OLEH
KELOMPOK 6
EKO AGUS SUSANTO
CITRA AULIA HK
NURAENI
NUR AFIFAH
STIKES YATSI
2020
PENDAHULUAN
Gangguan penglihatan merupakan masalah penting yang menyertai lanjutnya usia. Akibat
dari masalah ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat, para ahli, bahkan oleh para lanjut usia
sendiri. Dengan berkurangnya penglihatan, para lanjut usia sering kali kehilangan rasa percaya
diri, berkurang keinginan untuk pergi keluar, untuk lebih aktif bergerak kesana kemari. Mereka
akan kehilangan kemampuan untuk membaca atau melihat televisi. Semua itu akan menurunkan
aspek sosialisasi dari para lanjut usia, mengisolasi mereka dari dunia luar yang pada gilirannya
Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai lanjutnya usia. Dengan
makin lanjutnya usia terjadi degenerasi primer di organ corti berupa hilangnya sel epitel syaraf
yang di mulai pada usia pertengahan (Brockle-hurst and Allen, 1987, Mills, 1985, Rees and
A. DEFENISI
Katarak adalah istilah kedokteran untuk setiap keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa
mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau
dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.
Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh
cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah
dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.
Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di
dalam kapsul mata. Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi keruh
akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan
metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi
pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam
perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi.
Katarak mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di
dalam mata, seperti melihat air terjun. Penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan
lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada
retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.
B. ETIOLOGI
Ketuaan ( Katarak Senilis )
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia
rata-rata terjadinya katarak adalah pada usia 60 tahun keatas.
Trauma
Cedera mata dapat mengenai semua umur seperti pukulan keras, tusukan benda, terpotong, panas
yang tinggi, dan bahan kimia dapat merusak lensa mata dan keadaan ini disebut katarak
traumatik.
Penyakit mata lain ( Uveitis )
Penyakit sistemik ( Diabetes Mellitus )
Defek congenital
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan garis besar katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
1. Katarak perkembangan ( developmental ) dan degenerative.
2. Katarak trauma : katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata.
3. Katarak komplikata (sekunder) : penyakit infeksi tertentu dan penyakit seperti DM dapat
mengakibatkan timbulnya kekeruhan pada lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata.
4. Berdasarkan usia pasien, katarak dapat di bagi dalam :
a. Katarak kongeniatal : katarak yang di temukan pada bayi ketika lahir (sudah terlihat pada usia di
bawah 1 tahun)
b. Katarak juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan di bawah usia 40 tahun
c. Katarak presenil, yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun
d. Katarak senilis : katarak yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Jenis katarak ini merupakan
proses degeneratif ( kemunduran ) dan yang paling sering ditemukan.
D. PATOFISIOLOGI
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk
seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.
Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar
daerah di luar lensa. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Proses ini
mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Jumlah enzim akan
menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita
katarak.
Katarak bisa terjadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma atau sistemis
(diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang normal. Faktor yang paling
sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol,
merokok, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama.
F. KOMPLIKASI
Ambliopia sensori, penyulit yg terjadi berupa : visus tdk akan mencapai 5/5
Komplikasi yang terjadi : nistagmus dan strabismus. dan bila katarak dibiarkan maka akan
mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan
Uveitis.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita katarak adalah sebagai berikut :
Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa,
akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi. EKG, kolesterol serum, lipid
Tes toleransi glukosa : kontrol DM
Keratometri.
Pemeriksaan lampu slit.
A-scan ultrasound (echography).
Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi
USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.
H. PENATALAKSANAAN
Adapun penatalaksanaan pada saat post operasi antara lain :
a) Pembatasan aktivitas
b) Tidur dengan perisai pelindung mata logam pada malam hari; mengenakan kacamata pada siang
hari
c) Ketika tidur, berbaring terlentang atau miring pada posisi mata yang tidak dioperasi, dan tidak
boleh telengkup
d) Aktivitas dengan duduk
e) Mengenakan kacamata hitam untuk kenyamanan
f) Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/Istrahat
Gejala: Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan
b. Neurosensori
Gejala: Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan
kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskasn kerja dengan dekat atau
merasa di ruang gelap. Perubahan pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda: Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil. Peningkatan air mata.
c. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Ketidaknyamanan ringan atau mata berair
d. Pembelajaran/Pengajaran
Gejala: Riwayat keluarga diabetes, gangguan sistem vaskuler. Riwayat stres, alergi, gangguan
vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin, diabetes. Terpajan
pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
e. Pertimbangan rencana pemulangan
DRG menunjukkan rerata lamanya dirawat: 4,2 hari (biasanya dilakukan sebagai prosedur pasien
rawat jalan). Memerlukan bantuan dengan transportasi, penyediaan makanan,
perawatan/pemeliharaan rumah.
f. Prioritas Keperawatan
- Mencegah penyimpangan penglihatan lanjut
- Meningkatkan adaptasi terhadap perubahan atau penurunan ketajaman penglihatan
- Mencegah komplikasi
- memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan
g. Tujuan Pemulangan
- Penglihatan dipertahankan pada tingkat sebaik mungkin
- Pasien mengatasi situasi dengan tindakan positif
- Komplikasi dicegah atau diminimalkan
- Proses penyakit atau prognosis dan program terapi dipahami
C. INTERVENSI
1. Gangguan persepsi sensori : penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori/status organ indera.
Tujuan :
Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan sensori
dan berkompensasi terhadap perubahan.
Kriteria Hasil :
a. Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
b. Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.
Intervensi :
Tentukan ketajaman penglihatan, kemudian catat apakah satu atau dua mata terlibat. Observasi
tanda-tanda disorientasi.
Rasional : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan
lebih lanjut.
Orientasikan klien tehadap lingkungan.
Rasional : Meningkatkan keamanan mobilitas dalam lingkungan.
Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila
menggunakan tetes mata.
Rasional : Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata
dilator
Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan/posisi yang tidak
dioperasi.
Rasional : Komunikasi yang disampaikan dapat lebih mudah diterima dengan jelas.
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan kehilangan
vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler.
Tujuan:
Menyatakan pemahaman terhadap factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk
melindungi diri dari cedera.
b.Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan.
Intervensi :
Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi, nyeri, pembatasan aktifitas,
penampilan, balutan mata.
Rasional : Kondisi mata post operasi mempengaruhi visus pasien
Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
Rasional : Posisi menentukan tingkat kenyamanan pasien.
Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.
Rasional : Aktivitas berlebih mampu meningkatkan tekanan intra okuler mata
Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi.
Rasional : Visus mulai berkurang, resiko cedera semakin tinggi.
Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri tajam tiba-tiba, Selidiki
kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan.
Rasional : Pengumpulan Informasi dalam pencegahan komplikasi
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak
mengenal sumber informasi, kurang terpajan dan mengingat, keterbatasan kognitif.
Tujuan :
Klien menunjukkan pemahaman tentang kondisi, proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria Hasil :
Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
Pantau informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur, lensa.
Rasional : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan
lebih lanjut.
Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin, beritahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Rasional : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan
lebih lanjut.
Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis, misal : nyeri tiba-tiba.
Rasional : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan
lebih lanjut.
Anjurkan klien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi,
membongkok pada panggul, dll.
Rasional : Aktivitas-aktivitas tersebut dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
Anjurkan klien tidur terlentang
Rasional : Tidur terlentang dapat membantu kondisi mata agar lebih nyaman.
Hal-hal berikut ini dapat digunakan untuk membantu dalam menentukan status
pendengaran lansia:
o Berdiri di belakang klien, tepukan tangan dengan nyaring dan amati apakah klien
Bereaksi terhadap suara gaduh yang tiba-tiba.
o Berbicara beberapa kata yang mempunyai suara konsonan frekuensi tinggi dan minta klien untuk
mengulangi (misalnya: fanta, susu, ski).
o Observasi untuk menentukan apakah klien sedang membaca gerak bibir.
o Perhatikan adanya kesalahan dalam mengintreprestasi kata-kata.
o Dengarkan adanya kegagalan untuk berespons terhadap pertanyaan yang diajukan.
o Observasi perilaku menarik diri
o Tentukan apakah klien dapat mendengar detik arloji (pada kedua telinga). Pegang arloji beberapa
senti di atas kepala, di bagian belakang, dan beberapa senti dari masing-masing telinga. Catat
jarak tempat klien menyatakan bahwa suara detik arloji dapat terdengar.
Pengkajian penurunan pendengaran pada lansia di pengaruhi oleh beberapa faktor. Respon-
respons yang tidak sesuai mungkin salah diintreprestasikan sebagai kebingungan, atau klien
mungkin tidak mampu memahami kalimat dan mengikuti instruksi.
Batasan karakteristik yang berhubungan dengan suatu perubahan dalam pendengaran sangat
bervariasi di antara individu. Karakteristiknya dapat berupa perubahan dalam persepsi
pendengaran, adanya suara berdenging di telinga (tinitus), nyeri pada satu atau kedua telinga,
perubahan kemampuan untuk mendengar suara frekuensi tinggi, menarik diri, ansietas, respons
tidak sesuai dengan percakapan, dan bukti-bukti klinis tentang gangguan pendengaran.
Tanpa memperhatikan penyebab dari kehilangan pendengaran, lansia mempunyai reaksi yang
hampir sama terhadap gangguan ini seperti : marah, frustasi, dan menarik diri. Ketidakmampuan
untuk berpartisipasi secara efektif karena gangguan pendengaran mempengaruhi harga diri
seseorang. Perasaan kehilangan mungkin sangat jelas terlihat ketika gangguan tersebut
mempengaruhi beberapa AKS. Implikasi dari suatu gangguan pendengaran ini penting untuk
dipahami oleh perawat dan anggota keluarga. Contoh-contoh pengaruh pada AKS termasuk rasa
segan untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, kurangnya respons ketika diajak bicara,
penurunan aktivitas religius, peningkatan volume televisi atau radio, lambatnya respons untuk
menghindari bahaya seperti mobil yang mendekati, atau tidak mematuhi program pengobatan.
Identifikasi dan rehabilitasi dini dapat meningkatkan persepsi diri klien dan kesedian untuk
berpartisipasi dalam keluarga dan aktivitas yang lain.
Penggunaan alat bantu dengar dapat memudahkan komunikasi, mengurangi perasaan
kesepian dan isolasi sosial, dan mengembalikan perasaan memiliki kontrol pada klien. Beberapa
lansia mungkin dibantu dengan suatu alat bantu dengar, dan sebagian yang laintidak
menggunakan. Orang yang menunjukan suatu peningkatan dalam membedakan suara dengan
peningkatan amplifikasi/pembesaran suara pada umumnya merupakan calon yang baik untuk
menggunakan alat bantu dengar.
Sebagian besar lansia menerima informasi mereka tentang penggunaan dan keuntungan-
keuntungan alat bantu dengar dari iklan-iklan di televisi, surat kabar, atau radio, teman-teman,
atau anggota keluarga yang lain. Namun, klien perlu berbicara dengan seorang ahli audiologi
untuk mempelajari lebih banyak tentang alat bantu dengar dari seseorang yang dapat
memberikan informasi lengkap dan akurat. Berbagai tipe alat bantu dengar yang berbeda telah
tersedia pada saat ini, dan tipe yang dipilih bergantung pada kemampuan klien untuk
mengoperasikan alat tersebut. Pertimbangan harus diberikan kepada keterampilan klien (untuk
mengendalikan volume) dan penglihatannya (untuk melihat alat pengendali). Tipe-tipe yang ada
saat ini terdiri dari jenis in-the-ear (di dalam telinga), body-type (tipe tubuh), dan alat bantu
postaulikular. Alat bantu di dalam telinga (in-the-ear) mempunyai sebuah pengatur volume
berukuran kecil, dapat ditinggikan; alat bantu postaurikular dan tipe tubuh (body-type)
mempunyai pengatur volume yang lebih besar sehingga lebih mudah untuk dirasakan dan
disesuaikan. Hal yang penting dilakukan adalah menjelaskan berbagai pilihan dengan jelas dan
berpedoman kepada kebutuhan klien yang spesifik sehingga klien dapat membuat suatu
keputusan berdasarkan informasi yang telah diberitahukan. Klien dan keluarga juga harus
mempertimbangkan biaya alat bantu dengar; suatu waktu yang singkat pada umumnya diberikan
bagi klien untuk melakukan penyesuaian pada instrumen yang dipilih dan mempelajari bagaiman
cara menggunakannya sebelum pembelian. Beberapa masalah mungkin terjadi berkaitan dengan
penggunaan alat bantu dengar. Instrumen tersebut memiliki pengeras suara (amplifier), sehingga
dapat memperkuat kata-kata dalam suatu percakapan; suara gaduh disekitarnya mungkin cukup
keras untuk menimbulkan kesalahan dalam menginterpretasi kata-kata atau menyebabkan nyeri.
Oleh karena itu, lansia mungkin membeli suatu alat bantu dengar, tetapi ia hanya sedikit
menggunakannya.
Menyesuaikan diri terhadap suatu defisit pendengaran setelah seumur hidup memiliki
pendengaran yang normal yang merupakan hal yang sulit di lakukan. Keutuhan biopsikososial
seseorang terancam oleh perubahan yang hebat ini, intervensi perawat perlu memfokuskan pada
tindakan untuk memfasilitasi klien untuk bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal
di dalam masyarakat yang dinamis.
ASKEP PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN MASALAH PENDENGARAN
Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrium terbagi dalam 3 bagian yaitu telinga
luar, tengah, dan dalam. Telinga berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan gelombang suara
kedalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berespons pada gerakan kepala.
Perubahan pada telinga luar sehubungan dengan proses penuaan adalah kulit telinga
berkurang elastisitasnya. Daerah lobus yang merupakan satu-satunya bagian yang tidak di
sokong oleh kartilago mengalami pengeriputan, aurikel tampak lebih besar, dan tragus sering di
tutupi oleh rumbai-rumbai rambut yang kasar. Saluran auditorial menjadi dangkal akibat lipatan
ke dalam. Pada dindingnya silia menjadi lebih kaku dan kasar juga produksi serumen agak
berkurang dan cenderung menjadi lebih kering.
Perubahan atrofi telinga tengah khususnya membran timpani karena proses penuan tidak
mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran. Perubahan yang tampak pada telinga tampak pada
telinga dalam adalah koklea yang berisi organ corti sebagai unit fungsional pendengaran
mengalami penurunan sehingga mengakibatkan presbiskusis.
Lebih kurang 40% dari populasi lansia mengalami gangguan pendengaran (presbiskusis).
Gangguan pendengaran mulai dari derajat ringan sampai berat dapat di pantau dengan
menggunakan alat audiometer. Pada umunya laki-laki lebih sering menderita gangguan
pendengaran di bandingkan perempuan.
Presbiskusis merupakan akibat dari proses degenaratif pada satu / beberapa bagian koklea
(strias vaskularis, sel rambut, dan membran basilaris) maupun serabut saraf auditori. Presbiskusis
ini juga merupakan hasil interaksi antara faktor genetik individu dengan faktor eksternal, seperti
pajanan suara berisik terus menerus , obat ototoksik, dan penyakit sistemik.
Presbikusis terbagi dua menjadi presbikusis perifer dan presbikusis sentral.
Presbikusis perifer, dimana para lansia hanya mampu untuk mengedintifikasi kata.
Alat bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi harus di perhatikan untuk menghindari
berteriak/berbicara terlalu keras karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga.
Presbiskusis sentral, dimana lansia mengalami gangguan untuk mengidentifikasi
kalimat,sehingga bermanfaat sebagai alat bantu dengar sangat kurang. Oleh karena itu,
percakapan dengan lansia harus sedikit lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi.
Presbiskusis di tambah dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung
dapat menyebabkan lansia mengalami gannguan komunikasi. Gangguan komunikasi ini dapat
terjadi akibat : pertama, pembicaraan mengalami gangguan karena suara musik, radio, televisi,
maupun pembicaraan lain. Kedua, sumber suara mengalami distorsi yang berasal dari pengeras
suara yang tidak sempurna seperti diterminal, masjid, telpon, maupun bila di ucapkan oleh anak-
anak / pembicara yang terlalu cepat. Ketiga, kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna seperti
di dapur, ruang makan, restoran, serta ruang pertemuan yang mudah memantulkan semua.
Etiologi
Etiologi di bagi menjadi 2 yaitu :
1. Internal
Degenerasi primer eferen dari koklea, degenerasi primer organ corti penurunan vascularisasi dari
reseptor neuro sensorik mungkin juga mengalami gangguan.Sehingga baik jalur auditorik dan
lobus temporalis otak sering terganggu akibat lanjutnya usia.
2. Eksternal
Terpapar bising yang berlebihan, penggunaan otottoksik dan reaksi paska radang. (Boedhi dan
Hadi,1999)
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran pada lanjut usia merupakan keadaan yang menyertai proses menua.
Gangguan pendengaran yang utama adalah hilangnya pendengaran terhadap nada murni
berfrekuensi tinggi, yang merupakan suatu fenonema yang berhubungan dengan lanjut usia,
bersifat simetris, dengan perjalanan yang progresif lambat (Mills, 1985). Ada beberapa tipe
presbiakusis, yakni :
1. Presbiakusis sensorik. Patologinya berkaitan erat dengan hilangnya sel rambut di membrana
basalis koklea sehingga terjadi hilang pendengaran frekuensi nada tinggi. Penurunan fungsi
pendengaran biasanya pada usia pertengahan dan berlangsung terus secara perlahan progresif.
2. Presbiakusis neural. Patologinya berupa hilangnya sel neuronal di ganglion spiralis. Letak dan
jumlah kehilangan sel neuronal menentukan gangguan pendengaran yang timbul (berupa
gangguan frekuensi pembicaraan atau pengertian kata-kata adanya inkoordinasi, kehilangan
memori, dan gangguan pusat pendengaran).
3. Presbiakusis metabolik (strial). Patologinya yang terjadi adalah abnormalitas vaskularis strial
berupa atrofi daerah apikal dan tengah dari koklea. Presbiakusis jenis ini biasanya terjadi pada
usia yang lebih muda.
4. Prebiakusis mekanik (konduktif koklear). Pada presbiakusis jenis ini, di duga diakibatkan oleh
terjadinya perubahan mekanis pada membrana basalis koklea sebagai akibat proses menua.
Secara audiogram, ditandai dengan penurunan progresif sensitivitas di seluruh daerah tes. Dapat
disebabkan:
a. Kelainan degeneratif (otosklerosis)
b. Ketulian pada lanjut usia seringkali dapat menyebabkan kekacauan mental
c. Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bila bernada tinggi/rendah)
d. Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang/berputar)
1. Pengkajian
Pengkajian pada lansia yang mengalami gangguan pada sistem pendengaran meliputi hal-hal
sebagai berikut ini:
o Meminta untuk mengulang pembicaraan
o Jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan
o Memalingkan kepala terhadap pembicraan
o Kesulitan membedakan pembicaraan serta bunyi suara orang lainyang parau atau bergumam.
o Masalah pendengaran pada kumpulan yang besar, terutama dengan latar belakang yang bisisng,
berdering / berdesis yang konstan.
o Volume bicara meningkat
o Sering merasa sedih, di tolak lingkungan, malu, menarik diri, bosan, depresi, dan frustasi.
o Ketergantungan dalam melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari (mandi, berpakaian,
ke kamar kecil, makan, BAB/BAK, serta berpindah) .
Doenges, Marilyan E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Alih bahasa: I Made Kariasa.
Jakarta . EGC
Long, C Barbara. 1996.Perawatan Medikal Bedah : 2.Bandung. Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran
Luckman&Sorensen.1980.Medical-Surgical Nursing a Psychophysiologic Approach.United
States of America: W.B. Sunders Company (1986-1990)
Ilyas, sidarta. 2009. Dasar-dasar pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta:Balai
Pustaka.
Ilyas, sidarta. 2009. Ilmu penyakit mata. Jakarta : Balai penerbit FKUI
http://diarywi2n.wordpress.com/2011/10/06/askep-pasien-dengan-katarak/
Jaime L. Stockslager. 2007. Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta : EGC.
Maryam Siti, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika.
Nugroho Wahjudi, 2003. Keperawatan Gerontik dan Gerontrik Edisi 3. Jakarta : EGC.
Pudjiastuti Sri Surini, dkk. 2003. Fisioterapi pada lansia. Jakarta : EGC.
Stanley Mickey,dkk. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.
S. Tomher-Nookasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.