Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami
cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit, dua pertiga berusia dibawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita, lebih dari
setengah semua pasien cedera kepala mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh
lainnya.
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera kepala
sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau askep cidera kepala
baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat harus ditangani
secara serius.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan
fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis
dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera
kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana konsep cidera kepala berat?
1.2.2 Bagaimana konsep penatalaksanaan cidera kepala berat?
1.2.3 Bagaimana konsep asuhan keperawatan cidera kepala berat?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penulisan makalah adalah agar mahasiswa memahami dalam
Asuhan Keperawatan Cidera Kepala Berat pada pasien di Ruang Itensif Care Unit.

1
1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Menjelaskan konsep cidera kepala berat


1.3.2.2 Menjelaskan konsep penetalaksanaan cidera kepela berat
1.3.2.3 Menjelaskan konsep asuhan keperawatan cidera kepala berat

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
khususnya kepada mahasiswa untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam Asuhan
Keperawatan Cidera Kepala Berat pada pasien di Ruang Itensif Care Unit yang dapat
dijadikan acuan Asuhan Keperawatan yang ada di rumah sakit.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang, rumusan masalah. tujuan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Definisi, Etiologi, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Komplikasi, Penatalaksanaan, dan


Pemeriksaan Penunjang

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, dan Perencanaan

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan dan saran

2
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth,
2002 )

Komplikasi paling penting pada cedera kepala adalah proses yang dapat menyebabkan
kerusakan otak yang lebih lanjut, dan ini merupakan proses dinamik. Agar proses dinamik ini
tidak berjalanlebih lanjut di mana akan menyebabkan kerusakan neural lebih banyak maka
perlu dilakukan pemantauan ketat pada pasien yang mengalami cedera kepala.

Cedera kepala berat adalah keadaaan dimana struktur lapisan otak mengalami cidera
berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah,
coma (GSC <8) dan tidak dapat membuka mata.

2.2 Etiologi

Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera
olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau.

Menurut hudak dan gallo (1996:108) mendeskripsikan bahwa penyebab cidera kepala
adalah karena adanya trauma radupaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

1. Trauma Primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)
2. Trauma Sekunder

3
Terjadi akibat dari trauma saraf ( melalui,akson) yang meluas, hipertensi intracranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.

2.3 Patofisiologi

Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Cidera bervariasi dari luka kulit
yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka dari tengkotak, disertai kerusakan otak,
cidera pada otak, bisa berasal dari trauma langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Trauma tak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek
terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terbuka,
semua itu akibat terjadinya akselerasi, deselerasi, dan pembentukan rongga, dilepaskannya
gas merusak jaringan syaraf. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan
isinya. Kerusakan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi,
goresan, atau tekanan. Cidera yang terjadi waktu benturan mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansia alba, cidera robekan, atau hemmorarghi.
Sebagai akibat, cidera skunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cidera, konsekuensinya meliputi hiperemia (peningkatan
volume darah, peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, tekanan intra
cranial)(Huddak&Gallo,2000:226).
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya penumpukan cairan
yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan menyebabkan peningkatan tekanan
intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak. rauma pada
kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung
pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari
benturan akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang
dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma
diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang
berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar

4
Pitultary dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson,
2006:1010).

2.4 Manifestasi Klinis

1. Cedera kepala berat :


2. GCS 3-8
3. Penurunan derajat kesadaran
4. Tanda neurologis vocal : kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.

2.5 Komplikasi

1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan


terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepla tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan
dngan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase lumbal dapat
mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko meningitis yang
meninngkat, pemberian antibiotic prifilaksis masih kontropersial. Otorea arau rinorea
cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk
operasi reparative.
2. Fistel karotis- kevernosus ditandai dengan oleh trias gejala : eksoftalmos, kemosis, dan
bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setalah cedera. Angiografi diperlukan
untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovascular merupakan cara
yang paling efektif dan dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretic. Pasien mengeksresikan sejumlah
besar volume urin encer menimbulkan hipernatremia dan deplesi volume.
4. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama) dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk
kejang lanjut, kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan
pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

5
2.6 Penatalaksanaan

Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1. Menilai jalan napas : bersihan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang colar servikal,
pasang guedle bila dapat di tolerir. Jika cidera orofasial mengganggu jalan naps mak
pasien harus di inkjubasi.
2. Nilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernaps sepontan atau tidak. Jika tidak, beri
oksigen melalaui masker oksigen. Jika pasien bernapas sepontan, selidiki dan atas cidera
dada berat seperti peumotoraks tensif, hemopeumotoraks. Pasang oksimeter nadi jika
tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika jalan napas pasien
tidak terselindung bahkan terancam atau memp[eroleh oksigen yang adekuat (PaO2>95
mmHg dan PaCO2<40mmHg serta saturasi O2>95%) atau muntah maka pasien harus di
intubasi serta di ventilasi oleh ahli anastesi.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentorerir hipotensi.hentikan semua perdarahan
dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khususu adanya cidera intra abdomen atau
dada ukur dan catat denyut jantung dan tekaknan darah pasang nalat pemantauan dan ekg
bila tersedia. Pasang jalur IV yang besar ambil darah vena untuk pemeriksaaan darah
perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan
koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa / dekstrosa dala salin) menimbulkan
eksaserbasi edema otak pasca cidera kepala keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia
memperburuk cidera kepala..
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setalah cidera kepala dan harus di obati.
Mula-mula berikan diazzepam 10mg intravena perlahan lahan dan dapat diulangi sampai
3 klali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat di berikan fenitoin 15mg/Kg bb di
berika n IV perlahan lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50mg/menit.
5. Menilai tngkat keparahan : cidera kepala berat.
Skor sakla koma glasgow 3 sampai 8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi / teraba fraktur depresi kranium

6
2. Penatalaksanaan khusus

Penatalaksanaan cidera kepala berat dilakukan diunit perawatan intensif. Walaupun


sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cidera, tetapi setidaknya
dapat mengurangi kerusakan sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial
yang meningkat.

1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan strupor atau coma (
derajat kesadaran menurun) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas.
2. Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan dinamik
pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering
terganggu pada cidera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan
untuk menghindari hipotensi dan hipertensi
3. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis yang diberikan kepada pasien cidera
kepala.
4. Nutrisi : cidera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolisme dengan
keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan melalui NGT harus
diberikan sesegera mungkin.
5. Temperature badan : demam mengeksaserbasi cidera otak harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebeb (antibiotic) diberikan
bila perlu.
6. Anti kejang : venitoin 15-20 mg/kg bb bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena
mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini.
7. Ct scan lanjutan : umumnya scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera
awal pada pasien dengan pendarahan intracranial untuk menilai perdarahan yang pogresif
atau yang timbul belakangan.

2.7 Pemeriksaan penunjang


1. XRay tengkorak
Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak.
2. CT Scan
Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.

7
3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)
Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.
5. Pemeriksaan analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

8
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Menurut pengkajian Price (2005) pada pasien dengan cedera kepala berat, antara lain:

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, golongan darah, penghasilan, dan alamat.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3. Riwayat penyakit dahulu Harus diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
pernapasan maupun penyakit sistem sistemik lainnya, demikian pula riwayat penyakit
keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular
4. Pemeriksaan fisik head to toe
1. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi, umumnya pasien
dengan strupor atau coma ( derajat kesadaran menurun) harus diintubasi untuk
proteksi jalan nafas
2. Kardiovaskuler: pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK (Peningkatan
Tekanan Intra Kranial). Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan
tanda ketidakstabilan dinamik pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter
arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cidera kepala akut, maka
tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi dan
hipertensi
3. Sistem saraf: Kesadaran klien (nilai GCS)
4. Fungsi saraf kranial: trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
5. Fungsi sensori-motor: adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipertesia, hiperalgesia, riwayat kejang. 8
6. Sistem pencernaan: bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar tanyakan pola makan?

9
7. Sistem urologi : Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
8. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik, hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM (Range Of Motion), kekuatan otot.
9. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
10. Psikososial : ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan pertukaran gas : yang berhubungan dengan hilangnya kontrol volunter


terhadap otot pernapasan atau cidera yang mempengaruhi frekuensi, irama , kedalaman,
atau otomatisasi pernapasan
2. Infektif klirens panas : yang berhubungan dengan akumulasi sekresi, obstruksi jalan
napas, atau edema paru
3. Kerusakan mobilitas fisik : yang berhubungan dengan hemiparesis, hemiplegia, postur
tunuh abnormal, spastisitas, atau kontraktur
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kebutuhan
metebolisme berlebihan, ketidakmampuan menelan, kekacauan mental, agitasi,
perubahan tingkat kesadaran atau depresi.
5. Perubahan eliminasi perkemihan yang berhubungan dengan kehilangan kontrol volunter
pada kandung kemih, hipertonisitas atau spasme kandung kemih.
6. Risiko tinggi terhadap cedera yang berhubungan dengan kejang, agitasi,kekacauan
mental, atau postur reflektif.

10
3.3 Perencanaan

Diagnosa keperawatan Kriteria hasil Intervensi keperawatan


Kerusakan pertukaran gas : Pasien 1. Monitor tanda tanda vital
yang berhubungan dengan mempertahankan pasien
hilangnya kontrol volunter oksigenasi adekuat. 2. Kaji irama atau pola napas
terhadap otot pernapasan atau setiap 4 jam
cidera yang mempengaruhi 3. Kaji bunyi napas setiap 2-4
frekuensi, irama , kedalaman, jam
atau otomatisasi pernapasan 4. Evaluasi nilai GDA sesuai
dengan kebutuhan
5. Gunakan oksimeter yang
tersedia untuk memantau
saturasi oksigen ,pantau
tidalahir dari CO2.

Infektif klirens panas : yang 1. Atur postur pasien dengan


berhubungan dengan Mempertahankan meninggikan kepala tempat
akumulasi sekresi, obstruksi patensi jalan napas tidur atau pada posisi koma
jalan napas, atau edema paru (jika tidak ada kontraindikasi)
2. Gunakan jalan napas oral-nasal
untuk mempertahankan jalan
napas atas pasien
3. Pertahankan ventilator dalam
pengesetan dengan sistem
alarm bekerja sesuai pesanan
4. Penghisapan sesuai kebutuhan
dan evaluasi efeknya

11
Kerusakan mobilitas fisik : 1. Kaji postur refleksi dan posisi
yang berhubungan dengan ROM normal untuk memminimalkan postur
hemiparesis, hemiplegia, dipertahankan tersebut
postur tunuh abnormal, 2. Hindari posisi terlentang jikan
spastisitas, atau kontraktur psien memperlihatkan sikap
opistotonik
3. Posisikan pada cara yang
menurunkan spasme otot, Jika
TIK memungkinkan (batang
tubuh rotasi dengan panggul
fleksi)
4. Ubah posisi pasien detiap 2
jam
5. Lakukan latihan ROM pada
semua ekstremita setiap 4 jam
6. Gunakan bebat atau bantal
untuk mempertahankan
kesejajaran sendi dan
mencegahkontraktur
7. Gunakan tongkat tangan keras
untuk menurunkan refleks
genggaman dan mencegah
kontraktur.

Perubahan nutrisi kurang Tujuan s diharapkan 1. Kaji status nutrisi pasien


dari kebutuhan tubuh yang nutrisi pasien dapat saat masuk rumah sakit.
berhubungan dengan terpenuhi 2. Pertahankan masukan
kebutuhan metebolisme Kriteria hasil : nutrisi atau NGT bila tak

12
berlebihan, ketidakmampuan - Tidak terjadi mampu untuk menelan
menelan, kekacauan mental, penurunan berat 3. Kaji kemampuan untuk
agitasi, perubahan tingkat badan menelan sebelum
kesadaran atau depresi. - Pasien mampu memberikan makan : kaji
menelan dengan refleks menelan dengan
reflek menelan mempalpasi tonjolan tiroid
yang baik pada gerakan ke atas,
- observasi gerakan lidah
dan bibir.
4. Kaji refleks batuk sbeelum
memulai masukan oral
5. Mulailah memberikan
makanan peroral dengan
makanan jernih seperti
gelaton atau agar-agar
6. Beritahu proses pada
pasien dan keluarga
7. Gunakanan jumlah sedikit
mis. 5ml
8. Stelah makan, periksa
kembali rongga mulut
untuk makanan yang
tertinggal.
9. Hentikan latihan menelan
jika terjadi batuk atau
aspirasi.
Perubahan eliminasi Tujuan untuk 1. Kaji pengeluaran urine
perkemihan yang mempertahakan terhadap jumlah, kualitas,
berhubungan dengan haluaran urine adekuat dan berat jenis.
kehilangan kontrol volunter tanpa ada retensi urine. 2. Periksa residu kandung
pada kandung kemih, Kriteria hasil : kemih setelah berkemih

13
hipertonisitas atau spasme - Tidak adan 3. Jika setelah berkemih
kandung kemih. retensi urine residu urine > 200ml.
- Urine adekuat 4. Catatlah masukan dan
- haluaran
5. Jika kateter intermiten
digunakan (4-8jam),
pertahankan teknik steril
selama prosedur.
6. Penampung urine sksternal
mencegah i nfeksi saluran
kemih.
7. Pasien kacau mental atau
lupa mendapat keuntungan
dari pemeberian
bedpan/urinal yang sering
8. Jika kateter suprapubik
digunkan, bersihkan sisi
kateter setiap 8jam dapan
prn serta kantung drainase
kosong setiap 4-8jam dan
prn.
9. Kaji suhu tubuh,
peningkatan SDP dan
turbiditas urine sebagai
tanda infeksi

Risiko tinggi terhadap cedera Tujuan pasien tidak 1. Kaji pasien terhadap tanda-
yang berhubungan dengan akan menderita cedera tanda trauma/memar pada
kejang, agitasi,kekacauan selama kejang, agitasi, kulit
mental, atau postur reflektif. atau postur reflektif 2. Berikan restrein halus pada
Kriteria hasil : pergelangan tangan atau

14
- Tidak terjadi dengan vest posey jika
cedera diperlukan.
- Kejang 3. Pertahankan pagar tempat
berkurang tidur terpasang pada posisi
- Jalan napas rendah.
paten 4. Pasang bantalan pada
- pagar, papan kepala, papan
kaki jika pasien mengalami
agitasi atau potensial
kejang.
5. Jika terjadi kejang, jangat
mengikat kaki dan tangan
tetapi berilah bantalan pada
daerah sekitarnya.
Pertahankan jalan napas
paten tetapi jangan
memaksa membuka
rahang. Berikan relaksan
otot (diazepam), sesuai
pesanan, beri tahu dokter
tentang aktivitas kejang.
6. Jaga pasien dari risiko
tinggi cedera pada lokasi
yang mudah terlihat.
7. Periksa lingkungan pasien
terhadap objek yang tidak
aman.

15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga
dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari cedera kepala. Penatalaksaan
keperawatan dilakukan secara itensif dalam penanganan pasien dan perlu kolaborasi dengan
tenaga medis lainnya.
4.2 Saran
Perlu dilakukan penanaganan yang serius pada pasien dengan cidera kepala saat di lokasi
kejadian maupun di rumah sakit agar tidak terjadi komplikasi pada fungsi organ lainnya.
Evaluasi setiap tindakan perlu dilakukan agar tidak terlewatkan perubahan pada tanda vital
pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC


Mansjoer, Arif M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aeusculapius
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

17

Anda mungkin juga menyukai