Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR


CRURIS

Oleh:
Rimanda Safitri Dewi, S.Kep
NIM 202311101171

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWAT
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KONSEP TEORI

A. Anatomi Fisiologi
Tubuh manusia terdiri dari tulang-tulang yang membentuk sistem
rangka. Rangka manusia terdiri dari 206 tulang. Tulang-tulangini difiksasi
satu sama lain membentuk kerangka dan memberi perlindungan pada
visera. dari 206 tulang rangka tersebut dibagi menjadi 2, yaitu rangka aksial
(sumbu tubuh) dan rangka apendikular (anggota tubuh). Tulang apendikuler
adalah rangka yang menyunsun alat gerak. Terdiri dari atas bahu, tulang-
tulang tangan, telapak tangan, panggul, tungkai dan telapak kaki. Secara
umum rangka apendikuler menyunsun alat gerak. Rangka aksial atau
rangka sumbu tubuh, diantaranya tulang tengkorak, tulang hyoid, tulang
belakang, tulang dada (sternum) dan tulang rusuk (costa)(Murtala, 2013)
Secara fisiologis tungkai bawah terdiri atas kaki dan pergelangan kaki
yang berfungsi sebagai satu unit yang terpadu serta bersama-sama
memberikan dukungan stabil, keseimabngan dan mobilitas. Dibutuhkan
fungsi kondisi tulang dan jaringan yang optimal untuk memenuhi fungsi
tersebut. Tibia atau tulang kering merupakan kerangka utama dari tungkai
bawah dan terletak media dari fibula atau tulang betis (Muttaqin, 2010).
Tulang tungkai bawah terdiri dari tulang pipa yaitu tulang tibia dan
fibula. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
Ujung atas memperlihatkan kondil medial dan lateral. Kondil-kondil ini
merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang. Tibia
membuat sendi dengan tiga tulang, yaitu femur, fibula dan talus (Wibowo
Daniel, 2013). Tulang fibula adalah tulang betis yang berada disebelah
lateral tungkai bawah. Ujung atas berbentuk kepala dan bersendi dengan
bagian belakang sebelah luar dari tibia tapi tidak ikut dalam formasi lutut.
Ujung bawah memanjang menjadi maleolus lateralis. Seperti tibia, arteri
yang memperdarahinya adalah arteri tibialis posterior (Pearce Evelyn C,
2013).
B. Definisi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian yang umumnya disebabkan trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dari tenaga tersebut terlihat dari keadaan tulang itu
sendiri dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan kondisi fraktur
(Noor, 2016).
Fraktur cruris atau tibia-fibula adalah terputusnya hubungan tulang
tibia dan fibula, secara klinis bisa berupa fraktur terbuka apabila disertai
kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah)
sehingga memungkinkan terjadinya hubungan anatara fragmen tulang yang
patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Helmi, 2016).

C. Etiologi
Penyebab fraktur merupakan trauma yang dibagi menjadi trauma
langsung, trauma tidak langsung dan trauma ringan. Trauma lansung yaitu
benturan pada tulang biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerah trokhater mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset dikamar mandi. Trauma ringan yaitu
keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh
atau underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat dan Wim de
Jong, 2010). Fraktur cruris tertutup disebabkan oleh cedera dari trauma
langsung atau tidak langsung yang mengenai kaki, dapat terjadi juga akibat
daya putar atau puntir yang dapat menyebabkan fraktur spiral pada kedua
tulang kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur
melintang atau oblik pendek (Muttaqin, 2011).

D. Klasifikasi
Menurut penelitian Hastriati (2019) menyebutkan bahwa fraktur
memiliki klasifikasi menurut bentuk patah tulang yaitu:
a. Fraktur komplit, terjadi ketika seluruh tulang patah dan tulang menjadi
2 bagian.
b. Fraktur inkomplit, terjadi ketika patah tulang pada sebagian tanpa
pemisah tulang.
c. Fraktur tertutup, terjadi ketika pata tulang yang tidak tembus sampai ke
kulit. Fraktur tertutup memiliki klasifikasi berdasrakan keadan jaringan
sekitar yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur yang terjadi tanpa cedera jaringan lunak
2. Tingkat 1: fraktur yang mengalami memar pada kulit
3. Tingkat 2: fraktur yang lebuh berat seperti luka yang tertutup yang
berwarna merah kehitaman atau kebiruan pada jaringan lunak di n
bagian dalam dan mengalami pembengkakan
4. Tingkat 3: fraktur yang terjadi dengan kerusakan jaringan lunak dan
berakibat nekrosis pada jaringan
d. Fraktur terbuka terjadi ketika patah tulang menembus kulit sehingga
tulang terlihat, terbagi menjadi 3:
1. Derajat I: luka tusuk bersih, panjang <1 cm
2. Derajat II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas,
panjang luka > 1 cm
3. Derajat III: luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas, meliputi otot, kulit dan struktur
neuovaskular (tipe lebih besar).
e. Impacted fraktur, patah tulang dengan salah satu ujung tulang yang
patah menancap dengan yang lain.
Sedangkan fraktur menurut garis patahnya yaitu:
a. Fraktur transvere, patah tulang yang patah dengan garis patahannya
tegak lurus.
b. Fraktur obligue, patah tulang yang patahannya membentuk suatu
sudut tulang
c. Fraktur spiral. Patah tulang yang mengakibatkan patah yang timbul
akibat kursi di ektremitas dan biasanya cepat sembuh dengan cara
imobilisai eksternal.
d. Fraktur greenstic, patah tulang yang salah satu sisi tulang patah dan
biasanya terjadi pada anak-anak
e. Fraktur comminuted, terputusnya tulang dengan keutuhan jaringan
yang dapat lebih dari 2 fragme (remuk)

Klasifikasi fraktur pada tibia dan dibula menurut OTA (Orthopaedic


Trauma Association) meliputi:
1. Tipe A (unifocal fractures) :
a. A1 spiral fracture
- A1.1 Intact fibula
- A1.2 Tibia and fibula fracture at different level
- A1.3 Tibia and fibula fracture at same level
b. A2 oblique fractures (garis fraktur <30 derajat)
- A2.1 Intact fibula
- A2.2 Tibia and fibula fracture at different level
- A2.3 Tibia and fibula fracture at same level
c. A3 intact fibula
- A3.1 Intact fibula
- A3.2 Tibia and fibula fracture at different level
- A3.3 Tibia and fibula fracture at same level
2. Tipe B (wedge fractures) :
a. B1 intact spiral wedge fractures
- B1.1 Intact fibula
- B1.2 Tibia and fibula fracture at different level
- B1.3 Tibia and fibula fracture at same level
b. B2 intact bending wedge fractures
- B2.1 Intact fibula
- B2.2 Tibia and fibula fracture at different level
- B2.3 Tibia and fibula fracture at same level
c. B3 comminuted wedge fractures
- B3.1 Intact fibula
- B3.2 Tibia and fibula fracture at different level
- B3.3 Tibia and fibula fracture at same level
3. Tipe C (complex fractures) : spiral, segmental dan irregular
a. C1 spiral wedge fractures
- C1.1 Two intermediate fragments
- C1.2 Three intermediate fragments
- C1.3 More than three intermediate fragments
b. C2 segmental fractures
- C2.1 One segmental fragments
- C2.2 Segmental fragment and additional wedge
fragments
- C2.3 Two segmental fragments
c. C3 comminuted fractures (remuk)
- C3.1 Two or three intermediate fragments
- C3.2 Limited comminution (<4cm)
- C3.3 Extensive comminution (>4cm)

Klasifikasi fraktur pada Os. Cruris

E. Manifestasi Klinik
Menurut Hurs (2015) klien yang mengalami fraktur cruris pada awalnya
memiliki tanda dan gejala berikut:
a. Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot terjadi
segera setelah fraktur.
b. Kehilangan fungsi : sokongan terhadap otot hilang ketika tulang
patah.Nyeri juga berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.
c. Deformitas : ekstremitas atau bagiannya dapat membengkok atau
berotasi secara abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot dan
edema.
d. Pemendekan ekstremitas : spasme otot menarik tulang dari posisi
kesejajarannya dan fragmen tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi, bukan
sejajar ujung ke ujung.
e. Krepitus : krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan
dengan pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang
bahkan dapat menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan, pembuluh
darah, dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi : kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat
trauma jaringan pada cedera.

F. Patofisilogi dan Pathway


Kondisi anatomis dari tulang tibia yang terletak di bawah subkutan
memberikan dampak terjadinya risiko fraktur terbuka lebih sering
dibandingkan tulang panjang lainnya apabila mendapat suatu trauma.
Mekanisme cedera dari fraktur cruris dapat terjadi akibat adanya daya putar
dapat menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat
yang berbeda. Daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik
pendek, biasanya pada tingkat yang sama. Cedera langsung akan menembus
atau merobek kulit di atas fraktur, tibia atau tulang kering merupakan
kerangka utama dari tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau
tulang betis, kedua tulang ini dinamakan tulang cruris karena secara
anatomis kedua tulang ini pada beberapa keadaan seperti pada trauma yang
mengenai tungkai bawah, kedua tulang ini sering mengalami fraktur.
Kondisi trauma anatomi tulang tibia yang sangat mendekati permukaan
(karena hanya dilapisi oleh kulit) memberikan kemungkinan lebih sering
terjadi fraktur terbuka. Otot-otot dan ligamen kaki secara fisiologis mampu
menggerakkan berbagai fungsi dari telapak kaki (Helmi, 2016). Kondisi
klinis fraktur cruris terbuka pada fase awal menimbulkan berbagai masalah
keperawatan pada klien, meliputi respons nyeri hebat akibat rusaknya
jaringan lunak dan kompresi saraf, risiko tinggi cedera jaringan akibat
kerusakan vaskular dengan pembengkakan lokal yang menyebabkan
sindrom kompartemen yang sering terjadi pada fraktur proksimal tibia,
risiko syok hipovolemik sekunder akibat cedera vaskular dengan perdarahan
hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang
dan risiko tinggi infeksi sekunder akibat port deentree luka terbuka. Fase
lanjut fraktur cruris terbuka menyebabkan terjadinya malunion, non-union
dan delayed union (Helmi, 2016).
Clinical Pahtway

Trauma Trauma tidak Trauma


langsung langsung patologis

Fraktur cruris

Nyeri akut
Dikontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang

Perubahan
Spasme otot
jaringan sekitar

Laserasi Putus Peningkatan


Deformitas kulit vena/arteri tekanan kapiler

Gangguan Port de entry


Perdarahan
fungsi kuman
Pelepasan
histamin
Hambatan
Risiko Hipovolemia
mobilitas
infeksi Protein plasma
fisik
hilang

Perfusi
perifer tidak Penurunan Penekanan Edema
efektif perfusi jaringan pembuluh darah
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang fraktur cruris menurut Muttaqin (2008) yaitu:
1. Foto rontgen
Sinar X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi , dan
perubahan hubungan tulang. Sinar X multipel diperlukan untuk
mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar X
tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan
tanda iregularitas.
2. CT Scan
Menunjukkan rincian bidang tertnetu yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan
tendon. CT Scan digunakan untuk mengindentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi, seperti
asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dengan atau tanpa kontras dan
berlangsung sekitar satu jam.
3. Angiografi
Bahan kontras radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk
melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Pemeriksaan ini
berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik
kaspul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, pinggul, tumit, dan
pergelangan tangan. Robekan terlihat dari bahan kontras maka akan
merembes keluar dari sendi dan terlihat pada sinar X.
4. Artrosentesis ( aspiral sendi)
Cara ini dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial digunakan
sebagai keperluan pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat
efusi. Cairan sinovial normalnya jernih, pucat, berwarna sperti jerami
dan volume sedikit. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
mendiagnosis artritis rheumatoid dan atrofi inflamasi lainnya dan
dapat memperlihatkan adanya hemartrosis yang menyebabkan trauma
atau kecenderungan perdarahan.
5. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang otot, dan
sinovial untuk membantu mennetukan penyakit tertentu. Prosedur ini
selesai dilakukan perlu dikompres es untuk mengontrol edema dan
perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi rasa tidak
nyaman

H. Penatalaksaan
Menurut Muttaqin (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur yaitu:
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengobatan.
2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal
didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan
reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan
mencegah komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan
osteoartritis di kemudian hari.
3. Retention (imobilisasi fraktur)
Teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan
tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat
antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin)
Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali.
Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris, program rehabilitasi yang
dijalankan adalah bagaimana klien dapat melanjutkan hidup dan melakukan
aktivasi dengan memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.
Penatalaksanaan pembedahan

1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-


Wire.
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil,
reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutan
(Muttaqin, 2008).
2. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu
ORIF
(Open Reduction Internal Fixation). Fiksasi interna yang dipakai
biasanyaberupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya
reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi
tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan.
Kerugiannya adalah adanyarisiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (Open Reduction
ExternalFixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur
terbuka dengankerusakan jaringan lunak. Pemasangan OREF akan
memerlukan waktu yang lama dengan masa penyembuhan antara 6-8
bulan. Setelah dilakukanpembedahan dengan pemasangan OREF sering
didapatkan komplikasi baik yangbersifat segera maupun komplikasi
tahap lanjut (Muttaqin, 2008).
I. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, agama, bahasa yang digunakan,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor
register, tanggal dan jam masuk rumah sakit, diagnosa medis. Penderita
fraktur berdasarkan karakteristik jenis kelamin, paling banyak diderita
oleh laki-laki Selain itu usia juga berpengaruh terhadap kejadian
fraktur. Berdasarkan hasil penelitian, responden dengan usia 21-45
tahun lebih mendominasi (Purnamasari, et al., 2014)
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering terjadi pada klien dengan masalah sistem
gangguan muskuloskeletal adalah nyeri. Nyeri fraktur tajam dan
menusuk dan dapat dihilangkan dengan imobilisasi. Rasa nyeri berbeda
antara satu individu dengan individu yang lain berdasarkan ambang nyeri
dan toleransi nyeri masing-masing klien.
3. Riwayat Penyakit Sekarang

Fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas seperti


kecelakaan motor dan mobil serta kecelakaan pejalan kaki sewaktu
menyeberang, klien yang dirawat di rumah sakit penting untuk
ditanyakan apakah keluhan utama masih sama seperti pada saat masuk
rumah sakit, kemudian tindakan yang sudah dilakukan terhadapnya.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya yang
kemungkinan mempunyai hubungan dengan masalah yang dialami pasien
sekarang, seperti apakah klien pernah mengalami fraktur atau trauma
sebelumnya peningkatan kadar gula darah, atau tekanan darah tinggi.

5. Riwayat penyakit keluarga


Pada keluarga klien ada atau tidak yang menderita osteoporosis, arthritis
atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6. Pengkajian psikososial
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan pengkaji untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
7. Aktivitas /istirahat
Klien dengan post operasi fraktur cruris sering kali mengalami
berkurangnya daya raba terutama pada area distal, sedangkan daerah
lainnya tidak mengalami gangguan. Adanya nyeri dan gerak terbatas,
semua bentuk aktivitas klien menjadi berkurang dan klien butuh banyak
bantuan dari orang lain.
8. Pola Nutrisi
Klien fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun
menu berubah misalnya makan di rumah, gizi tetap sama sedangkan di
rumah sakit disesuaikan dengan penyakit dan diet klien.
9. Pola eliminasi
Klien fraktur cruris tidak ada gangguan pada pola eliminasi, namun perlu
juga dikaji tentang frekuensi, warna, serta bau feses pada pola eliminasi
alvi. Pola eliminasi urin mengkaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan
jumlahnya.
10. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda yang perlu dicatat
adalah kesadaran pasien (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos
mentis, yang bergantung pada keadaan pasien), kesakitan atau
keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur tibia-fibula biasanya akut), tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk. Nyeri dapat
mempengaruhi tanda-tanda vital. Faktor yang dapat mempengaruhi
tekanan darah salah satunya adalah nyeri yang mengakibatkan
stimulasi simpatik, yang meningkatkan frekuensi darah, curah
jantung dan tahanan vaskular perifer (Lopes et al., 2014).
2) B1 (Breathing)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan, didapatkan bahwa pasien
fraktur cruris tidak mengalami kelainan pernafasan. Pada palpasi
toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri,
auskultasi tidak ditemukan suara nafas tambahan.
3) B2 (Blood)
Inspeksi : tidak ada ictus cordis, palpasi : nadi meningkat, ictus
cordi teraba di ICS V MCL sinistra, auskultasi : suara S1 dan S2
tunggal, tidak ada mur-mur
4) B3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis
b) Kepala
tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada
penonjola dan tidak ada sakit kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan, dan
reflek menelan ada.
d) Wajah
Terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain tidak ada
perubahan
fungsi dan bentuk. Wajah tampak menyeringai, wajah simetris,
tidak ada lesi dan edema.
e) Mata
Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada
fraktur tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Pasien fraktur
terbuka dengan banyaknya perdarahan yang keluar biasanya
mengalami konjungtiva anemis.
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
h) Mulut dan faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat
i) Status mental : observasi penampilan dan tingkah laku klien.
Biasanya status mental tidak mengalami perubahan.
j) Pemeriksaan Sistem Saraf Kranial
Saraf I : pada pasien fraktur cruris, fungsi saraf I tidak ada kelainan
Saraf II : tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak mengalami gangguan
mengangkat kelopak mata dan pupil
isokor.
Saraf V : pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan refleks kornea tidak ada
kelainan
Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik
Saraf XI : tidak ada atrofi otot setrnokleidomastoideus dan
trapezius
Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi (Muttaqin, 2008).
5) B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urin, termasuk berat jenis urine. Biasanya pasien fraktur cruris tidak
mengalami kelainan pada sistem ini.
6) B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : turgor baik, tidak ada defans muscular dan hepar tidak
teraba. Perkusi : suara timpani, ada panyulan gelombang cairan.
Auskultasi : peristaltik usus normal ±20 kali/menit.
Inguinal-genitalis-anus : tidak ada hernia, tidak ada pembesaran
limfe dan tidak ada kesulitan BAB.
7) B6 (Bone)
Adanya fraktur pada tibia-fibula akan mengganggu secara lokal, baik
fungsi motorik, sensorik maupun peredaran darah.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
ditandai dengan mengeluh nyeri dan cidera traumatis
b. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan
secara aktif ditandai dengan trauma atau perdarahan
c. Perfusi perifer tidak efektif dengan penurunan aliran arteri
ditandai dengan edema dan nyeri ekstermitas
d. Risiko infeksi berhubungan dengan invasi ditandai dengan
kerusakan integritas kulit
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal ditandai dengan trauma dan gerakan
terbatas.
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi Paraf & Nama
Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Manajemen Nyeri
2x24 jam, diharapkan nyeri akut dapat teratasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil:
frekuensi, kualitas, intensitas, skala nyeri
Tingkat nyeri
2. Identifikasi faktor yang memperberat dan
Skala memperingan nyeri
Keterangan
Indikator Aw Akhi
skala 3. Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
al r
Keluhan nyeri 2 4 1. Meningkat 4. Monitor efek samping penggunaan
2. Cukup analgetik
Meringis 2 4 meningkat
3. Sedang 5. Ajarkan dan jelaskan teknik non-
4. Cukup farmakologi untuk mengurangi nyeri
menurun
5. Menurun 6. Kontrol lingkungan yang memperberat
nyeri

2 Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Manajemen syok hipovolemik


2x24 jam, diharapkan hipovolomia dapat teratasi
1. Monitor status kardiopulmonal
dengan kriteria hasil:
Status cairan 2. Monitor status oksigenasi
3. Periksa tingkat kesadaran dan respon
Skala pupil
Keterangan
Indikator Aw Akhi
skala 4. Berikan oksigen intuk mempertahankan
al r
Kekuatan nadi 2 4 1. Menurun saturasi oksigen >94%
2. Cukup 5. Berikan posisi syok
Turgor kulit 2 4 menurun
3. Sedang
4. Cukup
meningkat
5. Meningkat

3. Perfusi perifer Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Perawatan Sirkulasi


tidak efektif 2x24 jam, diharapkan perfusi perifer tidak efektif 1. Periksa
bisa teratasi dengan kriteria hasil: sirkulasi perifer(mis.nadi perifer,
Perfusi perifer edema,pengisian kapiler, warna,
Skala suhu,anklebarchial index)
Keterangan
Indikator Aw Akhi
skala 2. Identifikasi
al r
Pengisian kapiler 2 4 1. Memburuk faktor risiko gangguan
2. Cukup sirkulasi(mis.diabetes, perokok,hipertensi,
Turgor kulit 2 4 memburuk
3. Sedang kadar kolesterol tinggi)
4. Cukup 3. Lakukan
membaik
perawatan kaki dan kuku
4. Anjurkan
5. Membaik
minum obat pengontrol tekanan darah
secara teratur
5. Anjurkan
perawatan kulit yang tepat
6. Anjurkan
program diet untuk memperbaiki sirkulasi

4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Pencegahan infeksi


2x24 jam, diharapkan risiko infeksi dapat teratasi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
dengan kriteria hasil:
sistemik
Tingkat infeksi
2. Berikan perawatan kulit pada area edema
Skala
Keterangan
Indikator Aw Akhi 3. pertahankan teknik aseptik pada pasien
skala
al r beresiko tinggi
Demam 2 4 1. Meningkat
2. Cukup 4. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Kemerahan 2 4 meningkat 5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Nyeri 2 4 3. Sedang
Bengkak 2 4 4. Cukup 6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
menurun
5. Menurun
5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan perawatan selama Dukungan ambulasi
2x24 jam, diharapkan gangguan mobilitas fisik
mobilitas fisik 1.Identifikasi adanya nyeri atau keluhan Deni
dapat teratasi dengan kriteria hasil: fisik lainnya
2. Monitor kondisi umum selama melakukan
Mobilitas fisik
Skala ambulasi
Keterangan
Indikator Aw Akhi
skala 3. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
al r
Pergerakan 2 4 1. Menurun bantu
ekstremitas 2. Cukup 4. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
Kekuatan otot 2 4 menurun
Rentang gerak 3. Sedang 5. Anjurkan melakukan ambulasi dini
4. Cukup 6. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
meningkat
5. Meningkat dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Helmi,Z N.2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed.2. Jakarata: Salemba Medika

Hurst,M.2015. Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: EGC

Muttaqin,A.2008.Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal.Jakarta:EGC

Noor,Z.2016. Buku Ajar Patofisiologi dan Peran Atom Mineral dalam Manajemen
Terapi. Jakarta: Salemba Medika

Sjamsuhidajat,R.2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai