b) Gejala sistemik lain :
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa
minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak
napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia.
3. Gejala Tuberkulosis ekstra Paru
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa.
Meningitsis tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.

E. Klasifikasi TB Paru
Menurut Depkes (2009), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :
1) Berdasarkan organ yang terinvasi 
a. TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak,
TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :
1. TB Paru BTA Positif
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1
spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru
menunjukan gambaran TB aktif.
2. TB Paru BTA Negatif
Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan
pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru
dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas
dianggap berat.
b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan
alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya yaitu :
1. TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2. TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB
tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.
2) Berdasarkan tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita :
a) Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari
satu bulan.
b) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali
berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
c) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan
di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat.

F. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rontgen Thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini tergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan
bakteri tuberkel terhadap OAT, apakah sama baiknya dengan respon dari
klien. Penyembuhan yang lengkap sering kali yang terjadi di beberapa area
dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang
lengkap.
2) CT scan atau MRI memperlihatkan adanya gangguan meluasnya
kerusakan paru.
3) Radiologis TB Paru Milier
4) Pemeriksaan Laboratorium. Diagnostic terbaik dari penyakit TB diperoleh
dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Bahan
pemeriksaan untuk isolasi Mycobacterium Tuberculosis berupa :
 Sputum, diambil pada pagi hari / sputum yang baru keluar.
 Urine. Urine pertama di pagi hari
 Cairan kumbah lambung. Pemeriksaan ini digunakan jika klien tidak
dapat mengeluarkan sputum.
 Bahan-bahan lain, misalnya pus

G.  Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
1. Pencegahan Tuberkulosis Paru
 Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul
erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan
meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif,
maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif,
berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan
kemoprofilaksis.
 Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-
kelompok populasi tertentu misalnya: karyawan rumah
sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-
siswi pesantren.
o Vaksinasi BCG
o Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-
12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi
bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau
utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif,
sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok
berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan
remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang
bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang
menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi
positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
o Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit
tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di
tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM
(misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Indonesia – PPTI).
2. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
1. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat,
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu
INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB
dan Etambutol 15 mg/kgBB.
2. Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat
selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi
selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British
Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan
Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat
diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi.
Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3
obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di
antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan
panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada
urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi
dalam empat kategori sebagai berikut:
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita
dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan
neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya
luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan
minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap
intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali
dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
2. Kategori II  ( HRZE/5H3R3E3 )  
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif
diberikan kepada :
a. Penderita kambuh
b. Penderita gagal  terapi
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 ) 
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas
dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah
karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
H. Pengkajian
Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :
1. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta
pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
1) Keluhan respiratoris, meliputi:
- Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah
- Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya
berupa blood streak, berupa garis, atau bercak-bercak darah
- Sesak napas
- Nyeri dada
b. Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat
dalam melengkapi pengkajian.
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah
dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang
enak dalam melakukan pernapasan?
Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak,
perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara
terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang
dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan
gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama
pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah
bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes
mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh
klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT
dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji
lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam
enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas
fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada
kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan
bertingkat sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.
f. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi
pemerikasaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum,
pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan
yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system
pernapasan.
I. Diagnosa & Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujaun/KH Intervensi
. Keperawatan
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan
tidak efektif b/d tindakan keperwatan 1. Mengkaji fungsi respirasi antara lain
Kemampuan batuk diharapkan Jalan napas suara, jumlah, irama, dan kedalaman
kurang bersih dan efektif napas serta catatan pula mengenai
dengan kriteria hasil : penggunaan otot napas tambahan.
 Pasien menyatakan 2. Mencatat kemampuan untuk
bahwa batuk mengeluarkann secret/batuk secara
berkurang, tidak ada efektif.
sesak dan secret 3. Mengatur posisi tidur semi atau
berkurang. high fowler. Membantu pasien
 Suara napa untuk berlatih batuk  secara efektif
normal (vesikuler) dan menarik napas dalam
 Frekuensi napas 16- 4. Memberikan minum kurang lebih
20 kali permenit 2.500 ml/hari, menganjurkan untuk
(dewasa) minum dalam kondisi hangat jika
 Tidak ada dispnea tidak ada kontra indikasi.
5. Memberikan O2
6. Memberikan pengobatan atas
indikasi :
a. Agen mukolitik, misal:
Acetilcystein (mucomyst)
b. Bronkodilator misal:
Theophyline, Oxtriphyline
c. Kortikosteroid (prednisone),
misal: Dexamethason.
7. Memberikan agen anti infeksi ,
misal :
a. Obat primer : Isoniazid (INH),
Ethambutol (EMB), Rifampisin
(RMP).
b. Pyrazinamide (PZA), Para
Amino Slicilic (PAS),
Streptomycin.
c. Monitor pemeriksaan
Laboratorium (sputum)
2. Gangguan Setelah dilakukan
pertukaran gas b/d tindakan keperawatan 1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas,
kerusakan diharapkan gangguan peningkatan upaya pernapasan,
membrane alveolar- pertukaran gas tidak ekspansi thoraks, dan kelemahan.
kapiler terjadi dengan kriteria 2. .Evaluasi perubahan tingkat
hasil : kesadaran, catat sianosis, dan
 Melaporkan perubahan warna kulit, termasuk
penurunan dispnea. membrane mukosa dan kuku.
 Klien menunjukkan 3. Tunjukkan dan dukung pernapasan
tidak ada gejala bibir selama ekspirasi khusunya
distres pernapasan. untuk klien dengan fibrosis dan
 Menunjukkan kerusakan parenkim paru.
perbaikan ventilasi 4. Tingkatkan tirah baring, batasi
dan kadar oksigen aktivitas, dan bantu kebutuhan
jaringan adekuat gas perawatan diri sehari-hari sesuai
darah arteri dalam keadaan klien.
rentang normal.
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan
nutrisi, kurang dari tindakan keperawatan 1. Mendokumentasikan status nutrisi
kebutuhan tubuh b/d diharapkan pasien, serta mencatat turgor kulit,
batuk produktif. keseimbangan nutrisi berat badan saat ini, tingkat
terjaga setelah dengan kehilangan berat badan, integritas
kriteria hasil : mukosa mulut, tonus perut, dan
 Perasaan mual riwayat nausea atau diare.
hilang/berkurang. Memonitor intake-output dan berat
 Pasien mengatakan badan secara maksimal.
nafsu makan 2. Memberikan oral care sebelum dan
meningkat. sesudah penatalaksanaan
 Berat badan pasien respiratory.
tidak mengalami 3. Menganjurkan makan sedikit, tapi
penurunan drastic dan sering dengan diet TKTP.
cenderung stabil. 4. Menganjurkan keluarga untuk
 Pasien terlihat dapat membawa makanan dddari rumah
menghabiskan terutama yang disukai pasien dan
porsi makan yang kemudian makan dengan pasien jika
disediakan. tidak ada kontraindikasi
 Hasil analisis 5. Mengajukan kepada ahli gizi untuk
laboratorium menentukan komposisi diet.
menyatakan protein
darah / albumin darah
dalam
rentang normal.
4. Hipertemia Setelah dilakukan 1. Pantau suhu klien
berhubungan tindakan keperawatan 2. Berikan kompres hangat
dengan proses diharapkan suhu tubuh 3. Anjurkan pada keluarga untuk
inflamasi klien menurun dengan memberi minum sesuai kebutuhan
kriteria hasil : 4. Kolaborasi pemberian antipiretik
 Suhu tubuh dalam
rentang normal (36,5-
37,5oC),
 Badan tidak terasa
panas
 Tidak ada benda dan
gejala hipertermi
seperti takikardi, kulit
kemerahan.
5. Nyeri Akut Setelah dilakukan 1. Evaluasi keluhan nyeri atau
berhubungan tindakan keperawatan ketidaknyamanan, perhatikan
dengan nyeri dada diharapkan Nyeri dapat lokasi,  karakteristik nyeri dan kaji
pleuritis berkurang atau hilang tingkat nyeri dengan standar
dengan Kriteria hasil : PQRST
 Pasien mengatakan 2. Monitor tanda-tanda vital, observasi
nyeri berkurang atau kondisi umum pasien dan keluhan
hilang, pasien
 menunjukkan 3. Atur posisi yang nyaman dan aman
tindakan santai, dapat 4.
beraktivitas, tidur, 5. Dorong pasien untuk mendiskusikan
istirahat, masalah sehubungan dengan cidera.
 menunjukkan 6. Kolaborasi dalam pemberian
penggunaan analgetik sesuai indikasi.
keterampilan
relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai
indikasi
6 Intoleransi aktivitas Setelah di lakukan 1. Periksa tanda vital sebelum dan
berhubungan tindakan keperawatan segera setelah aktivitas, khususnya
dengan : Kelemahan klien dapat melakukan bila klien menggunakan vasodilator,
fisik aktivitas secara mandiri diuretic dan penyekat beta.
dengan Kriteria hasil : 2. Catat respons kardiopulmonal
 Berpartisipasi pada terhadap aktivitas, catat takikardi,
aktivitas yang diritmia, dispnea berkeringat dan
diinginkan, pucat.
memenuhi perawatan 3. Evaluasi peningkatan intoleran
diri sendiri, aktivitas.
 Mencapai 4. Implementasi program
peningkatan toleransi rehabilitasi/aktivitas (kolaborasi)
aktivitas yang dapat
diukur, dibuktikan
oleh menurunnya
kelemahan dan
kelelahan.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul.  Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Garaha Ilmu. Yogyakarta. 2011
Donna D, Marilyn. V, Medical Sugical Nursing, WB Sounders, Philadelpia 2011.
Kushariyadi. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba Medika. Jakarta. 2010
Mubaraq, Chayatin, Santoso. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep Dan Aplikasi. Salemba
Medika. Jakarta. 2011
Muttaqin, Arif, 2008. “Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.” Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, S.C., 2008. “Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, edisi
12”. Jakarta : EGC,
Soeparman & Sarwono Waspadji. 2010. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Somantri, Irman, 2008. “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.” Jakarta: Salemba MedikaSoeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Stanley, Mickey. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Alih Bahasa; Nety Juniarti, Sari
Kurnianingsih. Editor; Eny Meiliya, Monica Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2016
Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tamher, S. Noorkasiani. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan.
Salemba Medika. Jakarta. 2011
Wilkinson Judith M, Ahern Nancy R, 2011. “ Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi
9,Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.” Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai