Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

DISUSUN OLEH :

GALUH NILA MELINDA

2019040718

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS AN NUUR PURWODADI

2019/2020
KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007).
Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan
terjadi pada saat benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera
kepala sekunder terjadi dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah
cedera primer. Penyebab cedera sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi
sistemik, dan tekanan intrakranial yang terus meningkat. Penyebab cedera
mikroskopik mencakup radikal bebas dan reaksi inflamasi (Oman, McLain, &
Scheetz, 2002).
B. EIOLOGI
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3). Penyebab cidera kepala antara
lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera
kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
1. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari
trauma:
a. Kulit       :  Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma
subdural.
b. Tulang     :  Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi
(tertutup & terbuka).
c. Otak        :  Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan,
sedang, berat), difusi laserasi.
2. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena
komplikasi :
a. Oedema otak
b. Hipoksia otak
c. Kelainan metabolic
d. Kelainan saluran nafas
e. Syok
Penyebab lainnya cedera kepala adalah karena adanya trauma :

a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat &
menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi) : kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4
bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil, multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-
duanya (Wijaya, 2013)
C. KLASIFIKASI
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan
menjadi 3kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
1. CKR (Cedera Kepala Ringan)
a. GCS > 13
b. Tidak ada fraktur tengkorak
c. Tidak ada kontusio serebri, hematom
d. Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
e. Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
f. Tidak memerlukan tindakan operasi
2. CKS (Cedera Kepala Sedang)
a. GCS 9-13
b. Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
c. Muntah
d. Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
e. Ditemukan kelainan pada CT scan otak
f. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
g. Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. CKB (Cedera Kepala Berat)
a. GCS 3-8
b. Hilang kesadaran > 24 jam
c. Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, &
Scheetz, 2012):
1. Sakit kepala
2. Perubahan tingkat kesadaran
3. Ekimosisi
4. Rinore atau otore cairan serebrospinal

Berdasarkan anatomis :
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa
detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema Cerebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar Otak (kontusio Cerebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat
benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa
menit s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan
defisit neurologis (tanda hernia):
1) kacau mental → koma
2) gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3) pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas
arachnoid, biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia,
alkoholik.
2) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti
perdarahan epidural
3) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai
dengan berbulan-bulan
4) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5) perluasan massa lesi
6) peningkatan TIK
7) sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8) disfasia
c. Perdarahan Subarachnoid
1) Nyeri kepala hebat
2) Kaku kuduk
5. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/
terpotongnya akson secara langsung, yang memburuk selama 12-
24 jam pertama karena adanya edema difus dan lokal.
6. Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan
kedalam dinding pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan
pada lapisan endotelial paling dalam (intima). Kerusakan intima
dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah/ flap intima, yang
menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga terjadi
stroke.
E. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam
rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu
objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang
berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak ke arah depan, membentur bagian
dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah
membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu,
cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya
(contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan
jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan
terhadap jaringan otak dan pembuluh darah.
Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar
pada otak  menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke
daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan
penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang
lebih dalam tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera
akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke
otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi
mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk
mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level
normal CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi)
menyebabkan vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar
CO2 (Hiperventilasi) menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada
saat lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan kadar CO2
(hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak
dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa
hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi
berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami
cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali
permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat
penting. Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak
direkomendasikan.
Tekanan intracranial Dalam rongga tengkorak dan selaput yang
membungkus otak terdapat jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah
peningkatan volume salah satu komponen akan diikuti dengan pengurangan
atau penekanan terhadap masing-masing volume komponen yang lain karena
tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang kaku) tidak dapat
mengembang (membesar). Walaupun CSF memberikan toleransi, namun
ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi bengkak otak yang terjadi
dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak membutuhkan
suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak
satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini,
oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian.
Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial
(ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai
berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada
tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut
sebagai tekanan perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan
mengurangkan MABP terhadap ICP. Tekanan perfusi harus dipertahankan 70
mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi pendarahan dalam
tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan
menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing)
yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat
tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik meningkat untuk
mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis,
denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang.
Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana
cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir
dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi
akan memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg  pada
penderita cedera kepala.
Sindroma herniasi Saat otak membengkak, khususnya setelah
benturan pada kepala, peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat
terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat
aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini
merupakan keadaan yang mengancam hidup di tandai dengan penurunan
tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi koma, dilatasi pupil dan
deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi kepala yang mengalami
cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan terhadap
sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini)
penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan
meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut.
Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi
masih merupakan indikasi.
Cedera otak anoksia Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen
( misal henti jantung, obstruksi jalan nafas) mempengarui otak secara serius.
Jika otak tidak mendapatkan oksigen selama 4 hingga 6 menit, kerusakan
irreversible hampir selalu terjadi. Setelah episode anoksia, perfusi korteks
akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada arteri kecil pada serebral.
Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi dan tekanan darah
tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena reflow) dan
cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya hipotermia
mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus
pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam.
F. PATHWAY

WOC CEDERA KEPALA

Cedera kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya Terputusnya Cedera otak


kontinuitas jaringan kontinuitas (kontusio,
kulit, otot & jaringan tulang laserasi)
Vaskuler

Gangguan - Perubahan
- Perdarahan Gangguan Resiko Nyer neurologis autoregulasi
- Hematoma suplai darah infeksi i fokal - Edema serebral

Perubahan - Bersihan jalan


Iskemia Resiko Kejang
sirkulasi CSS napas
ketikdakefektif - Dispnea
an perfusi Gangguan
Hipoksia - Henti napas
PTIK jaringan pola napas
serebral
Girus medialis Gangguan - Gangguan fungsi luhur
lobus temporalis fungsi otak - Perubahan perilaku
tergeser - Gangguan fungsi motorik
- Afasia
Lobus Frontal
Herniasi unkus
Gangguan fungsi
Lobus oksipital penglihatan
Mesensefalon
tertekan
Lobus temporal - Gangguan
keseimbangan
Gangguan - Gangguan memori
kesadaran Lobus parietal
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
Resiko Immobilisasi Cemas hipestesi, parestesi, dll)
injury

Resiko gangguan Defisit perawatan diri


integritas kulit
G. KOMPLIKASI
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara
lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus.
Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau
jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap
dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang,
diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang.
Selama kejang, perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya
mempertahankan jalan napas paten ketika mengamati perkembangan
kejang dan mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu
yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci,
spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit
plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan
pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus
dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat
ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin
untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala
dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar
telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir
dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous
dari tulang temporal.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena
pemeriksaan ini dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap
perdarahan. Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan
tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap struktur fosa posterior.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur
pada dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan lebih
baik dan perubahan neuronal dapat diamati. Selain itu MRI dapat
digunakan untuk mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara
noninvasive.
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah
dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai
mengalami kematian batang otak.
Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak,
gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari
area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan.
4. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan
mekanisme autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang
melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam
meberikan informasi mengenai autoregulasi serebral dapat
mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien cedera
kepala dimasa yang akan datang.
5. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan
berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan
yang penting dalam mengeliminasi kejang subklinis atau non konvulsif.
Temuan yang paling umum pada pasien cedera kepala adalah
perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.
6. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP
(somatosensory evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat
membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak
akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna.
I. PENATALAKSANAAN
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala berat dikembangkan oleh
Brain Trauma Foundation dan American Association of Neurological
Surgeons pada tahun 1995 dan diperbarui tahun 2000 untuk mendiseinasi
rekomendasi ilmiah yang yang paling terkini.
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai
segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-
rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala berfokus
pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan jalan napas
definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap hasil akhir
pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah terbukti
menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic Coma
Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana yang
optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali :
1. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera kepala
karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan kesadaran,
dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi pasien pada
tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis dapat
memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral.
2. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan
agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg.
PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2
<25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan
dan penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk
menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.
3. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia
yang berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan
yang digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau
ringer laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia
akan dapat menyebabkan odema otak yang harus dihindari.
4. Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial,
umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan
bolus intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak
boleh karena akan memperberat hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim
0,3-0,5 mg/kg bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan
tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek
hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut.
Tidak dianjurkan pada resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita
trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang,
tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu
pertama saja.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Kasus
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pengkajian Primer
1) Airway
2) Breathing
3) Circulation
4) Disaility
5) Exposure
6) Folley catheter
7) Gastric tube
8) Hearth monitor
c. Pengkajian Sekunder
1) Pemeriksaan head to toe
2) Vital sign
3) Finger in every orifice
4) Anamnesa KOMPAK
5) Pemeriksaan penunjang
6) Persiapan rujuk ke RS atau ruangan
2. Diagnosa Keperawatan
No Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Tanggal TTD
Teratasi
1 Kamis, 30 Nyeri Akut
April 2020
2 Kamis, 30 Gangguan pertukaran gas
April 2020
3 Kamis, 30 Resiko ketikdakefektifan
April 2020 perfusi jaringan serebral
3. Intervensi Keperawatan
NO. TUJUAN & KRITERIA HASIL NIC RASIONAL TTD

MAYOR DISARANKAN

1 Setelah dilakukan asuhan Pain Control Pain Management : 1. Untuk mengetahui skala GALUH
keperawatan selama 2x24 jam Pain Level 1. Lakukan nyeri
diharapkan masalah keperawatan pengkajian skala 2. Untuk mengurangi rasa
Nyeri akut klien dapat berkurang nyeri secara nyeri dengan teknik
dengan kriteria hasil : komprehensif distraksi relaksasi dengan
1. Mampu mengntrol nyeri 2. Ajarkan teknik terapi musik
(tahu penyebab nyeri, non farmakologi 3. Agar tidur klien
mampu menggunakan (Distraksi berkualitas
teknik nonfarmaklogi untuk Relaksasi Terapi
mengurangi nyeri, mencari Musik)
bantuan) 3. Tingkatkan
2. Melaporkan bahwa nyeri Istirahat
berkurang
3. Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
2 Setelah dilakukan asuhan 1. Respiratory Airway Management 1. agar pasien bisa
keperawatan selama 2x24 jam status : gas 1. buka jalan bernafas secara
diharapkan masalah gangguan exchange nafas dengan bebas/tidak sesal
pertukaran gas pasien dapat 2. Respiratory teknik chin 2. agar ventilasi pasien
teratasi dengan kriteria hasil : status : lift atau jaw bisa maksimal
1. mampu ventilation thrust 3. untuk mengeluarkan
mendemonstrasikan batuk 2. posisikan dahak dan agar
efektif dan suara nafas pasien untuk pernafasan pasien
yang bersih memaksimalk normal
2. memelihara kebersihan an ventilasi 4. untuk pemberian terapi
paru-paru dan bebas dari 3. lakukan yang tepat sesuai
tanda disress pernafasan fisioterapi kondisi pasien
3. tanda-tanda vital dalam dada bila
rentang normal perlu
4. kolaborasi
dengan tim
medis lain
3 Setelah dilakukan asuhan Circulation status 1. monitor adanya 1. untuk mengetahui ada
keperawatan selama 2x24 jam Tissue perfuesion : paratese tidaknya paratese
diharapkan masalah Resiko cerebral 2. batasi gerakan 2. agar tidak menambah
ketikdakefektifan perfusi jaringan pada kepala, resiko cedera kepala
serebral pasien dapat teratasi leher dan 3. untuk pemberian
dengan kriteria hasil : punggung analgesik sesuai
1. tidak ada tanda-tanda 3. kolaborasi kebutuhan klien
peningkatan tekanan pemberian
intrakranial analgesik
2. tidak ada hipertensi ortostatik
3. tekanan sistol diastol dalam
rentang normal
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala.


Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta:


Deltacitra Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw


Hill Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012

Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC

Lumandung, Feibyg T, James F. Siwu, Johannis F. Mallo. (2013). Gambaran


Korban Meninggal Dengan Cedera Kepala Pada Kecelakaan Lalu
Lintas Di Bagian Forensik Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode Tahun 2011-2012. (online).
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/3608/3136

Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan


Holistik. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.
Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto
L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Jakarta: EGC

Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes.

Wijaya, Andra Saferi. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa Teori dan Contoh Askep). Yogyakarta : Nuha Medika

Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media


Aesculapius

Brunner & Suddart . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.

Carolyn M. Hudak. 2001. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII.
Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan


Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Corwin, E.J. 2002. Handbook of Pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U.


Jakarta: EGC

Diagnosa NANDA (NIC & NOC) Disertai Dengan Dischange Planning. 2007-
2008. Jakarta: EGC

Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Pathophysiology : Clinical Concept of Disease
Processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC

Sandra M. Nettina. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta: EGC


Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical
– Surgical Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC

Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai