Anda di halaman 1dari 47

KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,

tengkorak, dan otak (Morton, 2012).

Cedera kepala berat yaitu terjadinya kontusio serbral, laserasi atau

hematoma intracranial yang diikuti dengan kehilangan kesadaran dan atau

terjadi amnesia lebih dari 24 jam dengan GCS 3-8 (Morton, 1012)

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya

diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%

meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%

dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera

kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).

Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif

antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53%

dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9%

lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu

rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat

inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10%

dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB,

5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang


meninggal.Tindakan operasi pada kasus CKB hanya dilakukan pada

sebagian kecil pasien (<5%) misalnya pada hematoma subdural dan

hematoma epidural dengan fungsi batang otak yang masih baik. Lebih

dari 2 juta pasien dengan cedera kepala setiap tahunnya di ruang gawat

darurat AS, dan merupakan 25% dari pasien yang dirawat di rumah sakit.

Hampir 10% dari seluruh kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh

cedera, dan sekitar separuh dari kematian traumatis melibatkan otak.

Di Amerika Serikat, cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian

setiap 5 menit. Sekitar 200.000 orang tewas atau cacat permanen setiap

tahun sebagai akibatnya.Cedera kepala terjadi pada segala usia, tetapi

puncak adalah pada orang dewasa muda antara usia 15 dan 24. Cedera

kepala adalah penyebab utama kematian di antara orang di bawah usia 24

tahun. Pria tiga atau empat kali lebih sering dibanding wanita. P

enyebab utama dari cedera otak berbeda di berbagai bagian Amerika

Serikat; di semua daerah, kecelakaan kendaraan bermotor yang menonjol,

dan di daerah metropolitan kekerasan pribadi sering terjadi. Hubungan

sebab-akibat antara mekanisme cedera dan cedera kepala merupakan hal

yang rumit Misalnya, orang tua yang memiliki kejadian jatuh yang lebih

tinggi dibandingkan usia lainnya. Mungkin faktor efek samping obat,

pendengaran dan penglihatan yang kurang, lambatnya respon terhadap

suatu kejadian, keseimbangan dan mobilitas menjadi pengaruh terjadinya

cedera.
3. Penyebab

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,

akselerasi-deselarasi, coup-counter coup, dan cedera rotasional

a. Cedera akselerasi

Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak

(misalnya peluru yang ditembakkan ke kepala)

b. Cedera deselerasi

Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam, seperti pada

kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan

mobil.

c. Cedera akselerasi-deselerasi

Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode

kekerasan fisik

d. Cedera coup-counter coup

e. Terjadi

Terjadi jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam

ruang cranial dan dengan kuat menganai area tulang tengkorak

f. Cedera rotasional

Terjadi jika benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga

tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robekan neuron

dalam substansi alba.


4. Patofisiologi

Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit

kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya.

Cidera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka

terbuka dari tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa

berasal dari trauma langsung maupun tidak langsung pada kepala.

Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan

yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.

Trauma langsung bila kepala langsung terbuka, semua itu akibat terjadinya

akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya gas

merusak jaringan syaraf.

Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya.

Kerusakan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh

kompresi, goresan, atau tekanan.Cidera yang terjadi waktu benturan

mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba,

cidera robekan, atau hemmorarghi.

Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto

regulasi serebral dikurangi atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya

meliputi hiperemia (peningkatan volume darah, peningkatan permeabilitas

kapiler, serta vasodilatasi arterial, tekanan intra cranial) (Huddak & Gallo,

2000:226).

Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya

penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan

herniasi dan penekanan pada batang otak. rauma pada kepala

menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi

tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar

kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju

Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh

perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga

akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial,

perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak

menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan

akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan

menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang

berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial)

merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam

lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anoreksia

sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson, 2006:1010).


5. Pathway
6. Klasifikasi

a. Cidera kepala diklasifikasikan berdasarkan:

1) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak

a) Cidera kepala terbuka

b) Cidera kepala tertutup

b. Cidera pada jaringan otak (secara anatomis)

1) Commusio serebri (gegar otak)

2) Edema serebri

3) Contusio serebri (memar otak)

4) Laserasi

 Hematoma epidural

 Hematoma subdural

 Perdarahan sub arakhnoid (Ergan, 2001:642)

c. Adanya penetrasi durameter (secara mekanisme)

1) Cidera tumpul

a) Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)

b) Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)

2) Cidera tembus

a) Luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya

d. Tingkat keparahan cidera (berdasarkan GCS)

1) Cidera Kepala Ringan (CKR) GCS 13-15

2) Cidera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12

3) Cidera Kepala Berat (CKB) GCS 3-8


7. Gejala klinis

Berdasarkan anatomis

a. Gegar otak (comutio selebri)

1) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran

2) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa

detik/menit

3) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah

4) Kadang amnesia retrogard

b. Edema serebri

1) Pingsan lebih dari 10 menit

2) Tidak ada kerusakan jaringan otak

3) Nyeri kepala, vertigo, muntah

c. Memar otak (kontusio selebri)

1) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi

tergantung lokasi dan derajad

2) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan

3) Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)

4) Penekanan batang otak

5) Penurunan kesadaran

6) Edema jaringan otak

7) Defisit neurologis

8) Herniasi
d. Laserasi

1) Hematoma Epidural

“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat

benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit

s.d beberapa jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit

neurologis (tanda hernia):

a) Kacau mental → koma

b) Gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi

c) Pupil isokhor → anisokhor

2) Hematoma subdural

a) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,

biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.

b) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan

epidural

c) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai

dengan berbulan-bulan

d) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)

e) Perluasan massa lesi

f) Peningkatan TIK

g) Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang

h) Disfasia

3) Perdarahan sub arachnoid

a) Nyeri kepala hebat


b) Kaku kuduk

Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)

a. Cidera kepala Ringan (CKR)

1) GCS 13-15

2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit

3) Tidak ada fraktur tengkorak

4) Tidak ada kontusio celebral, hematoma

b. Cidera Kepala Sedang (CKS)

1) GCS 9-12

2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang

dari 24 jam

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Cidera Kepala Berat (CKB)

1) GCS 3-8

2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam

3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma

intracranial (Hudak dan Gallo, 2001:226)


8. Komplikasi

Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma

intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.

a. Edema serebral dan herniasi

Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan

TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan

yang terjadi kira kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena

ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan

volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.

Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan

pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung

pada tempat pembengkakan, perubahan posisi kebawah atau lateral

otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang terjadi

menimbulkan iskemia, infark, dan kerusakan otak irreversible,

kematian

b. Defisit neurologik dan psikologik

Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal

seperti anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas

gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan

kejang post traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan

psikologis organic (melawan, emosi labil) tidak punya malu, emosi

agresif dan konsekuensi gangguan.


c. Kebocoran cairan cerebrospinal,

Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi

pada 2 – 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup. Kebocoran ini

berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85

% pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun

pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya

pneumolok), pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial.

Otorea atau rinorea cairan cerebrospinal yang menentap atau

meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.

d. Fistel Karotis-Kavernosus,

Ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi dan bruit

orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.

Anglografi diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan

oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan

dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.

e. Diabetes Incipidus,

Dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai

hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.

Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer,

menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin

(pitressin) 5 – 10 unit intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4

– 6 jam atau desmopressin asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg

setiap 12 jam, diberikan untuk mempertahankan pengeluaran urin


kurang dari 200 ml/jam, dan volume diganti dengan cairan hipotonis

(0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada berat ringannya

hipernatremia.

f. Kejang Pascatrauma

Dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu

pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak

merupakan predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan

resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus

dipertahankan dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi

pascatrauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala

tertutup adalah 5 %; resiko mendekati 20 % pada pasien dengan

perdarahan intrakranial ayau fraktur depresi.

g. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.

h. Meningitis Ventrikulitis

i. Infeksi saluran kemih

j. Perdarahan gastrointestinal

k. Sepsis asam negative

l. Kebocoran CSS

Komplikasi lain secara traumatik:

a. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)

b. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,

ventikulitis, abses otak)

c. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)


Komplikasi lain:

a. Peningkatan TIK

b. Hemorarghi

c. Kegagalan nafas

d. Diseksi ekstrakranial

9. Pemeriksaan penunjang

a. X Ray tengkorak

Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.

b. CT Scan

Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada

jaringan mati.

c. MRI (Magnetic Resonan Imaging)

Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang

elektomagnetik.

d. Pemeriksaan Laboratorium

Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.

e. Pemeriksaan analisa gas darah

Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.


10. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan

pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem

(B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain)

dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.

Keadaan umum

Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran

(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala

berat/ cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi

perubahan pada tanda-tanda vital.

a. B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari

perubahan jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa

keadaan, hasil dari pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :

1) Inspeksi

Didapatakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak

napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi

pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru

tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai penuh/ tidak penuh dan

kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin menunjukan adanya

atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang

iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube


trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga

perlu dinilai : retraksi dari otot – otot interkostal, substernal,

pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen saat

inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot interkostal

tidak mampu menggerakkan dinding dada.

2) Palpasi

Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan

didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.

3) Perkusi

Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma

pada thoraks/ hematothoraks

4) Auskultasi

Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada

klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk

yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan

penurunan tingkat kesadaran koma.

b. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan

(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala

sedang dan berat.

Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada

beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,


nadi bradikardi, takikardia da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah

berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan

kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia merupakan tanda dari

perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan

adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi

menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal

dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala

akan merangsang pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang

berdampak pada kompensasi tubuh untuk mengeluarkan retensi atau

pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan

meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga memberikan

resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada

sistem kardiovaskuler.

c. B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama

disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya

perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma

dan epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan

pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada

sistem lainnya.
1) Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah

indikator paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya

berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.

2) Pemeriksan fungsi serebral

Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,

nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas

motorik pada klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status

mental mengalami perubahan.

Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan

penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun

jangka panjang

Lobus frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis

didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan

pada lobus frontal kapasitas, memori atau fungsi intelektual

kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini dapat

ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam

pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien

ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi

mereka. Masalah psikologi lain juga umum terjadi dan

dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi,

dendam da kurang kerja sama.


Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase

sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan

terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang

berlawanan tersebut. Cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami

hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati – hati, kelainan

bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah

frustrasi

3) Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I

Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak

anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan

pada fungsi penciuman/anosmia unilateral atau bilateral

Saraf II

Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan

lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus.

Perdarahan diruang intrakranial, terutama hemoragia

subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina. Anomali

pembuluh darah didalam otak dapat bermanifestasi juga difundus.

Tetapi dari segala macam kalainan didalam ruang intrakranial,

tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus

Saraf III, IV da VI

Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan

trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma


kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap

sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada

penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang

tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot okular akan

menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat

anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan

miosis yang bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi

yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal. Miosis ini

disebabkan oleh lesi dilobus frontalis ipsilateral yang mengelola

pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal

menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan

berkonstriksi.

Saraf V

Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis

nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi

gerakan menguyah

Saraf VII

Persepsi pengecapan mengalami perubahan

Saraf VIII

Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan

biasanya tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi

tidak melibatkan sarafvestibulokoklearis


Saraf IX dan Xl

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

Saraf XI

Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup

baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII

Indra pengecapan mengalami perubahan

4) Sistem motorik

Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah

satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis

(kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.

Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.

Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade

kekuatan otot didapatkan grade O

Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami

gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.

5) Pemeriksaan reflek

Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pdaa tendon, ligamentum

atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

Pemeriksaan refleks patologis ; Pada fase akut refleks fisiologis

sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks

fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.


6) Sistem sensorik

Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk

menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual karena

gangguan jaras sensorik primer diantara mata dan korteks visual.

Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua

atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada klien

dengan hemiplegia kiri.

Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan

sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan

propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan

bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi

visual, taktil dan auditorius.

d. B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk

berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan

dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala

klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,

ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan

postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang

atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten


dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan

kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut

menunjukan kerusakan neurologis luas.

Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya

lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya

dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya

dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi

abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik

ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.

Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag

berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.

f. Tulang (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh

ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit.

Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya

sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran


mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan

dengan rendahnya kadar haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis

pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya

hipoksemia. Joundice (warna kuning) pada klien yang menggunakan

respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari

penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka waktu lama.

Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak begitu

jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya

demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan

dekubitus. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,

kehilangan sensorik atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah

menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

11. Therapy

Penatalaksanaan Keperawatan

a. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis

b. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret

c. Mempertahankan sirkulasi stabil

d. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital

e. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi

hiperhidrasi

f. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus


g. Mengelola pemberian obat sesuai program

Penatalaksanaan Medis

a. Oksigenasi dan IVFD

b. Terapi untuk mengurangi edema serebri (anti edema)

Dexamethasone 10 mg untuk dosis awal, selanjutnya

1) 5 mg/6 jam untuk hari I dan II

2) 5 mg/8 jam untuk hari III

3) 5 mg/12 jam untuk hari IV

4) 5 mg/24 jam untuk hari V

c. Terapi neurotropik: citicoline, piroxicam

d. Terapi anti perdarahan bila perlu

e. Terapi antibiotik untuk profilaksis

f. Terapi antipeuretik bila demam

g. Terapi anti konvulsi bila klien kejang

h. Terapi diazepam 5-10 mg atau CPZ bila klien gelisah

i. Intake cairan tidak boleh > 800 cc/24 jam selama 3-4 hari
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Pengkajian Kegawatdaruratan :

a. Primary Survey
1) Airway dan cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi

pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan

benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,

fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin

lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan

nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,

fleksi atau rotasi dari leher.

2) Breathing dan ventilation

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk

pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.

Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding

dada dan diafragma.

3) Circulation dan hemorrhage control

a. Volume darah dan Curah jantung


Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap

disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan

detik

dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik

yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

b. Kontrol Perdarahan

4) Disability

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran

dan reaksi pupil.

5) Exposure dan Environment control

Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Secondary Survey

1) Pengkajian

Data Dasar Pengkajian Klien (Doenges, 2000). Data tergantung

pada tipe, lokasi dan keperahan, cedera dan mungkin dipersulit oleh

cedera tambahan pada organ-organ vital.

a) Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,

puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.

b) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,

takikardi.

c) Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung,

depresi dan impulsif.

d) Makanan/cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : muntah, gangguan menelan.

e) Eliminasi

Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau

mengalami gangguan fungsi.

f) Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,

sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan

penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan

status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan

memoris.

g) Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala.


Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada

rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,

merintih.

h) Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi

oleh hiperventilasi nafas berbunyi)

i) Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan

rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum

mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu

tubuh.

j) Interaksi social

Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,

bicara berulang-ulang, disartria.

2. Diagnose keperawatan

1) Neri akut b.d agen cidera biologis kontraktur

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas.

3) Resiko kekurangan volume cairan b.d perubahan kadar elektrolit serum

4) Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d trauma jaringan otak

5) Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d edema serebral,

peningkatan TIK
6) Pola nafas tidak efektif b.d gangguan/kerusakan pusat pernafasan di

medula oblongata/cedera jaringan otak

7) Resiko cidera

8) Resiko infeksi

3. Rencana asuhan keperawatan

1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan NIC :


injuri fisik Asuhan keperawatan Pain Management
3 x 24 Jam a. Lakukan pengkajian
diharapkan tingkat nyeri secara
kenyamanan klien komprehensif termasuk
meningkat, nyeri lokasi, karakteristik,
terkontrol dg KH: durasi, frekuensi,
 Klien melaporkan kualitas dan faktor
nyeri berkurang presipitasi
dg scala nyeri 2-3 b. Observasi reaksi
 Ekspresi wajah nonverbal dari
tenang ketidaknyamanan
 klien dapat c. Gunakan teknik
istirahat dan tidur komunikasi terapeutik
 TTV dalam batas untuk mengetahui
normal pengalaman nyeri
pasien
d. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
e. Evaluasi pengalaman
nyeri masa lampau
f. Evaluasi bersama
pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk mencari
dan menemukan
dukungan
h. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
k. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
non farmakologi
m. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istirahat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri
tidak berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
a. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
b. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergiPilih
analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu
d. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
e. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
f. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
g. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
h. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat
nyeri hebat
i. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Airway management


bersihan jalan nafas
tindakan a. Berikan posisi semi
Definisi :
keperawatann 3 x 24 fowler untuk
Ketidakmampuan jam diharapkan memaksimalkan ventilasi
untuk bersihan jalan nafas b. Identifikasi pasien
membersihkan pasien bias efektif perlunya pemasangan alat
sekresi atau
denga criteria hasil : jalan nafas buatan
obstruksi  Menunjukan
dari c. Auskultasi suara nafas dan
saluran pernafasan jalan nafas yang catat adanya suara nafas
untuk paten tambahan
mempertahankan  Mampu d. Berikan bronkodilator bila
kebersihan jalan mengidentifikasi perlu
nafas. dan mencegah e. Atur intake untuk cairan
factor yang dapat mengoptimalkan
Batasan menghambat keseimbangan
Karakteristik : jalan nafas f. Monitor respirasi dan
 Dispneu,  Mendemonstrasi saturasi o2
Penurunan suara kann batuk Airway suction
nafas efektif dan suara a. Pastikan kebutuhan
 Orthopneu nafas yang bersih oral/tracheal suctioning
b. Auskultasi sebelum dan
 Cyanosis setelah sesudah suctioning
 Kelainan suara c. Berikan oksigen dengan
nafas (rales, menggunakan nasal untuk
wheezing) memfasilitasi suksion
 Kesulitan naotrakeal
berbicara d. Gunakan alat yang steril
 Batuk, tidak setiap melakukan tindakan
efekotif atau tidak e. Monitor status oksigen
ada pasien
 Mata melebar f. Hentikan suksion dan
 Produksi sputum bgerikan oksigen apabila
pasien menunjukan
 Gelisah
bradikardi.
 Perubahan
frekuensi dan
irama nafas

Faktor-faktor yang
berhubungan:
 Lingkungan :
merokok,
menghirup asap
rokok, perokok
pasif-POK,
infeksi
 Fisiologis :
disfungsi
neuromuskular,
hiperplasia
dinding bronkus,
alergi jalan nafas,
asma.
 Obstruksi jalan
nafas : spasme
jalan nafas,
sekresi tertahan,
banyaknya
mukus, adanya
jalan nafas
buatan, sekresi
bronkus, adanya
eksudat di
alveolus, adanya
benda asing di
jalan nafas.
3 Resiko Setelah dilakukan Fluid Management
ketidakseimbangan asuhan keperawatan a. Timbang popok/pembalut
elektrolit b.d 2x 24 jam jika diperlukan
defisiensi volume diharapkan b. Pertahankan cairan intake
cairan kebutuhan cairan dan output yang akurat
Definisi : elektrolit pasien bias c. Monitor status hidrasi
Penurunan cairan seimbang dengan d. Monitor vital sign
intravaskuler, criteria hasil : e. Monitor masukan
interstisial, dan/atau  Mempertahankan makanan
intrasellular. Ini urine output f. Kolaborasi masukan
mengarah ke sesuai dengan usia makanan/cairan dan hitung
dehidrasi, dan BB, BJ urine intake kalori harian
kehilangan cairan normal, HT g. Kolaborasi pemberian
dengan pengeluaran normal cairan IV
sodium  Tekanan darah, h. Berikan pengganti
nadi, suhu tubuh nasogatrik sesuai output
Batasan dalam batas i. Atur kemungkinan tranfusi
Karakteristik : normal
 Kelemahan  Tidak ada tanda Hypovolemia management
 Haus tanda dehidrasi, a. Monitor status cairan
 Penurunan turgor Elastisitas turgor temasuk intake dan output
kulit/lidah kulit baik, b. Pelihara IV line
 Membran membran mukosa c. Monitor tingkat HB dan
mukosa/kulit lembab, tidak ada hematokrit
kering rasa haus yang d. Monitor TTV
 Peningkatan berlebihan e. Minitor respon pasien
denyut nadi, terhadap penambahan
penurunan cairan
tekanan darah, f. Monitor berat badan
penurunan
volume/tekanan
nadi
 Pengisian vena
menurun
 Perubahan status
mental
 Konsentrasi urine
meningkat
 Temperatur
tubuh meningkat
 Hematokrit
meninggi
 Kehilangan berat
badan seketika
(kecuali pada
third spacing)
 Faktor-faktor
yang
berhubungan:
 Kehilangan
volume cairan
secara aktif
 Kegagalan
mekanisme
pengaturan
4 Resiko Setelah dilakukan Newborn Care
ketidakseimbangan tindakan a. Pengaturan suhu :
suhu tubuh b.d keperawatan selama mencapai dan atau
trauma yang 3 x 24 jam mempertahankan suhu
mempengaruhi diharapkan suhu tubuh dalam range normal
pengaturan suhu tubuh pasien bias b. Pantau suhusampai stabil
stabil dengan criteria c. Pantau tekanan darah,
hasil : nadi, dan pernafasan
 Suhu kulit normal dengan tepat
 Suhu badan 36-37 d. Pantau warna dan suhu
C kuilt
 TTV dalam batas e. Pantau dan laporkan tanda
normal dan gejala hipotermi dan
 Hidrasi adekuat hipertemi.
 Tidak hanya f. Tingkatkan keadekuatan
menggigil masukan cairan dan nurtisi
 Gula darah DBN g. Tempatkan bayi baru lahir
 Keseimbangan pada ruangan isolasi atau
asam basa DBN bawah pemanas
 Bilirubin DBN h. Gunakan matras panas dan
selimut hangat yang
disesuaikan dengan
kebutuhan.
i. Berikan pengobatan
dengan tepat untuk
mencegah atau control
menggigil
j. Gunakan matras sejuk dan
mandi dengan air hangat
untuk menyesuaikan
dengan suhu tubuh dengan
tepat
Temperature regulation
(pengaturan suhu)
a. Monitor suhu minimal tiap
2 jam
b. Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu
c. Monitor TD, nadi, dan RR
d. Monitor warna dan suhu
kulit
e. Monitor tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
f. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi
g. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
h. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat
panas
i. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negative dan
kedinginan
j. Beritahu tentang indikasi
terjadinya keletihan dan
penanganan emergency
yang diperlukan
k. Ajarkan indikasi dan
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan
l. Berikan anti piretik jika
perlu

Temperature regulation :
Intraoperative
a. Mempertahankan suhu
tubuh interaoperatif yang
diharapkan
b. Atur kemungkinan
tranfusi
c. Persiapan untuk tranfusi

Fluid Monitoring
a. Tentukan riwayat jumlah
dan tipe intake cairan
dan eliminasi
b. Tentukan kemungkinan
faktor resiko dan ketidak
seimbangan cairan
(Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung,
diaporesis, disfungsi
hati, dll)
c. Monitor berat badan
d. Monitor serum dan
elektrolit urine
e. Monitor serum dan
osmilalitas urine\
f. Monitor BP < HR, dan
RR\
g. Monitor tekanan darah
orthostatik dan
perubahan irama jantung
h. Monitor parameter
hemodinamik infasif
i. Catat secara akutar
intake dan output
j. Monitor membrari
mukosa dan turgor kulit,
serta rasa haus
k. Catat monitor warna,
jumlah dan
l. Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem
perifer dan penambahan
BB
m. Monitor tanda dan gejala
dan odema
n. Beri cairan sesuai
keperluan
o. Kolaborasi pemberian
obat yang dapat
meningkatkan output
urin
p. Lakukan hemodialisis
bila perlu dan catat
respons pasien
Vital Sign Monitoring
a. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
b. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
c. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk atau
berdiri
d. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
e. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
f. Monitor kualitas dari
nadi
g. Monitor adanya pulsus
paradoksus
h. Monitor adanya pulsus
alterans
i. Monitor jumlah dan
irama jantung
j. Monitor bunyi jantung
k. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
l. Monitor suara paru
m. Monitor pola pernapasan
abnormal
n. Monitor suhu, warna,
dan kelembaban kulit
o. Monitor sianosis perifer
p. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
q. Identifikasi penyebab
dan perubahan vital sign
5 Ketidakefektifan Setelah dilakukan NIC :
perfusi jaringan asuhan keperawatan Intrakranial Pressure (ICP)
cerebral b.d edema 3 x 24 jam Monitoring (Monitor
serebral, diharapkan klien tekanan intrakranial)
peningkatan TIK menunjukan status a. Berikan informasi kepada
Definisi : beresiko sirkulasi dan tissue keluarga
mengalami perfusion cerebral b. Set alarm Monitor tekanan
penurunan sirkulasi membaik dengan perfusi serebral
jaringan otak yang KH: c. Catat respon pasien
dapat mengganggu  TD dalam rentang terhadap stimuli
kesehatan. normal (120/80 d. Monitor tekanan
Batasan mmHg) intrakranial pasien dan
karakteristik :  Tidak ada tanda respon neurology terhadap
- trauma kepala peningkatan TIK aktivitas
- embolisme  Klien mampu e. Monitor jumlah drainage
neoplasma otak bicara dengan cairan serebrospinal
jelas, f. Monitor intake dan output
menunjukkan cairan
konsentrasi, g. Restrain pasien jika perlu
perhatian dan h. Monitor suhu dan angka
orientasi baik WBC
 Fungsi sensori i. Kolaborasi pemberian
motorik cranial antibiotik
utuh : kesadaran j. Posisikan pasien pada
membaik (GCS posisi semifowler
15, tidak ada k. Minimalkan stimuli dari
gerakan lingkungan
involunter)
Peripheral Sensation
Management (Manajemen
sensasi perifer)
a. Monitor adanya daerah
tertentu yang hanya peka
terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
b. Monitor adanya paretese
c. instruksikan keluarga
untuk mengobservasi kulit
jika ada lsi atau laserasi
d. Gunakan sarun tangan
untuk proteksi
e. Batasi gerakan pada
kepala, leher dan
punggung
f. Monitor kemampuan BAB
g. Kolaborasi pemberian
analgetik
h. Monitor adanya
tromboplebitis
i. Diskusikan mengenai
penyebab perubahan
sensasi
6 Pola nafas tidak Setelah dilakukan a. Kaji status pernafasan
efektif b.d asuhan keperawatan klien
gangguan/kerusakan …. jam klien b. Kaji penyebab
pusat pernafasan di menunjukan pola ketidakefektifan pola
medula nafas yang efektif nafas
oblongata/cedera dengan KH: c. Beri posisi head up 35-45
jaringan otak  Pernafasan 16- derajat
20x/menit, teratur d. Monitor perubahan
 suara nafas bersih tingkat kesadaran, status
 pernafasan mental, dan peningkatan
vesikuler TIK
 Saturasi O2 ≥ 95% e. Beri oksigen sesuai
anjuran medic
f. Kolaborasi dokter untuk
terapi, tindakan dan
pemeriksaan
7 Risiko cidera NOC : NIC :
Definisi : beresiko  Risk control Environment management
mengalami cedera Kriteria hasil (manajemen lingkungan)
sebagai akibat  Klien terbebas
kondisi lingkungan dari cedera a. Sediakan lingkungan yang
yang berinteraksi  Klien mampu aman untuk pasien
dengan sumber menjelaskan b. Identifikasi kebutuhan
adaptif dan sumber cara metode keamanan pasien, sesuai
defensif individu untuk mencegah dengan kondisi fisik dan
faktor resiko : injury/cedera fungsi kognitif pasien dan
 Eksternal  Klien mampu riwayat penyakit terdahulu
- Biologis menjelaskan pasien
(tingkat factor resiko c. Menghindarkan
imunisasi dari lingkungan yang
komunitas, lingkungan/peril berbahaya
mikroorganism aku personal d. Memasang side rail tempat
e)  Menggunakan tidur
- Zat kimia fasiitas e. Menganjurkan keluarga
(racun, polutan, kesehatan yang untuk menemani pasien .
obat, alcohol, ada
nikotin)
 Internal
- Profil darah
yang abnormal
- Disfungsi
biokimia
- Disfungsi
sensorik
8 Resiko infeksi NOC : NIC :
Definisi :  Immune Status Infection Control (Kontrol
Peningkatan resiko  Knowledge : infeksi)
masuknya Infection control
organisme patogen  Risk control a. Bersihkan lingkungan
Kriteria Hasil : setelah dipakai pasien lain
Faktor-faktor  Klien bebas dari b. Pertahankan teknik isolasi
resiko: tanda dan gejala c. Batasi pengunjung bila
 Prosedur Infasif infeksi perlu
 Ketidakcukupan  Mendeskripsikan d. Instruksikan pada
pengetahuan proses penularan pengunjung untuk
untuk penyakit, factor mencuci tangan saat
menghindari yang berkunjung dan setelah
paparan patogen mempengaruhi berkunjung meninggalkan
 Trauma penularan serta pasien
 Kerusakan penatalaksanaann e. Gunakan sabun
jaringan dan ya, antimikrobia untuk cuci
peningkatan  Menunjukkan tangan
paparan kemampuan untuk f. Cuci tangan setiap
lingkungan mencegah sebelum dan sesudah
 Ruptur membran timbulnya infeksi tindakan kperawtan
amnion  Jumlah leukosit g. Gunakan baju, sarung
 Agen farmasi dalam batas tangan sebagai alat
(imunosupresa) normal pelindung
 Malnutrisi  Menunjukkan h. Pertahankan lingkungan
 Peningkatan perilaku hidup aseptik selama
paparan sehat pemasangan alat
lingkungan i. Ganti letak IV perifer dan
patogen line central dan dressing
 Imonusupresi sesuai dengan petunjuk
umum
 Ketidakadekuatan
j. Gunakan kateter
imum buatan
intermiten untuk
 Tidak adekuat
menurunkan infeksi
pertahanan
kandung kencing
sekunder
k. Tingktkan intake nutrisi
(penurunan Hb,
l. Berikan terapi antibiotik
Leukopenia,
bila perlu
penekanan respon
inflamasi)
 Tidak adekuat Infection Protection
pertahanan tubuh (proteksi terhadap infeksi)
primer (kulit tidak
utuh, trauma a. Monitor tanda dan gejala
jaringan, infeksi sistemik dan lokal
penurunan kerja b. Monitor hitung granulosit,
silia, cairan tubuh WBC
statis, perubahan c. Monitor kerentanan
sekresi pH, terhadap infeksi
perubahan d. Batasi pengunjung
peristaltik) e. Saring pengunjung
 Penyakit kronik terhadap penyakit menular
f. Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
g. Pertahankan teknik isolasi
k/p
h. Berikan perawatan kuliat
pada area epidema
i. Inspeksi kulit dan
membran mukosa terhadap
kemerahan, panas,
drainase
j. Ispeksi kondisi luka /
insisi bedah
k. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
p. Ajarkan cara menghindari
infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
r. Laporkan kultur positif

4. Implementasi

Sesuai dengan intervensi keperawatan

5. Evaluasi
No Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1 Nyeri acut b.d agen injury  Klien melaporkan nyeri berkurang dg
scala nyeri 2-3
 Ekspresi wajah tenang
 klien dapat istirahat dan tidur
 TTV dalam batas normal
2 Ketidakefektifan bersihan  Menunjukan jalan nafas yang paten
jalan nafas  Mampu mengidentifikasi dan
mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
 Mendemonstrasikann batuk efektif
dan suara nafas yang bersih

3 Resiko ketidakseimbangan  Mempertahankan urine output sesuai


elektrolit dengan usia dan BB, BJ urine normal,
HT normal
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam
batas normal
 Tidak ada tanda tanda dehidrasi,
Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus
yang berlebihan
4 Resiko ketidakseimbangan  Suhu kulit normal
suhu tubuh  Suhu badan 36-37 C
 TTV dalam batas normal
 Hidrasi adekuat
 Tidak hanya menggigil
 Gula darah DBN
 Keseimbangan asam basa DBN
 Bilirubin DBN

5 Ketidakefektifan perfusi  TD dalam rentang normal (120/80


jaringan serebral mmHg)
 Tidak ada tanda peningkatan TIK
 Klien mampu bicara dengan jelas,
menunjukkan konsentrasi, perhatian
dan orientasi baik
 Fungsi sensori motorik cranial utuh :
kesadaran membaik (GCS 15, tidak ada
gerakan involunter)
6 Pola nafas tidak efektif  Pernafasan 16-20x/menit, teratur
 suara nafas bersih
 pernafasan vesikuler
 Saturasi O2 ≥ 95%
7 Resiko cidera  Klien terbebas dari cedera
 Klien mampu menjelaskan cara metode
untuk mencegah injury/cedera
 Klien mampu menjelaskan factor resiko
dari lingkungan/perilaku personal
 Menggunakan fasiitas kesehatan yang
ada
8 Resiko infeksi  Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
 Mendeskripsikan proses penularan
penyakit, factor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya,
 Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
DAFTAR PUSTAKA

Price A. S et al. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Smeltzer C. S & B.G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :

EGC

Sudoyo, W. A et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK

Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 – 450.

Hudak dan Gallo. 2000. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.

Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer, Arif, dkk. Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media

Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 2002, Hal.206 – 208.

Soeparman. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit

FKUI, Jakarta.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan

intervensi NIC dan NOC kriteria hasil NOC.


LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

CEDERA KEPALA BERAT

OLEH :

I PUTU HARIWAN SAHISNU

17.901.1834
PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI

DENPASAR

2018

Anda mungkin juga menyukai