Oleh:
Rimanda Safitri Dewi, S.Kep
NIM 202311101171
A. Anatomi Fisiologi
Tubuh manusia terdiri dari tulang-tulang yang membentuk sistem
rangka. Rangka manusia terdiri dari 206 tulang. Tulang-tulangini difiksasi
satu sama lain membentuk kerangka dan memberi perlindungan pada
visera. dari 206 tulang rangka tersebut dibagi menjadi 2, yaitu rangka aksial
(sumbu tubuh) dan rangka apendikular (anggota tubuh). Tulang apendikuler
adalah rangka yang menyunsun alat gerak. Terdiri dari atas bahu, tulang-
tulang tangan, telapak tangan, panggul, tungkai dan telapak kaki. Secara
umum rangka apendikuler menyunsun alat gerak. Rangka aksial atau
rangka sumbu tubuh, diantaranya tulang tengkorak, tulang hyoid, tulang
belakang, tulang dada (sternum) dan tulang rusuk (costa)(Murtala, 2013)
Secara fisiologis tungkai bawah terdiri atas kaki dan pergelangan kaki
yang berfungsi sebagai satu unit yang terpadu serta bersama-sama
memberikan dukungan stabil, keseimabngan dan mobilitas. Dibutuhkan
fungsi kondisi tulang dan jaringan yang optimal untuk memenuhi fungsi
tersebut. Tibia atau tulang kering merupakan kerangka utama dari tungkai
bawah dan terletak media dari fibula atau tulang betis (Muttaqin, 2010).
Tulang tungkai bawah terdiri dari tulang pipa yaitu tulang tibia dan
fibula. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
Ujung atas memperlihatkan kondil medial dan lateral. Kondil-kondil ini
merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang. Tibia
membuat sendi dengan tiga tulang, yaitu femur, fibula dan talus (Wibowo
Daniel, 2013). Tulang fibula adalah tulang betis yang berada disebelah
lateral tungkai bawah. Ujung atas berbentuk kepala dan bersendi dengan
bagian belakang sebelah luar dari tibia tapi tidak ikut dalam formasi lutut.
Ujung bawah memanjang menjadi maleolus lateralis. Seperti tibia, arteri
yang memperdarahinya adalah arteri tibialis posterior (Pearce Evelyn C,
2013).
B. Definisi
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian yang umumnya disebabkan trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dari tenaga tersebut terlihat dari keadaan tulang itu
sendiri dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan kondisi fraktur
(Noor, 2016).
Fraktur cruris atau tibia-fibula adalah terputusnya hubungan tulang
tibia dan fibula, secara klinis bisa berupa fraktur terbuka apabila disertai
kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah)
sehingga memungkinkan terjadinya hubungan anatara fragmen tulang yang
patah dengan udara luar dan fraktur tertutup (Helmi, 2016).
C. Etiologi
Penyebab fraktur merupakan trauma yang dibagi menjadi trauma
langsung, trauma tidak langsung dan trauma ringan. Trauma lansung yaitu
benturan pada tulang biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring
dimana daerah trokhater mayor langsung terbentur dengan benda keras
(jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset dikamar mandi. Trauma ringan yaitu
keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh
atau underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat dan Wim de
Jong, 2010). Fraktur cruris tertutup disebabkan oleh cedera dari trauma
langsung atau tidak langsung yang mengenai kaki, dapat terjadi juga akibat
daya putar atau puntir yang dapat menyebabkan fraktur spiral pada kedua
tulang kaki dalam tingkat yang berbeda, daya angulasi menimbulkan fraktur
melintang atau oblik pendek (Muttaqin, 2011).
D. Klasifikasi
Menurut penelitian Hastriati (2019) menyebutkan bahwa fraktur
memiliki klasifikasi menurut bentuk patah tulang yaitu:
a. Fraktur komplit, terjadi ketika seluruh tulang patah dan tulang menjadi
2 bagian.
b. Fraktur inkomplit, terjadi ketika patah tulang pada sebagian tanpa
pemisah tulang.
c. Fraktur tertutup, terjadi ketika pata tulang yang tidak tembus sampai ke
kulit. Fraktur tertutup memiliki klasifikasi berdasrakan keadan jaringan
sekitar yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur yang terjadi tanpa cedera jaringan lunak
2. Tingkat 1: fraktur yang mengalami memar pada kulit
3. Tingkat 2: fraktur yang lebuh berat seperti luka yang tertutup yang
berwarna merah kehitaman atau kebiruan pada jaringan lunak di n
bagian dalam dan mengalami pembengkakan
4. Tingkat 3: fraktur yang terjadi dengan kerusakan jaringan lunak dan
berakibat nekrosis pada jaringan
d. Fraktur terbuka terjadi ketika patah tulang menembus kulit sehingga
tulang terlihat, terbagi menjadi 3:
1. Derajat I: luka tusuk bersih, panjang <1 cm
2. Derajat II: luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas,
panjang luka > 1 cm
3. Derajat III: luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas, meliputi otot, kulit dan struktur
neuovaskular (tipe lebih besar).
e. Impacted fraktur, patah tulang dengan salah satu ujung tulang yang
patah menancap dengan yang lain.
Sedangkan fraktur menurut garis patahnya yaitu:
a. Fraktur transvere, patah tulang yang patah dengan garis patahannya
tegak lurus.
b. Fraktur obligue, patah tulang yang patahannya membentuk suatu
sudut tulang
c. Fraktur spiral. Patah tulang yang mengakibatkan patah yang timbul
akibat kursi di ektremitas dan biasanya cepat sembuh dengan cara
imobilisai eksternal.
d. Fraktur greenstic, patah tulang yang salah satu sisi tulang patah dan
biasanya terjadi pada anak-anak
e. Fraktur comminuted, terputusnya tulang dengan keutuhan jaringan
yang dapat lebih dari 2 fragme (remuk)
E. Manifestasi Klinik
Menurut Hurs (2015) klien yang mengalami fraktur cruris pada awalnya
memiliki tanda dan gejala berikut:
a. Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot terjadi
segera setelah fraktur.
b. Kehilangan fungsi : sokongan terhadap otot hilang ketika tulang
patah.Nyeri juga berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.
c. Deformitas : ekstremitas atau bagiannya dapat membengkok atau
berotasi secara abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot dan
edema.
d. Pemendekan ekstremitas : spasme otot menarik tulang dari posisi
kesejajarannya dan fragmen tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi, bukan
sejajar ujung ke ujung.
e. Krepitus : krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan
dengan pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang
bahkan dapat menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan, pembuluh
darah, dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi : kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat
trauma jaringan pada cedera.
Fraktur cruris
Nyeri akut
Dikontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang
Perubahan
Spasme otot
jaringan sekitar
Perfusi
perifer tidak Penurunan Penekanan Edema
efektif perfusi jaringan pembuluh darah
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang fraktur cruris menurut Muttaqin (2008) yaitu:
1. Foto rontgen
Sinar X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi , dan
perubahan hubungan tulang. Sinar X multipel diperlukan untuk
mengkaji secara paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar X
tekstur tulang menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan
tanda iregularitas.
2. CT Scan
Menunjukkan rincian bidang tertnetu yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan
tendon. CT Scan digunakan untuk mengindentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi, seperti
asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dengan atau tanpa kontras dan
berlangsung sekitar satu jam.
3. Angiografi
Bahan kontras radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk
melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Pemeriksaan ini
berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik
kaspul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, pinggul, tumit, dan
pergelangan tangan. Robekan terlihat dari bahan kontras maka akan
merembes keluar dari sendi dan terlihat pada sinar X.
4. Artrosentesis ( aspiral sendi)
Cara ini dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial digunakan
sebagai keperluan pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat
efusi. Cairan sinovial normalnya jernih, pucat, berwarna sperti jerami
dan volume sedikit. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
mendiagnosis artritis rheumatoid dan atrofi inflamasi lainnya dan
dapat memperlihatkan adanya hemartrosis yang menyebabkan trauma
atau kecenderungan perdarahan.
5. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang otot, dan
sinovial untuk membantu mennetukan penyakit tertentu. Prosedur ini
selesai dilakukan perlu dikompres es untuk mengontrol edema dan
perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi rasa tidak
nyaman
H. Penatalaksaan
Menurut Muttaqin (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur yaitu:
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan
sesudah pengobatan.
2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal
didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan
reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan
mencegah komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan
osteoartritis di kemudian hari.
3. Retention (imobilisasi fraktur)
Teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan
tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat
antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin)
Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali.
Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris, program rehabilitasi yang
dijalankan adalah bagaimana klien dapat melanjutkan hidup dan melakukan
aktivasi dengan memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.
Penatalaksanaan pembedahan
Helmi,Z N.2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed.2. Jakarata: Salemba Medika
Noor,Z.2016. Buku Ajar Patofisiologi dan Peran Atom Mineral dalam Manajemen
Terapi. Jakarta: Salemba Medika