Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SINDROM

Dosen : Sr. Imelda Derang

OLEH :

Kelompok 10 B

Wenny Manalu (032017069 )

Destalenta Zebua (032017082)

Yuni Sarah Panjaitan (032017083)

Gunawan Pelan Manalu (032017088)

STIkes SANTA ELISABETH MEDAN


T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih
karuniaNya yang telah diberikanNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami ini.
Materi yang kami bahas dalam diskusi ini adalah Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Dengan Post Op Trepanasi. Makalah yang kami susun ini terambil dari beberapa referensi,
baik dari jurnal yang berhubungan mata kuliah, internet, dan buku-buku yang berkaitan
dengan materi ini.
Dalam Penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami hambatan dan kesulitan.
Namun, berkat bimbingan dan motivasi moril dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
kami selesaikan. Sehubungan dengan hal tersebut, perkenankanlah kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman sekelompok.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami menyadari sepenuhnnya banyak sekali
kekurangan dan kelemahan dalam pembuatan makalah. Maka kami sangat membutuhkan
kerjasama dengan memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan
bagi tenaga keperawatan khususnya.

Medan, 11 September 2020

Kelompok 10 B
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………..……................ i
Daftar Isi………………………………………………………………………..….......... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………….…............ 1


1.2 Tujuan…………………………………………………………….….............. 2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Medis ……………….…............................................................. 3

2.2 Konsep Dasar Keperawatan ………................................................................... 17

2.3Konsep ASKEP Acute Respiratory Distress Sindrom......................................... 22

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………….........……………................………... 28

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 29
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat Perang Dunia I, banyak pasien dengan trauma non-torakal, pankreatitis berat,
transfusi masif, sepsis, dan kondisi terdeteksi dengan tanda-tanda distres pernapasan,
infiltrat difus paru, dan gagal napas. Ashbaugh dkk (1967) mendeskripsikan 12 pasien
yang ditangani olehnya dengan kondisi seperti diatas dan kemudian ia definisikan sebagai
adult respiratory distress syndrome (ARDS).
Respiratory Distress Syndrom (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan merupakan
kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea, frekuensi pernapasan yang lebih dari 60 kali
per menit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat ekspirasi serta ada retraksi dinding
dada saat inspirasi. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan
keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan
dalam paru (Marmi & Rahardjo, 2012).
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru akut
yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Estimasi yang akurat tentang insidensi ARDS
sulit karena definisi yang tidak seragam serta heterogenitas penyebab dan manifestasi
klinis. Estimasi insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-150.000 jumlah
penduduk per tahun (1996).
Dahulu ARDS memiliki banyak nama lain seperti wet lung, shock lung, leaky-
capillary pulmonary edema dan adult respiratory distress syndrome. Tidak ada tindakan
yang spesifik untuk mencegah kejadian ARDS meskipun faktor risiko sudah diidentifikasi
sebelumnya. Pendekatan dalam penggunaan model ventilasi mekanis pada pasien ARDS
masih kontroversial. American European Concencus Conference Committee (AECC)
merekomendasikan pembatasan volume tidal, positive end expiratory pressure (PEEP)
dan hiperkapnea. Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967)
sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto
toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru.
Data pada tahun 2016 menunjukkan, dari 50 negara, prevalensi ARDS mencapai
10,4% dari total pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Faktor risiko umum
ARDS dibagi menjadi faktor risiko langsung dan tidak langsung.
ARDS adalah kelainan yang progresif secara cepat dan awalnya bermanifestasi klinis
sebagai sesak napas (dyspneu dan tachypneu) yang kemudian dengan cepat berubah
menjadi gagal napas. ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967 oleh Asbaugh
dkk yang memaparkan 12 kasus dengan gejala gawat napas, gagal napas hipoksemik, dan
infiltrat patchy bilateral pada foto toraks pasien dengan rentang usia 11-48 tahun.
Pada tahun 1994, peneliti di Amerika dan Eropa pada American-European Consensus
Conference (AECC) mengeluarkan sebuah kriteria diagnosis yang diterima dengan luas
untuk mendiagnosis untuk ARDS: onset akut, perbandingan tekanan parsial oksigen
dibanding fraksi oksigen kurang dari sama dengan 200 dan tidak tergantung tekanan
positif akhir ekspirasi/PEEP, infiltrat bilateral yang tampak dari foto toraks AP/PA, dan
tekanan baji arteri pulmonalis 18 mmHg atau kurang, atau tidak ada tanda hipertensi
atrium kiri.
Studi terbaru menyebutkan bahwa 7.1% kasus yang masuk ke ICU dan 16.1% kasus
yang menggunakan ventilator mengalami ARDS. Angka mortalitas rumah sakit kasus
ARDS diperkirakan antara 34-55%. Faktor risiko penentu mortalitas termasuk
meningkatnya usia, perburukan kegagalan multiorgan, adanya komorbid paru dan non-
paru, skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation) yang lebih
tinggi, dan asidosis. Kematian terkait ARDS paling sering disebabkan oleh kegagalan
multiorgan. Kematian yang disebabkan oleh hipoksemia refrakter hanya 16% dari seluruh
kasus.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Pada Klien Acute Respiratory
Distress Sindrom” mahasiswa mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada Klien
ARDS ”.
1.2.2 Tujuan khusus
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Acute Respiratory Distress
Sindrom” mahasiswa mampu :
a. Memahami dan menjelaskan Konsep Dasar Medis ARDS
b. Memahami dan menjelaskan Konsep Dasar Keperawatan Asuhan Keperawatan
ARDS
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Medis Acute Respiratory Distress Sindrom


2.1.1 Definisi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi
paru yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
vaskular paru, peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi
udara, dengan hipoksemia dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan
dengan peningkatan shunting, peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya
compliance paru.

ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas


membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan
alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan sindrom, kumpulan


observasi klinis dan fisiologis yang menggambarkan suatu keadaan patologis.
Patogenesis ARDS belum sepenuhnya jelas dan belum ada gold standard untuk
mendiagnosis. ARDS ditandai dengan edema paru non kardiogenik, inflamasi pada
paru, hipoksemia, dan penurunan komplians paru. ARDS adalah kelainan yang
progresif secara cepat dan awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak napas
(dyspneu dan tachypneu) yang kemudian dengan cepat berubah menjadi gagal napas.
ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967 oleh Asbaugh dkk yang
memaparkan 12 kasus dengan gejala gawat napas, gagal napas hipoksemik, dan
infiltrat patchy bilateral pada foto toraks pasien dengan rentang usia 11-48 tahun.
2.1.2 Diagnosis Klinis
Awalnya klinisi menentukan diagnosis ARDS dengan cara:
1. menentukan apakah kelainan yang dialami pasien akut atau kronis
2. menentukan adanya faktor risiko atau kondisi medis lain (contoh: sepsis)
3. menjumlahkan poin berdasarkan beratnya disfungsi paru berdasarkan derajat
hipoksemia, level PEEP (positive end-expiratory pressure) yang dibutuhkan,
komplians sistem paru, dan derajat abnormalitas radiologis (Lung Injury
Prediction Score).
Kasus-kasus ini mengundang perhatian serta penelitian lebih lanjut terhadap
ARDS, namun tidak adanya kriteria diagnostik yang spesifik dan kurangnya
pemahaman terhadap patogenesis ARDS menimbulkan kesulitan untuk
meneruskan dan membandingkan antar penelitian.
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan sindrom, kumpulan
observasi klinis dan fisiologis yang menggambarkan suatu keadaan patologis.
Patogenesis ARDS belum sepenuhnya jelas dan belum ada gold standard untuk
mendiagnosis. ARDS ditandai dengan edema paru non kardiogenik, inflamasi
pada paru, hipoksemia, dan penurunan komplians paru.
Studi terbaru menyebutkan bahwa 7.1% kasus yang masuk ke ICU dan 16.1%
kasus yang menggunakan ventilator mengalami ARDS. Angka mortalitas rumah
sakit kasus ARDS diperkirakan antara 34-55%. Faktor risiko penentu mortalitas
termasuk meningkatnya usia, perburukan kegagalan multiorgan, adanya komorbid
paru dan non-paru, skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation) yang lebih tinggi, dan asidosis. Kematian terkait ARDS paling sering
disebabkan oleh kegagalan multiorgan. Kematian yang disebabkan oleh
hipoksemia refrakter hanya 16% dari seluruh kasus.
Penyebab kematian pada pasien dengan ARDS bukanlah hipoksemia refrakter,
meskipun biasanya hipoksemia merupakan fokus utama usaha resusitasi. Faktanya
kebanyakan pasien dengan ARDS meninggal karena sepsis atau gagal multiorgan.
Penjelasan dari hal ini belum diketahui, namun diperkirakan disebabkan oleh
pengaruh ventilasi mekanik. Sebelumnya telah dibahas bahwa pengaturan
ventilasi mekanik yang berlebihan tidal volumenya meningkatkan sitokin, baik
sistemik maupun paru, dan dihubungkan dengan apoptosis sel ginjal dan disfungsi
ginjal.
Tingkat kematian ARDS bervariasi berdasarkan faktor presipitan. Risiko
tertinggi dilaporkan terkait sepsis, sedangkan ARDS terkait trauma memiliki
prognosis lebih baik. Telah diketahui bahwa penyakit liver kronis, usia tua,
alkoholisme kronik, dan disfungsi organ non-pulmoner berkaitan dengan
mortalitas ARDS yang lebih tinggi. Prediktor kematian yang lain adalah riwayat
transplantasi organ dan infeksi HIV.
ARDS Network Investigator secara restrospektif menganalisis data dari
randomized study yang membandingkan ventilasi dengan tidal volume yang kecil
versus biasa dan mendapatkan kesimpulan bahwa tingkat kematian paling tinggi
untuk ARDS disebabkan oleh sepsis dan paling rendah oleh trauma, dan tidak
didapatkan perbedaan tingkat kematian, hari bebas ventilator, atau munculnya
gagal organ antara pasien ARDS dengan faktor risiko dari paru maupun non paru.
2.1.3 Epidemiologi dan Etiologi
Data pada tahun 2016 menunjukkan, dari 50 negara, prevalensi ARDS mencapai
10,4% dari total pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Faktor risiko
umum ARDS dibagi menjadi faktor risiko langsung dan tidak langsung. Berikut
adalah faktor risiko umum pada ARDS.
Faktor resiko Langsug
1. Pneumonia
2. Aspirasi isi lambung
3. Trauma inhalasi
4. Vaskulitis paru
5. Kontusio paru
6. Tenggelam

Faktor Resiko Tidak langsung


1. Sepsis non Pulmonal
2. Trauma mayor
3. Pancreatitis
4. Luka bakar berat
5. Syok-non kardiogenik
6. Overdosis obat
7. Transfuse

Penentuan insidensi ARDS merupakan tantangan karena keberagaman definisi


dan kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS dilaporkan berkisar antara 75 per
100.000 penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000 penduduk. Sepsis, aspirasi cairan
atau isi lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24 jam) berhubungan dengan
risiko tinggi terhadap ARDS. Sebagian besar kasus ARDS berhubungan dengan
sepsis terkait paru (pulmonary sepsis) sebanyak 46% atau sepsis bukan karena paru
sebanyak 33%. Faktor risiko antara lain keadaan yang menyebabkan kelainan
langsung pada paru seperti pneumonia, trauma inhalasi, kontusio pulmonum, maupun
keadaan yang menyebabkan kelainan tidak langsung pada paru seperti sepsis bukan
karena paru, luka bakar, transfusion-related acute lung injury, alkoholisme kronik, dan
riwayat pajanan terhadap asap secara aktif maupun pasif pada kasus trauma. Faktor
risiko untuk anak sedikit berbeda dari dewasa, karena didapatkan keadaan yang terkait
usia, seperti infeksi respiratory synctitial virus dan tenggelam.

Tanda dan Gejala


Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat
injuri paru, dan ada tidaknya disfungi organ lain selain paru. Gejala yang dikeluhkan
berupa:
1. Sesak nafas
2. membutuhkan usaha lebih untuk menarik napas
3. hipoksemia
Infiltrat bilateral pada foto polos toraks menggambarkan edema pulmonal.
Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) dapat terjadi karena abnormalitas
biokimia sistemik. Adult respiratory distress syndrome terjadi dalam hitungan jam-
hari setelah onset kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu
dari munculnya onset baru atau dari memburuknya suatu gejala pernafasan.

2.1.4 Patologi
Tahapan patologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang berurutan
dan tumpang tindih.
1. fase eksudatif dari jejas paru, temuan patologis disebut sebagai diffuse alveolar
damage. Terdapat membran hialin yang melapisi dinding alveolar dan cairan
edema yang mengandung protein di ruang alveoler, terjadi pula gangguan pada
epitel dan infiltrasi neutrofil pada interstitial dan alveoli. Area hemorrhage dan
makrofag dapat ditemukan di alveoli.
2. Fase yang berlangsung 57 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase
proliferatif pada beberapa pasien. Pada titik ini, membran hialin telah mengalami
organisasi dan fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi kolagen pada
interstitial dan alveolar dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah
neutrofil dan derajat edema paru. Fasecproliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis
yang tampak pada gambaran radiologis pada ARDS persisten (lebih dari 2
minggu). Awalnya jejas langsung maupun tidak langsung pada paru diduga
menyebabkan proliferasi mediator inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil
ini mengaktifkan dan bermigrasi dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh
darah dan permukaan epitel alveolar, melepaskan protease, sitokin, dan reactive
oxygen species (ROS). Migrasi dan pelepasan mediator ini mengarah kepada
permeabilitas vaskuler yang patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel
alveolar serta nekrosis sel alveolar tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan
edema paru, pembentukan membran hialin, dan kehilangan surfaktan yang
menurunkan komplians paru dan membuat pertukaran gas sulit terjadi.
3. Selanjutnya terjadi infiltrasi fibroblas yang mengarah pada deposisi kolagen,
fibrosis, dan akhirnya perburukan penyakit. Pada fase penyembuhan terjadi
berbagai hal secara bersamaan. Sitokin antiinflamasi menginaktivasi neutrofil
yang teraktivasi yang akan mengalami apoptosis dan fagositosis. Sel alveolar tipe
II berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveolar tipe I, memperbaiki
integritas dari pelapis epitelial dan membuat gradien osmotik yang menarik cairan
keluar dari alveoli ke dalam mikrosirkulasi dan sistem limfatik paru. Secara
simultan sel alveolar dan makrofag menghilangkan bahan protein dari alveoli
sehingga paru dapat pulih.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi dari ARDS adalah barotrauma (pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema subkutan) sebagai efek dari ventilasi tekanan positif
pada paru yang kompliansnya menurun. Karena hampir seluruh pasien dengan ARDS
akan berada pada posisi berbaring, maka mendiagnosis pneumotoraks akan
membutuhkan kecermatan, penampakan radiologisnya dapat berbeda dan lebih samar
pada pasien dengan posisi berbaring (contoh: udara pada sudut kostofrenikus, “deep
sulcus” sign). Data dari beberapa studi prospektif menyebutkan bahwa barotrauma
terjadi pada kurang dari 10% kasus ARDS.

2.1.6 Tata Laksana


1. Manajemen hemodinamik
Pendekatan yang optimal terhadap manajemen hemodinamik pasien ARDS
disebutkan oleh beberapa studi yang membandingkan beberapa strategi berbeda.
Sebelum studi-studi tersebut, tidak jelas apakah klinisi harus memberikan diuretik
untuk mengurangi edema paru dengan munculnya kemungkinan terjadi
hipovolemia dan syok atau bebas dalam hal pemberian cairan untuk menjaga
perfusi jaringan. ARDSNet, yaitu sebuah studi RCT (randomized controlled trial)
multisenter yang membandingkan strategi pemberian cairan yang diukur dari
tekanan vena sentral pada 1000 subyek dengan ARDS dengan hasil kelompok
yang diberi perlakuan strategi cairan konservatif dengan tujuan tekanan
intravaskuler yang lebih rendah, menunjukkan perbaikan oksigenasi dan hari
bebas ventilator lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang diberi
perlakuan strategi cairan yang liberal.
Lebih penting lagi, kelompok yang diberi perlakuan strategi cairan
konservatif, angka kejadian dialisis atau syok tidak lebih tinggi daripada
kelompok satunya dan angka kematian pada kelompok ini juga tidak berbeda jauh,
sehingga hasil dari studi ini menyebutkan bahwa pemberian cairan yang
konservatif aman dan lebih menguntungkan untuk pasien dengan ARDS.
Pertama-tama, penting untuk diingat bahwa pasien pada studi ARDSNet
dimasukkan dalam penelitian rata-rata setelah 24 jam terdiagnosis sebagai ALI,
rentang waktunya lebih lama dibandingkan dengan studi oleh Rivers dkk (rentang
waktu 6 jam).
2. Nutrisi
Telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat memperbaiki sistem imun
dan meningkatkan hasil terapi penyakit inflamasi, seperti sepsis dan ARDS.
Strategi yang telah dilakukan antara lain suplementasi arginin, glutamin, asam
lemak 𝜔-3, dan antioksidan.2 Sebuah studi randomized meneliti efek nutrisi
enteral modifikasi yang meliputi pemberian eicosapentaenoic acid, gamma-
linolenic acid, dan bermacam-macam antioksidan dibandingkan dengan nutrisi
enteral kontrol pada pasien dengan ARDS, dengan hasil kelompok yang diberi
nutrisi enteral modifikasi tersebut mengalami perbaikan oksigenasi, pengurangan
jumlah neutrofil pada cairan bilasan alveolar, penurunan lama rawat, dan
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik.
3. Farmakoterapi
Usaha untuk mengembangkan terapi farmakologis untuk ARDS sejauh ini masih
belum berhasil, belum ada farmakoterapi yang secara jelas dapat mengurangi
angka kematian ARDS meskipun telah banyak studi dilakukan untuk meneliti
agen-agen yang potensial.
4. Kortiskoteroid
Berdasarkan patofisiologi inflamasi pada ARDS, telah banyak dilakukan
penelitian tentang kortikosteroid dosis tinggi. Pada beberapa penelitian, tujuannya
adalah untuk mencegah ARDS pada pasien dengan risiko (contoh: syok septik),
sedangkan pada penelitian lain steroid diberikan pada kasus ARDS yang telah
bermanifestasi. Yang umum diberikan adalah Metilprednisolon 30mg/kgBB setiap
6 jam selama 1-2 hari, namun tidak satupun dari penelitian-penelitian tersebut
yang menunjukkan keuntungan dari pemberian steroid, salah satu penelitian
menyebutkan kejadian infeksi yang lebih tinggi pada pasien yang mendapat terapi
steroid.
5. Vasolidator inhalasi
Vasodilator inhalasi, termasuk nitric oxide dan prostacyclin, secara selektif
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang membantu memperbaiki
status oksigenasi tanpa efek samping buruk pada hemodinamik sistemik. Nitric
oxide menyebabkan dilatasi pembuluh darah dengan meningkatkan pengubahan
cyclic guanosine monophosphate yang mengarah pada relaksasi otot polos.
Prostacyclin seperti epoprostenol dan alprostadil bekerja pada reseptor
prostaglandin dengan meningkatkan level cyclic adenosine monophosphate yang
menyebabkan relaksasi pembuluh darah. Selain vasodilatasi, agen-agen ini juga
menyebabkan efek pulmonal dan kardiovaskular yang menguntungkan, seperti
mengurangi tahanan vaskular paru, mengurangi afterload ventrikel kanan, dan
meningkatkan volume sekuncup ventrikel kanan.
6. Nover Therapy (terapi baru)
Sebelumnya telah dibahas bahwa klirens cairan alveolar dipengaruhi oleh
katekolamin. Sebuah studi meneliti efek pemberian salbutamol intravena
dibandingkan dengan plasebo terhadap 40 pasien dengan ARDS. Pasien yang
mendapat salbutamol intravena mengalami pengurangan jumlah cairan di paru,
namun mengalami kejadian aritmia yang lebih tinggi. Studi ini dihentikan lebih
awal karena terdapat peningkatan angka mortalitas pada kelompok pasien yang
mendapatkan salbutamol intravena.
7. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik merupakan terapi standar untuk ARDS dan bertujuan untuk
lifesaving. Tatalaksana ventilator untuk ARDS mengalami banyak perubahan
sejak 20 tahun terakhir, karena bertambahnya penggunaan computed tomography
untuk paru dan pemahaman lebih lanjut terhadap VILI.
ARDS ditandai dengan hipoksemia yang berat, penurunan komplians paru, dan
awalnya diperkirakan mengenai paru secara difus dan homogen sesuai dengan
gambaran pada foto polos. Hal ini menjadi prinsip terapi oksigen pada ARDS,
sehingga tampaknya hanya dengan volume tidal yang besar pasien dapat
mendapatkan ventilasi dan oksigenasi yang cukup. Namun dengan meningkatnya
penggunaan computed tomography, maka diketahui bahwa kelainan pada ARDS
sebenarnya heterogen, menunjukkan opasitas berbercak-bercak di antara jaringan
paru yang tampak normal. Distribusi heterogen jejas ini menyiratkan bahwa
volume tidal yang diberikan pada pasien akan mengembangkan
daerah yang normal (komplians lebih baik) pada paru, sehingga daerah ini akan
lebih rentan mengalami overdistensi dan VILI karena terpajan volume tidal yang
ditujukan untuk paru secara keseluruhan.
Memposisikan pasien ARDS dengan posisi telungkup (prone position) telah
disebutkan dapat memperbaiki oksigenasi.2, 17 Mekanismenya bermacammacam,
namun faktor yang paling penting mungkin adalah efek posisi telungkup terhadap
dinding dada dan komplians paru. Pada posisi tengadah (supine position) bagian
paling posterior dan inferior paru adalah bagian yang paling berat sakitnya pada
kasus ARDS. Selain karena gravitasi, hal ini juga disebabkan oleh berat dari
jantung dan organ abdomen. Saat pasien diposisikan telungkup, maka dinding
toraks anterior akan terfiksasi dan berkurang kompliansnya, sehingga
meningkatkan proporsi ventilasi pada bagian posterior paru. Hasilnya adalah
ventilasi lebih homogen dan memperbaiki ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
2.2 Konsep dasar Keperawatan
2.2.1 Definisi
Sindrom Gawat Nafas Dewasa atau ARDS juga dikenal dengan edema paru
non kardiogenik adalah sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan progesif
kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah Penyakit atau cedera serius.
Dalam sumber lain ARDS merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba
dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat
yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa
factor pretipitasi meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis,
emboli paru, perdarahan dan trauma berbagai bentuk.
Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam
paru(Marmi & Rahardjo, 2012).
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit paru
akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%.

2.2.2 Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit
tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis
menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS
(30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan penderita
mengalami chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan berat
pada epitel alveolar.
2.2.3 Etiologi dan factor Resiko Klinis
Kerusakan Paru tidak langsung
1. Luka berat
2. Sepsis
3. Pancreatitis
4. Shock
5. Transfusi berulang
6. Luka bakar
7. Overdosis Obat-obatan

Kerusakan Paru Langsung


1. Aspirasi asam lambung
2. Asap rokok yang mengandung kokain
3. Terhisap gas beracun
4. Keracunan oksigen
5. Trauma inhalasi

Etiologi ARDS akibat kelainan primer paru dapat terjadi akibat aspirasi, pneumonia,
inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan ektraparu terjadi akibat sepsis,
pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan seperti heroin
Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia baik yang disebabkan oleh
bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat
akibat infeksi lain di luar paru.

Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan terjadinya ARDS adalah
usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma), riwayat merokok,
dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation) yang semakin besar juga meningkatkan risiko kejadian ARDS. Saat ini
faktor risiko yang sedang dipelajari adalah faktor risiko genetik yaitu asosiasi antara
variasi gen (gen FAS) dengan tingkat kejadian ARDS.

2.2.4 Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium
alveolar ini menentukan prognosis.
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh
atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah:
1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang seperti
edema laring dan stenosis subglotis
3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55% kasus
4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
5. Multisystem organ failure
6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang 7.
Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.
2.2.6 Tatalaksana
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru
iatrogenik, mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi jaringan.
1. Terapi Umum
a. Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya)
b. Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis
minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
c. Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretic
2. Terapi Ventilasi
a. Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan simple
mask) untuk mempertahankan PaO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam
beberapa jam.
b. Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang tertimbun di
alveoli dan mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan memperbaiki ventilasi
dan perfusi (V/Q)
c. Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi non-
invasif seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Metode ini
tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan kesadaran atau
dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai peningkatan laju
nafas dan peningkatan PCO2 darah arteri.
d. Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehingga dapat
terjadi rupture alveolus, deplesi surfaktan dan kerusakan pada membra
alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal tersebut maka digunakan volume
tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O,
plateu inspiratory pressure < 30 cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14
cm H2O untuk mencegah atelektasis dan kolaps alveoli.
e. Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Control
f. Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi.
g. Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi kelebihan cairan paru (lung
water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan
menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal ginjal.
h. Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah
sehingga tidak terjadi atelektasis.
i. Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal dan
oksigenasi arteri. Pemberian nitric oxide tidak akan berpengaruh terhadap
tekanan darah sistemik, namun demikian efek samping subproduk NO berupa
peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh karena
itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi
hipoksemia akut yang refrakter terhadap tindakan suportif yang diberikan.

2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

ASUHAN KEPERAWATAN ARDS

1.1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas pada klien diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Keluhan menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan dari tim Kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam
melengkapi pengkajian.
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
- Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam
melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam
melakukan pernapasan?
- Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
- Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
- Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan
atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau
hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala
timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul
(onset).
-
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien
pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh
klien pada masa lalu. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji
lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan
terakhir. Penurunan BB pada klien dengan ARDS berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual.

d. Pengkajian primer
1. Airway : Mengenali adanya sumbatan jalan napas
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
c. Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
d. Jalan napas bersih atau tidak
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Frekuensi pernapasan : cepat
c. Sesak napas atau tidak
d. Kedalaman Pernapasan
e. Retraksi atau tarikan dinding dada atau tidak
f. Reflek batuk ada atau tidak
g. Penggunaan otot Bantu pernapasan
h. Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak
i. Irama pernapasan : teratur atau tidak
j. Bunyi napas Normal atau tidak
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
a. Keadaan umum : GCS, kesadaran, nyeri atau tidak
b. adanya trauma atau tidak pada thorax
c. Riwayat penyakit dahulu / sekarang
d. Riwayat pengobatan
e. Obat-obatan / Drugs

Pemeriksaan fisik
1. Mata 
a. Konjungtiva pucat (karena anemia)
b. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
c. Konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)
2. Kulit 
a. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
b. Sianosis secara umum (hipoksemia)
c. Penurunan turgor (dehidrasi)
d. Edema 
e. Edema periorbital
3. Jari dan kuku
a. Sianosis 
b. Clubbing finger
4. Mulut dan bibir 
a. Membrane mukosa sianosis
b. Bernafas dengan mengerutkan mulut 
5. Hidung 
Pernapasan dengan cuping hidung
6. Vena leher : Adanya distensi/bendungan 
7. Dada 
a. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan, dispnea,
atau obstruksi jalan pernafasan)
b. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan 
c. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati saluran
/rongga pernafasan)
d. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
e. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub, /pleural
friction)
f. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
8. Pola pernafasan 
a. Pernafasan normal (eupnea)
b. Pernafasan cepat (tacypnea)
c. Pernafasan lambat (bradypnea)

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
napas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveoli, penumpukan
cairan di alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
3. Ketidakefeektifan pola napas berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan secret, penurunan kemampuan untuk oksigenasi, kelelahan
.
2.3.1 Rencana Keperawatan

1.2. INTERVENSI KEPERAWATAN


NO.
TUJUAN / KH (NOC) INTERVENSI (NIC) RASIONAL
DX
I Setelah diberikan tindakan 1. Monitor fungsi pernapasan, 1. Penggunaan otot-otot intercostal
keperawatan kebersihan jalan napas Frekuensi, irama, kedalaman, bunyi /abdominal /leher dapat
efektif. Dengan kriteria hasil : dan penggunaan otot tambahan. meningkatkan usaha dalam bernafas
a. Mencari posisi yang nyaman 2. Berikan Posisi semi Fowler 2. Pemeliharaan jalan nafas dengan
yang memudahkan peningkatan 3. Berikan terapi O2 paten
pertukaran udara. 4. Lakukan suction 3. Mengeluarkan secret meningkatkan
b. Mendemontrasikan batuk efektif. 5. Berikan fisioterapi dada transport oksigen
c. Menyatakan strategi untuk 4. Untuk mengeluarkan secret
menurunkan kekentalan sekresi. 5. Meningkatkan drainase sekret paru,
peningkatan efisiensi penggunaan
otot-otot pernafasan
2 Meningkatkan pertukaran gas yang 1. Kaji status pernapasan , catat 1. Takipneu adalah mekanisme kompensasi
adekuat . peningkatan respirasi dan perubahan untuk hipoksemia dan peningkatan
pola napas . usaha nafas
2. Kaji adanya sianosis dan Observasi 2. Selalu berarti bila diberikan oksigen
kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum
3. Berikan istirahat yang cukup dan cyanosis muncul
nyaman 3. Menyimpan tenaga pasien, mengurangi
4. Berikan humidifier oksigen dengan penggunaan oksigen
masker CPAP jika ada indikasi 4. Memaksimalkan pertukaran oksigen
5. Berikan obat-obat jika ada indikasi secara terus menerus dengan tekanan
seperti steroids, antibiotik, yang sesuai
bronchodilator dan ekspektorant 5. Untuk mencegah kondisi lebih buruk
pada gagal nafas.
3 Kebutuhan cairan klien terpenuhi 1. monitor vital signs seperti tekanan 1. Berkurangnya volume/keluarnya cairan
dan kekurangan cairan tidak terjadi darah, heart rate, denyut nadi dapat meningkatkan heart rate,
(jumlah dan volume). menurunkan TD, dan volume denyut
2. Amati perubahan kesadaran, turgor nadi menurun
kulit, kelembaban membran mukosa 2. Mempengaruhi perfusi/fungsi cerebral.
dan karakter sputum. Deficit cairan dapat diidentifikasi
3. Hitung intake, output dan balance dengan penurunan turgor kulit,
cairan. Amati “insesible loss” 3. Keseimbangan cairan negatif merupakan
4. Timbang berat badan setiap hari indikasi terjadinya deficit cairan.
5. Berikan cairan IV dengan observasi 4. Perubahan yang drastis merupakan
ketat tanda penurunan total body wate
5. mempertahankan/memperbaiki volume
sirkulasi dan tekanan osmot
BAB 3
KESIMPULAN
1.1. Kesimpulan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi
paru yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
vaskular paru, peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara,
dengan hipoksemia dan opasitas bilateral pada pencitraan, yang dihubungkan dengan
peningkatan shunting, peningkatan dead space fisiologis, dan berkurangnya compliance
paru.
Diagnose keperawatan yang ditemukan yaitu:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
napas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan napas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveoli, penumpukan
cairan di alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli
3. Ketidakefeektifan pola napas berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,
peningkatan secret, penurunan kemampuan untuk oksigenasi, kelelahan
DAFTAR PUSTAKA

ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrome, The Berlin Definition.
JAMA. 2012;307(23).
Amin Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Dahlan Z, Amin Z, Soeroto AY, editors.
Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. Bandung: PERPARI (Perhimpunan
Respirologi Indonesia); 2013.
Bakhtiar Arief, Arusita Rena Maranatha(2018). Acute Respiratory Distress Syndrome.
Universitas Airlangga. Jurnal Respirasi
Ina (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome. Ina J CHEST Crit and Emerg Med.

Anda mungkin juga menyukai