CEDERA KEPALA
Disusun untuk memenuhi tugas di ruang RBK pada Program Studi Ners STIKES
Banyuwangi
Oleh
Nama : Ni Putu Erna Puspayani
NIM : 2021.04.044
Laporan pendahuluan dan konsep asuhan keperawatan cedera kepala ini diajukan
sebagai tugas di ruang RBK RSUD Blambangan dan dinyatakan telah mendapatkan
persetujuan pada tanggal
Menyetujui,
( ) ( )
Kepala Ruangan
( )
B. KLASIFIKASI
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata
(eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS
< 9 (George, 2009).
Sumber : kibrispdr.org
1) Kulit Kepela
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium Tulang
tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis cranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
2) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Dura Mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.
3) Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
4) Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
5) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).
6) Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.
b) Fisiologis
Menurut Judha dan Rahil (2011) otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh.
Jika otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan
mental. Sebaliknya, apabila otak anda terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental
anda bisa ikut terganggu. Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Bersar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak depan. Cerebrum merupakan bagian
otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki lesaian kemampuan berfikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ anda
juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian
yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan
yang menyerupai parit disebut suleus. Keempat lobus tersebut masing- masing
adalah: lobus frontal, lobus pariental, lobus occipital dan lobus temporal (Judha &
Rahil, 2011).
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kempuan bahasa secara umum.
b) Lobus Pariental berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagianbawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada bagian paling belakang berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan intreprestasi
terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu,
batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan
teritorial” sebagai insting primitif. Contahnya anda akan merasa tidak nyaman atau
terancam ketika orang yang tidak anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang otak
terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
2) Medulla Oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
Sistem limbik terletak dibagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama
dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia.
Komponen limbik, antara lain Hipotalamus, Thalamus, Amigdala, Hipocampus, dan
Korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan memori jangka panjang.
D. ETIOLOGI
Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya cedera kepala
adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan turun turun
maupun sesudah sampai ke tanah
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksa).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah
tersebut.
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam cedera
kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk:
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
F. PATOFISIOLOGI
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung
terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact
dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi,
atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan
ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi
komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda
kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan
kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama.
Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system.
Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang
irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula spinalis
mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak.
Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batang
otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,
sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran
menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh(1)
kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan epidural,
atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat
penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang akhirnya
akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi
kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).
H. KOMPLIKASI
1. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan
aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi
dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada
penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru
berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen
akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial
(TIK) lebih lanjut.
2. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung
atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
4. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS) <10.
5. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, pupil odema, demensia,
ataksia dan gangguan miksi.
7. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting, dan
terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepin.
8. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering
terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan
15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,
mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya. Kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
I. PEMERIKASAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala
adalah :
1. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.
Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningen,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada
fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel
saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1
sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III
(okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI
(abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus),
nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis
(pada otot lidah), dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf
sensorik dan motorik.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi
terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi terdapat
di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi terdapat di daerah
temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan
dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka
dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen
terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang
bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral
untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak
mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
b. Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield dan
Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam
rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya
tergambar dalam foto dengan jelas.
d. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG): Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk membantu
dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan
gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus pada pasien rawat inap dengan
cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam
22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang
parah pada pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan
dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan
cedera otak traumatik.
J. PENCEGAHAN
Pencegahan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas diarahkan kepada upaya
untuk menurunkan kejadian kecelakaan lalu lintas. Upaya pencegahan yang dilakukan
yaitu:
a. Pencegahan primordial
Pencegahan primordial adalah pencegahan yang dilakukan kepada orang-
orang yang belum terkena faktor resiko yaitu berupa safety facilities: koridor
(sidewalk), jembatan penyeberangan (over hedge bridge), rambu-rambu jalan
(traffic signal), dan peraturan (law).
b. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu
peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti: tidak mengemudi
dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di bawah pengaruh obat-
obatan dan alkohol), pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak mengebut,
penggunaan helm dan sabuk pengaman, muatan penumpang tidak berlebihan, dan
membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi tidak
berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok).
c. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau
mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan dan
ketidakmampuan.
d. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi cedera kepala yang
lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan
rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang
bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya
hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita
cedera kepala. Tujuan rehabilitasi setelah cedera kepala yaitu untuk meningkatkan
kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di
dalam masyarakat.
K. PENATALAKSANAAN
Menurut Sezanne C.S Meltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
2) Kualitatif
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai
GCS: 11-10.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada
2) Sistem pernafasan
Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi stridor, tersedak
Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
Ronki, mengi positif
4) Sistem kardiovaskuler
Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)
TD naik, TIK naik
5) Sistem persyarafan
1. Tingkat kesadaran
Kuantitatif GCS
1 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
3 ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak nyambung
5
Bicara membingungkan Orientasi baik
3) Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring
terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
4) Reflek achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan posisi
kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe
katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer
pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi
m.gastroenemius (Muttaqin, A. 2010).
Reflek Patologis
Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
3. Reflek oppenheim
Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal, amati ada
tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-
jari kaki lainnya.
4. Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada tidaknya gerakan
dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
6) Sistem perkemihan
Kemampuan berkemih biasanya menggunakan kateter
7) Sistem pencernaan
Pemeriksaan meliputi TB, IMT, BB, mulut, membrane mukosa, tenggorokan,
abdomen, myeri tekan
8) Sistem penglihatan
9) Sistem pendengaran
Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
10) Sistem muskuloskeletal
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, 3
tidak mampu melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan mampu 2
terangkat sedikit
Aspek neurologis
1. Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera
kepala berat 3-8).
2. Disorientasi tempat/waktu
3. Reflek patologis dan fisiologis
4. Perubahan status mental
5. Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6. Perubahan pupil/penglihatan kabur,diplopia, fotophobia, kehilangan
sebagian lapang pandang.
7. Perubagan tanda-tanda vital
8. Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran
8. Pengkajian psikologis
1) Gangguan emosi/apatis, delirium
2) Perubahan tingkah laku atau kepribadian
9. Pengkajian sosial
1) Hubungan dengan orang terdekat
2) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
disartria, anomia
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan diagnostic
1. X-ray/CT scan
a. Hematom serebral
b. Edema serebral
c. Perdarahan intracranial
d. Fraktur tulang tengkorak
2. MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4. EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6. PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan aktivitas
metabolism pada otak.
b. Pemeriksaan laboratorium
1. AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
2. Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3. Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4. CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekana).
5. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
6. Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
dibuktikan dengan tidak mampu batuk, sputum berlebih, dispnea. (D.0001)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan dibuktikan
dengan pola napas abnormal. (D. 0005)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri. (D. 0077)
4. Gangguan persepsi sensori berhungan dengan gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, gangguan penghiduan dibuktikan dengan respon tidak sesuai.
(D.0085)
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dibuktikan
dengan kekuatan otot menurun, fisik lemah. (D.0054)
6. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala (D. 0017)
7. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive (D. 0142)
8. Risiko ketidakseimbangan cairan dibuktikan dengan trauma/perdarahan (D0036)
9. Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan makanan
(D. 0032)
10. Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor, perubahan fungsi
kognitif (D. 0136)
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
dibuktikan dengan tidak mampu batuk, sputum berlebih, dispnea. (D.0001)
Tujuan : Bersihan jalan napas meningkat (L.01001)
Kriteria hasil : Produksi sputum menurun
Intervensi :
1. Manajemen jalan napas (1.14509)
Tindakan
a. Observasi
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
Monitor sputum (jumlah, warna)
b. Terapeutik
Posisikan semi-Fowler atau Fowler
Berikan minum hangat
Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Berikan oksigen
c. Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikai
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan dibuktikan
dengan pola napas abnormal. (D. 0005)
Tujuan : Pola napas membaik (L.01014)
Kriteria hasil: Pernapasan pursed-lip
Intervensi :
1. Pemantauan respirasi (1.01014)
Tindakan
a. Observasi
Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
Monitor pola napas (seperti brapdipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
Monitir saturasi oksigen
b. Terapeutik
Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri. (D. 0077)
Tujuan : Tingkat nyeri menurun (L.08066)
Kriteria hasil: Keluhan nyeri menurun
Intervensi :
1. Manajemen Nyeri (1.08238)
Tindakan
a. Observasi
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kulaitas,
intesitas nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respon nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang mempeberat dan memperingan nyeri
Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
Fasilitas istirahat tidur
c. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor secara mandiri
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
6. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala (D. 0017)
Tujuan : Perfusi serebral meningkat (L.02014)
Kriteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat
Kognitif meningkat
Sakit kepala menurun
Intervensi :
1. Manajemen peningkatan tekanan intrakranial (1.06194)
Tindakan
a. Observasi
Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah
meningkat, tekanan nadi melebar, beadikardia, pola napas
ireguler, kesadaran menurun)
Monitor status pernapasan
Monitor intake dan output cairan
b. Terapeutik
Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
beriakan posisi semi Fowler
Cegah terjadinya kejang
Pertahankan suhu tubuh normal
c. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsen, jika perlu
Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
a. Observasi
Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kult, tekanan
darah)
Monitor berat badan harian
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. hematokrit, Na,
K, Cl, berat jebis urine, BUN)
b. Terapeutik
Catat intake input-output dan hitung balans cairan 24 jam
Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Berikan cairan intravena, jika perlu
c. Kolaborasi
Kolborasu pemberian deuretik, jika perlu
10. Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor, perubahan fungsi
kognitif (D. 0136)
Tujuan : Tingkat cedera menurun (L.14136)
Kriteria hasil: Ekspresi wajah kesakitan menurun
Gangguan mobilitas menurun
Gangguan kognitif menurun
Intervensi:
1. Pencegahan cedera (1.14537)
Tindakan
a. Observasi
Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan
cedera
b. Terapeutik
Sediakan pencahayaan yang memadai
Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang
rawat (mis. tempat tidur, penerangan ruangan dan lokasi kamar
mandi)
Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan
fasilitas pelayanan kesehatan
Diskusikan mengenal latihan dan terapi fisik yang diperlukan
Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi
pasien
Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai
kebutuhan
c. Edukasi
Jelaskan alas an intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan
keluarga
5. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan, dimana
perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter & Perry 1997, dalam Haryanto, 2007).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon,
1994, dalam Potter & Perry, 2011).
6. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri (Ali, 2009).
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam
perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses
keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan (Mubarak, dkk.,
2011).
Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana : (Suprajitno dalam Wardani, 2013)
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
yang objektif.
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis