Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DAN KONSEP RESUME

TENTANG HEMODIALISA DI RSUD GENTENG KABUPATEN

BANYUWANGI

Oleh :

APRILIANI BISROHUL KAMILA

2021.04.015

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) DAN KONSEP RESUME

TENTANG HEMODIALISA DI RSUD GENTENG KABUPATEN

BANYUWANGI

Disusun untuk memenuhi tugas Praktek Ners Stikes Banyuwangi

Oleh :

APRILIANI BISROHUL KAMILA

2021.04.015

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI

BANYUWANGI

2021
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR KLAVIKULA

A. Konsep Dasar

1. Anatomi Fisiologi

Ginjal terletak di bagian dinding posterior abdomen terutama di daerah

lumbal dan di sebelah kanan dan kiri dari tulang belakang. Ginjal mempunyai

ukuran panjang kurang lebih 6 sampai 7,5 cm dengan ketebalan sekitar 1,5 sampai

2,5 cm. Ginjal mempunyai bentuk seperti biji kacang dengan sisi dalam atau

hileum menghadap ke tulang punggung sedangkan sisi luar dari ginjal berbentuk

cembung. Ginjal terdiri dari dua bagian yaitu bagian kanan dan kiri. Kedua ginjal

terletak diantara vertebra T12 sampai L3. Ginjal kanan terletak sedikit ke bawah

dibandingkan dengan ginjal kiri yang bertujuan untuk memberikan tempat lobus

hepatis dexter yang besar. Bagian ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri,

hal ini dikarenakan hati pada ginjal kanan menduduki banyak ruang (Evelyn,

2017).

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut dengan kapsula

fibrosa yang didalamnya terdapat 2 struktur ginjal yaitu bagian luar atau korteks

renalis berwarna coklat gelap dan bagian dalam atau medulla renalis berwarna

coklat terang. Pada bagian medula renalis tersusun atas 15 sampai 16 massa yang

berbentuk piramida disebut dengan piramis ginjal. Puncak dari bagian medula

langsung mengarah pada hilum dan berakhir pada kalises yang menghubungkan

dengan pelvis ginjal. Hilum merupakan pinggir medial ginjal yang berbentuk

konkaf dan berfungsi sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe,

ureter dan nervus. Ginjal memiliki fungsi utama antara lain untuk mengeluarkan

bahan buangan yang tidak diperlukan oleh tubuh dan untuk mensekresi air yang
berlebihan dalam darah. Selain itu ginjal juga berfungsi untuk mengeluarkan zat-

zat metabolisme tubuh melalui urine, menjaga keseimbangan air, asam-basa,

elektrolit dalam tubuh, membantu pembentukan sel darah merah (menghasilkan

eritropoietin) dan mengatur tekanan darah (Evelyn, 2017).

Gambar 1. Ginjal

Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nefron yang berjumlah 1-1,2 juta

buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri

dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal,

lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus

pengumpul (Evelyn, 2017). Unit nefron dimulai dari pembuluh darah halus /

kapiler, bersifat sebagai saringan disebut glomerulus, darah melewati glomerulus /

kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer)

yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa atau

saluran yang disebut tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter, kandung

kemih, kemudian ke luar melalui uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air

dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah,

kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh.

Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil

akhir yang kemudian diekskresikan adalah urin. (Evelyn, 2017)

Gambar 2. Unit Nefron

Ginjal mendapatkan darah dari arteri renalis yang merupakan cabang dari

aorta abdominalis. Renal arteri terbagi menjadi 2 yaitu anterior dan posterior.

Cabang posterior memperdarahi segmen medial dari permukaan posterior

sedangkan cabang anterior memperdarahi kutub kranial dan kaudal dan seluruh

permukaan anterior ginjal. Arteri renal merupakan saluran akhir arteri, jika terjadi

kerusakan pada arteri ini menimbulkan iskemia atau nekrosis pada daerah yang

dilayaninya. Urutan vaskularisasi ginjal dimulai dari arteri renal - arteri interlobar

- arteri arkuata - arteri interlobularis - arteri afferent - glomerulus - arteri efferent.

Selanjutnya darah keluar dari ginjal melalui vena renalis yang langsung masuk ke

vena cava inferior. Sedangkan sistem limfatik mengalir menuju lumbaris. Selain

itu, ginjal juga mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), yang

berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini
berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. (Evelyn,

2017). Fungsi ginjal antara lain :

1. Fungsi Ekskresi

a. Mempertahankan osmolaritas plasma dengan mengubah-ubah ekskresi

air.

b. Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang

normal.

c. Mempertahankan PH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan

H+ dan membentuk kembali HCO3.

d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein,

terutama urea, asam urat dan kreatinin.

2. Fungsi Non Ekskresi

a. Menghasilkan renin (untuk pengaturan tekanan darah).

b. Menghasilkan eritropoetin yang merupakan faktor penting dalam stimulasi

produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.

c. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

d. Degredasi insulin.

e. Menghasilkan prostaglandin.

2. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah suatu gangguan yang terjadi pada ginjal yang

berlangsung lebih dari tiga bulan dengan kriteria laju filtrasi glomerulus (LFG)

atau Glomerulus Fitration Rate (GFR) <60 mL/min/1,73 m2. Gagal ginjal kronik

ini biasanya ditandai dengan adanya protein didalam urin, gangguan fungsi ginjal

dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kamasita dkk., 2018).


Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam

beberapa bulan atau tahun.penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan

ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari

60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan. Penyakit ginjal kronis awalnya tidak

menunjukkan tanda dan gejala namun dapat berjalan progresif menjadi gagal

ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan ditanggulangi dan kemungkinan untuk

mendapatkan terapi yang efektif akan lebih besar jika diketahui lebih awal

(Kemenkes, 2017).

Menurut Departemen Kesehatan (2017) gagal ginjal kronik ialah

kerusakan yang terjadi pada ginjal dimana tubuh gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronik

ini terjadi secara progresif dan lambat, biasanya berlangsung selama beberapa

bulan atau tahun dan sifatnya tidak dapat disembuhkan dan harus menjalani

pengobatan seumur hidup.

3. Etiologi

Menurut Nuari (2017), penyakit gagal ginjal kronik merupakan keadaan

klinis kerusakan ginjal yang bersifat progresif dan ireversibel karena berbagai

penyebab diantaranya:

a. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielonefritis kronik dan refluks

nefropati.

b. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.

c. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis

maligna, dan stenosis arteriarenalis.


d. Gangguan jaringan ikat seperti lupus eritematosus sistemik,

poliarteritisnodosa, dan seklerosis sistemik progresif.

e. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik.

f. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme.

g. Nefropati toksik seperti penyalahgunaan analgetik, dan nefropati timah.

h. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu,

neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang

terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika

urinaria dan uretra.

4. Klasifikasi

Menurut Rahmawati (2017) berdasarkan derajat penurunan laju filtrasi

glomerulus, gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium yaitu :

1. Stadium 1 : Kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal: GFR

>90 ml/menit/1,73 m2.

2. Stadium 2 : Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan:

GFR 60 – 89 ml/menit/1,73 m2.

3. Stadium 3 : Kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal sedang: GFR 30

– 59 ml/menit/1,73 m2.

4. Stadium 4 : Kerusakan ginjal dengan Penurunan fungsi ginjal berat: GFR 15 –

29 ml/menit/1,73 m2.

5. Stadium 5 : Gagal ginjal: GFR < 15 ml/menit/1,73 m 2 atau sudah menjalani

dialisis.
5. Manifestasi Klinis

Menurut Nuari (2017) pada awalnya gagal ginjal kronik tidak

menunjukkan gejala penyakit yang jelas, akan tetapi saat fungsi ginjal telah

memburuk atau rusak hingga stadium gagal ginjal berat (kurang dari 25% dari

fungsi ginjal yang normal) maka akan menyebabkan uremia yang ditandai dengan

gejala sebagai berikut:

a. Jumlah kencing harian menurun (oliguria).

b. Kehilangan nafsu makan, mual dan muntah.

c. Kelelahan, anemia (wajah pucat).

d. Kaki bengkak, lingkar perut semakin besar (edema tungkai/ asites).

e. Hipertensi (tekanan darah tinggi).

f. Sesak nafas.

g. Oedema (pembengkakan pergelangan kaki atau kelopak mata).

h. Mengantuk, tidak sadar, kejang, koma.

6. Patofisiologi

Penyebab umum gagal ginjal kronik antara lain glomerulonephritis kronis,

diabetic nephropathy, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstinal nephritis

kronis, penyakit ginjal keturunan, penyempitan saluran kemih berkepanjangan.

Kronologi terjadinya gagal ginjal kronik dimulai pada fase awal gangguan,

keseimbangan cairan, penanganan garam, dan penimbunan zat-zat sisa pada

ginjal. Gagal ginjal kronik ditandai adanya kerusakan dan menurunnya nefron

dengan kehilangan fungsi ginjal yang progresif sehingga nefron sisa yang sehat

akan mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa akan

meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, serta mengalami hipertrofi. Dengan


semakin berkurangnya kerja dari nefron-nefron akan membentuk jaringan parut

dan aliran darah yang menuju ginjal semakin berkurang. Jika jumlah nefron yang

tidak befungsi semakin meningkat, maka ginjal tidak mampu untuk menyaring

urin dengan baik. Pada tahap ini glomerulus akan menjadi kaku dan plasma darah

tidak dapat di saring dengan mudah melalui tubulus sehingga akan terjadi

kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium. Pada pasien gagal ginjal kronik

dapat terjadi edema di ektremitas seperti kelopak mata dan kaki (Aisara, 2018).

Ketika kerusakan ginjal berlanjut bahkan sampai bertahun-tahun tidak

kunjung sembuh dan terjadi penurunan jumlah nefron yang masih berfungsi, laju

filtrasi glomerulus total akan menurun lebih banyak sehingga tubuh tidak mampu

mengeluarkan kelebihan air, garam, dan produk limbah lainnya melalui ginjal.

Ketika laju filtrasi glomerulus kurang dari 10-20 mL/min, tubuh akan mengalami

keracunan ureum. Jika penyakit tidak diatasi dengan dialisis atau transplantasi

ginjal, maka hasil akhir dari gagal ginjal kronik adalah uremia dan kematian

(Aisara, 2018).
7. Pathway

Glomerulonefritis, pielonefritis, hidronefrosis,


sindrom nefrotik, dan lain-lain

Kerusakan glomerulus

Turunnya filtrasi glomerulus

Gagal Ginjal Kronik

Retensi Na

Tekanan kapiler
meningkat

Volume interstisial ↑
Hipervolemia
Oedema
Perfusi perifer tidak Retensi Na dan air
Beban jantung ↑ efektif

Renin angiotensin
Hipertrofi ventrikel kiri jantung Suplai oksigen jaringan aldosteron ↓

Penurunan Risiko perfusi renal
Payah jantung Cardiac output ↓ Aliran darah ke ginjal ↓
Curah Jantung tidak efektif

Intoleransi aktivitas
8. Pemeriksaan Penunjang

Guna menegakkan diagnosa pasti terkait gagal ginjal, dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan berikut :

a) Laboratorium darah

1. Pemeriksaan Blood Urea Nitrogen (BUN) : Nilai normal : 20-30 mg/dL.

2. Kreatinin serum : Nilai normal Laki-laki : 0,6-1,3 mg/dL, Perempuan 0,5-1,1

mg/dL.

3. Glomerulus filtration rate (GFR): Nilai normal GFR pada laki-laki antara 97 –

137 mL/menit per 1,73 m2 dan pada perempuan antara 88 – 128 mL/menit per

1,73 m2.

4. Tes urine: untuk mengetahui adanya protein dan darah dalam urine yang

menandakan bahwa terjadi penurunan fungsi ginjal (Verdiansah, 2016).

5. Mikroalbuminuria: keadaan dimana terdapatnya albumin dalam urin sebesar 30

– 300 mg/24 jam. Keadaan ini dapat memberikan tanda awal dari penyakit

ginjal. Kadar normal albumin dalam darah antara 3,5 – 4,5 mg/dL (Verdiansah,

2016).

6. Kalium : Nilai K normal = 3,5 – 5 meq/L (Rahmawati, 2017).

7. Natrium (Na) : Nilai normal natrium = 136 – 146 meq/L.

8. Kalsium (Ca) : Nilai normal kalsium total plasma/serum: 8,8 – 10,2 mg/dl

(Rahmawati, 2017).

9. Fosfat : Nilai normal fosfat plasma/serum normal: 2,5 – 4,5 mg/dl (Rahmawati,

2017).

10. Magnesium : Nilai normal magnesium serum: 0,6 – 1,1 mmol/L (Rahmawati,
2017).

b) Pemeriksaan USG : menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan

parenki ginjal, anatomi system pelviokalises, uereter proksimal, kandung kemih,

serta prostat.

c) Biopsi ginjal: Pemeriksaan biopsi ginjal ini menggunakan jarum untuk mengambil

sampel kecil dari jaringan ginjal dengan bantuan anestesi lokal dan memeriksa

jaringan dibawah mikroskop. Biopsi ginjal bisa digunakan untuk mendiagnosis

gagal ginjal (Lukela dkk., 2019).

9. Penatalaksanaan

1. Terapi Konservatif

Terapi ini bertujuan untuk mencegah memburuknya fungsi ginjal secara

progresif, memperbaiki metabolisme secara optimal, meringankan keluhan akibat

toksin azotemia dan memelihara keseimbangan cairan elektrolit. Berikut ini hal

yang dapat dilakukan dengan terapi konservatif yaitu:

a) Diet protein

Diet rendah protein dianjurkan untuk penderita gagal ginjal kronik untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia. Pembatasan asupan protein

dalam makanan dapat mengurangi timbulnya gejala anoreksia, mual, dan

muntah. Asupan rendah protein dapat mengurangi beban ekskresi ginjal

sehingga menurunkan terjadinya hiperfiltrasi glomerulus, intraglomerulus,

dan cedera sekunder pada nefron intak. Jumlah protein yang diperbolehkan

untuk di konsumsi yaitu <0,6 g protein/kg/hari dengan LFG <10 ml/menit.


b) Diet kalium

Diet kalium pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilakukan dengan cara diet

rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung

kalium tinggi. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet kalium ini adalah 40-80

mEq/hari selain itu dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang

mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni (Nuari, 2017).

c) Diet kalori

Kebutuhan jumlah kalori pada pasien gagal ginjal kronik harus adekuat untuk

mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi, dan

status gizi. Untuk penderita gagal ginjal kronik untuk usia kurang dari 60 tahun

dengan LFG <25 ml/menit dan tidak menjalani dialisis yaitu 35 kkal/kg/hari .

sedangkan untuk usia lebih dari 60 tahun yaitu 30-35 kkal/kg/hari (Nuari,

2017).

d) Kebutuhan cairan

Dalam memberikan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik

membutuhkan regulasi yang hati-hati. Hal ini jika asupan yang kurang dapat

menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan pemburukan fungsi ginjal. Sedangkan

asupan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi,

edem dan intoksikasi cairan. Pada pasien dialisis cairan yang dibutuhkan untuk

penambahan berat badan yaitu 0,9 – 1,3 kg2 (Nuari, 2017).

2. Terapi Pengganti Ginjal

a) Hemodialisis
Hemodialisis (cuci darah) merupakan proses pembuangan sampah berlebih

pada darah yang bertujuan untuk mengambil zat-zat nitrogen yang beracun

dalam tubuh dan mengeluarkan air yang berlebihan. Hemodialisis ini

menggunakan cara dengan mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan

(dialyzer) yang terdiri dari 2 komparten yaitu komparten darah dan komparten

dialisat yang berfungsi untuk membuang sisa-sisa metabolisme berupa air,

natrium, hidrogen, kalium, urea, kreatini dan zat-zat lain. Terapi hemodialisis

membutuhkan waktu 12-15 jam setiap minggunya. dilakukan sebanyak 3 kali

dalam seminggu selama 3-4 jam (Nuari, 2017).

b) Dialisis peritoneal

Dialisis peritoneal (cuci darah lewat perut) merupakan prosedur lain yang

digunakan untuk membuang produk limbah dan mengeluarkan cairan yang

berlebih dalam tubuh. Keuntungan menggunakan dialisis peritoneal yaitu

efisiensi waktu atau dapat dilakukan sendiri di rumah tanpa membutuhkan

mesin hemodialisis, peralatan yang digunakan mudah dibawa hanya berupa

kantong cairan dialisat, dan dapat mengurangi beban kerja jantung dan tekanan

di dalam pembuluh darah. Akan tetapi dialisis peritoneal juga memiliki risiko

pada penderita yang menjalaninya yaitu peningkatan berat badan. Hal ini

karena cairan dialisat mengandung gula. Terserapnya cairan ini dalam tubuh

yang berlebihan maka dapat menyebabkan tubuh kelebihan kalori dan

mengalami peningkatan berat badan (Nuari, 2017).

c) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan pengobatan yang dilakukan pada pasien gagal


ginjal kronik stadium akhir. Namun transplantasi ginjal sulit dilakukan karena

dipengaruhi oleh jumlah ketersediaan ginjal. Sehingga hal ini dapat membatasi

transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh penderita (Nuari,

2017).

B. Konsep Dasar Hemodialisa

1. Pengertian Hemodialisa

Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis yang berarti

pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi

sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal

atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat. Hemodialisa

adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi

dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis

adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa nitrogen yang terdiri atas

ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti kalium, fosfor, dan lain-lain

yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik, khususnya pada gagal ginjal terminal

(GGT).

2. Alasan Hemodialisa

Cuci darah diperlukan untuk menggantikan fungsi ginjal ketika organ ini

tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Misalnya karena adanya kondisi medis

tertentu atau cedera. Tanpa proses dialisis, zat sisa yang berbahaya dapat menumpuk

dalam darah, meracuni tubuh, dan merusak organ-organ dalam tubuh.


3. Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang

terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialysis (Muttaqin

& Sari, 2011). Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa

mempunyai tujuan :

a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.

b. Membuang kelebihan air.

c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

e. Memperbaiki status kesehatan penderita.

4. Proses Pelaksanaan

a. Proses Hemodialisa

Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di

dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan

kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter

darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar

tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari

tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam tubuh.

Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central venous

catheter. AV fistula adalah akses vaskular yang paling direkomendasikan karena

cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses

hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk

memastikan apakah pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien
melakukan timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang

harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien

ke mesin cuci darah dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke akses

vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk

jalan masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi

hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya tidak

mengalir melalui mesin HD, melainkan hanya melalui selang darah dan dialyzer.

Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana mesin

HD mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan darah,

dan memberikan informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital

lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana

cairan tersebut membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada

dalam mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan

mengembalikan kembali ke dalam tubuh.

b. Preskripsi Hemodialisis

1. Sebelum pasien dilakukan HD, sebelumnya harus direncanakan dahulu hal-hal

sebagai berikut:

2. Lama & frekwensi dialysis

3. Tipe dializer

4. Kecepatan aliran darah

5. Dosis antikoagulan / heparin

6. Banyaknya UF & UFR

7. Vaskulerisasi yang dipakai.


c. Implementasi (prosedur HD)

1. Teknik streril

2. Hand Hygiene ( 5 moment)

3. Gunakan APD yang standar ( Gogle, apron, masker, sarung tangan)

4. Teknik Punksi dan kanulasi diperhatikan ( memberikan rasa aman dan nyaman

bagi pasien)

5. Pemberian antikoagulansia

6. Dokumentasi

d. Prosedur Pelayana HD

1. Tindakan inisiasi HD (HD pertama) dilakukan setelah melalui pemeriksaan /

konsultasi dengan Dokter SpPD yang telah bersertifikat HD dan dimonitor

secara ketat oleh perawat dialisis yang kompeten.

2. Setiap tindakan HD terdiri dari :

a. Persiapan pelaksanaan HD : ± 30 menit

b. Pelaksanaan HD : 3-5 jam

c. Evaluasi pasca HD : ± 30 menit

5. Prinsip Hemodialisa

a. Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip yang

mendasari kerja hemodialisa, yaitu :

b. Difusi Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan

kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.

c. Osmosis Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi

yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.


d. Ultrafiltrasi Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena

perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat

6. Dosis dan Kecukupan Dosis Hemodialisa

1. Dosis hemodialisa

Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu

dengan setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan

setiap hemodialisa selama 4 jam.

2. Kecukupan dosis hemodialisa

Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi

hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction

ratio (URR) dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan

mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum

pascadialisis dengan kadar ureum pascadialisis. Kemudian, perhitumgan nilai

Kt/V juga memerlukan kadar ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan

pradialisis dan pascadialisis dalam satuan kilogram, dan lama proses

hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa dengan dosis 2 kali seminggu,

dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4.

7. Terapi Hemodialisa

Selama tindakan hemodialisa dilakukan, darah yang kontak dengandialyzer

dan selang dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat

mengganggu cara kerja dialyzer dan proses hemodialisis itu sendiri. Untuk

mencegah terjadinya pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu


diberikan suatu antikoagulan agar aliran darah dalam dialyzer dan selang tetap

lancar. Terapi yang digunakan selama proses hemodialisis, yaitu:

a. Heparin

Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena

mudah diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh

tubuh. Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh

faktor kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah

sakit yang menyediakan hemodialisa, yaitu :

1) Routine continuous infusion (heparin rutin)

Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50

U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai. Kemudian dilanjutkan

750-1250 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian

heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.

2) Repeated bolus

Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum

hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-

50 U/kg berulang-ulang sampai hemodialisa selesai.

3) Tight heparin (heparin minimal) Tehnik ini digunakan untuk pasien yang

memiliki resiko perdarahan ringan sampai sedang. Dosis injeksi tunggal dan

laju infus diberikan lebih rendah daripada routine continuous infusion yaitu

10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai. Kemudian dilanjutkan

500 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin

dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.


b. Heparin-free dialysis (Saline).

Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau

tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan

normal saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri

setiap 15-30 menit sebelum hemodialisa. Heparin-free dialysis sangat sulit untuk

dipertahankan karena membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250

ml/menit), dialyzeryang memiliki koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan

pengendalian ultrafiltrasi yang baik.

c. Regional Citrate

Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami perdarahan,

sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak boleh menerima

heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan terjadinya pembekuan,

maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan heparin adalah

dengan jalan mengurangi kadar kalsium ion dalam darah. Hal ini dapat

dilakukan dengan memberikan infus trisodium sitrat dalam selang yang

berhubungan dengan arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas

kalsium. Namun demikian, akan sangat berbahaya apabila darah yang telah

mengalami proses hemodialisis dan kembali ke tubuh pasien dengan kadar

kalsium yang rendah. Sehingga pada saat pemberian trisodium sitrat dalam

selang yang berhubungan dengan arteri sebaiknya juga diimbangi dengan

pemberian kalsium klorida dalam selang yang berhubungan dengan vena.


8. Diet Pasien Hemodialisa

Diet pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi ginjalnya.

Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu :

a. Asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,

b. Asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan fungsi

sekresi kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.

c. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.

d. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah

dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.

e. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah

dan edema.

f. Diet Rendah Kalium (Potassium) Dan Natrium (Sodium) Natrium banyak

terkandung dalam garam dapur (natrium klorida). Bagi penderita gagal ginjal,

hindari makanan yang mengandung natrium tinggi. Terlalu banyak

mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi natrium menyebabkan kita

menjadi banyak minum, padahal asupan cairan pada pasien penyakit ginjal

kronik perlu dibatasi. Asupan garam yang dianjurkan sebelum dialysis antara

2,5-5 gr garam/hari. Nilai normal natrium adalah 135-145 mmol/L.

Pantangan besar :

1) Makanan dan minuman kaleng (Na Benzoat)

2) Manisan dan asinan

3) MSG/ Vetsin/ Moto

4) Ikan asin dan daging asap


5) Garam (makanan tidak boleh terlalu asin). Kalium adalah mineral yang

ada dalam makanan dengan nilai normalnya adalah 3.5-5.5 mmol/L.

Kalium banyak pada buah dan sayur. Kalium memiliki peran penting

dalam aktivitas otot polos (terutama otot jantung) dan sel saraf. Ginjal

normal akan membuang kelebihan kalium, namun pada pasien,

kemampuan tersebut menurun, sehingga dapat terjadi akumulasi/

penimbunan kalium dalam darah. Biasanya konsentrasi kalium yang tinggi

adalah lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium yang rendah. Asupan

kalium yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Konsentrasi kalium

darah yang lebih dari 5.5 mEq/L akan mempengaruhi sistem konduksi

listrik jantung. Kadar kalium yang sangat tinggi akan membuat otot

melemah, mengganggu irama jantung dan dapat menyebabkan kematian.

Pilih buah/sayur yang rendah kalium.

Makanan Yang Tinggi Kalium

1) Buah : pisang, alpukat, kurma, duku, pepaya, apricot, kismis, prune.

2) Sayuran : petersell, daun papaya muda, kapri, seledri batang, kembang kol.

3) Fosfor Dan Kalsium

Tubuh memerlukan keseimbangan fosfor dan kalsium, terutama untuk

membangun massa tulang. Jika ginjal sudah tidak berfungsi dengan baik

maka kadar fosfor naik sehingga kalsium menjadi turun. Agar aliran darah

tetap stabil, pasokan kalsium diambil dari tulang sehingga massa kalsium

dalam tulang menjadi berkurang. Hal ini yang menyebabkan tulang mudah

retak atau patah. Jumlah fosfor yang dibutuhkan sehari 800-1.200 mg,
sedangkan kalsium 1.000 mg. Agar dapat menyeimbangkan jumlah

keduanya, sebaiknya perhatikan kandungannya dalam bahan makanan.

Dalam darah, nilai normal fosfor : 2,5-4,5 mg/dl, sedangkan kalsium: 8,4-

10,2 mg/dl.

Fosfor adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk tulang. Jika ginjal

tidak berfungsi baik, kelebihan fosfor tidak bisa dibuang. Kadar fosfor

yang tinggi dapat menurunkan kadar kalsium di tulang, melepaskannya ke

darah, sehingga kadar kalsium dalam darah meningkat. Ini akan

menyebabkan tulang rapuh, gatal2, tulang nyeri dan mata merah.

Makanan Tinggi fosfor :

a. Produk susu : susu, keju, yoghurt, es krim.

b. Produk sereal : oatmeal, coklat, waffle, roti gandum.

c. Sayuran : kacang-kacanganan, biji bunga matahari, kedelai.

d. Daging, Ikan dan telur : hati, seafood (udang, kepiting), kuning telur,

sarden, ikan bilis.

Tips Untuk Diet Fosfor

1) Batasi makanan yang banyak mengandung fosfor.

2) Mengkonsumsi obat pengikat fosfor/fosfat binder, seperti kalsium

karbonat (CaCO3) dan Aluminium hidroksida. Obat ini dikonsumsi di

pertengahan makan agar efektif.

g. Cairan Pada pasien hemodialisis mudah terjadi penumpukan cairan yang

berlebih karena fungsi ekskresi ginjal yang terganggu. Asupan cairan dalam 24

jam setara dengan urin yang dikeluarkan 24 jam ditambah 500 cc (berasal dari
pengeluaran cairan dari keringat dan BAB). Ingat juga bahwa makanan

berkuah tetap dihitung sebagai cairan. Pantangan besar : Air kelapa dan

minuman isotonik Dengan perhatian khusus : kopi, susu, teh, lemon tea.

Tips mengurangi rasa haus :

1) Kurangi konsumsi garam.

2) Mengisap/mengkulum es batu.

Mengunyah permen karet Menurut KEMKES RI (2011), hal-hal yang

perlu diperhatikan oleh pasien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa :

1) Makanlah secara teratur,porsi kecil sering.

2) Diet Hemodialisis ini harus direncanakan perorangan, karena nafsu makan

pasien umumnya rendah sehingga perlu diperhatikan makanan kesukaan

pasien.

3) Untuk membatasi banyaknya jumlah cairan , masakan lebih baik dibuat dalam

bentuk tidak berkuah misalnya: ditumis, dikukus, dipanggang, dibakar,

digoreng.

4) Bila ada edema (bengkak di kaki), tekanan darah tinggi, perlu mengurangi

garam dan menghindari bahan makanan sumber natrium lainnya, seperti

minuman bersoda, kaldu instan, ikan asin, telur asin, makanan yang

diawetkan, vetsin, bumbu instan.

5) Hidangkan makanan dalam bentuk yang menarik sehingga menimbulkan

selera.
6) Makanan tinggi kalori seperti sirup, madu, permen, dianjurkan sebagai

penambah kalori, tetapi hendaknya tidak diberikan dekat waktu makan,

karena mengurangi nafsu makan.

7) Agar meningkatkan cita rasa, gunakanlah lebih banyak bumbubumbu seperti

bawang, jahe, kunyit, salam, dll.

8) Cara untuk mengurangi kalium dari bahan makanan : cucilah sayuran, buah,

dan bahan makanan lain yang telah dikupas dan dipotong-potong kemudian

rendamlah bahan makanan dalam air pada suhu 50-60 derajat celcius (air

hangat) selama 2 jam, banyaknya air 10 kali bahan makanan. Air dibuang dan

bahan makanan dicuci dalam air mengalir selama beberapa menit. Setelah itu

masaklah. Lebih baik lagi jika air yang digunakan untuk memasak banyaknya

5 kali bahan makanan.

9. Komplikasi Tindakan Hemodialisa

Selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang

terjadi, antara lain:

a. Kram otot Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya

hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot

seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume

yang tinggi.

b. Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya

dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan

kelebihan tambahan berat cairan.


c. Aritmia Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,

penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat

berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa Sindrom ketidakseimbangan dialisa

dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan

bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan

suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien

osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan

oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang

menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat

e. Hipoksemia Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang

perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

f. Perdarahan Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit

dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama

hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

g. Ganguan pencernaan Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual

dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan

sering disertai dengan sakit kepala.

h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak

adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.


C. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Status Monitoring Penderita Dialisat

a. Nama/umur pasien

b. Diagnosa : Pasien cuci darah sebagian memiliki diagnose gagal ginjal kronik

c. Tanggal : tanggal dilakukan tindakan

d. No. DMK pasien

e. Dialisis ke : jumlah dialisi yang dilakukan pasien

f. Sifat HD (akut, kronis, preparative)

g. BB kering

h. Golongan Darah

i. HBsAG : Apakah pasien memiliki penyakit hepatitis atau tidak

2. Persiapan terdiri dari (model mesin dialisa: minitor normal/tidak, konduktivitas

normal/tidak, suhu mesin), (dialyzer: model, tes volume, re use, doalisat)

3. Lokasi (Arteri, Vena, AV Shunt) : Lama tindakan

4. Pelaksana (dokter, perawat)

5. Penyulit (jenis: sukara, operasi, plebitis, hematoma, infeksi)

6. Data Pre HD : (Sebelum dilakukan tindakan : cek TTV (Tanda-tanda vital normal),

BB post HD sebelumnya, kenaikan BB). Adanya anemis, ronchi, edema, ascites.

Nilai kadar HB, BUN, dan Creatinin

7. Data Durante HD : Intake (priming, heparinisasi ragional, heparinisasi continue,

infuse/tranfusi, darah, albumin, nablic). Outcome (hitung muntah, urine, TMP,

Ultrafiltrasi. Belance
8. Data Post HD : Cek TTV, BB post HD, Cek adanya anemis, ronchi, ascites, edema.

Nilai kadar HB, BUN, dan Creatinin.

9. Keluhan : keluhan yang dialami yaitu, gatal-gatal, haus, nyeri perut, mual, muntah,

hematemesis, mengantuk, sulit tidur, sakit kepala, lelah, krma otot, berdebar-debar,

nyeri dada, demam, menggigil, kenaikan TD ≥25% atau 10 mmHg, penurunan TD

≥25% atau 10 mmHg, lelah post HD dll.

10. Diagnosa keperawatan pre HD : Risiko perfusi perifer tidak efektif dibuktikan

dengan kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat dari gagal ginjal

(D.0015)

11. Diagnosa keperawatan intra HD : Risiko perdarahan dibuktikan dengan efek agen

farmakologis (D.0012)

12. Diagnosa keperawatan post HD : Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur

invasive

13. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan,

dimana perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan

hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter & Perry 1997, dalam

Haryanto, 2007). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang

dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil

yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 2011).

14. Evaluasi
Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan

seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian

proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari

pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri (Ali, 2009).

Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam

perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses

keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan (Mubarak,

dkk., 2011). Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana : (Suprajitno dalam

Wardani, 2013)

S : Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh

keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.

O : Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan

pengamatan yang objektif.

A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.

P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.


DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., S. Azmi., dan M. Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal

Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal

Kesehatan Andalas. Vol 7(1): 42-50.

Evelyn, C. E. 2017. Anatomi dan Fisiologi untuk Medis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Kamasita,S.E.,S.Y.Nurdiana.,Y.Hermasnyah.,E.Junaidi., M.Fatekurohman. 2018.

Pengaruh Hemodialisis Terhadap Kinetik Segmen Ventrikel Kiri Pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronik Stadium V. Nurseline Journal. 3(1): 10-19.

KEMENKES (2018). Cegah dan Kendalikan Penyakit Ginjal Dengan CERDIK dan

PATUH. Diakses pada tanggal 19 September 2021 dari www.depkes.go.id

Kinta, (2012). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gagal

Ginjal Kronik. Scribd. Diakses pada 19 September 2021

Lukela, Jennifer R; R.V.Harrison; M.Jimbo; A.Mahallati; R.Saran; Annie. 2019.

Management of Chronic Kidney Disease. UMHS Chronic Kidney Disease

Guideline.

Mulia, Dewi sari dkk. 2018. Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisis Di Rsud Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. [online].

Dari jurnal. https://media.neliti.com/media/publications/258507-kualitas-hidup-

pasien-gagal-ginjal-kroni-20485f15.pdf. (23 januari 2019).

Nuari, N. A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan

Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.


Permana, Sari, 2012. ‘Asuhan Keperawatan Pada Ny. M Dengan Chronic Kidney

Disease Di Ruang Hemodialisa Rsud Dr. Moewardi Surakarta’. [Online] Jurnal.

Dari Jurnal. http://Eprints.Ums.Ac.Id/22368/10/Naskah_Pdf (29 Desember

2018).

Pranandari, R., dan W. Supadmi. 2015. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di Unit

Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Vol 11(2): 316-320.

Retno, Dwy, 2014. ‘Efektivitas Training Efikasi Diri Pada Pasien Penyakit Ginjal

Kronik Dalam Meningkatkan Kepatuhan Terhadap Intake Cairan’. [Online]

Jurnal. Dari Jurnal. Media.Neliti.Com/Media/Publications/219966-None.Pdf (19

September 2021)

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Satandar Diagnosis Keperwatan Indonesia Definisi

dan Indikator Diagnostik. Jakarat Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi

dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi

dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat

Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai