Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

CEDERA KEPALA

Disusun untuk memenuhi tugas di ruang RBK pada Program Studi Ners STIKES
Banyuwangi

Oleh
Nama : Ni Putu Erna Puspayani
NIM : 2021.04.044

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan konsep asuhan keperawatan cedera kepala ini diajukan
sebagai tugas di ruang RBK RSUD Blambangan dan dinyatakan telah mendapatkan
persetujuan pada tanggal

Banyuwangi, 27 September 2021

Menyetujui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Instansi

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA


A. DEFINISI
M. Clevo Rendi, Margareth TH (2012). Cedera kepala yaitu adanya deformasi
berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi-deceleasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi
oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran
pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Wahyu Widagdo, dkk (2007). Cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak
disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan peubahan tingkat kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional.
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala merupakan
kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat
mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi
fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur
kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan
kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).

B. KLASIFIKASI
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata
(eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS
< 9 (George, 2009).

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale

Eye opening Score


Mata terbuka spontan 4
Mata membuka terhadap bicara 3
Mata membuka sedikit setelah dirangsang 2
nyeri
Tidak membuka mata 1
Motor Response Score
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Gerakan fleksi abnormal 3
Gerakan ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Verbal Response Score
Berorientasi 5
(ATLS, 2004)
C. ANATOMI DAN FISIOLOGI
a) Anatomi

Sumber : kibrispdr.org
1) Kulit Kepela
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium Tulang
tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis cranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

2) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Dura Mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

3) Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

4) Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

5) Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).

6) Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara
ke dalam sinus venosus cranialis.

b) Fisiologis
Menurut Judha dan Rahil (2011) otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh.
Jika otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan
mental. Sebaliknya, apabila otak anda terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental
anda bisa ikut terganggu. Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat
bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Bersar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak depan. Cerebrum merupakan bagian
otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki lesaian kemampuan berfikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ anda
juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian
yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan
yang menyerupai parit disebut suleus. Keempat lobus tersebut masing- masing
adalah: lobus frontal, lobus pariental, lobus occipital dan lobus temporal (Judha &
Rahil, 2011).
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kempuan bahasa secara umum.
b) Lobus Pariental berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagianbawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada bagian paling belakang berhubungan dengan rangsangan
visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan intreprestasi
terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

2. Cerebelum (Otak Kecil)


Menurut Judha dan Rahil (2011) otak kecil atau Cerebellum. Terletak di bagian
belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol
banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak kecil juga
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti
gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu
mengancingkan baju.

3. Braisntem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu,
batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan
teritorial” sebagai insting primitif. Contahnya anda akan merasa tidak nyaman atau
terancam ketika orang yang tidak anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang otak
terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang
otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi
dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
2) Medulla Oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan
menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama
dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.

4) Limbic Sistem (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak dibagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama
dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia.
Komponen limbik, antara lain Hipotalamus, Thalamus, Amigdala, Hipocampus, dan
Korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa
senang, metabolisme dan memori jangka panjang.

D. ETIOLOGI

Menurut Taqiyyah Bararah, M Jauhar (2013). Penyebab utama terjadinya cedera kepala
adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kendaraan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefenisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakkan turun turun
maupun sesudah sampai ke tanah
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di defenisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksa).

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi cedera kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu
arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah
tersebut.
Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013). Ada 2 macam cedera
kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Adalah trauma oleh benda tajam yang menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,
hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa
lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Adalah trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk:
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

Menuurut NANDA (2013) mekanisme cidera kepala meliputi Cedera Akselerasi,


Deselersi, Akselerasi-Deselerasi, Coup-Countre Coup, dan Cedera Rotasional.
a. Cedera Akselerasi
Tejadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak, missal,
alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
b. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan
serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh pasien
dipukul dibagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak
dengan bagian dalam rongga tengkorak.

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan

3. Cedera kepala berat (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)


a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran
b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut

Menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013).


a. Cedera kepala ringan-sedang
1) Disorientai ringan
2) Amnesia post trauma
3) Hilang memori sesaat
4) Sakit kepala
5) Mual dan muntah
6) Vertigo dalam perubahan posisi
7) Gangguan pendengaran

b. Cerdera kepala sedang-berat


1) Oedema pulmonal
2) Kejang
3) Infeksi
4) Tanda herniasi otak
5) Gangguan akibat saraf cranial
6) Hemiparase

F. PATOFISIOLOGI
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang langsung
terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact
dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur stelatum, (4) fraktur impresi,
atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan
ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi
komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda
kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan
kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama.
Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system.
Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang
irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula spinalis
mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak.
Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batang
otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,
sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa kesadaran
menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh(1)
kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan epidural,
atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat
penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi
berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang akhirnya
akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi
kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta, 2010).

H. KOMPLIKASI
1. Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan
aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi
dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.
Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada
penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru
berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen
akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intracranial
(TIK) lebih lanjut.
2. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir
dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi
serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
3. Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung
atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
4. Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari trauma). Faktor
risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale (GCS) <10.
5. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, pupil odema, demensia,
ataksia dan gangguan miksi.
7. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting, dan
terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepin.
8. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering
terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan
15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,
mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya. Kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

I. PEMERIKASAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala
adalah :
1. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.
Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningen,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada
fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel
saraf motorik dan sensorik (nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1
sampai saraf 12 yaitu: nervus I (olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III
(okulomotoris), nervus IV (troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI
(abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus),
nervus X (vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis
(pada otot lidah), dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf
sensorik dan motorik.

2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto Rontgen Polos
Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi
terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior- posterior. Bila lesi terdapat
di daerah frontal buatkan foto posterior- anterior. Bila lesi terdapat di daerah
temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan
dibuat foto dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka
dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen
terarah tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang
bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral
untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak
mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan
intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
b. Computed Temografik Scan (CT-scan)
Computed Temografik Scan (CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield dan
Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam
rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya
tergambar dalam foto dengan jelas.

Computed Temografik Scan (CT-Scan) kepala merupakan standard baku


untuk mendeteksi perdarahan intrakranial. Semua pasien dengan glasglow
coma scale (GCS) <12 sebaiknya menjalankan pemeriksaan Computed
Temografik Scan (CT-Scan), sedangkan pada pasien dengan glasglow coma
scale (GCS) >12 Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan hanya
dengan indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur
basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari satu kali,
penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau anamnesia,
kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat anti koagulen,
rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan, gangguan
orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang
membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam
jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer
sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto
Computed Temografik Scan (CT-Scan) akan tampak sebagai penampang-
penampang melintang dari objeknya. Dengan Computed Temografik Scan (CT-
Scan) isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan Computed Temografik
Scan (CT-scan) pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut (Irwana, 2009)
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
5. Sakit kepala yang berat
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral Pemeriksaan
Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih merupakan gold
standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala. Berdasarkan
gambaran Computed Temografik Scan (CT- scan) kepala dapat diketahui
adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala
(French, 1987). Jika tidak ada Computed Temografik Scan (CT-scan)
kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-ray foto kepala untuk
melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan


Computed Temografik Scan (CT-Scan). Kelainan yang tidak tampak pada
Computed Temografik Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) sehingga tidak
sesuai dengan situasi gawat darurat.

d. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG): Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untuk membantu
dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan
gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus pada pasien rawat inap dengan
cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam
22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang
parah pada pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan
dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan
cedera otak traumatik.

J. PENCEGAHAN
Pencegahan cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas diarahkan kepada upaya
untuk menurunkan kejadian kecelakaan lalu lintas. Upaya pencegahan yang dilakukan
yaitu:
a. Pencegahan primordial
Pencegahan primordial adalah pencegahan yang dilakukan kepada orang-
orang yang belum terkena faktor resiko yaitu berupa safety facilities: koridor
(sidewalk), jembatan penyeberangan (over hedge bridge), rambu-rambu jalan
(traffic signal), dan peraturan (law).

b. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah segala upaya yang dilakukan sebelum suatu
peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko yang mendukung terjadinya
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala seperti: tidak mengemudi
dengan gangguan kesehatan (terlalu lelah, mengantuk, di bawah pengaruh obat-
obatan dan alkohol), pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak mengebut,
penggunaan helm dan sabuk pengaman, muatan penumpang tidak berlebihan, dan
membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi tidak
berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok).

c. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk menghentikan atau
mengurangi perkembangan penyakit atau cedera kepala ke arah kerusakan dan
ketidakmampuan.

d. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah komplikasi cedera kepala yang
lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan
rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang
bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya
hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan penderita
cedera kepala. Tujuan rehabilitasi setelah cedera kepala yaitu untuk meningkatkan
kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di dalam keluarga dan di
dalam masyarakat.
K. PENATALAKSANAAN
Menurut Sezanne C.S Meltzer & Brenda G. Bare (2013), penatalaksanaan cedera kepala
adalah :
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Wahyu


Widagdo, dkk, 2007).
a. Non pembedahan

1) Glukokortikoid (dexamethazone) untuk mengurangi edema

2) Diuretic osmotic (manitol) diberikan melalui jarum dengan filter untuk


mengeluarkan kristal-kristal mikroskopis
3) Diuretic loop (misalnya furosemide) untuk mengatasi peningkatan tekanan
intracranial
4) Obat paralitik (pancuronium) digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik
untuk megontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko
peningkatan tekanan intracranial
b. Pembedahan
Kraniotomi di indikasikan untuk:
1) Mengatasi subdural atau epidural hematoma
2) Mengatasi peningkatan tekanan cranial yang tidak terkontrol
3) Mengobati hidrosefalus

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA


1. PENGKAJIAN
Pengkajian yang dilakukan pada klien cedera kepala meliputi :
a. Identitas pasien
Terdiri dari tanggal MRS, tanggal pengkajian, jam pengkajian, hari rawat ke, jam
masuk, no. RM, diagnosa masuk, dan identitas klien (nama, umur, suku/bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, sumber biaya).
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Keluhan utama
Biasanya klien akan mengalami penurunan kesadaran dan adanya benturan serta
perdarahan pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun
tindaka kejahatan.
d. Riwayat penyakit sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual dan muntah,
sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang
keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan
e. Riwayat penyakit dahulu
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dan lain sebagainya, ataupun riwayat oprasi,dan alergi.
f. Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit keturunan dan penyakit menular
seperti diabetes, TBC, Hepatitis, HIV.
g. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Berisikan data klien apakah mengkonsumsi alcohol, merokok, menggunakan obat
adiktif, dan olah raga.
h. Observasi dan pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
 Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
 Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)
Tingkat kesadaran
1) Kuantitatif GCS
1 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
3 ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak nyambung
5
Bicara membingungkan Orientasi baik

2 Motorik 1 Tidak berespon


2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah

3 Reaksi 1 Tidak berespon


membuka 2 Dengan rangsangan nyeri
mata (Eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan

2) Kualitatif
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal, nilai
GCS: 11-10.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada

7. respon pupil terhadap cahaya), nilai GCS: ≤ 3 (Satyanegara.2010).


Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, 3
tidak mampu melawan gravitasi

Kelemahan berat, Dapat digerakkan mampu 2


terangkat sedikit

Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, 1


tonus otot ada

Tidak ada gerakan 0


Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar
antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami
klien.

2) Sistem pernafasan
 Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi stridor, tersedak
 Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
 Ronki, mengi positif
4) Sistem kardiovaskuler
 Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)
 Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)
 TD naik, TIK naik

5) Sistem persyarafan
1. Tingkat kesadaran
Kuantitatif GCS
1 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
3 ritihan
4 Bicara ngawur/ tidak nyambung
5
Bicara membingungkan Orientasi baik

2 Motorik 1 Tidak berespon


2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menghindari area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Ikut perintah

3 Reaksi 1 Tidak berespon


membuka 2 Dengan rangsangan nyeri
mata (Eye) 3 Dengan perintah (sentuh)
4 Spontan

Pemeriksaan reflek fisiologis


1) Reflek bisep
Caranya: emeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, dengan
membiarkan lengan untuk beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk
sudut sedikit lebih dari 900 di siku, minta pasien memflexikan di siku
sementara pemeriksa mengamati dan meraba fossa antecubital, tendon akan
terlihat dan terasa seperti tali tebal, ketukan pada jari pemeriksa yang
ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada
sendi siku, normalnya terjadi fleksi lengan pada sendi siku.
2) Reflek trisep
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, secara perlahan
tarik lengan keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu
atau lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku, ketukan pada
tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi,
normalnya terjadi ekstensi lengan bawah pada sendi siku.

3) Reflek patella
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi duduk atau berbaring
terlentang, ketukan pada tendon patella, respon: plantar fleksi kaki karena
kontraksi m.quadrisep femoris.
4) Reflek achiles
Caranya: pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk, kaki
menggantung di tepi meja ujian atau dengan berbaring terlentang dengan posisi
kaki melintasi diatas kaki di atas yang lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe
katak, identifikasi tendon mintalah pasien untuk plantar flexi, ketukan hammer
pada tendon achilles. Respon: plantar fleksi kaki krena kontraksi
m.gastroenemius (Muttaqin, A. 2010).

Reflek Patologis

Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.


1. Reflek babynski

Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan, tangan


kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap pada
tempatnya, lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke
anterior, respon: posisitif apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya.
2. Reflek chaddok

Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior, amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai
mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.
3. Reflek oppenheim

Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal, amati ada
tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-
jari kaki lainnya.
4. Reflek Gordon
Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis), amati ada tidaknya gerakan
dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya (fanning) jari-jari kaki lainnya.

5. Reflek hofmen tromen


Melakukan petikan pada kuku jari, perhatikan jari yang lain. Normalnya jari-
jari lain tidak bergerak.
6. Nervus cranial

a. N.I : penurunan daya penciuman


b. N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
c. N.III, IV, VI : penurunan lapang pandang, reflek cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
anisokor
d. N.V : gangguan mengunyah
e. N.II, XII : lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah
f. N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
g. N.IX, X, XI : jarang ditemukan

6) Sistem perkemihan
Kemampuan berkemih biasanya menggunakan kateter
7) Sistem pencernaan
Pemeriksaan meliputi TB, IMT, BB, mulut, membrane mukosa, tenggorokan,
abdomen, myeri tekan
8) Sistem penglihatan
9) Sistem pendengaran
Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
10) Sistem muskuloskeletal
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional
Kekuatan otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan 4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, 3
tidak mampu melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan mampu 2
terangkat sedikit

Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, 1


tonus otot ada

Tidak ada gerakan 0


Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya berkisar
antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera kepala yang dialami
klien.

11) Sistem integument


Pada kasus cedera kepala terdapat adanya robekan

Aspek neurologis
1. Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera
kepala berat 3-8).
2. Disorientasi tempat/waktu
3. Reflek patologis dan fisiologis
4. Perubahan status mental
5. Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)
6. Perubahan pupil/penglihatan kabur,diplopia, fotophobia, kehilangan
sebagian lapang pandang.
7. Perubagan tanda-tanda vital
8. Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran

9. Tanda-tanda peningkatan TIK


a) Penurunan kesadaran
b) Gelisah letargi
c) Sakit kepala
d) Muntah proyektil
e) Pupil edema
f) Pelambatan nadi
g) Pelebaran tekanan nadi
h) Peningkatan tekanan darah systole
7. Kebutuhan dasar
Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan makanan, kaji bising usus
Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang

8. Pengkajian psikologis
1) Gangguan emosi/apatis, delirium
2) Perubahan tingkah laku atau kepribadian

9. Pengkajian sosial
1) Hubungan dengan orang terdekat
2) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
disartria, anomia

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan diagnostic

1. X-ray/CT scan
a. Hematom serebral
b. Edema serebral
c. Perdarahan intracranial
d. Fraktur tulang tengkorak
2. MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4. EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
6. PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan aktivitas
metabolism pada otak.

b. Pemeriksaan laboratorium
1. AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
2. Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3. Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
4. CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekana).
5. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran.
6. Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
dibuktikan dengan tidak mampu batuk, sputum berlebih, dispnea. (D.0001)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan dibuktikan
dengan pola napas abnormal. (D. 0005)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri. (D. 0077)
4. Gangguan persepsi sensori berhungan dengan gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, gangguan penghiduan dibuktikan dengan respon tidak sesuai.
(D.0085)
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dibuktikan
dengan kekuatan otot menurun, fisik lemah. (D.0054)
6. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala (D. 0017)
7. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive (D. 0142)
8. Risiko ketidakseimbangan cairan dibuktikan dengan trauma/perdarahan (D0036)
9. Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan makanan
(D. 0032)
10. Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor, perubahan fungsi
kognitif (D. 0136)

4. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
dibuktikan dengan tidak mampu batuk, sputum berlebih, dispnea. (D.0001)
Tujuan : Bersihan jalan napas meningkat (L.01001)
Kriteria hasil : Produksi sputum menurun
Intervensi :
1. Manajemen jalan napas (1.14509)
Tindakan
a. Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna)

b. Terapeutik
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen
c. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikai
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan dibuktikan
dengan pola napas abnormal. (D. 0005)
Tujuan : Pola napas membaik (L.01014)
Kriteria hasil: Pernapasan pursed-lip
Intervensi :
1. Pemantauan respirasi (1.01014)
Tindakan
a. Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti brapdipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
 Monitir saturasi oksigen
b. Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri. (D. 0077)
Tujuan : Tingkat nyeri menurun (L.08066)
Kriteria hasil: Keluhan nyeri menurun
Intervensi :
1. Manajemen Nyeri (1.08238)
Tindakan
a. Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kulaitas,
intesitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang mempeberat dan memperingan nyeri
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitas istirahat tidur
c. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
 kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

4. Gangguan persepsi sensori berhungan dengan gangguan penglihatan, gangguan


pendengaran, gangguan penghiduan dibuktikan dengan respon tidak sesuai.
(D.0085)
Tujuan : Persepsi sensori membaik (L.09083)
Kriteria hasil: Mersepon sesuai stimulus membaik
Intervensi :
1. Edukasi teknik mengingat (1.12451)
Tindakan
a. Observasi
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
 Identifikasi pengetahuan teknik memori
b. Terapeutik
 Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya
c. Edukasi
 Anjurkan menggunakan media tulis (mis. daftar benda,
kalender, buku catatan)
 Anjurkan keluarga membantu untuk menciptakan lingkungan
yang konsisten
 Ajarkan teknik memori (mis. konsentrasi dan menghadirkan
memori, mengulang informasi)

5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dibuktikan


dengan kekuatan otot menurun, fisik lemah. (D.0054)
Tujuan : Mobilitas fisik meningkat ( L.05042)
Kriteria hasil: Kekuatan otot meningkat
Intervensi :
1. Dukungan mobilisasi (1.05173)
Tindakan
a. Observasi
 Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lain
 Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
 Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
b. Terapeutik
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar
tempat tidur)
 Fasilitas melakukan pergerakan, jika perlu
 Libatka pasien untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
c. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Ajarkan mobilisasi sederhanan yang harus dilakukan (mis.
duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tidur)

6. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala (D. 0017)
Tujuan : Perfusi serebral meningkat (L.02014)
Kriteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat
Kognitif meningkat
Sakit kepala menurun
Intervensi :
1. Manajemen peningkatan tekanan intrakranial (1.06194)
Tindakan
a. Observasi
 Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah
meningkat, tekanan nadi melebar, beadikardia, pola napas
ireguler, kesadaran menurun)
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output cairan

b. Terapeutik
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
 beriakan posisi semi Fowler
 Cegah terjadinya kejang
 Pertahankan suhu tubuh normal
c. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsen, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

7. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive (D. 0142)


Tujuan : Tingkat infeksi menurun (L.14137
Kriteria hasil: Nyeri menurun
Intervensi :
1. Pencegahan infeksi (1.14539)
Tindakan
a. Observasi
 Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
b. Terapeutik
 Batasi jumlah pengunjung
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
c. Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan

8. Risiko ketidakseimbangan cairan dibuktikan dengan trauma/perdarahan (D0036)


Tujuan : Keseimbangan cairan meningkat (L.03020)
Kriteria hasil: Tekanan darah membaik
Intervensi :
1. Manajemen cairan (1.03098)
Tindakan

a. Observasi
 Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kult, tekanan
darah)
 Monitor berat badan harian
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. hematokrit, Na,
K, Cl, berat jebis urine, BUN)
b. Terapeutik
 Catat intake input-output dan hitung balans cairan 24 jam
 Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena, jika perlu
c. Kolaborasi
 Kolborasu pemberian deuretik, jika perlu

9. Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan makanan


(D. 0032)
Tujuan : Status nutris membaik (L.030303)
Kriteria hasil: Kekuatan otot menelan meningkat
Intervensi :
1. Manajemen gangguan makan (1.03111)
Tindakan
a. Observasi
 Monitor asupan dan keluarnyan makanan dan cairan serta
kebutuhan kalori
b. Terapeutik
 Timbang berat badan secara rutin
 Rencanakan program pengobatan untuk perawatan di rumah
(mis. medis, konseling)
c. Edukasi
 Anjurkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah
perilaku makan
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gisi tentangkebutuhan kalori dan pilihan
makanan

10. Risiko cedera dibuktikan dengan perubahan fungsi psikomotor, perubahan fungsi
kognitif (D. 0136)
Tujuan : Tingkat cedera menurun (L.14136)
Kriteria hasil: Ekspresi wajah kesakitan menurun
Gangguan mobilitas menurun
Gangguan kognitif menurun
Intervensi:
1. Pencegahan cedera (1.14537)
Tindakan
a. Observasi
 Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan
cedera
b. Terapeutik
 Sediakan pencahayaan yang memadai
 Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang
rawat (mis. tempat tidur, penerangan ruangan dan lokasi kamar
mandi)
 Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan
fasilitas pelayanan kesehatan
 Diskusikan mengenal latihan dan terapi fisik yang diperlukan
 Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat mendampingi
pasien
 Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai
kebutuhan
c. Edukasi
 Jelaskan alas an intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan
keluarga

5. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan, dimana
perawat melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan (Potter & Perry 1997, dalam Haryanto, 2007).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon,
1994, dalam Potter & Perry, 2011).

6. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri (Ali, 2009).
Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam
perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai efektivitas proses
keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan pelaksanaan (Mubarak, dkk.,
2011).
Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana : (Suprajitno dalam Wardani, 2013)
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga
setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
yang objektif.
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis

Anda mungkin juga menyukai