Anda di halaman 1dari 122

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF (ROP)

TERHADAP KECEMASAN PASIEN CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD) DENGAN HEMODIALISIS
DI RUMAH SAKIT EMC TANGERANG

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar
Sarjana Keperawatan

Oleh:
IIM ROHIMAH
NPM : 11192072

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
TAHUN 2021
SKRIPSI

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF (ROP)


TERHADAP KECEMASAN PASIEN CHRONIC KIDNEY
DISEASE(CKD) DENGAN HEMODIALISIS
DI RUMAH SAKIT EMC TANGERANG

Dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian


tugas akhir pada Program S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Oleh:
IIM ROHIMAH
NPM : 11192072

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
TAHUN 2021

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Penelitian dengan judul:

Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Kecemasan (ROP)


pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Hemodialisis
Di Rumah Sakit EMC Tangerang

Laporan hasil penelitian ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan


dihadapan tim penguji ProgramStudi S1 Keperawatan

Tangerang,17 Februari 2021

Menyetujui,
Pembimbing Skripsi

Ns.Tati Suryati, M.Kep., Sp.Kep.J

Mengetahui,

Ka. Prodi S1 Keperawatan

Ns. Wasijati, S.Kp., M.Si., M.Kep.

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan hasil penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif
terhadap Kecemasan (ROP) pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
Hemodialisis Di Rumah Sakit EMC Tangerang”, ini telah diujikan dan dinyatakan
Lulus dalam ujian sidang dihadapan Tim Penguji pada tanggal 17 Februari 2021

Pembimbing,

(Ns.Tati Suryati, M.Kep., Sp.Kep.J)

Penguji I,

(Ns. Achirman, S.Kep.,SKM,M.Kep.)

Penguji II,

(Dr. Lenny Rosbi R., SKp., M.Si., M.Kep.)

iv
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

IIM ROHIMAH
11192072

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF (ROP)


TERHADAP KECEMASAN PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
DENGAN HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT EMC TANGERANG

VII Bab + 76 halaman + 8 tabel + 3 skema + 1 gambar + 3 lampiran

ABSTRAK

Kecemasan merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien Chronic


Kidney Disease (CKD) yang menjalani terapi dialysis. Tujuan penelitian untuk
mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif (ROP) terhadap kecemasan
pada pasien CKD dengan hemodialisis. Metode penelitian kuantitatif dengan
pendekatan quasy experiment menggunakan one group pre and posttest yang
dilakukan pada 18 responden. Hasil penelitian didapatkan tingkat kecemasan pre
tes yaitu cemas sedang 61% dan cemas ringan 28%. Tingkat cemas post test
didapatkan cemas sedang 56% dan cemas ringan 44%. Hasil uji statistik
menggunakan paired t-test (t-dependen) didapatkan ada pengaruh pemberian
teknik relaksasi otot progresif (ROP) terhadap kecemasan pasien CKD yang
menjalani hemodialysis (p-value= 0,001). Perawat perlu memberikan teknik ROP
untuk menangani masalah kecemasan pada pasien hemodialisis.

Kata kunci : Chronic Kidney Disease (CKD), hemodialysis, kecemasan,


relaksasi otot progresif (ROP).
Daftar Pustaka : 66 (2009-2020)

v
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
PROGRAM STUDY OF NURSING

IIM ROHIMAH
11192072

THE EFFECT OF PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION TECHNIQUES


(ROP) ON CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) PATIENTS WITH
HEMODIALYSIS IN EMC TANGERANG HOSPITAL
VII Chapter + 76 pages + 8 tables + 3 schemes + 1 picture + 3 attachments

ABSTRACT

Anxiety is a problem that is often found in patients with Chronic Kidney Disease
(CKD) who are undergoing dialysis therapy. The aim of the study was to
determine the effect of progressive muscle relaxation (PMR) techniques on
anxiety in CKD patients with hemodialysis. Quantitative research methods with a
quasy experimental approach using one group pre and posttest design on 18
respondents. The results showed that the level of pre-test anxiety was 61%
moderate anxiety and 28% mild anxiety. Post-test anxiety level was 56%
moderate anxiety and 44% mild anxiety. The results of statistical tests using
paired t-test (t-dependent) showed that there was an effect of progressive muscle
relaxation (PMR) on the anxiety of CKD patients undergoing hemodialysis (p-
value = 0.001). Nurses need to provide PMRP techniques to deal with anxiety
problems in hemodialysis patients.

Keyword : Chronic Kidney Disease (CKD), hemodialysis, anxiety,


progressive muscle relaxation (PMR).

Bibliography : 66 (2009-2020)

vi
PERNYATAAN NON PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Iim Rohimah
NIM : 11192072
Institusi : STIKes PERTAMEDIKA

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi Otot


Progresif terhadap Kecemasan (ROP) pada Pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) dengan Hemodialisis di Rumah Sakit EMC Tangerang” adalah bukan hasil
karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk
kutipan yang telah disebutkan sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila


pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademis.

Tangerang,17 Februari 2021


Yang Menyatakan,

Materai 6.000

(Iim Rohimah)

vii
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Sebagai civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA


(STIKes PERTAMEDIKA), saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Iim Rohimah


NPM : 11192072
Program Studi : S1 Keperawatan
Institusi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA
Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA Hak Bebas Royalti Nonekslusif
(Non-exclusive Royalty Free Right ) atas skripsi saya yang berjudul:

Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Kecemasan (ROP )pada


Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan Hemodialisis Di Rumah Sakit
EMC Tangerang.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini STIKes PERTAMEDIKA berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (Database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.


Dibuat di : Tangerang
Pada Tanggal : 17 Februari 2021

Yang Menyatakan

Iim Rohimah

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judul
“Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Kecemasan pada Pasien
CKD dengan Hemodialisis di RS EMC Tangerang”.Penelitian ini dibuat untuk
memenuhi tugas akhir mata ajar Skripsi pada Program Studi S1 Keperawatan –
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. Peneliti menyadari bahwa
banyak pihak yang turut membantu sejak awal penyusunan sampai selesainya
penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Fathemah Djan Rachmat, SpB, Sp.BTKV(K), MPH., selaku Direktur
Utama PERTAMEDIKA/IHC dan Pembina Yayasan Pendidikan PERTAME
DIKA.
2. Asep Saefullah, SH, MM,CHRP, CHRA., selaku Ketua Pengurus Yayasan
Pendidikan PERTAMEDIKA.
3. Ns. Maryati, S.Kep., S.Sos., MARS, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan PERTAMEDIKA.
4. Dr. Lenny Rosbi Rimbun, S.Kp., M.Si., M.Kep., selaku Wakil Ketua I
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
5. Sri Sumartini, SE, MM, selaku Wakil Ketua II Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan PERTAMEDIKA.
6. Ns. Achirman, S.Kep.,SKM,M.Kep,selaku Wakil Ketua III Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA sekaligus sebagai penguji Proposal
penelitian.
7. Wasijati, S.Kp., M.Si., M.Kep.,selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
8. Ns.Tati Suryati, M.Kep., Sp.Kep.J, selaku Pembimbing Skripsi yang dengan
kesabaran dan kebaikannya telah membimbing penulis selama proses
penelitian.
9. Ns. Achirman, S.Kep.,SKM.,M.Kep., selaku Dosen Penguji I Sidang Skripsi
yang ikut membantu membimbing proses penelitian ini.

ix
10. Dr. Lenny Rosbi Rimbun, S.Kp., M.Si., M.Kep, selaku Dosen Penguji II
sidang skripsi yang ikut membantu membimbing proses penelitian ini.
11. Dr. Clara Pelita Sri Hexanini, MARS., selaku Direktur Rumah Sakit EMC
Tangerang tempat penelitian.
12. Para Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
13. Terima kasih secara istimewa untuk Suami saya Akhiridon Pohan yang selalu
mendukung dan mendoakan saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga
laporan penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
14. Orang tua saya yang selalu mendukung dan mendoakan saya dalam
melakukan penelitian ini, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai sesuai
dengan waktunya.
15. Teman-teman Angkatan XIII, Program Studi S1 Keperawatan - Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
16. Terima kasih untuk sahabat saya Rita kosasih,Amk yang ikut membantu
dalam proses penelitian ini.
17. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut
berpartisipasi sehingga penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini banyak sekali


kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
demi perbaikan penulisan dan penyusunan hasil penelitian dimasa mendatang.

Tangerang, 17 Februari 2021

Peneliti

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i
HALAMAN JUDUL........................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. iv
ABSTRAK........................................................................................................ v
PERNYATAAN NON PLAGIAT................................................................... vii
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.......................................... viii
KATA PENGANTAR...................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii
DAFTAR SKEMA........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi

BABI : PENDAHULUAN.......................................................................
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Perumusan Masalah............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian................................................................. 9

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN...................................................


A. Konsep CKD.......................................................................... 10
B. Cemas.................................................................................... 18
C. Relaksasi Otot Progresif (ROP)............................................. 27
D. Penelitian Terkait................................................................... 31
E. Kerangka Teori Penelitian..................................................... 35

BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, dan DEFINISI


OPERASIONAL..........................................................................
A. Kerangka Konsep................................................................... 36
B. Hipotesis................................................................................ 37
C. Definisi Operasional.............................................................. 38

BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN..................................................


A. Desain Penelitian................................................................... 42
B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel.............. 43
C. Tempat Penelitian.................................................................. 46
D. Waktu Penelitian.................................................................... 46
E. Etika Penelitian...................................................................... 46
F. InstrumenPenelitian............................................................... 48

xi
G. Prosedur Pengumpulan Data.................................................. 50
H. Pengolahan dan Analisis Data............................................... 52

BAB V : HASIL PENELITIAN


A. Hasil Univariat..................................................................... 59
B. Hasil Bivariat........................................................................ 63

BAB VI : PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat dan Bivariat............................................. 64
B. Keterbatasan Penelitian......................................................... 73

BAB VII : PENUTUP


A. Simpulan................................................................................ 74
B. Saran...................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan GFR.................... 10


Tabel 2.2 Klasifikasi CKDBerdasarkan Albuminuria................................... 11
Tabel 2.3 Penyebab Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia............................ 12
Tabel 2.4 Tatalaksana CKD.......................................................................... 15
Tabel 3.1 Definisi Operasional...................................................................... 38
Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas...................................................................... 56
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur..................................... 59
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin........................ 60
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan............................ 60
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan............................... 61
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Menjalani HD............. 61
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Cema
s Sebelum Intervensi ROP.............................................................
62
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Cema
s Sesudah Intervensi ROP.............................................................
62
Tabel 5.7 Pengaruh Teknik ROP terhadap Tingkat Cemas...........................
63

xiii
DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian....................................................... 35


Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian................................................... 37
Skema 4.1 Desain Penelitian..................................................................... 43

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Dialisat dan Proses Hemodialisis............................................ 17

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Lembar Penjelasan Penelitian


Lampiran II Persetujuan Penelitian
Lampiran III Kuesioner Penelitian A
Lampiran IV Kuesioner Penelitian B
Lampiran V Lembar SOP
Lampiran VI Hasil SPSS
Lampiran VII Lembar foto tindakan ROP
Lampiran VIII Daftar Riwayat Hidup

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gagal ginjal kronis (CKD) merupakan gangguan yang dikaitkan dengan


penurunan fungsi ginjal secara progresif dan bersifat ireversibel. Pada kondisi
stadium lanjut dan mengancam nyawa, penyakit ini dikenal dengan End Stage
Renal Disease (ESRD) yang membutuhkan terapi penggantian ginjal
(replacement renal therapy/ RRT)(Cedeño, et al., 2020; Lew, et al., 2016).
Dialysis merupakan metode terapeutik yang paling umum untuk pasien ESRD
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2014). ESRD dan dialysis menimbulkan
dampak negatif pada kualitas hidup pasien yang berhubungan dengan masalah
kesehatan, penyakit komorbiditas, beban ekonomi, sosial dan dampak
psikologis (Heshmati Far, et al., 2020).

Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) merupakan masalah kesehatan global


yang sangat besar. Terapi pengganti ginjal fungsional (RRT) yang diberikan
dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialysis jangka panjang menimbulkan
kerugian yang sangat besar pada pasien, sistem pelayanan kesehatan, dan
masyarakat secara umum. Dialysis sebagai terapi pengganti organ telah diakui
sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam sejarah teknologi kesehatan.
Namun, terapi dialysis mahal, memberatkan, dan jauh dari solusi ideal untuk
gagal ginjal (Wetmore& Collins, 2019). Disisi lain, ESRD merupakan kondisi
parah sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal untuk menjaga kesehatan
dan mempertahankan fungsi kehidupan.

Jumlah pasien ESRD di seluruh dunia meningkat secara signifikan. Menurut


laporan global, kejadian ESRD telah meningkat 16-32% dalam enam tahun
terakhir di beberapa negara di dunia (Trillini, Perico, & Remuzzi, 2017).
Insiden dan prevalensi CKD tidak merata di seluruh dunia. Pada kenyatannya
masih terdapat kesenjangan yang besar terkait epidemiologi pada masyarakat
miskin, populasi minoritas, dan negara berkembang. Mortality diproyeksikan
mengalami kenaikan karena populasi dan pertumbuhan lansia yang meningkat.

1
2

Peningkatan prevalensi pada individu yang lebih tua dihubungkan dengan


peningkatan angka kejadian diabetes dan hipertensi (Kanda, et al., 2018).

Laporan statistik tentang prevalensi ESRD dan dialysis bervariasi diberbagai


wilayah didunia. Jumlah pasien ESRD diperkirakan meningkat hampir 60%
pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2005. Di Timur Tengah, jumlah
total pasien ESRD sekitar 100.000, dengan prevalensi rata-rata 430 per juta
penduduk (Bayoumi, et al., 2013).Pada tahun 2012, di Amerika Serikat,
402.514 pasien ESRD menerima terapi hemodialysis. Sebanyak 40.605 pasien
dirawat dengan dialisis peritoneal dan 175.978 menjalani transplantasi ginjal.
Prevalensi CKD di seluruh dunia mencapai 10%-13% dari populasi di
Norwegia, Taiwan, Iran, Jepang, Korea Selatan, Cina, Kanada, dan India.

Data di Amerika Latin menunjukkan prevalensi ESRD berkisar dari 1.019 pjp
di Uruguay dan 34 pjp di Honduras. Sedangkan data di Afrika jauh lebih
sedikit yang diketahui dengan prevalensi ESRD tertinggi di Tunisia sebanyak
713 pjp dan Mesir sebanyak 669 pjp (Trillini, Perico, & Remuzzi, 2017).
Sedangkan untuk prevalensi ESRD di seluruh dunia berkisar dari 2.447 kasus
pasien per juta populasi (pjp) di Taiwan, dan 10 kasus pjp di Nigeria yang
dilaporkan (Perico &Remuzzi, 2015).Sebuah studi yang dilakukan oleh
Thomas, et al. (2015) menunjukkan bahwa prevalensi dan insiden dialisis
secara global akibat ESRD telah meningkat dari 1,7 menjadi 2,1 kali lipat dari
tahun 1990 hingga 2010.

Prevalensi hemodialysis di Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan angka


66.433 pasien baru. Sedangkan pasien lama berjumlah 1.321.142 kasus
(Pernefri, 2018). Terjadi peningkatan yang sangat signifikan jika dibanding
tahun sebelumnya yaitu 30.831 pasien baru dan 77.892 pasien lama tahun
2017. Hal ini disebabkan adanya perbaikan pada system pelaporan yang
dilakukan Pernefri. Jumlah kasus pasien hemodialysis di Provinsi Banten pada
tahun 2018 sebanyak 1.073 pasien baru. Sedangkan jumlah pasien yang
melakukan hemodialysis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit EMC sebanyak
kurang lebih 702 pasien pada kurun waktu Juli-September 2020.
3

Hemodialisis merupakan pengobatan invasif dan kompleks pada pasien


ESRD.Pasien mengunjungi unit layanan dialysis dua sampai tiga kali
seminggu untuk melakukan cuci darah. Untuk alasan ini, perubahan signifikan
terjadi pada pola hidup pasien. Pasien mungkin mengalami kelelahan dan
penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Semaan,
Noureddine & Farhood, 2018). Pasien dihadapkan pada masalah dan efek
samping pengobatan yang berkepanjangan dari waktu ke waktu.Pasien akan
mengalami stress kronis yang berasal dari beban ekonomi penyakit,
pembatasan diet yang ketat, dan pembatasan lainnya (Hassanzadeh, Kiani,
Bouya & Zarei, 2018).

Seiring perkembangan penyakit gagal ginjal yang membutuhkan dialisis,


pasien mulai mengalami banyak gangguan. Gangguan dapat berupa penurunan
fungsi tubuh dan dampak psikologis. Kehilangan fungsi ginjal yang diambil
alih oleh dialysis berdampak sistemik. Beban penyakit yang ditimbulkan dapat
melemahkan system tubuh lainnya seperti anemia dan penyakit tulang
(Mitema & Jaar, 2016).Selain itu, pasien dengan ESRD mengalami banyak
keluhan termasuk penurunan fungsi fisik dan mobilitas, toleransi terhadap
aktivitas, kelelahan, pruritus, insomnia dan kram yang mempengaruhi kualitas
hidup(Ma & Li, 2016; Moledina & Perry, 2015).

Dampak psikologis yang dirasakan pasien sangat komplek. Pada umumnya


ESRD menyerang pasien pada usia dewasa yang merupakan usia produktif
dengan berbagai peran di keluarga dan masyarakat. ESRD mengakibatkan
pasien kehilangan peran utama dalam keluarga dan dalam pekerjaan. Pasien
akan menjadi beban bagi keluarga dan lingkungan. Selain itu, pasien mulai
mengalami berbagai stresor seperti keterbatasan pola makan dan pola
aktivitas, jadwal rutin hemodialysis, rawat inap berulang akibat komplikasi,
dan dihadapkan pada prognosis masa hidup yang singkat
(Semaan,Noureddine&Farhood, 2018).

Pasien yang menjalani terapi dialysis, rentan mengalami kecemasan. Banyak


faktor yang menyebabkan pasien dialysis mengalami kecemasan. Kombinasi
stres dan gejala fisik serta beban hidup menjadi kontributor dalam
4

meningkatkan kecemasan pasien dialysis. Berdasarkan penelitian yang


dilakukan Hassanzadeh, et al., (2018) menyimpulkan bahwa kelelahan dan
kecemasan merupakan masalah utama yang menyerang hampir semua pasien
dialisis. Kecemasan dan dampak psikologis lainnya akibat ESRD akan
memperburuk komplikasi lain termasuk penyakit kardiovaskular, hipertensi,
kadar kolesterol tinggi, obesitas, dan bahkan kematian (Kanda, et al., 2018).

Kecemasan merupakan gejala umum yang ditemukan pada pasien ESRD yang
menjalani perawatan dialysis. Kecemasan berdampak pada pola pikir dan
pandangan pasien tentang kehidupan. Kecemasan memiliki hubungan yang
nyata terhadap penurunan kualitas hidup pasien dialysis (Macaron et al.,
2014). Pasien dihadapkan pada posisi untuk beradaptasi terus-menerus
terhadap stres kronis, mengubah perspektif tentang hidup dan mati,
penggunaan mekanisme koping yang berlebihan untuk menghadapi
kehilangan, dan pengendalian diri karena berbagai keterbatasan (Heshmati
Far, et al., 2020). Pasien mengalami ketidakpastian karena sebagian fungsi
kehidupan diambil alih oleh mesin hemodialysis.

Angka kecemasan pada pasien dialysis relatif bervariasi. Sebuah tinjauan


literature review yang menyelidiki 55 penelitian mendokumentasikan
prevalensi gejala kecemasan pada pasien ESRD antara 12% sampai 52%
(Murtagh, Addington-Hall, & Higginson, 2007). Studi yang dilakukan
Preljevic, et al. (2013) melaporkan prevalensi kecemasan sebesar 45,7%.Data
lain menunjukkan bahwa 45% dari 51 pasien yang menjalani hemodialisis di
salah satu rumah sakit di Lebanon mengalami gejala kecemasan
(Semaan,Noureddine&Farhood, 2018). Sedangkan Schouten, et al., (2020)
menyimpulkan bahwa prevalensi gejala kecemasan pasien dialysis berkisar
antara 22% hingga 53% dan membuktikan bahwa sejumlah literature
mengakui relevansi klinis gejala kecemasan.

Tingkat kecemasan yang dirasakan pasien yang sedang menjalani hemodialisis


relatif bervariasi. Hasil penelitian Silaen (2018) pada 45 pasien di Medan
menggambarkan 15 (33,3%) menglami cemas ringan, 22 (48,9%) cemas
sedang, 5 (11,1%) cemas berat, dan 3 (6,7%) mengalami cemas berat sekali.
5

Sedangkan penelitian Wakhid & Suwanti yang menyelidiki kecemasan pada


88 pasien hemodialysis menunjukkan 11 (12,5%) tidak cemas, 27 (30,7%)
cemas ringan, 20 (22,7%) cemas sedang, dan 30 (34,1%) mengalami cemas
berat. Penelitian lain mendeskripsikan tingkat cemas pada pasien saat
ditetapkan perlu hemodialysis menunjukkan 2 pasien (7,7%) tidak cemas, 9
pasien (34,6%) ringan-sedang, dan 15 pasien (57,7%) berat-sangat berat
Sopha & Wardani (2016).

Penelitian yang dilakukan Pramono, Hamranani, & Sanjaya(2019)pada 20


pasien hemodialysis di RS Pemerintah di Jawa Tengah menunjukkan seluruh
pasien mengalami kecemasan dan setelah dilakukan intervensi relaksasi,
terjadi penurunan kecemasan sebanyak 70%. Penelitian lain yang dilakukan
pada 59 pasien hemodialysis di salah satu RS Pemerintah di Yogyakarta
didapatkan 57.9% mengalami kecemasan (Lestari, 2017). Sedangkan
penelitian di RS di Banjarmasin-Kalimantan yang melibatkan 183 pasien
hemodialysis menunjukkan 100% pasien mengalami stress ringan (Kamil,
Agustina, &Wahid, 2018).

Kecemasan pada pasien dialysis belum ditangani dengan optimal. Biasanya


perawat gagal mengenali gejala kecemasan yang terjadi pada pasien dialysis.
Perawat menganggap gangguan kecemasan sebagai bagian dari pengalaman
pasien ESRD, sehingga masalah kecemasan tidak terdiagnosis dan tidak
mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat (Feroze et al., 2010). Situasi ini
menempatkan pasien hemodialisis pada risiko morbiditas lebih lanjut dan
penurunan kualitas hidup. Studi Schouten, et al., (2020) menemukan bahwa
kecemasan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup yang pada
gilirannya juga dikaitkan dengan kematian.

Mengurangi kecemasan telah menjadi tantangan tersendiri bagi profesi


keperawatan. Perawat di unit layanan dialysis dituntut untuk memiliki
kemampuan mengidentifikasi dengan benar keadaan psikopatologis pasien
terutama terhadap kecemasan.Tidak melakukan tatalaksana yang benar
terhadap kecemasan pasien akan memberikan beban yang mahal karena
dampak negatif pada aspek fisik dan psikologis (Morais, Moreira,
6

&Winkelmann, 2020).Studi Cohen, Cukor, & Kimmel (2016) menyatakan


bahwa pendekatan tim yang mencakup psikolog, psikiater, dokter, perawat
atau pekerja sosial diperlukan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis, dan
mengobati kecemasan pasien dialysis secara komprehensif.

Para profesional pemberi asuhan yang terlibat dalam perawatan pasien dialysis
menyadari kemungkinan peningkatan kecemasan pada pasien. Sebagianbesar
mengandalkan penggunaan obat penenang sebagai antianxiety utama, dengan
harapan bahwa proses adaptasi bertahap akan memungkinkan pasien
mengatasi ketegangan terkait dialysis (Cohen, Cukor, & Kimmel,
2016).Perawat sebagai profesi mandiri memiliki modalitas tatalaksana
manajemen kecemasan. Salah satu alternatif yang ditawarkan yaitu sejumlah
teknik relaksasi yang bertujuan untuk memberikan pasien kemampuan
mengelola tingkat kecemasannya sendiri. Teknik relaksasi otot progresif
merupakan pilihan yang dapat diberikan untuk mengurangi kecemasan pasien
dialysis (Heshmati Far, et al., 2020; Pramono, Hamranani, & Sanjaya, 2019).

Relaksasi otot progresif merupakan intervensi yang mengatur aktivitas


fisiologis dari berbagai system imun.Selama relaksasi, tubuh berubah dari
keadaan tegang ke keadaan relaksasi yang berhubungan dengan menurunnya
laju pernapasan, tekanan darah, detak jantung dan suhu tubuh yang
mengakibatkan berkurangnya kecemasan (Harorani, Davodabady, Masmouei,
& Barati, 2019). Terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu metode
relaksasi yang meredakan respons stres dengan cara merelaksasikan dan
melemaskan ketegangan otot (Sadeghimoghaddam, Alavi, Mehrabi,
Bankpoor-Fard, 2019). Relaksasi otot progresif adalah metode pelatihan yang
aman, mudah digunakan, dan hemat biaya (Bostani, Rambod, Sabaghzadeh, &
Torabizadeh, 2020).

Kebanyakan pasien dialisis ditemukan memiliki masalah dengan kecemasan,


dan latihan relaksasi otot progresif telah dibuktikan efektif dengan pasien
dengan penyakit kronis lainnya (Harorani, Davodabady, Masmouei, & Barati,
2019). Penelitian ini dirancang untuk menguji hipotesis bahwa latihan
relaksasi otot progresif merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi
7

kecemasan pada pasien dialisis. Dari studi pendahuluan melalui observasi dan
wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 pasien diruang hemodialisa
diperoleh hasil 7 (70%) pasien mengalami kecemasan dan 3 pasien (30%)
mengalami kelelahan dan kebosanan. Pasien mengeluh merasa takut untuk
dilakukan penusukan jarum, takut menggigil saat menjalani hemodialisa,
pasien tampak kebingungan, expresi wajah tampak tegang. Mengingat semua
Pasien yang menjalani terapi hemodialysis mengalami kecemasan, maka perlu
dilakukan tindakan untuk mengatasi kecemasan dengan melakukan teknik
relaksasi. Relaksasi digunakan untuk menenangkan pikiran dan melepaskan
ketegangan. Salah satu teknik relaksasi yang dapat digunakan adalah relaksasi
otot progresif. Berdasarkan fenomena tersebut sehingga peneliti tertarik untuk
meneliti “Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kecemasan
Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Dengan Hemodialisis di RS
EMC Tangerang”.

B. Perumusan Masalah
Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) merupakan masalah kesehatan global
yang memerlukan terapi pengganti ginjal fungsional. Hemodialysis
merupakan salah satu cara mengambil alih fungsi ginjal untuk
mempertahankan kehidupan, namun menimbulkan kerugian yang sangat besar
bagi pasien, sistem pelayanan kesehatan, dan masyarakat secara umum. Pasien
yang menjalani terapi rutin hemodialysis akan mengalami perubahan
signifikan pada pola hidup. Pasien dihadapkan pada masalah dan efek
samping pengobatan yang berkepanjangan dari waktu ke waktu. Pasien akan
mengalami stress kronis yang berasal dari beban ekonomi, kelelahan,
pembatasan diet yang ketat, jadwal rutin hemodialysis, rawat inap berulang
akibat komplikasi, dan dihadapkan pada prognosis masa hidup yang singkat.
Dampak psikologis yang dirasakan pasien sangat komplek.

Pasien yang menjalani terapi dialysis, rentan mengalami kecemasan.


Kombinasi stres dan gejala fisik serta beban hidup menjadi kontributor dalam
meningkatkan kecemasan pasien dialysis. Kecemasan yang tidak ditangani
dengan baik akan berdampak pada peningkatan komorbiditas dan penurunan
kualitas hidup pasien.Dari studi pendahuluan melalui observasi dan
8

wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 pasien diruang hemodialisa


Rumah Sakit EMC Tangerang diperoleh hasil 7 (70%) pasien mengalami
kecemasan dan 3 (30%) pasien mengalami kelelahan dan kebosanan. Pasien
mengeluh merasa takut untuk dilakukan penusukan jarum, takut menggigil
saat menjalani hemodialisa, pasien tampak kebingungan, ekspresi wajah
tampak tegang. Perawat sebagai profesi mandiri memiliki modalitas
tatalaksana kecemasan.Salah satu alternatif untuk menurunkan tingkat
kecemasan pasien hemodialysis adalah teknik relaksasi otot progresif. Teknik
relaksasi otot progresif menjadi pilihan karena metode pelatihan yang
ditawarkan aman, mudah digunakan, dan hemat biaya. Berdasarkan fenomena
tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut “Apakah
ada pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap kecemasan pada Pasien
Chronic Kidney Disease (CKD) dengan hemodialisis di Rumah Sakit EMC
Tangerang?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif (ROP) terhadap
kecemasan pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
hemodialisis di Rumah Sakit EMC Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, lama menjalani terapi dialysis) di Rumah Sakit EMC
Tangerang.
b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan sebelum dilakukan intervensi
teknik relaksasi otot progresif (ROP) pada pasien hemodialisis di
Rumah Sakit EMC Tangerang.
c. Mengidentifikasi tingkat kecemasan setelah dilakukan intervensi teknik
relaksasi otot progresif (ROP) pada pasien hemodialisis di Rumah Sakit
EMC Tangerang.
9

d. Menganalisis pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap


kecemasan pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dengan
hemodialisis di RS EMC Tangerang

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai pengaruh teknik
relaksasi otot progresif terhadap kecemasan pada pasien Chronic Kidney
Disease (CKD) dengan hemodialisis sehingga pelayanan keperawatan
dapat lebih berkualitas.

2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan


Penelitian ini dapat menjadi masukkan dalam memberikan modalitas
asuhan keperawatan, khususnya dalam penatalaksanaan pasien
hemodialisis yang mengalami kecemasan.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Konsep CKD (Chronic Kidney Disease)


1. Pengertian CKD
Chronic Kidney Disease atau penyakit ginjal kronik adalah keadaan
patologis yang ditandai dengan kelainan struktural maupun fungsional
ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan dengan Glomerular Filtrate
Rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2(KDIGO,2012).Pada CKD
didapatkan kelainan komposisi darah, urin maupun kelainan tes pencitraan
(imaging). CKD merupakan keadaan dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal secara bertahap dan bersifat ireversibel yang pada akhirnya akan
terjadi kerusakan total fungsi ekskresi yang dapat mengancam jiwa.
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (CKD)
adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan
uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya) yang beredar dalam darah
(Brunner & Suddarth, 2015).

2. Klasifikasi CKD
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)
(2012),CKD diklasifikasikan menjadi lima stadium berdasarkan
penurunan GFR:
Tabel 2.1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan GFR
GFR
Stadium Deskripsi
(mL/min/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal ≥ 90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60-89
ringan
3a Kerusakan ginjal dengan penurunan 45-59
GFR ringan sampai sedang
3b Kerusakan ginjal dengan penurunan 30-44
GFR sedanghingga berat
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan 15-29
berat GFR
5 Gagal ginjal < 15

10
11

Sumber: KDIGO, 2012.


Berdasarkan peningkatan albumin dalam urin, KDIGO 2012,
mengklasifikasikan CKD menjadi tiga kategori. Klasifikasi tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2. Klasifikasi CKDBerdasarkan Albuminuria
AER (Albumin ACR (Albumin creatinine
Penjelasan
Kategori excretion rate) ratio)
(albuminuria)
Mg/24 jam Mg/mmol Mg/g
1 <30 <3 <30 Normal atau
meningkat
2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan
sedang
3 >300 >30 >300 Peningkatan
berat
Sumber: KDIGO, 2012

3. Etiologi CKD
Penyebab CKD berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
National Health Insurance (NHI) menyatakan bahwa pertambahan usia,
diabetes, hipertensi,hiperlipidemia dan jenis kelamin berhubungan dengan
faktor risiko terjadinya CKD.Faktor risiko terpenting terjadinya CKD ialah
hipertensi dengan prevalensi 74,5juta dan diabetes sekitar 23,6 juta. Secara
keseluruhan, diabetes didapatkan pada 44% pasien ESRD (End Stage
Renal Disease) dan hipertensi pada 28% pasien ESRD. Kemudian 72%
Pasien ESRD memiliki riwayat hipertensi maupun diabetes. Obesitas,
sindrom metabolic dan riwayat keluarga juga merupakan faktor resiko
CKD.

Berikut beberapa faktor resiko penyebab penyakit ginjal kronik:


a. Faktor klinis:
1) Diabetes
2) Hipertensi
3) Penyakit Autoimun
4) Neoplasma
5) Infeksi sistemik maupun infeksi saluran kemih dan batu saluran
kemih
12

6) Riwayat keluarga menderita CKD dan riwayat acute ranal failure


(AKI)
7) Nefrotoksin (analgetik, aminoglikosida, amfoterisin, radiokontras).
b. Faktor sosiodemografi
1) Usia tua
2) Terpapar zat kimia
3) Jenis kelamin
4) Pendidikan dan sosial ekonomi rendah

Persatuan Nefrologi Indonesia pada tahun 2018 mencatat penyebab


penyakit gagal ginjal kronik (CKD) yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, seperti pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Penyebab Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia
Penyebab Jumlah
Glumerulopati Primer (GNC) 5.447
Nefropati Diabetika 14.998
Nefropati Lupus (SLE) 386
Penyakit Ginjal Hipertensi 19.427
Ginjal Polikistik 498
Nefropati Asam Urat 751
Nefropati Obstruksi 1.800
Pielonefritis Chronic (PNC) 1.641
Lain-Lain 2.768
Tidak Diketahui 6.224
th
Sumber: Indonesian Renal Registry: 11 Report of Indonesian Renal Registry
2018.

4. Patofisiologi CKD
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Ginjal normal memiliki sekitar satu juta nefron yang
memberikan kontribusi terhadap nilai GFR. Terjadinya suatu cedera atau
kerusakan pada ginjal masih dapat dipertahankan dengan adanya
kompensasi berupa hipertrofi yang diperantarai oleh molekul seperti
sitokin dan growth factor. Hipertrofi nefron akan diikuti oleh proses
hiperfiltrasi glomerulus yang menyebabkan peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan
akan diikuti oleh proses mal-adaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa sehingga menyebabkan penurunan secara progresif terhadap fungsi
13

nefron, meskipun penyakit yang mendasari sudah tidak aktif lagi.


Peningkatan tekanan kapiler glomerolus akan merusak kapiler dan
menyebabkan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS) yang dapat
berlanjut menjadi kerusakan glomerulosklerosis secara global.

Hiperfiltrasi akan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosteron System


(RAAS) yang diperantarai oleh transforming growth factor β (TGF-β).
Peningkatan RAAS berperan pada terjadinya hipertensi dan peningkatan
permeabilitas glomerulus berperan dalam terjadinya proteinuria. Beberapa
faktor seperti hipertensi, albuminuria, hiperlipidemia, hiperglikemia,
hiperfosfatemia dan diabetes yang tidak terkontrol dapat meningkatkan
progresifitas CKD hingga menyebabkan sclerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan penurunan GFR dan peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Penurunan GFR sebesar 60% atau CKD
stadium 1-3 dengan kadar urea dan kreatinin serum normal atau sedikit
meningkat biasanya belum menimbulkan gejala klinis (asimtomatik).
Akan tetapi, penurunan GFR < 30 mL/min/1,73m (CKD stadium 4-5)
mulai menimbulkan keluhan berupa nokturia,badan lemah, mual, nafsu
makan kurang, dan penurunan berat badan hingga menimbulkan tanda
uremia seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus dan sebagainya. Pada GFR <15 % akan terjadi gagal
ginjal dan memerlukan terapi pengganti ginjal. Penurunan GFR akan
menimbulkan manifestasi seperti anemia, hipertensi,proteinuria, asidosis,
hiper-fosfatemia, hiponatremi, uremia, hiperkalemia, hipokalsemia dan
lain-lain.
Kerusakan ginjal akan menurunkan produksi eritropoetin sehingga tidak
terbentuknya eritrosit yang menimbulkan anemia dengan gejala pucat,
kelelahan dan aktivitas fisik bekurang. Proteinuria merupakan tanda
terjadinya kerusakan ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan
permeabilitas glomerulus meningkat sehingga molekul protein seperti
albumin akan bebas melewati membran filtrasi.Selain itu, fungsi filtrasi
yang terganggu akan menyebabkan akumulasi urea dalam darah (uremia).
14

Hipertensi timbul akibat kerusakan fungsional ginjal yang mengaktifkan


pelepasan renin yang mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I
dan oleh converting enzyme diubah menjadi angiotensin II. Kemudian
timbul efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
Hiperfosfatemia terjadi karena penurunan GFR menyebabkan ekskresi
fosfat meningkat dan fosfat akan berikatan dengan Ca2+ yang membentuk
kalsium fosfat. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap dan
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus. Pada CKD dapat terjadi asidosis
metabolik yang menyebabkan rasa mual, muntah, anoreksia dan
lelah.Asidosis metabolik meningkatkan konsentrasi ion H +dalam sel ginjal
sehingga meningkatkan sekresi hidrogen sedangkan sekresi kalium
berkurang. Hal ini menyebabkan hiperkalemia yang menyebabkan
kelemahan otot (Brunner & Suddarth, 2015; Price & Wilson, 2013).

5. Manifestasi Klinis CKD


Manifestasi awal pasien CKD seringkali tidak teridentifikasi sampai tahap
uraemik. Pada uraemik keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu,
pengaturan dan fungsi endokrin rusak. Manifestasi awal uremik mencakup
mual, apatis, kelemahan dan keletihan. Pada sistem kardiovaskular terjadi
hipertensi, perikarditis dan hiperkalemia, pada sistem integumen terjadi
kulit kering dan gampang terkelupas, pada paru-paru terdengar rhonki,
takipnea, sesak napas, pada saluran cerna dapat terjadi mual muntah,
konstipasi dan perdarahan saluran cerna, pada sistem neurologik terjadi
kelemahan dan keletihan, tremor, dan pada hematologi anemia dan
trombositopenia (Brunner & Suddart, 2015)

6. Diagnostic
a. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis pasien CKD sesuai dengan penyakit yang mendasari
seperti hipertensi, hiperurisemi, diabetes malitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktusurinarius, lupus eritomatosus sistemik. Bila
menimbulkan sindrom uremia maka gejala yang timbul berupa lemah,
anoreksia, mual, muntah, nokturia, letargi, kelebihan volume cairan
15

(volume overload), uremic frost, perikarditis, neuropathiperifer,


pruritus, kejang-kejang sampai koma. Gejala komplikasinya antara lain
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, dangan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
b. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan GFR dan kadar kreatinin serum penting pada pasien CKD
untuk menilai fungsi ginjal. Kadar elektrolit seperti sodium, potassium
klorida dan bikarbonat dapat menentukan kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat,
hiperkalemia atau hipokalemia,hiponatremia, hiperkloremia atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia,asidosis metabolic.
c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit gagal ginjal kronik berupa foto polos,
USG, Pielografi dan renografi. Foto polos abdomen, bisa tampak batu
radio-opak. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal
yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Pielografi intravena bersifat toksik dan
kontras sering tidak bisa melewati glomerulus sehingga jarang
dikerjakan. Pielografi antegrad atau retrograd dan renografi dikerjakan
bila ada indikasi.

7. Penatalaksanaan CKD
Tatalaksana CKD tergantung pada derajat atau stadium dari penyakit
tersebut. Tatalaksana sesuai derajatnya dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4
Tatalaksana CKD

Deraja GFR
Rencana Tatalaksana
t (ml/min/1,73m2)
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
1 ≥90 evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal,
dan meminimalisir risiko kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal.
16

Deraja GFR
Rencana Tatalaksana
t (ml/min/1,73m2)
5 <15 Terapi pengganti ginjal (Dialisis)

8. Hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel yang berfungsi seperti
nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien
gagal ginjal. Pada umumnya hemodialysis dilakukan sebanyak 2-3 kali
seminggu dengan waktu 4-5 jam setiap hemodialisis. Hemodialisis
berfungsi untuk mengeluarkan sisa garam dan cairan berlebih untuk
mencegah penumpukan molekul kimia didarah serta menjaga tekanan
darah. Hemodialisis merupakan suatu proses difusi dan filtrasi zat terlarut
melewati suatu membran semi permeabel yang akan mengeluarkan
molekul urea, kreatinin, elektrolit dan mempertahankan bikarbonat serta
dapat mengadsorbsi protein seperti sitokin, interleukin yang bermanfaat
pada keadaan inflamasi atau sindrom uremia.

Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI),(2012),


indikasi dilaksanakan terapi hemodialysis yaitu:
a. Kelebihan cairan yang sulit dikendalikan dan hipertensi
b. Asidosis metabolik refrakter
c. Hiperkalemia refrakter terhadap terapi diit dan farmakologi
d. Hiperfosfatemia refrakter terhadap terapi diit dan farmakologi
e. Penurunan kualitas hidup dan kapasitas fungsional tanpa sebab yang
jelas
f. Anemia refrakter
g. Terdapatnya malnutrisi dan penurunan berat badan
h. Indikasi segera berupa gangguan neurologis, pleuritis, perikarditis dan
pemanjangan waktu perdarahan

Kontra indikasi absolut dilakukan hemodialisis adalah tidak terdapatnya


akses vascular dan kontra indikasi relatif seperti kesulitan menemukan
akses vaskular, fobia jarum, gagal jantug dan koagulopati.Akses vaskular
17

dialisis dapat berupa fistula (arteri-vena), graft, dan kateterintra vena.


Akses fistula dibuat dengan melakukan anastomosis arteri-vena dan
merupakan pilihan pertama karna dapat mengalirkan darah hingga 300
ml/menit. Graft dilakukan bila diameter vena kecil atau vena telah
mengalami kerusakan. Sedangkan kateter dimasukkan ke vena dekat leher
atau dada dan digunakan pada dialisis periode singkat.
Dializer memiliki dua bagian yaitu bagian yang berhubungan dengan
aliran dan bagian yang dinamakan dialisat.

Gambar 2.1 Dialisat dan Proses Hemodialisis

Terapi hemodialysis biasanya dilakukan 2-3 kali seminggu dan setiap


terapi membutuhkan waktu sekitar 4 jam atau lebih tergantung kebutuhan.
Jumlah terapi hemodialisis tergantung pada kerja ginjal, seberapa banyak
pertambahan cairan setiap kali terapi,berat badan, molekul sisa didarah dan
tergantung tipe pengganti ginjal yangdigunakan. Terapi hemodialisis yang
lebih lama menunjukkan hasil yang lebih baik di Eropa danAsia. Pasien
dengan peningkatan berat badan saat terapi berisiko tinggi mengalami
kematian. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya penurunan tekanan
darah,berkurangnya kebutuhan akan obat hipertensi pada pasien yang
menerima terapi hemodialisis jangka panjang. Kemudian kualitas hidup
pasien dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi terapi
hemodialisis.
18

Komplikasi akut tersering selama menjalani hemodialisis ialah hipotensi


terutama pada pasien dengan diabetes. Hal ini terjadi karena bebarapa
faktor seperti ultrafiltasi yang terlalu besar, penurunan kemampuan
vasoaktif dan penggunaan antihipertensi berlebihan. Selain itu kram otot
sering terjadi selama dialisis, namun belum diketahui penyebabnya. Hal
ini dikaitkan dengan gangguan perfusi otot karena pengambilan cairan
yang berlebihan dan pemakaian dialisat rendah sodium. Sedangkan
komplikasi jangka panjang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular
pada pasien dengan faktor resiko seperti diabetes, inflamasi kronik anemia,
dislipidemia dan perubahan hemodinamik kardiovaskular selama dialisis.
Pasien CKD yang menjalani terapi hemodialysis dihadapkan pada situasi
untuk beradaptasi terus-menerus terhadap stres kronis. Terapi
hemodialysis telah mengubah paradigma pasien tentang hidup dan mati
serta penggunaan mekanisme koping yang berlebihan untuk menghadapi
kehilangan. Pasien harus menjalani berbagai keterbatasan sebagai dampak
dari retriksi ketat pengobatan. Pasien mengalami ketidakpastian karena
sebagian fungsi kehidupan diambil alih oleh mesin hemodialysis. Berbagai
kondisi tersebut menempatkan pasien pada situasi cemas berkepanjangan.
Cemas merupakan gejala umum yang ditemukan pada pasien CKD yang
menjalani perawatan dialysis. Pada kajian berikut ini, peneliti membahas
konsep cemas sebagai dampak dari terapi hemodialysis.

B. Cemas
1. Pengertian Cemas
Kecemasan adalah emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran
khawatir dan perubahan fisik seperti tekanan darah yang meningkat
(Feroze, 2010). Orang dengan gangguan kecemasan biasanya memiliki
pikiran atau kekhawatiran mengganggu yang berulang dan mungkin
menghindari situasi tertentu karena khawatir. Kecemasan adalah perasaan
tidak nyaman atau ketakutan yang disertai oleh respon autonom (penyebab
sering tidak spesifik atau tidak diketahui pada setiap individu) perasaan
cemas tersebut timbul akibat dari antisipasi diri terhadap bahaya
19

(Herdman, 2018). Keadaan ini juga dapat diartikan sebagai tanda-tanda


perubahan yang memberikan peringatan akan adanya bahaya pada diri
individu.

Kecemasan merupakan reaksi normal seseorang terhadap situasi yang


dihadapinya, terutama di saat sangat tertekan. Kecemasan bisa muncul
sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan
emosi. Kecemasan adalah reaksi wajar yang dapat dialami siapapun.
Walaupun kecemasan adalah hal yang wajar, jika seseorang tidak dapat
mengatasinya atau beradaptasi, orang tersebut akan mengalami gangguan
yang dapat mempengaruhi fungsi di kehidupannya. Cemas/ ansietas adalah
kondisi emosi dan pengalaman subjektif individu terhadap objek yang
tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman (PPNI, 2019).

Kecemasan atau khawatir merupakan perasaan takut yang tidak jelas


sebabnya. Berdasarkan beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah keadaan emosional seseorang yang terjadi karena ada
sesuatu hal yang dapat mengancam dirinya dan menyebabkan kegelisahan
yang ditandai adanya perubahan somatik.

2. Dimensi Kecemasan
Pendapat Gail W. Stuart (2006) mengelompokkan kecemasan (anxiety)
dalam 3 dimensi yaitu dimensi perilaku, kognitif, dan afektif. Kecemasan
dipandang dari aspek perilaku, diantaranya gelisah, ketegangan fisik,
tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung
mengalami cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi,
melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat
waspada. Sedangkan kecemasan dipandang dari sudut kognitif,
diantaranya perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, preokupasi, hambatan berpikir, lapang persepsi
menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat
waspada, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali,
takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian, kilas balik, dan
20

mimpi buruk. Kecemasan dilihat dari sudut pandang afektif diantaranya


mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada,
kengerian, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah, dan malu.

3. Gejala Kecemasan
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan
kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.
Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-masing
orang. Gejala umum kecemasan dapat dikelompokkan menjadi gejala
somatik dan gejala psikologis. Gejala somatik atau gejala fisik yang dapat
dialami jika seseorang mengalami kecemasan biasanya jari tangan dingin,
berkeringat, kepala pusing, nafsu makan berkurang, mual, diare,
konstipasi, tidur tidak nyenyak, dada terasa sesak, disfungsi genitourinaria
(sering buang air kecil, impoten, kehilangan nafsu seksual, sakit saat
berkemih), iritabilitas kardiovaskuler (hipertensi, takikardi).

Gejela psikologis yang dapat dialami seseorang jika mengalami


kecemasan diantaranya perasaan ketakutan akan ditimpa bahaya, tidak
dapat memusatkan perhatian, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan,
kehilangan motivasi dan minat, sensitif, gelisah, resah, tidak bisa diam,
keraguan dan ketakutan yang mengganggu, terus menerus memeriksa
segala sesuatu yang telah dilakukan.

Menurut PPNI (2019), dalam Buku Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia menyebutkan gejala dan tanda mayor ansietas yaitu merasa
bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit
berkomunikasi, tampak gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur. Sedangkan
gejala dan minor terdiri atas mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa
tidak berdaya, frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi meningkat,
diaphoresis, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata
buruk, sering berkemih, berorientasi pada masa lalu.

4. FaktorPenyebab Kecemasan
Ada 3 teori psikologis penyebab kecemasan
a. Faktor psikoanalitik
21

Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah tanda adanya bahaya yang


kadang tidak disadari oleh seseorang. Kecemasan memberi sinyal
kepada ego untuk menciptakan pertahanan terhadap tekanan dari
dalam pribadi orang tersebut. Umumnya, penggunaan represi sudah
cukup untuk memulihkan keseimbangan psikologis, tetapi jika tidak
berhasil akan menjadi regresi yang akhirnya distress.
b. Teori perilaku
Teori perilaku mengatakan bahwa kecemasan timbul karena adanya
rangsangan spesifik yang tidak disukai dari lingkungannya. Adanya
rangsang tersebut menyebabkan seseorang belajar beradaptasi dan
menjadi kebiasaan untuk menghindari rangsang tersebut.
c. Teori eksistensial
Teori ini memberikan model-model dari kecemasan menyeluruh, di
mana tidak ada stimulus yang dapat diidentifikasi untuk perasaan
cemas yang bersifat kronik. Konsep inti dari teori ini adalah bahwa
orang mengalami perasaan hidup dalam dunia yang tanpa tujuan.
Kecemasan merupakan respon terhadap persepsi kehampaan tersebut.

Kecemasan juga dapat disebabkan karena keadaan biologis seseorang.


Keadaan biologis dapat mendahului konflik psikologis namun bisa juga
sebagai akibat dari suatu konflik psikologis.
a. Sistem saraf otonom
Dengan adanya stressor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari
adrenal kemudian diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem
limbik dan Reticular Activating System (RAS), lalu ke hipotalamus
dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin
dan terjadi stimulasi saraf otonom seperti takikardi, nyeri kepala, diare,
berkeringat, nafas yang cepat.
b. Neurotransmitter
Ada beberapa neurotransmiter yang berhubungan dengan kecemasan
yaitu norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
1) Norepinferin
22

Gejala-gejala kecemasan yaitu ketakutan, panik dan peningkatan


otonomisasi ditandai dengan peningkatan fungsi nonadrenergik.
Peranan norepinefrin terhadap kecemasan adalah sistem non-
adrenergik yang tidak teregulasi dengan baik. Sistem non-
adrenergik ini memiliki badan sel yang berlokasi di lokus sereleus
di pons rostral yang kemudian aksonnya keluar ke korteks serebral
sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis. Pada pasien
dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik memiliki
kadar metabolit nonadrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxy-
phenylglycol (MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinal
dan urin.
2) Serotonin
Serotonin adalah neurotransmiter yang bertanggung jawab untuk
mengatur suasana hati kita. Ketika kadar serotonin rendah,
seseorang cenderung mengalami kecemasan, depresi dan cepat
marah.
3) GABA
Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki
fungsi reseptor GABA yang kurang baik. Kemudian peranan
GABA dalam kecemasan dibuktikan dengan manfaat
benzodiazepine yang bekerja meningkatkan GABA yang dapat
mengatasi adanya gangguan kecemasan umum maupun gangguan
panik.

PPNI (2019) mengelompokkan penyebab ansietas, diantaranya: krisis


situasional; kebutuhan tidak terpenuhi; krisis maturasional; ancaman
terhadap konsep diri; ancaman terhadap kematian; kekhawatiran
mengalami kegagalan; disfungsi fungsi keluarga; hubungan orang tua anak
tidak memuaskan; faktor keturunan (temperamen, mudah teragitasi sejak
lahir); penyalahgunaan zat; terpapar bahaya lingkungan (semisal toksin,
polutan dan lain-lain); kurang terpapar informasi.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan


23

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Kaplan & Sadock,


(1997) dan Untari (2014), yaitu:
a. Faktor instrinsik
1) Usia
Semakin meningkat usia seseorang semakin baik tingkat
kematangan seseorang walau sebenarnya tidak mutlak.
2) Jenis kelamin
Gangguan lebih sering di alami perempuan dari pada laki-laki.
Perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan subyek yang berjenis kelamin laki-laki. Dikarenakan
perempuan lebih peka terhadap emosi yang pada akhirnya peka
juga terhadap perasaan cemasnya. Perempuan cenderung melihat
hidup atau peristiwa yang dialaminya dari segi detil sedangkan
laki-laki cenderung global atau tidak detail.
3) Tahap perkembangan
Setiap tahap dalam usia perkembangan sangat berpengaruh pada
perkembangan jiwa termasuk didalamnya konsep diri yang akan
mempengaruhi ide, pikiran, kepercayaan dan pandangan individu
tentang dirinya dan dapat mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Individu dengan konsep diri yang
negatif lebih rentang terhadap kecemasan.
4) Tipe kepribadian
Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan
stress dari pada yang memiliki kepribadian B. Orang-orang pada
tipe A dianggap lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami
tingkat stress yang lebih tinggi, sebab mereka menempatkan diri
mereka sendiri pada suatu tekanan waktu dengan menciptakan
suatu batas waktu tertentu untuk kehidupan mereka.

5) Pengalaman pasien menjalani pengobatan


Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan
pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu
24

terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman ini


sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi
kondisi mental dikemudian hari.
6) Pendidikan
Seorang dengan tingkat pendidikan yang rendah mudah mengalami
kecemasan, karena semakin tinggi pendidikan akan mempengaruhi
kemampuan berfikir seseorang.

b. Faktor ekstrinsik
1) Status kesehatan
Seseorang yang sedang sakit dapat menurunkan kapasitas
seseorang dalam menghadapi stress. Pasien yang sedang menjalani
terapi rutin Hemodialisis cenderung mengalami stress.
2) Makna yang dirasakan
Jika stresor dipersepsikan akan berakibat baik maka tingkat
kecemasan yang akan dirasakan akan berat. Sebaliknya jika
stressor dipersepsikan tidak mengancam dan individu mampu
mengatasinya maka tingkat kecemasannya yang dirasakanya akan
lebih ringan.
3) Nilai-nilai budaya dan spiritual
Nilai-nilai budaya dan spritual dapat mempengaruhi cara berfikir
dan tingkah laku seseorang.
4) Dukungan sosial dan lingkungan
Dukungan sosial dan lingkungan sekitar dapat mempengaruhi cara
berfikir seseorang tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini
disebabkan oleh pengalaman seseorang dengan keluarga, sahabat
rekan kerja dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang
merasa tidak aman terhadap lingkungan.

5) Mekanisme koping
Ketika mengalami kecemasan, individu akan menggunakan
mekanisme koping untuk mengatasinya dan ketidakmampuan
25

mengatasi kecemasan secara konstruktif menyebabkan terjadinya


perilaku patologis.
6) Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan keluarga. Bekerja bukanlah sumber
kesenangan tetapi dengan bisa diperoleh pengetahuan.

6. Tingkat kecemasan
Kecemasan dibagi menjadi 4 tingkat yaitu kecemasan ringan, kecemasan
sedang, kecemasan berat, dan panik (Stuart & Laraia, 2009).
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan secara normal dapat dialami seseorang dan berguna
untuk meningkatkan kesadaran individu untuk berhati-hati dan
waspada. Kecemasan ringan menuntut individu untuk belajar
menghadapi masalah. Biasanya ditandai dengan gemetar, mudah lelah,
nafas pendek, dan ketegangan otot.
b. Kecemasan sedang
Pada tahap kecemasan sedang, perhatian individu terhadap rangsang
dari lingkungannya kurang. Seluruh indranya dipusatkan kepada
penyebab kecemasan dan mengesampingkan hal lain. Kecemasan
sedang ditandai dengan hiperaktifitas autonomik, wajah merah, kadang
pucat.
c. Kecemasan berat
Pada tingkat kecemasan berat, persepsi individu menjadi sempit.
Individu cenderung memikirkan hal kecil saja dan mengabaikan hal-
hal lain, individu tidak mampu berpikir berat, membutuhkan banyak
saran serta arahan. Terjadi pula gangguan fungsionalnya. Cemas yang
berat ditandai dengan takikardi hiperventilasi, berkeringat.

d. Panik
Pada kejadian panik, terjadi disorganisasi pada individu. Individu
tersebut tidak dapat mengendalikan diri dan tidak dapat melakukan
26

apa-apa walaupun sudah diberi saran dan arahan. Panik dapat


menyebabkan diare, mulut kering, sering kencing, sulit menelan.

7. Penatalaksanaan Kecemasan
a. Penatalaksanaan Farmakologi
Pengobatan untuk anti kecemasan terutama benzodiazepine, obat ini
digunakan untuk jangka pendek, dan tidak dianjurkan untuk jangka
panjang karena pengobatan ini menyebabkan toleransi dan
ketergantungan. Obat anti kecemasan non benzodiazepine, seperti
buspiron (Buspar) dan berbagai antidepresan juga digunakan
(Isaacs,2005).
b. Penatalaksanaan non farmakologi
1) Distraksi
Potter & Perry (2006), menjelaskan distraksi merupakan metode
untuk menghilangkan kecemasan dengan cara mengalihkan
perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa
terhadapcemas yang dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan
menyebabkan pelepasan endorfin yang bisa menghambat stimulus
cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli cemas yang
ditransmisikan ke otak. Salah satu distraksi yang efektif adalah
dengan memberikan dukungan spiritual (membacakan doa sesuai
agama dan keyakinannya), sehingga dapat menurunkan hormon-
hormon stressor, mengaktifkan hormon endorfin alami,
meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian takut,
cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak
jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju
pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik
menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih
dalam dan metabolisme yang lebih baik.
2) Humor
Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa
melenyapkan stres. Hipotesis fisiologis menyatakan bahwa tertawa
27

melepaskan endorfin ke dalam sirkulasi dan perasaan stres


dilenyapkan (Potter &Perry, 2006).
3) Terapi spiritual
Aktivitas spiritual dapat juga mempunyai efek positif dalam
menurunkan stres. Praktek seperti berdoa, meditasi atau membaca
bahan bacaan keagamaan dapat meningkatkan kemampuan
beradaptasi terhadap gangguan stressor yang dialami (Potter &
Perry, 2006).
4) Aromaterapi
Aromaterapi adalah terapi yang menggunakan minyak essensial
yang dinilai dapat membantu mengurangi bahkan mengatasi
gangguan psikologis dan gangguan rasa nyaman seperti cemas,
depresi, nyeri,dan sebagainya (Watt, Gillian, & Janca, 2008).
5) Relaksasi
Lin (2004) dalam Siahaan (2013), menjelaskan untuk mengatasi
kecemasan dapat digunakan teknik relaksasi yaitu relaksasi dengan
melakukan pijat/pijatan pada bagian tubuh tertentu dalam beberapa
kali akan membuat peraaan lebih tenang, mendengarkan musik
yang menenangkan, dan menulis catatan harian. Selain itu, terapi
relaksasi lain yang dilakukan dapat berupa meditasi, relaksasi
imajinasi dan visualisasi serta relaksasi progresif (Isaacs, 2005).

6) Mangukur Kecemasan
Zung Self-rating Anxiety Scale adalah kuesioner yang dapat digunakan
untuk skrining kecemasan dan mengukur gejala-gejala yang berkaitan
dengan kecemasan. Kuesioner Zung sudah divalidasi di Indonesia dan
memberikan hasil yang baik. Kuesioner ini memiliki 20 pertanyaan yang
terdiri dari 5 pertanyaan positif dan 15 pertanyaan negatif yang
menggambarkan gejala-gejala kecemasan. Gejala yang dimaksud adalah
gejala kognitif, otonom, motorik, dan sistem saraf pusat.
Setiap pertanyaan memiliki nilai maksimal 4 dan nilai paling rendah 1,
sehingga total skor yang didapat berkisar 20-80 yang kemudian dikonversi
28

ke indeks kecemasan. Semakin tinggi skor, semakin tinggi kecemasan


yang dialami. Interpretasi skornya sebagai berikut: skor 20-44 ringan; skor
45-59 kecemasan sedang; 60-74 kecemasan berat; ≥75 kecemasan sangat
berat (panik)(Stuart & Laraia, 2009).
Berikut disajikan daftar pertanyaan untuk mengukur tingkat kecemasan
menurut Zung Self-rating Anxiety Scale:
a. Saya merasa lebih gugup dan cemas dari biasanya
b. Saya merasa takut tanpa alasan sama sekali
c. Saya mudah marah atau merasa panik
d. Saya merasa seperti jatuh terpisah dan akan hancur berkeping-keping
e. Saya merasa bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada hal buruk
akan terjadi
f. Lengan dan kaki saya gemetaran
g. Saya terganggu oleh nyeri kepala leher dan nyeri pinggul
h. Saya merasa lemah dan mudah lelah
i. Saya merasa tenang dan dapat duduk diam dengan mudah
j. Saya merasa jantung saya berdebar-debar
k. Saya merasa pusing tujuh keliling
l. Saya telah pingsan atau merasa seperti itu
m. Saya dapat bernapas dengan mudah
n. Saya merasa jari-jari tangan dan kaki mati rasa dan kesemutan
o. Saya terganggu oleh nyeri lambung atau gangguan pencernaan
p. Saya sering buang air kecil
q. Tangan saya biasanya kering dan hangat
r. Wajah saya terasa panas dan merah merona
s. Saya mudah tertidur dan dapat istirahat malam dengan baik
t. Saya mimpi buruk

Kecemasan pada pasien dialysis belum mendapatkan porsi yang ideal untuk
ditangani. Banyak tenaga kesehatan dirasakan kurang peduli terhadap masalah
kecemasan yang terjadi pada pasien dialysis. Kecemasan dianggap sebagai
bagian dari proses dan pengalaman yang biasa pada pasien hemodialysis.
Perawat sebagai profesi mandiri memiliki modalitas tatalaksana manajemen
29

kecemasan. Salah satu alternatif yang ditawarkan yaitu sejumlah teknik


relaksasi yang bertujuan untuk memberikan pasien kemampuan mengelola
tingkat kecemasannya sendiri. Teknik relaksasi otot progresif merupakan
pilihan yang dapat diberikan untuk mengurangi kecemasan pasien dialysis.
Melalui teknik relaksasi otot progresif, pasien diharapkan mampu adaptasi
secara bertahap sehingg memungkinkan pasien mengatasi kecemasan secara
mandiri. Berikut dijabarkan konsep teknik relaksasi otot progresif (ROP).

C. Relaksasi Otot Progresif (ROP)


1. Pengertian Relaksasi Otot Progresif (ROP)
Relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation) adalah salah satu
teknik yang menggunakan pikiran-tubuh yang melibatkan peregangan dan
relaksasi semua kelompok otot dalam tubuh, dari kepala hingga kaki
(Genç&Og˘uz, 2018).Teknik ini dikembangkan oleh Jacobsen pada tahun
1938, di mana tubuh dan pikiran dikondisikan terbebas dari ketegangan
dan kecemasan (Aksu, Erdogan, & Ozgur, 2018). Relaksasi otot progresif
didefinisikan sebagai suatu teknik relaksasi yang menggunakan
serangkaian gerakan tubuh yang bertujuan untuk melemaskan dan
memberi efek nyaman pada seluruh tubuh (Cohen, Cukor, & Kimmel,
2016).

Terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu metode relaksasi yang
meredakan respons stres dengan cara merelaksasikan dan melemaskan
ketegangan otot (Sadeghimoghaddam,et al., 2019). Relaksasi otot
progresif adalah metode pelatihan yang aman, mudah digunakan, hemat
biaya dan dipandang cukup praktis dan ekonomis karena tidak
memerlukan imajinasi yang rumit, tidak ada efek samping, mudah
dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan pikiran menjadi tenang
(Bostani, Rambod, Sabaghzadeh, & Torabizadeh, 2020). Menurut Astuti
& Ruhyana (2015), relaksasi otot progresif merupakan suatu keterampilan
yang dapat dipelajari dan digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan ketegangan sehingga menimbulkan rasa nyaman tanpa
tergantung pada hal/subjek di luar dirinya.
30

2. Tujuan Relaksasi Otot Progresif (ROP)


Tujuan teknik Relaksasi Otot Progresif (ROP) adalah:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,
tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik.
b. Mengurangi disritmia jantung dan kebutuhan oksigen.
c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan
tidak memfokuskan perhatian serta relaks.
d. Meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi.
e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress.
f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia
ringan, gagap ringan, dan
g. Membangun/ mengubah emosi positif dari emosi negatif

3. Manfaat Relaksasi Otot Progresif (ROP)


Relaksasi otot progresif telah digunakan dalam berbagai penelitian
didalam dan diluar negeri dan telah terbukti bermanfaat pada berbagai
kondisi subyek penelitian. Saat ini latihan relaksasi relaksasi otot progresif
semakin berkembang dan semakin sering dilakukan karena terbukti efektif
mengatasi ketegangan, kecemasan, stres dan depresi (Liu, et al, 2020;
Cohen, Cukor, & Kimmel, 2016). Relaksasi otot akan mengurangi
aktivitas saraf simpatis dan fungsi neuroendokrin sehingga penurunan
tingkat kortisol yang akan mereduksi kecemasan (Pawlow& Jones, 2005).
Relaksasi otot progresif (ROP) dapat menurunkan efek stres kronis dan
kecemasan pada tubuh dengan menyalurkan perhatian individu pada otot
untuk melemaskan dan terjadi peregangan otot tubuh (Li et al., 2015).

Sementara Gallego-Gómez, et al., (2019) menyimpulkan bahwa relaksasi


otot progresif (ROP) merupakan strategi yang efektif dalam mengurangi
stres sebelum ujian dan meningkatkan kinerja akademik pada mahasiswa
keperawatan. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa ROP memiliki efek
positif untuk menurunkan tingkat cemas dan meningkatkan kualitas tidur
yang lebih baik pada pasien Covid-19 (Liu, 2020). ROP merupakan
intervensi keperawatan yang berguna untuk meringankan efek psikologis
31

dan fisik pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi


(Pelekasis, Matsouka, & Koumarianou, 2017; Vuttanon, et al, 2019).
Penelitian Rajeswari& Sanjeeva-Reddy (2019) membuktikan manfaat
relaksasi otot progresif untuk menurunkan kecemasan pada ibu hamil
primi di India.

4. Prosedur Relaksasi Otot Progresif (ROP)


Penelitian Ozgundondu& Gok Metin (2019) melakukan penelitian tentang
relaksasi otot progressif (ROP) dan mendeskripsikan sebagai berikut
Intervensi ROP terdiri dari sesi 20 menit, yang melibatkan menegangkan
dan merileksasikan tubuh bersama dengan pernapasan dalam. Para peserta
melakukan ROP untuk setiap bagian tubuh dengan urutan tertentu, dimulai
dari otot wajah dan kepala, diikuti oleh leher, bahu, dada, perut, tungkai,
dan kaki. Semua prosedur pengencangan dan relaksasi otot dilakukan
disertai dengan pernapasan dalam. Peserta diinstruksikan untuk
menegangkan kelompok otot tertentu selama 5 detik sambil menarik
napas, dan kemudian mengendurkan otot yang sama selama 10 detik
sambil menghembuskan napas. Saat melakukan latihan, peserta
memvisualisasikan gelombang relaksasi yang mengalir ke seluruh tubuh
dengan menggunakan teknik pernapasan dalam.

Berikut diilustrasikan teknik ROP yang telah dilakukan oleh


Ozgundondu& Gok Metin(2019):
a. Kenakan pakaian yang nyaman, duduklah di kursi dengan posisi yang
nyaman.
b. Berikan perhatian khusus pada bagian tubuh tertentu yang sedang di
latih. Jika pikiran sedang mengembara dan tidak fokus, kembalikan
perhatian pada otot yang sedang di latih.
c. Ambil napas dalam melalui perut, tahan selama 3 detik, dan buang
napas perlahan. Pastikan saat bernapas, perut terangkat dan paru-paru
terisi udara.
32

d. Saat mengeluarkan napas, bayangkan semua ketegangan di tubuh


dilepaskan dan mengalir keluar dari tubuh. Sekali lagi, tarik nafas
dalam dan buang napas perlahan. Rasakan tubuh telah rileks.
e. Saat menjalani setiap langkah, lanjutkan bernapas dengan cara yang
diinstruksikan sebelumnya.
f. Sekarang, kencangkan otot dahi dengan menaikkan alis setinggi yang
anda bisa. Tahan selama 5 detik dan kemudian lepas ketegangan, dan
tunggu selama 10 detik berikutnya.
g. Selanjutnya, kencangkan otot mata. Tahan selama 5 detik dan
lepaskan. Tunggu 10 detik.
h. Sekarang tersenyumlah lebar-lebar, rasakan ketegangan di mulut dan
pipi. Tahan selama 5 detik dan lepaskan; rasakan kelenturan otot di
wajah. Tunggu 10 detik
i. Tarik kepala ke belakang dengan lembut seolah-olah sedang melihat ke
langit-langit. Tahan posisi selama 5 detik dan lepaskan, rasakan
ketegangan yang dilepaskan. Tunggu 10 detik.
j. Sekarang, rasakan bagian kepala dan leher yang rileks. Tarik dan
hembuskan napas. Lepaskan semua stres dalam tubuh. Tarik dan
hembuskan napas kembali.
k. Sekarang, dengan erat, tetapi tanpa memaksa, kepalkan tangan Anda.
Tahan posisi ini selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
l. Sekarang, tekuk lengan bawah Anda untuk mengencangkan otot bisep.
Rasakan ketegangan di otot bisep. Tahan selama 5 detik dan lepaskan;
rasakan efek relaksasi. Tarik dan hembuskan napas.
m. Sekarang rentangkan lengan dan posisikan siku di depan untuk
mengencangkan otot trisep. Tahan selama 5 detik dan lepaskan.
Tunggu 10 detik.
n. Sekarang angkat bahu seolah-olah bisa menyentuh telinga Anda.
Tahan selama 5 detik dan lepaskan dengan cepat, rasakan beban di
bahu. Tunggu 10 detik.
o. Kencangkan punggung atas dengan menarik bahu ke belakang. Tahan
selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
33

p. Kencangkan dada dengan menarik napas dalam-dalam. Tahan selama 5


detik dan buang napas dalam-dalam.
q. Sekarang kencangkan otot perut dengan menariknya ke dalam perut.
Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik
r. Dengan lembut condongkan tubuh ke depan untuk mengencangkan
punggung bawah. Rasakan tubuh bagian atas melepaskan ketegangan
dan stress, tahan selama 5 detik dan rileks. Tunggu 10 detik.
s. Kencangkan bokong. Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Bayangkan
pinggul menjadi ringan. Tunggu 10 detik.
t. Sentuh lutut satu sama lain, lalu tekan patellae dengan cara seolah-olah
sedang memegang kertas tipis di antara keduanya. Tahan posisi selama
5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
u. Sekarang tekuk kaki, tarik jari-jari kaki ke arah tubuh, dan rasakan
ketegangan pada otot di bagian belakang kaki bagian bawah. Tahan
selama 5 detik dan lepaskan, rasakan berat kaki menurun. Tunggu 10
detik.
v. Tekuk jari-jari kaki, dan rasakan ketegangan pada otot-otot di depan
kaki bagian bawah. Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10
detik.
w. Sekarang bayangkan gelombang relaksasi perlahan-lahan menyebar ke
seluruh tubuh, dimulai dari kepala dan mencapai kaki. Rasakan bobot
tubuh menjadi ringan dan santai. Tarik dan hembuskan napas.

D. Penelitian Terkait
Semenjak diperkenalkan oleh Jacobsen tahun 1983, teknik relaksasi otot
progresif (ROP) telah menjadi tantangan bagi para peneliti. Teknik ROP dapat
membantu pasien mengurangi ketergantungan pada obat-obatan kimia yang
memiliki efek samping merugikan. Berikut diutarakan beberapa penelitian
tentang ROP yang dikaitkan dengan berbagai variabel.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, Hayati, & Asih (2020) dengan
judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif terhadap Tekanan Darah
34

Lansia dengan Hipertensi”. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Bojong


Soang Kabupaten Bandung. Metode penelitian menggunakan Pra-
eksperimental dengan pendekatan One Group Pretest and Posttest. Teknik
sampling menggunakan Purposive Sampling dengan jumlah responden
sebanyak 22 lansia. Analisis menggunakan univariat dengan frekuensi
danpersentase, sedangkan uji bivariat menggunakan Wilcoxon test. Hasil
penelitian menunjukkan tekanan darah sistolik dan diastolik diperoleh nilai
p = 0,000 (<0,05), yang berarti ada pengaruh Teknik Relaksasi Otot
Progresif terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Pramono, Hamrani & Sanjaya (2019)
dengan judul “Pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tingkat
kecemasan pasien hemodialisa di RSUD Wonosari”. Metode penelitian ini
menggunakan quasi eksperimen dengan pendekatan one group pretest and
posttest. Jumlah sampel sebanyak 20 responden dengan pengambilan
sampel menggunakan teknik purposive sampling. Uji statistik
menggunakan uji wilcoxon untuk membandingkan antara nilai pre test
danpost test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi relaksasi otot
progresif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecemasan
pada pasien hemodialisis di RSUD Wonosari dengan nilai p = 0,0001 (α <
0,05).
3. Penelitian oleh Nova & Tumanggor (2018) yang berjudul “Pengaruh
Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien
Kanker Payudara di RSUP Haji Adam Malik, Medan”. Metode penelitian
menggunakan Desain Quasi Eksperiment dengan pendekatan pretest and
posttest control group design. Besar sampel 26 pasien cancer payudara
yang dibagi menjadi 13 pasien dengan intervensi dan 13 lainnya
merupakan kelompok kontrol. Instrument pengukuran cemas
menggunakan kuesioner HRS-A (Hamilton Rating Scale- Anxiety). Hasil
menunjukkan terapi relaksasi otot progresif (ROP) berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kecemasan pasien kanker payudara (pvalue< 0,05).
4. Penelitian yang dilakukan Irawan, Hasballah, & Kamil(2018) dengan judul
“Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Stres dan Tekanan Darah
35

pada Klien Hipertensi”. Metode penelitian menggunakan Desain Quasi


Eksperiment dengan pendekatan pre-posttest without control group
design. Besar sampel 22 responden. Responden mendapatkan perlakuan
latihan relaksasi otot progresif selama 20 menit, dan berlangsung selama 4
kali latihan, jarak latihan pertama, kedua, ketiga dan keempat selama 2
hari. Serta mendapatkan pengukuran stres dan tekanan darah sebelum dan
sesudah latihan. Hasil uji Wilcoxon test menunjukan stres sebelum dan
stres sesudah latihan relaksasi otot progresif didapatkan, 21 responden
(95,45%) memperoleh nilai positif dengan nilai mean rank test 11,00.
Hasil uji Z, dimana nilai Z hitung – 4,028 < dari Z tabel 0,0002, dengan
nilai (pvalue = 0,000). Hasil analisis latihan hari keempat relaksasi otot
progresif didapatkan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah latihan,
17 responden (77,27%) memperoleh nilai positif, dengan nilai mean rank
test 9,00, hasil uji Z, dimana Z hitung -3,695 < dari Z table 0,0002, dengan
nilai (pvalue =0,000), tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah latihan
didapatkan, 15 responden (68,18%) memperoleh nilai positif, dengan nilai
mean rank test 8,00, hasil uji Z dimana Z hitung -3,873 < dari Z table
0,0002, dengan nilai (pvalue = 0,000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap stres dan tekanan darah
klien hipertensi di Kota Langsa.
5. Penelitian Silaen (2018) dengan judul “Pengaruh pemberian konseling
dengan tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialisis di
Rumah Sakit Kota Medan”. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan
desain quasi eksperimen. Sampel berjumlah 45 responden. Teknik
pengambilan sampel dengan purposive sampling yaitu pengambilan
sampel secara kebutulan peneliti datang melakukan penelitian.
Pengumpulan data menggunakan kuisioner dan analisa data menggunakan
uji T-Test. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian
konseling pada pasien hemodialisis dengan tingkat kecemasan, (pvalue=
0.000).
6. Penelitian Prasetya (2016) yang berjudul “Pengaruh terapi relaksasi otot
progresif terhadap perubahan tingkat insomnia pada lansia”. Jenis
36

penelitian menggunakan pra eksperimen yang termasuk ke dalam pretest


and postest one group design. Teknik pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling dengan jumlah responden 15 orang. Analisa data
statistik menggunakan paired t-test. Pengumpulan data yang dilakukan
pada saat sebelum dan sesudah latihan relaksasi otot progresif.
Berdasarkan uji statistik di dapatkan pvalue 0,000, yang berarti terdapat
perbedaan bermakna sebelum dan sesudah terapi relaksasi otot progresif.
7. Penelitian yang dilakukan oleh Astuti & Ruhyana (2015) dengan judul
”Pengaruh pemberian terapi relaksasi progresif terhadap tingkat
kecemasan pada pasien pre operasi di RSU PKU Muhammadiyah
Bantul”.Desain penelitian menggunakan pre eksperimental, dengan
rancangan one group pretest posttest design. Teknik sampling yang
digunakan yaitu purposive sampling dengan jumlah sampel 20 responden.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner T-MAS. Analisis statistik
yang digunakan adalah paired samples t-test. Berdasarkan analisis data
diperoleh nilai p = 0,002 (p<0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak.
Hal ini berarti pemberian terapi relaksasi progresif efektif terhadap
penurunan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
8. Penelitian Alfiyanti, Setyawan & Kusuma (2014) dengan judul “Pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien GGK yang
menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisa RS Telogorejo Semarang”.
Rancangan penelitian menggunakan pendekatan Quasi Eksperiment
pretest and posttest nonequivalent control group. Jumlah sampel 36
responden dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling. Hasil penelitian dengan menggunakan dependent t-test
menunjukkan p-value 0,000 (<0,05) dan hasil uji Mann Whitney
menunjukkan p-value 0,000 (<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan relaksasi otot progresif terhadap tingkat
depresi pasien GGK yang menjalani hemodialisis, dimana kelompok yang
diberikan intervensi relaksasi otot progresif lebih baik dalam menurunkan
tingkat depresi daripada kelompok yang tidak diberikan relaksasi otot
progresif.
37

E. Kerangka Teori Penelitian

Skema 2.1
Kerangka Teori Penelitian

Indikasi hemodialisis: Faktor risiko/ penyebab:


- Kelebihan cairan dan hipertensi - Faktor klinis:
- Asidosis metabolik refrakter (diabetes, hipertensi, autoimun,
- Hiperkalemia refrakter neoplasma, infeksi sistemik,
- Hiperfosfatemia refrakter infeksi saluran kemih dan batu
- Penurunan kualitas hidup dan saluran kencing, riwayat keluarga
kapasitas fungsional tanpa sebab CKD/ AKI, nefrotoksin).
- Anemia refrakter
- Terdapatnya malnutrisi dan - Faktor sosiodemografi:
penurunan berat badan (usia tua, terpapar zat kimia, jenis
- Indikasi segera (gangguan neurologis, kelamin, tingkat pendidikan dan
pleuritis, perikarditis dan status sosial ekonomi rendah)
pemanjangan waktu perdarahan).
Tingkat Cemas:
- Ringan Hemodialisis CKD
- Sedang
- Berat
Dimensi Cemas:
- Panic Kecemasan
(Perilaku, kognitif, Afek
tif)
Faktor penyebab:
Intervensi ROP
- Factor psikoanalitik (Relaksasi otot pro Faktor yang berpengar
- Teori perilaku gresif) uh: (internal & eksterna
- Teori eksistensial l)
- Keadaan biologis

Tujuan/ manfaat ROP:


- Mengurangi aktivitas saraf simpatis dan neuroendokrin
- Menurunkan ketegangan otot, tekanan darah, nadi, laju metabolik.
- Mengurangi disritmia dan kebutuhan oksigen.
- Meningkatkan gelombang alfa otak, rasa kebugaran dan konsentrasi.
- Membangun/ mengubah emosi menjadi positif
- Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia.

Sumber: (KDIGO, 2012;Pernefri, 2018; Brunner & Suddarth, 2015; Price &
Wilson, 2013; Stuart, 2006; Stuart & Laraia, 2009; Cohen, Cukor, &
Kimmel, 2016; Liu, et al, 2020).
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,
DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian merupakan keterkaitan atau hubungan antara
konsep satu dengan konsep lainnya dari masalah penelitian. Kerangka konsep
merupakan abstarksi dari suatu realitas sehingga dapat dikomunikasikan dan
membentuk teori yang menjelaskan keterkaitan antara variabel yang diteliti
(Nursalam, 2017). Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antar variabel dalam peneleitian (Notoatmodjo, 2015).
Sedangkan variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2017).

Kerangka konsep penelitian disusun berdasarkan landasan teori dan


dihubungkan dengan fenomena yang terdiri dari beberapa variabel. Jenis
variabel yaitu variabel bebas (independent), terikat (dependent), moderator
(intervening), perancu atau pengganggu (counfounding), kendali/ kontrol
(control), dan random (Nursalam, 2017). Sebelum menjelaskan kerangka
konsep yang akan diteliti, peneliti akan menjelaskan tentang jenis-jenis
variabel yang berkaitan, yaitu:

1. Variabel independent (bebas) adalah variabel yang memengaruhi atau


nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2017). Variabel independent
pada penelitian ini adalah teknik relaksasi otot progresif.
2. Variabel dependent (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi dan nilainya
ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2017). Variabel dependent pada
penelitian ini adalah kecemasan pasien CKD yang menjalani hemodialisis.
3. Karakteristik responden digunakan untuk mengetahui keragaman
demografi pada responden. Karakteristik pada penelitian ini yaitu jenis
umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan lama menjalani
terapi hemodialysis.

38
39

Skema berikut menggambarkan keterkaitan antar variabel penelitian yang


dilakukan.

Skema 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Teknik Relaksasi Otot Kecemasan Pasien


Progresif (ROP) Hemodialisis
1.Ringan
2. Sedang
3. Berat
4. panik
Karakteristik responden
 Umur
 Jenis kelamin
 Tingkat pendidikan
 Pekerjaan
 Lama menjalani HD

Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti

B. Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diduga atau
hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji
secara empiris (Notoatmodjo, 2015). Hipotesis pada umumnya dinyatakan
dalam bentuk hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha). H0 diartikan
sebagai tidak adanya pengaruh/ hubungan atau ada perbedaan antar variabel
yang diteliti, sedangkan Ha diartikan dengan adanya hubungan/ pengaruh.
40

Sesuai dengan tujuan penelitian maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan


sebagai berikut:
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh antara teknik relaksasi otot progresif (ROP) terhadap
kecemasan pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang menjalani
hemodialisis di RS EMC Tangerang.
2. Hipotesis Nol (H0)
Tidak ada pengaruh antara teknik relaksasi otot progresif (ROP) terhadap
kecemasan pasien Chronic Kidney Disease (CKD) yang menjalani
hemodialisis di RS EMC Tangerang.

C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Notoatmodjo, 2015). Dalam
mendefinisikan suatu variabel harus dijelaskan tentang apa yang harus diukur,
bagaimana mengukurnya, apa saja kriteria pengukurannya, instrument yang
digunakan untuk mengukurnya dan skala pengukurannya. Definisi operasional
yang diberikan kepada variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 3.1
Definisi Operasional

Definisi Alat Skala


Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
Variabel Dependen
Kecemasan Perasaan Menggunakan Kuesioner Jumlah skor Ordinal
khawatir, Zung Self-rating B. jawaban
gelisah, takut Anxiety Scale, dikategorikan
yang terdiri dari 20
:
dirasakan pernyataan.
pasien CKD Responden 1= ringan,
yang memberi tanda jika skor 20-
menjalani checklist (√) pada 44
hemodialysis salah satu dari 2= sedang,
empat pilihan jika skor 45-
jawaban. Pilihan j 59
awaban menggun 3= berat, jika
akan skala likert: skor 60-74
1= tidak pernah 4= panik, jika
2= kadang- skor > 74
41

Definisi Alat Skala


Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
kadang
3= sebagian
waktu
4= hampir setiap
waktu
Variabel Independen
Teknik Suatu metode Dilakukan sesuai SOP ROP Diberikan Nominal
relaksasi otot yang dengan gerakan: ROP
progresif diberikan 1. Melatih otot
(ROP) pada pasien tangan
untuk 2. Melatih otot
merileksasika tangan bagian
n otot belakang
rangka, dari 3. Melatih otot
kepala bagian atas
sampai kaki pangkal
dengan lengan
teknik 4. Melatih otot
tertentu. bahu
5. Melatih otot
dahi
6. Melatih otot
mata
7. Melatih otot
rahang
8. Melatih otot
mulut
9. Melatih otot
leher bagian
depan dan
belakang
10. Melatih otot
leher depan
11. Melatih otot
punggung
12. Melatih otot
dada
13. Melatih otot
perut
14. Melatih otot
paha
Karakteristik responden
Umur Masa Bagian Kuesioner Usia dalam Interval
kehidupan pertanyaan data A tahun.
responden demografi Menurut
yang responden Depkes 2009,
dihitung Rentang usia
sejak tanggal dibagi:
kelahiran 1= dewasa
hingga ulang akhir (36-
42

Definisi Alat Skala


Variabel Cara Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur
tahun 45 th).
terakhir saat 2= lansiaawal
pengambilan (46-55 th)
data 3= lansia akhir
dilakukan (>55 th)
Jenis kelamin Karakteristik Bagian Kuesioner 1= laki-laki Nominal
seksual pertanyaan data A 2= perempuan
responden demografi
secara responden
biologis yang
menjadi
identitas
sejak lahir
Pendidikan Pendidikan Bagian Kuesioner 1= pendidikan Ordinal
formal yang pertanyaan data A dasar (SD,
terakhir demografi SMP, SMA)
diselesaikan responden 2= pendidikan
responden tinggi
Pekerjaan Kegiatan Bagian Kuesioner 1= PNS Nominal
utama yang pertanyaan data A 2= karyawan
dilakukan demografi swasta
responden responden 3= wiraswasta
dan 4= petani
mendapat 5= tidak
penghasilan bekerja
atas kegiatan
tersebut serta
masih
dilakukan
pada saat
pengambilan
data
Lama Waktu Bagian Kuesioner 1= 0-1 tahun Ordinal
menjalani HD seorang pertanyaan data A 2= > 1-2 tahun
pasien demografi
mengikuti responden
program
terapi cuci
darah
(hemodiali-
sis) yang
dinyatakan
dalam tahun
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian
yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti
pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2017). Penelitian ini menggunakan
desain kuantitatif dengan pendekatan quasi-eksperimental, yaitu penelitian
yang memberikan perlakuan (intervensi) dan mengukur akibat perlakuan
namun tidak menggunakan sampel acak untuk menyimpulkan perubahan yang
disebabkan perlakuan tersebut. Sugiyono (2017) menyatakan bahwa ciri
utama dari quasi experimental design adalah pengembangan dari true
experimental design, yang mempunyai kelompok kontrol namun tidak dapat
berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel dari luar yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.

Peneliti akan melakukan penelitian dengan pendekatan one group pretest and
post test. Menurut Arikunto (2016) pretest posttest one group design adalah
penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen
(pretest) dan sesudah eksperimen (posttest) dengan satu kelompok subjek.
Peneliti akan memberikan tes awal (pretest) pada responden untuk mengetahui
sejauh mana tingkat kecemasan yang dialami pasien yang menjalani terapi
hemodialisis. Setelah diberikan tes awal, penulis melakukan eksperimen
dengan memberikan intervensi berupa latihan teknik relaksasi otot progresif
(ROP) yang direncanakan akan dilakukan sebanyak 4 kali dalam waktu 2
minggu ( pada saat jadwal hemodialisis senin dan kamis) dilakukan sebelum
pasien melakukan tindakan hemodialisis. Untuk tindakan relaksasi otot
progresif ini, peneliti dibantu 1 orang perawat yang sudah dilatih dengan masa
kerja dan tingkat pendidikan yang sama dengan peneliti. Di akhir sesi 4,
peneliti akan mengukur tingkat kecemasan reponden dengan memberikan
kuesioner yang sama seperti di awal pengambilan data. Tujuannya untuk
mendapatkan perbandingan data dari tes awal (pretest) dan tes akhir (postest).

43
44

Berikut rancangan desain penelitian menggunakan pendekatan the one group


pretest-posttest design (Arikunto, 2016):
Skema 4.1
Skema Desain Penelitian

O1 X O2

Keterangan:
O1 : nilai pretest sebelum perlakuan
X : perlakuan
O2 : nilai posttest setelah perlakuan

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling


1. Populasi
Populasi merupakan jumlah keseluruhan yang menjadi subyek penelitian.
Populasi merupakan keseluruhan dari unit didalam pengamatan yang akan
dilakukan penelitian (Sabri & Hastono, 2014). Sedangkan menurut
Sugiyono (2017) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah pasi
en CKD yang menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit EMC Tangera
ng berdasarkan data dari Instalasi Rekam Medik didapatkan jumlah pasien
yang menjalani hemodialisis pada bulan November 2020 sebanyak 234 pa
sien dihitung sekali kunjungan setiap bulan. Pasien pada umumnya menjal
ani terapi hemodialisis 2 kali perminggu. Sedangkan untuk jumlah kunjun
gan perbulan sebanyak 2.024 tindakan.

2. Sampel
Sampel merupakan representasi dari populasi. Pada suatu penelitian teruta
ma penelitian klinis, perhitungan besar sampel memainkan peran penting
untuk menjamin akurasi dan integritas hasil penelitian. Sampel merupakan
perwakilan populasi dengan karakteristik yang diukur dan hasil ukur dari
45

karakteristik nantinya digunakan untuk menduga karakteristik populasi


(Sabri & Hastono, 2014).

Besar sampel eksperimen secara sederhana dapat dirumuskan menurut


Supranto (2000):

(t-1) (n-1) > 15

Keterangan:
t : banyaknya kelompok perlakuan
n : jumlah sampel

Sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah:


(t-1) (n-1) >15
(2-1) (n-1) > 15
(1) (n-1) > 15
(n-1) > 15
n = 15 + 1
n = 16
Untuk mengantisipasi hilangnya unit eksperimen maka dilakukan korelasi
dengan:

1
(1−f )

atau

Drop Out = 10% x n


= 10% x 16
= 1,6
=2
f = Proporsi unit eksperimen yang hilang atau mengundurkan diri atau
drop out.
Untuk memperhitungkan adanya kesalahan dan sebagainya, maka
pengambilan sampel ditambah sebanyak 10% sehinggga sampel yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 16 + 10% = 18 sampel. Besar
46

sampel yang didapatkan dengan menggunakan rumus sampel sebanyak 18


orang responden.

3. Teknik Pengambilan Sampling


Teknik pengambilan sampel merupakan cara untuk menentukan sampel ya
ng jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber d
ata sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi
agar diperoleh sampel yang representatif (Arikunto, 2016). Metode penga
mbilan sampel pada penelitian ini menggunakan non-probability
(purposive sampling) yaitu salah satu teknik pengambilan sampel yang
tidak memberi peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi (responden) untuk dipilih menjadi sampel.

Menurut Sugiyono (2017), sampel adalah bagian dari jumlah dan


karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Mengacu pada pendapat
Sugiyono apabila peneliti melakukan penelitian terhadap populasi yang
besar, sementara peneliti memiliki keterbatasan maka peneliti
menggunakan teknik pengambilan sampel. Tujuannya agar penulis dalam
mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, tetapi
didasarkan atas adanya tujuan penelitian. Jumlah sampel yang akan
digunakan pada penelitin ini direncanakan sebanyak 18 responden.

4. Kriteria Sampel
Subyek penelitian harus memenuhi kriteria agar dapat dijadikan
responden.Sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Menurut Nursalam (2017), kriteria inklusi adalah karakteristik umum
subyek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan
diteliti. Kriteria inklusi merupakan kriteria atau ciri-ciri yang harus
dipenuhi oleh anggota populasi yang akan dijadikan sampel. Pada
penelitian ini kriteria inklusinya adalah:
a. Dewasa,usia ≥ 36 tahun
b. Lama menjalani hemodialysis < 2 tahun
c. Bersedia menjadi responden dengan menandatangani lembar
pernyataan persetujuan menjadi responden pada informed consent.
47

d. Tidak ada gangguan membaca dan menulis


Sedangkan kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan
beberapa subyek yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab
tertentu (Nursalam, 2017). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
a. Pasien dengan keluhan berat atau dengan komplikasi yang signifikan.
b. Pasien dengan penurunan kesadaran
c. Sedang mendapat terapi obat anti-ansietas

C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit EMC Tangerang yang berlokasi di Jl. K.
H. Hasyim Ashari Kota Tangerang. Alasan peneliti memilih RS EMC Tangera
ng sebagai lokasi penelitian karena belum pernah ada intervensi khusus dalam
menangani permasalahan terkait kecemasan pada Pasien CKD dengan
hemodialisis.

D. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang terdiri dari waktu persiapan,pelaksanaan dan
penyusunan laporan dilaksanakan pada bulan Oktober 2020 sampai Januari
2021. Sedangkan pelaksanaan atau pengumpulan data responden pada bulan
Januari 2021.

E. Etika Penelitian
Penelitian dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek
sosioetika dan harkat kemanusiaan yang meliputi prinsip-prinsip dasar etik
yaitu beneficence, respect for human dignity &justice. Prinsip-prinsip dasar
etik penelitian menurut Polit & Beck (2012), yaitu:
1. Beneficience (Asas Manfaat)
Salah satu prinsip etik yang paling mendasar adalah asas manfaat. Dalam
hal ini peneliti harus meminimalkan kerugian dan memaksimalkan
manfaat untuk responden penelitian.
a. Bebas dari Kerugian dan Ketidaknyamanan
Peneliti memiliki kewajiban untuk mencegah atau tidak menimbulkan
kerugian dan ketidaknyamanan baik fisik maupun psikis responden.
48

Peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan melalui lembar informed


consent kepada responden dengan mengidentifikasi karakteristik
responden sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh peneliti
merupakan salah satu cara peneliti untuk mencegah kerugian dan
ketidaknyamanan responden.

b. Bebas dari Eksploitasi


Keterlibatan responden dalam penelitian ini harus mendapat jaminan
bahwa data atau informasi yang diperoleh dari responden tidak akan
menimbulkan kerugian bagi responden di masa yang akan datang.
Pada tahap ini, peneliti menjelaskan tujuan penelitian, manfaat dan
prosedur penelitian serta hak dan kewajiban responden, sehingga
responden merasa tidak di eksploitasi. Selain itu, peneliti juga
menjelaskan hak dan kewajiban peneliti untuk melindungi responden
dan menggunakan data atau informasi yang diberikan responden hanya
sebatas untuk kegiatan penelitian yang membuat responden merasa
aman selama dilakukan penelitian.

2. Respect for Human Dignity (Asas Menghargai Hak Asasi Manusia)


a. The Right To Self Determination (Hak Membuat Keputusan)
Responden merupakan individu yang memiliki otonomi untuk
menentukan pilihan ikut atau menolak terlibat dalam penelitian. Tidak
boleh ada pemaksaan atau tekanan bagi responden untuk bersedia ikut
dalam penelitian dan tidak ada perasaan takut akan mendapatkan
sanksi atau tuntutan hukum. Selama penelitian berlangsung, peneliti
menghargai dan menerima semua keputusan responden yang diberikan
sehingga responden terlibat dalam penelitian secara suka rela dan tanpa
paksaan.
b. The Right to Full Disclousure (Hak Memperoleh Informasi)
Hak untuk membuat keputusan dan hak untuk memperoleh informasi
merupakan dua faktor utama yang menjadi landasan dalam membuat
informed consent. Responden berhak mendapatkan informasi yang
49

lengkap tentang tujuan dan manfaat penelitian serta prosedur penelitian


yang lengkap.

3. Justice (Asas Keadilan)


a. The Right to Fair Treatment (Hak Mendapatkan Tindakan Adil)
Prinsip memperlakukan secara adil berkaitan dalam memilih
responden berdasarkan kriteria sampel bukan berdasarkan maksud atau
posisi tertentu. Selain itu, peneliti harus mempertimbangkan semua
responden tanpa adanya diskriminasi dengan menghargai perbedaan
baik dalam hal keyakinan, budaya maupun status sosial ekonomi
responden. Peneliti dalam melakukan penelitian tidak membedakan-
bedakan responden yang telah ditentukan berdasarkan kriteria inklusi
dengan memperhatikan prinsip keadilan.
b. The Right to Privacy (Hak untuk Mendapatkan Privasi)
Responden memiliki hak untuk mengajukan permintaan mengenai data
atau informasi yang berkaitan dengan kerahasiaan data responden.
Responden perlu mendapatkan hak untuk tidak diketahui identitas
pribadinya, serta dijaga kerahasiaan pribadinya dari data yang telah
diberikan oleh responden. Peneliti tetap menjamin privasi responden
pada saat responden memberikan informasi yang bersifat pribadi dan
menjaga kerahasiaan informasi pribadi dari responden. Untuk menjaga
kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak akan mencantumkan nama
subjek (anonymity), alamat atau asal responden pada lembar kuesioner
atau alat ukur, tetapi peneliti menggunakan kode yang hanya diisi dan
diketahui oleh peneliti.

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah semua alat yang digunakan untuk mengumpulkan,
memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah,
menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif dengan
tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis (Arikunto,
2016). Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar kuesioner.
Menurut Sugiyono (2017) mengatakan bahwa kuesioner merupakan teknik
50

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat


pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.

Berdasarkan uraian di atas instrument penelitian yang digunakan dalam


penelitian ini menggunakan kuesioner skala kecemasan yaitu Zung Self Rating
Anxiety Scale (ZSAS).

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bagian A dan B. Ba
gian A merupakan data demografi/ karakteristik responden yang teridiri dari 5
pertanyaan. Bagian B adalah kuesioner tentang kecemasan. Terdiri dari 20 per
nyataan yang akan diberikan kepada responden. Kuesioner menggunakan skal
a Likert dengan pengisian menggunakan tanda centang (√). Sugiyono (2017)
menyatakan bahwa skala Likert digunakan untuk mengukur suatu sikap, penda
pat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu fenomena so
sial. Pada kuesioner kecemasan menggunakan skala Likert 1 sampai 4. Untuk
pernyataan positif (favorable)menggunakan ketentuan dimana 1 = tidak
pernah; 2 = kadang-kadang; 3 = sebagian waktu; 4 = hampir setiap waktu.
Sedangkan untuk pernyataan negatif (unfavorable) menngunakan ketentuan 4
= tidak pernah; 3 = kadang-kadang; 2 = sebagian waktu; 1 = hampir setiap
waktu.

1. Uji Validitas
Uji validitas instrumen dilakukan untuk menunjukkan keabsahan dari
instrumen yang akan dipakai pada penelitian. Validitas (kesahihan) adalah
pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen
dalam pengumpulan data. Menurut Arikunto (2016), validitas adalah suatu
ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan dan kesahihan suatu
instrumen. Pengertian validitas tersebut menunjukkan ketepatan dan
kesesuaian alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel. Alat ukur
dapat dikatakan valid jika benar-benar sesuai dan menjawab secara cermat
tentang variabel yang akan diukur. Suatu item pernyataan dikatakan valid,
bila r-hitung positif dan lebih besar dari r-tabel (Arikunto, 2016).Dalam
penelitian ini uji validitas merujuk pada sumber Nasution, et al., (2013)
51

hasil uji validitas tiap pertanyaan kuesioner ZSAS dengan nilai terendah
0,663 dan tertinggi adalah 0,918.

2. Uji Reliabilitas
Sedangkan uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui ketetapan suatu
instrumen didalam mengukur gejala yang sama walaupun dalam waktu
yang berbeda. Notoatmodjo (2015) berpendapat bahwa reliabilitas adalah
index yang menunjukan apakah suatu alat pengukur dalam penelitian dapat
dipercaya. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran dari
instrument tersebut tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang
sama. Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila
fakta atau kenyataan hidup tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam
waktu yang berlainan (Nursalam, 2017).

Reliabilitas merupakan suatu instrumen yang bila digunakan beberapa kali


untuk mengukur objek yang sama maka akan menghasilkan data yang
sama. Hasil pengukuran yang memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi
akan mampu memberikan hasil yang terpercaya. Tinggi rendahnya
reliabilitas instrumen ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien
reliabilitas. Jika suatu instrumen dipakai dua kali untuk mengukur gejala
yang sama dan hasil pengukurannya yang diperoleh konsisten, instrumen
itu reliabel. Perhitungan dalam pengujian reliabilitas, yaitu suatu variabel
dapat dikatakan reliabel apabila memberikan nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0,6
(Sabri & Hastono, 2014).

Teknik uji reabilitas yang digunakan dengan koefisien reabilitas Alpha


Cronbach dengan nilai reliabilitas sebagai berikut,

Interprestasi harga r menurut Sugiyono (2016): 


1) 0,80 – 1,00    Sangat Reliabel
2) 0,60 – 0,80    Reliabel
3) 0,40 - 0,60      Cukup Reliabel
4) 0,20 – 0,40    Agak Reliabel
52

5) 0,00 – 0,20    Kurang Reliabel


Dalam penelitian ini uji reliabilitas merujuk pada sumber Nasution, et.al
(2013) yang menyatakan hasil uji reliabilitas instrument ZSAS
menunjukan angka 0,829 sehingga kuesioner dikatakan reliabel (Nasution,
et al., 2013).

G. Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data merupakan proses pendekatan kepada subjek dan
pengumpulan karakteristik subjek dalam penelitian. Prosedur pengumpulan
data dalam penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Prosedur Administrasi
a. Prosedur administrasi dilakukan sebelum melakukan penelitian, yaitu
dimulai dari mengajukan surat izin penelitian ke STIKes Pertamedika.
b. Setelah permohonan izin penelitian oleh ketua STIKes Pertamedika
surat tersebut disampaikan ke direktur Rumah Sakit EMC Tangerang.
c. Surat penelitian di keluarkan oleh Direktur Rumah Sakit EMC
Tangerang,setelah itu peneliti melakukan pengambilan data untuk
penelitian

2. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pelaksanaan diuraikan sebagai berikut:
a. Peneliti mengidentifikasi calon responden yang sesuai memenuhi
kriteria sampel yang ditetapkan.
b. Peneliti kemudian mendatangi calon responden dan memperkenalkan
diri.
c. Peneliti menjelaskan tentang tujuan dan prosedur penelitian,
kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan, manfaat penelitian, hak
menolak untuk berpartisipasi serta jaminan kerahasiaan atau privacy.
d. Peneliti memberikan kesempatan calon responden untuk bertanya
tentang hal-hal yang belum jelas mengenai penelitian yang akan
dilakukan.
53

e. Peneliti kemudian menawarkan calon responden untuk menjadi


responden penelitian.
f. Responden yang bersedia, kemudian menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden (informed consent).
g. Selanjutnya peneliti mulai melakukan pengumpulan data.
h. Peneliti membagikan kueisoner dan menjelaskan tentang cara
pengisian kuesioner.
i. Peneliti mendampingi responden pada saat pengisian data, jika ada
pertanyaan yang kurang dipahami responden, peneliti dapat langsung
menjelaskannya.
j. Setelah pengisian kuesioner selesai, responden dapat langsung
menyerahkannya pada peneliti.
k. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan bila ada data yang kurang
lengkap dapat langsung dilengkapi saat itu juga.
l. Kemudian dilanjutkan dengan sesi latihan teknik relaksasi otot
progresif (ROP) yang dipandu oleh peneliti.
m. Selama proses intervensi berlangsung, peneliti tidak lupa untuk
menerapkan protokol kesehatan dimasa Pandemi Covid-19.

H. Pengolahan dan Analisa Data


Dalam suatu penelitian, pengolahan data merupakan salah satu langkah yang
penting. Data yang diperoleh langsung dari penelitian masih mentah, belum
memberikan informasi apa-apa dan belum siap untuk disajikan (Notoadmodjo,
2012). Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul maka langkah berikutnya adalah pengolahan data.
Dalam penelitian ini pengolahan data terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
a. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa validitas data yang masuk.
Kegiatan ini terdiri dari pemeriksaan atas kelengkapan pengisian
kuesioner dan alat ukur. Langkah-langkah yang dilakukan adalah
54

memeriksa kelengkapan data, memeriksa kesinambungan data, dan


memeriksa keseragaman data.Pada tahap ini dilakukan pengeditan
pada data untuk memastikan bahwa data yang diperoleh merupakan
data yang bersih dan lengkap, artinya bahwa data tersebut telah terisi
semua, konsisten dan relevan, serta dapat dibaca dengan baik sehingga
dapat dimengerti.

b. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data ke dalam bentuk yang lebih
ringkas dengan menggunakan kode-kode tertentu. Maksudnya bahwa
data yang sudah diedit diberi identitas sehingga memiliki arti tertentu
pada saat dianalisis. Semua variabel pada penelitian ini dikategorikan
pada proses coding. Pengkodean data yang semula berupa huruf,
diubah menjadi angka untuk mempermudah proses pengolahan data.

c. Entry
Proses memasukkan jawaban yang telah dikode ke dalam tabel melalui
pengolahan computer. Entry berguna untuk menghitung frekuensi data
dan dianalisis dengan menggunakan bantuan aplikasi perangkat lunak
komputer program SPSS (Statistical Program for Social Science).
Entry data merupakan kegiatan memasukkan semua data isian
kuesioner yang telah dikoding terlebih dahulu melalui program
pengolahan komputer untuk dapat diproses lalu dianalisa.

d. Cleaning
Cleaning adalah kegiatan pemeriksaan kembali data yang telah
dimasukkan ke dalam komputer untuk mengetahui adanya kesalahan
kode dan melakukan koreksi (Notoatmodjo, 2015). Data yang tidak
sesuai dengan kebutuhan akan dihapus. Peneliti dapat mengetahui
missing data dengan melakukan pengecekan. Cleaning merupakan
kegiatan pengecekan ulang terhadap data yang sudah dimasukkan
kdalam program pengolahan data untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan dalam pengkodingan, adanya ketidaklengkapan
55

selanjutnya dilakukan pembetulan atau koreksi sehingga sudah siap


untuk dianalisa.

2. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan
menggunakan uji statistik yang sesuai dengan pendekatan atau desain yang
digunakan, sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang disebut analisa data
(Notoatmodjo, 2015). Analisa data dalam penelitian ini menggunakan
analisa univariat dan bivariat.

Sebelum melakukan analisis data maka perlu dilakukan uji kenormalan


data (uji normalitas). Untuk mengetahui suatu data berdistribusi normal,
ada 3 (tiga) cara untuk mengetahuinya yaitu:
a. Dilihat dari grafik histogram dan kurva normal, bila bentuknya
menyerupai bel shape, berarti berdistribusi normal.
b. Menggunakan nilai Skewness dan standar errornya. Bila nilai
Skewness dibagi standar errornya menghasilkan angka ±2, maka
distribusinya normal.
c. Uji kolmogorov smirnov, bila hasil uji tidak signifikan (pvalue> 0,05)
maka distribusi normal.

Rumus Uji Skewness:

Keterangan:
Sk : koefisien Skewness
X : rata-rata
Mo : modus
s : simpangan baku

Hasil uji normalitas terhadap data yang dikumpulkan dapat dilihat pada
tabel berikut:
56

Tabel 4.1
Hasil Uji Normalitas
Kecemasan Pasien Hemodialisis Sebelum dan Sesudah Intervensi
Relaksasi Otot ProgresifUnit Hemodialisis RS EMC
Tangerang Tahun 2021 (n:18)
Standar
Kecemasan Skewness Hasil Keterangan
error
Pre-test 0.203 0.536 0.379 Normal
Post-test 0.172 0.536 0.321 Normal

Berdasarkan tabel 4.1 uji normalitas Koefisien Skewness. Bila Koefisien


Skweness dibagi Standar Error, nilainya antara -2 s/d +2 maka data
tersebut berdistribusi normal.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dan


bivariat.
a. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap seluruh variabel penelitian
sehingga karakteristik setiap variabel dapat diketahui dan
memudahkan dalam melakukan analisis bivariat. Hasil analisa
univariat disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari
persentase tiap variabel penelitian. Adapun cara perhitungan dilakukan
dengan menggunakan rumus menurut Arikunto (2016) sebagai berikut:
F
P= x 10 0 %
N

Keterangan:
P = Persentase
F = Jumlah pernyataan yang benar
N = Jumlah seluruh pernyataan

b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Pada penelitian ini
menggunakan uji t dependen (paired t-test). Paired t-test digunakan
untuk menguji beda mean dari 2 hasil pengukuran pada kelompok
yang sama (misalnya beda mean pre-test and post test)
57

(Hastono,2014). Syarat atau asumsi yang harus dipenuhi adalah


sebagai berikut:
1) Data berdistribusi normal/simetris
2) Kedua kelompok data independen
3) Variabel yang dihubungkan berbentuk numeric dan kategorik
(dengan hanya dua kelompok)
Rumus:
T= d
SD_d/√ n
Keterangan:
d = rata-rata deviasi/selisih sampel 1 dan 2
SD_d = standar deviasi dari deviasi/ selisih sampel 1 dan sampel 2
58

BAB V
HASIL PENELITIAN

Bab ini akan menjelaskan tentang penelitian Pengaruh Teknik Relaksasi


OtotProgresif (ROP) Terhadap Kecemasan Pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) Dengan Hemodialisis Di RS EMC Tangerang yang dilaksanakan pada
tanggal 4 januari sampai 18 januari 2021 dengan jumlah sampel sebanyak 18
orang sesuai dengan kriteria inklusi. Penyajian dimulai dalam bentuk tabel dan
narasi yang meliputi tentang distribusi karakteristik responden,distribusi tingkat
kecemasan dan pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap kecemasan. Uji
ini menggunakan pendekatan uji statistik paired t-test.

A. Hasil Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan karakteristik dari masing-
masing variabel yang diteliti. Berikut merupakan hasil analisis karakteristik re
sponden berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan lama me
njalani hemodialisis serta variabel kecemasan pada pasien Cronic Kidney Dise
ase (CKD) yang menjalani terapi hemodialisis.

1. Karakteristik Responden
a. Umur

Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan UmurUnit Pelayanan Hemodia


lisis RS EMC Tangerang
Tahun 2021 (n:18)
59

Umur Frekuensi(n) Persentase (%)

36-45 tahun 10 55

46-55 tahun 7 39

>55 tahun 1 6

Jumlah 18 100

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa lebih banyak usia responde


n pada rentang 36-45 tahun sebanyak 10 responden (55%) Usia respon
den paling sedikit pada rentang lebih dari 55 tahun sebanyak 1 respond
en (6%).

b. Jenis kelamin

Tabel 5.2

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis KelaminUnit

Pelayanan Hemodialisis RS EMC Tangerang


Tahun 2021 (n:18)

Jenis Kelamin Frekuensi(n) Persentase (%)

Laki-laki 7 39

Perempuan 11 61

Jumlah 18 100
60

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan s


ebanyak 11 responden (61%), lebih banyak dibanding laki-laki sebany
ak 7 responden (39%).

c. Pendidikan
61

Tabel 5.3

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

Unit Pelayanan Hemodialisis RS EMC


TangerangTahun 2021 (n:18)

Pendidikan Frekuensi(n) Persentase (%)

Pendidikan dasar 11 61

Pendidikan tinggi 7 39

Jumlah 18 100

Berdasarkan Tabel 5.3 menunjukkan mayoritas responden berada pada


jenjang pendidikan dasar sebanyak 11 responden (61%) dibanding
jenjang pendidikan tinggi sebanyak 7 responden (39%).

d. Pekerjaan
62

Tabel 5.4

Distribusi Responden Berdasarkan PekerjaanUnit

Pelayanan Hemodialisis RS EMC Tangerang


Tahun 2021 (n:18)

Pekerjaan Frekuensi(n) Persentase (%)

PNS 1 6

Karyawan swasta 6 33

Wiraswasta 6 33

Tidak bekerja 5 28

Jumlah 18 100

Berdasarkan Tabel 5.4 menunjukkan pekerjaan sebagai karyawan


swasta dan wiraswasta sama besar sebanyak 6 responden (33%),
diikuti responden yang tidak bekerja sebanyak 5 responden (28%), dan
pekerjaan sebagai PNS sebanyak 1 responden (6%).

e. Lama Menjalani Hemodialisis

Tabel 5.5

Distribusi Responden Berdasarkan Lama MenjalaniHemodialisis


Unit Pelayanan HemodialisisRS EMC Tangerang
Tahun 2021 (n:18)
63

Lama Menjalani HD Frekuensi(n) Persentase (%)

0-1 tahun 8 44

>1-2 tahun 10 56

Jumlah 18 100

Berdasarkan tabel 5.5 terhadap 18 responden didapatkan bahwa lama


responden menjalani Hemodialisis kurang dari 1 tahun sebanyak 44%
dan yang menjalani hemodialysis >1-2 tahun sebanyak 56% di unit
pelayanan hemodialysis RS EMC Tangerang.

2. Variabel Kecemasan
a. Tingkat Kecemasan Sebelum Intervensi

Tabel 5.6

Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan

Sebelum Intervensi ROPUnit Pelayanan

Hemodialisis RS EMC Tangerang


Tahun 2021 (n:18)
64

Tingkat Frekuensi
Kecemasan Persentase
Mean
(%)
(n)

Pre test    

Ringan 5 28

Sedang 11 61 49,1

Berat 2 11

Jumlah 18 100

Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan bahwa mayoritas responden sebelum


dilakukan intervensi ROP, tingkat kecemasan berada pada kategori ce
mas sedang sebanyak 11 responden (61%), diikuti dengan cemas ringa
n sebanyak 5 responden (28%). Mean kecemasan sebelum intervensi
sebesar 49,1.

b. Tingkat Kecemasan Sesudah Intervensi

Tabel 5.7

Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan

Sesudah Intervensi ROPUnit Pelayanan

HemodialisisRS EMC Tangerang


Tahun 2021 (n:18)
65

Frekuensi Persentase
Tingkat
Mean
Kecemasan
(n) (%)

Post test

Ringan 8 44
45,7
Sedang 10 56

Jumlah 18 100

Berdasarkan tabel 5.7 didapatkan bahwa mayoritas responden sesudah


dilakukan intervensi ROP didapatkan tingkat kecemasan ringan sebany
ak 8 responden (44 %) dan kecemasan sedang sebanyak 10 responden
(56%). Mean kecemasan sesudah intervensi sebesar 45,7.

B. Hasil Bivariat
Analisis bivariat menggunakan pendekatan uji statistik paired t-test. asil korel
asi dan signifikan dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut.

Tabel 5.8

Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif (ROP) terhadap Kecemasan


Pasien Hemodialisis Unit PelayananHemodialisis
RS EMC TangerangTahun 2021 (n:18)

Teknik ROP Mean SD p-value

Pre-tes 49,1 8,0


0,001*
Post-tes 45,7 8,1

*Bermakna pada α<0.05


66

Berdasarkan tabel 5.8 terlihat bahwa pemberian teknik Relaksasi Otot Pr


ogresif (ROP) dapat menurunkan tingkat kecemasan sebesar 3,4 yaitu dar
i 49,1 (sebelum pemberian teknik ROP) menjadi 45,7 (sesudah pemberia
n teknik ROP). Hasil uji T diperoleh pvalue sebesar 0,001 (p value <
0,05) dengan kesimpulan Ha diterima, yaitu ada pengaruh teknik reaksasi
otot progresif (ROP) terhadap kecemasan Pasien Chronic Kidney
Disease (CKD) Dengan Hemodialisis Di RS EMC Tangerang.
67

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan hasil penelitian yang berkaitan dengan tujuan
penelitian dan dibandingkan atau diperkuat dengan teori maupun hasil penelitian.

A. Analisis Univariat dan Bivariat


1. Analisis Univariat
a. Umur
Berdasarakan hasil distribusi frekuensi dari 18 responden
menunjukkan bahwa mayoritas usia responden di Unit Pelayanan
Hemodialisis RS EMC Tangerang berkisar antara 36-45 tahun (55%)
yang merupakan usia pada tahap perkembangan dewasa akhir.

Hasil penelitian Pramono, Hamranani dan Sanjaya (2019) tentang


pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan
pasien hemodialysis menunjukkan rerata usia responden yaitu 45,15
tahun. Sedangkan penelitian Alfiyanti, Setyawan & Kusuma (2014)
tentang pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi
pasien GGK yang menjalani hemodialysis menunjukkan 89%
responden berada pada rentang usia 26-65 tahun. Data laporan
Indonesian Renal Registry (IRR, 2018) tentang pasien yang menjalani
Hemodialisis menunjukkan usia 45-54 menempati urutan pertama
68

dengan 30,31%, disusul usia 55-64 sebanyak 28,84%. Sedangkan usia


35-44 sebesar 16,54% diurutan ketiga.

National Health Insurance (NHI) menyatakan bahwa pertambahan


usia berhubungan dengan faktor risiko terjadinya CKD (NHI, 2012).
Sedangkan pola makan dan kebiasaan buruk juga dikaitkan sebagai
faktor yang menyebabkan kerusakan fungsi ginjal yang dialami oleh
pasien CKD pada usia tua (Dharma, 2014). Fungsi ginjal akan berubah
dengan pertambahan usia. Pada usia 40 tahun terjadi penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) secara progresif. Sampai mencapai usia 70
tahun ginjal kehilang sekitar 50% dari kemampuan normalnya
(KDIGO, 2012).

Salah satu fungsi tubulus yaitu kemampuan reabsorbsi dan pemekatan


akan berkurang bersamaan dengan peningkatan usia (Brunner &
Suddarth, 2015). Penambahan usia juga berkaitan dengan munculnya
komorbiditas dan penyakit degenaratif lainnya seperti hipertensi dan
diabetes mellitus (Pernefri, 2018). Data Pernefri (2018) mencatat
bahwa penyebab utama CKD secara berurutan yaitu Hipertensi dan
Nefropati Diabetik.

Peneliti berpendapat bahwa usia yang ditemukan kebanyakan pada


rentang usia 36-45 (55%) diurutan pertama. Alasan banyaknya usia
tersebut yang ditemukan karena Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup
orang dewasa yaitu sering mengkonsumsi minuman berenergi supaya
tidak mudah cepat lelah dan pola makan yang tinggi lemak. Gaya
hidup yang tidak sehat pada usia dewasa lainnya yaitu pola makan
yang tinggi lemak. Makanan yang tidak sehat tersebut apabila tidak
diimbangi dengan konsumsi makanan yang tinggi serat (sayuran dan
buah) dalam jumlah cukup akan mengakibatkan gangguan dalam
metabolisme lemak. Hal tersebut dapat menyebabkan LDL (Low
Density Lipoprotein) dan trigliserida meningkat, dan sebaliknya HDL
(High Density Lipoprotein) menurun. Apabila hal itu terjadi, maka
akan menimbulkan tumpukan lemak semakin banyak, sehingga
69

menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang berlangsung lama dapat


mempengaruhi fungsi ginjal, karena ginjal harus bekerja lebih keras
sehingga fungsi ginjal menurun dan terjadi kerusakan pada ginjal.

b. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi dari 18 responden didapatkan
jenis kelamin responden lebih banyak perempuan (61%) di unit
pelayanan hemodialysis RS EMC Tangerang.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Kusumawardani (2010) yang


menyatakan bahwa pasien yang lebih banyak menderita gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisis berjenis kelamin perempuan
(67,3%). Berbeda dengan hasil yang ditemukan peneliti, laporan
Indonesian Renal Registry (IRR, 2018) menunjukkan pasien baru
berdasarkan gender yang menjalani hemodialysis lebih banyak laki-
laki sebesar (57%). Penelitian Lestari (2017) juga menunjukkan bahwa
laki-laki (57,6%) lebih banyak dari perempuan yang menjalani
hemodialysis. Namun, data dari Center Disease Control (CDC) di
Amerika Serikat menunjukkan hasil yang berbeda. CDC menyebut
bahwa penyakit gagal ginjal lebih tinggi dialami oleh wanita (18
persen) dibandingkan pria (13 persen). Seperti dilansir oleh situs John
Hopkins Medicine, diperkirakan ada 195 juta wanita mengalami gagal
ginjal di seluruh dunia dan penyakit tersebut dinobatkan sebagai
penyebab kematian nomor 8 di kalangan wanita.

Jenis kelamin merupakan karakteristik seksual seseorang secara


biologis yang menjadi identitas sejak lahir. Menurut KBBI jenis
kelamin adalah sifat jasmani atau rohani yang membedakan dua
makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan pria. Jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu
(Fakih, 2010).
70

Peneliti berpendapat mengapa wanita lebih rentan mengalami gagal


ginjal adalah karena mereka lebih rentan mengalami infeksi saluran
kemih (ISK), dan preeklamsia yang dijumpai pada 3–10 persen wanita
hamil. Selain itu, penyakit sistemik lain seperti systemic lupus
erythematosus (SLE), rheumatoid arthritis (RA), dan systemic
scleroderma (SS) juga lebih berisiko dialami oleh wanita. Penyakit-
penyakit tersebut dapat menyebabkan komplikasi berupa gagal ginjal.
Pada penyakit SLE misalnya, 50 persen pasien wanita yang
mengalaminya berakhir pada kondisi gangguan fungsi ginjal yang
sangat mungkin berujung pada gagal ginjal.

c. Pendidikan
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi dari 18 responden didapatkan
tingkat pendidikan responden mayoritas berpendidikan dasar sebesar
61% di unit pelayanan hemodialysis RS EMC Tangerang.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Alfiyanti, Setyawandan Kusuma


(2014) yang menyimpulkan tingkat pendidikan dasar (SD,SMP dan
SMA) pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisis
sebanyak 78%. Hasil serupa diungkapkan oleh Pramono, Hamranani,
dan Sanjaya (2019) yang menyatakan tingkat pendidikan responden
sebanyak 90% berpendidikan dasar.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur yang sering dilihat


hubungannya dengan kesakitan dan kematian, karena hal tersebut
dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk
pemeliharaan kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan merupakan
proses perubahan perilaku secara terencana pada diri individu,
kelompok, atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai
tujuan hidup sehat. Pendidikan merupakan proses belajar pada
individu, kelompok,atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai
kesehatan menjadi tahu, dan dari tidak mampu mengatasi masalah
kesehatan sendiri menjadi mandiri.
71

Peneliti berpendapat bahwa banyaknya pendidikan dasar yang


ditemukan pada responden, kemungkinan disebabkan responden
memiliki berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah yang
tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi. Kemungkinan lain adalah responden lebih banyak pada
pendidikan dasar karena menganggap pendidikan di tingkat tinggi
(perguruan tinggi) tidak menjamin akan mendapat pekerjaan yang
sesuai sehingga merasa cukup dengan pendidikan dasar saja. Tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
termasuk pemeliharaan kesehatan. Seseorang yang tidak memiliki
cukup pengetahuan kemungkinan akan merasakan tekanan dan tingkat
cemas yang berbeda saat menjalani hemodialisis.

d. Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian distribusi frekuensi dari 18 responden
didapatkan bahwa pekerjaan responden yang paling banyak yaitu
karyawan swasta dan wiraswasta masing-masing 33%, diikuti dengan
tidak bekerja 28 % dan PNS sebanyak 6 % di unit pelayanan
hemodialysis RS EMC Tangerang.

Hasil ini didukung oleh penelitian Pramono, Hamranani, & Sanjaya


(2019) yang menyimpulkan pekerjaan responden yang paling banyak
adalah wiraswasta (25%). Hal serupa diutarakan oleh Kamil, Agustina,
&Wahid (2018) yang menyelidiki gambaran tingkat kecemasan pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialysis menemukan jumlah
responden gagal ginjal yang bekerja sebagai swasta sebanyak 44,3%.

Pekerjaan merupakan kegiatan utama yang dilakukan seseorang dan


mendapat penghasilan atas kegiatan tersebut. Dalam arti luas pekerjaan
berarti setiap aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
Sedangkan dalam arti sempit pekerjaan merupakan istilah yang
digunakan untuk sebuah kegiatan tugas yang dilakukan oleh seseorang
72

dengan harapan timbal balik berupa uang atau hal lainnya sesuai
kesepakatan. Istilah pekerjaan ini biasa digunakan oleh orang dewasa
dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan baik yang bersifat rutin
atau tidak rutin, penghasilan tersebut bisa berupa upah (harian) atau
gaji (bulanan). Jadi pada intinya harus ada timbal balik setelah kita
melakukan sebuah pekerjaan

Berbagai jenis pekerjaan dapat berpengaruh pada morbiditas dan


mortalitas suatu penyakit. Pekerjaan seseorang yang hanya duduk
(pekerja kantoran), tanpa disadari dapat menyebabkan gangguan ginjal
karena asupan cairan yang kurang serta terhimpitnya saluran ureter
pada ginjal. Dehidrasi mengakibatkan urin menjadi lebih pekat
sehingga bisa menyebabkan terjadinya penyakit ginjal (Pramono,
Hamranani, & Sanjaya, 2019).

Peneliti berpendapat bahwa pekerjaan tertentu berisiko terhadap


kejadian gagal ginjal. Pekerjaan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan status hidrasi lebih berisiko terhadap CKD. CKD
dapat disebabkan karena asupan cairan yang tidak adequat atau output
yang berlebihan Intensitas aktivitas sehari-hari seperti orang yang
bekerja berat dan dilingkungan yang banyak mengeluarkan keringat,
lebih mudah terserang dehidrasi. Kondisi dehidrasi dapat dikaitkan
dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, status sakit permanen dan
ketergantungan yang persisten pada terapi hemodialysis memicu
gangguan psikologis karena pasien cenderung merasa menjadi beban
bagi keluarga.

e. Lama Menjalani Hemodialisis


Berdasarkan hasil distribusi frekuensi terhadap 18 responden
didapatkan bahwa lama responden menjalani Hemodialisis kurang dari
1 tahun sebanyak 44% dan yang menjalani hemodialysis 1-2 tahun
sebanyak 56% di unit pelayanan hemodialysis RS EMC Tangerang.
73

Hasil penelitian Alfiyanti, Setyawan dan Kusuma (2014) dengan tema


pengaruh relaksasi otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodilisis menemukan mayoritas
responden telah menjalani hemodialysis > 3 tahun sebanyak 39%.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Kamil, Agustina, &Wahid
(2018) menunjukkan bahwa 65% dari jumlah keseluruhan responden
yang diteliti telah menjalani hemodialysis lebih dari 12 bulan, bahkan
sudah bertahun-tahun lamanya.

Lama menjalani hemodialysis yaitu waktu seorang pasien mengikuti


program terapi cuci darah (hemodialisis) yang pada umumnya
dinyatakan dalam tahun. Terapi hemodialisis merupakan terapi
substitusi sebagai pengganti fungsi ginjal. Kebanyakan kasus CKD
membutuhkan terapi penggantian ginjal (replacement renal therapy/
RRT) secara persisten seumur hidup (Cedeño, et al., 2020; Lew, et al.,
2016).Terapi hemodialysis biasanya dilakukan 2-3 kali seminggu dan
setiap terapi membutuhkan waktu sekitar 4 jam atau lebih tergantung
kebutuhan.

Pada penelitian ini, peneliti membatasi kriteria responden yang


menjalani hemodialysis kedalam dua kategori yaitu kurang dari
setahun dan 1-2 tahun. Peneliti berasumsi bahwa semakin lama
seseorang menjalani hemodialysis, maka semakin beradaptasi dengan
kondisi sakit yang dapat berpengaruh pada tingkat kecemasan. Peneliti
menganggap bahwa pasien yang sudah terbiasa dengan tindakan
hemodialysis akan lebih percaya diri dan berani dalam tindakan
hemodialysis yang dapat berpengaruh pada perasaan cemas. Semakin
lama pasien menjalani tindakan hemodialisis maka tingkat
kecemasannya berkurang oleh karena itu pasien sudah mencapai tahap
accepted (menerima) terhadap pelaksanaan hemodialisa.
74

f. Gambaran Kecemasan
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi terhadap 18 responden
didapatkan bahwa mayoritas tingkat kecemasan responden berada pada
kategori cemas sedang sebanyak 61%, diikuti dengan cemas ringan seb
anyak 28%, dan cemas berat sebanyak 11%.

Hasil penelitian yang dilakukan Wakhid & Suwanti (2019) pada pasien
hemodialysis menunjukkan 12,5% pasien tidak cemas, 30,7% cemas
ringan, 22,7% cemas sedang, dan 34,1% mengalami cemas berat.
Penelitian lain mendeskripsikan tingkat cemas pada pasien saat
ditetapkan perlu hemodialysis menunjukkan 2 pasien (7,7%) tidak
cemas, 9 pasien (34,6%) cemas ringan-sedang, dan 15 pasien (57,7%)
cemas berat(Sopha & Wardani, 2016). Sedangkan penelitian yang
dilakukan Pramono, Hamranani dan Sanjaya (2019) pada 20 pasien
hemodialysis menunjukkan seluruh pasien mengalami kecemasan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hassanzadeh, et al., (2018)


menyimpulkan bahwa kelelahan dan kecemasan merupakan masalah
utama yang menyerang hampir semua pasien dialisis.Pasien membutuh
kan waktu terapi sebanyak 12-15 jam setiap minggunya yang dilakuka
n 2-3 kali kunjungan. Kondisi ini akan mempengaruhi pola hidup. Pasi
en hemodialisis akan mengalami perasaan kehilangan karena kehidupa
n normalnya terganggu seperti kehilangan pekerjaan, kemandirian, keb
ebasan, dan ketidakberdayaan (Semaan, Noureddine & Farhood,
2018). Pasien akan mengalami stress kronis yang berasal dari beban
ekonomi penyakit, pembatasan diet yang ketat, dan pembatasan
lainnya (Hassanzadeh, Kiani, Bouya & Zarei, 2018) yang akan
menyebabkan perasaan cemas yang berlebihan.

Peneliti berpendapat bahwa kecemasan merupakan hal umum yang


terjadi pada pasien CKD dengan terapi hemodialysis. Hasil penelitian
yang dilakukan peneliti membuktikan bahwa pasien mengalami cemas
pada kategori sedang sebanyak 61%, diikuti dengan ringan 28%, dan b
erat sebanyak 11%. Pasien yang menjalani hemodialisis rentan mengal
75

ami kecemasan. Kecemasan merupakan salah satu respon emosional ya


ng paling sering ditemukan pada pasien dialysis. Sumber kecemasan y
ang paling signifikan disebabkan oleh ketergantungan yang terus mene
rus pada sebuah mesin canggih sebagai dialiser. Kecemasan pada pasie
n hemodialisis merupakan kombinasi stres dan gejala fisik serta beban
hidup yang semakin berat. Selain itu, pasien dihadapkan pada masalah
dan efek samping pengobatan yang berkepanjangan dari waktu ke
waktu.

2. Analisis Bivariat

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian 4 sesi


latihan pemberian teknik Relaksasi Otot Progresif (ROP) dapat menurunka
n rerata tingkat kecemasan seebsar 3,4. Hasil ini didapat dari selisih rerata
tingkat cemas sebelum intervensi sebesar 49,1 menjadi 45,7 sesudah
diberikan intervensi ROP. Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan
signifikan antara tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian tekni
k ROP (pvalue = 0,001) pada pasien hemodialisis.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pramono, Hamrani &
Sanjaya (2019) yang menyatakan bahwa terapi relaksasi otot progresif
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecemasan pada
pasien hemodialisis di RSUD Wonosari (pvalue< 0,05). Hasil penelitian la
in yang menguatkan, mengungkapkan bahwa teknik relaksasi otot sangat
efektif dalam mengurangi kecemasan dan ketegangan (Sadeghimoghadda
m, et al., 2019; Rahayu, Hayati, & Asih, 2020).

Kecemasan yang terjadi pada pasien dialysis bersifat multidimensional kar


ena perubahan somatik dan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi sec
ara bersamaan (Cohen, Cukor, &Kimmel, 2016). Kondisi ini menyebabka
n fenomena gangguan kognitif, perilaku, dan fisiologis yang membutuhka
n semacam intervensi pencegahan. Pasien dialisis dihadapkan pada berbag
ai stresor seperti kondisi sakit, kunjungan pengobatan secara teratur, kehila
76

ngan pekerjaan, perubahan persepsi diri, dan bahkan ketidakpastian masa d


epan akan hasil pengobatan sebagai akibat dari sifat penyakit yang komple
ks (Hassanzadeh, et al., 2018).

Teknik relaksasi otot progresif telah terbukti bermanfaat dalam berbagai k


ondisi kecemasan seperti nyeri kronis pada pasien kanker, gangguan fobia,
stress situasional, gangguan tidur, dan penurunan tekanan darah (Liu, et
al., 2020; Harorani, et al., 2019; Ekarini, Heryati, & Maryam, 2019;
Irawan, Hasballah, & Kamil, 2018). Mekanisme relaksasi otot progresif da
lam menurunkan tingkat kecemasan dan ketegangan dijelaskan ketika otot
berkontraksi (tegang) maka rangsangan akan disampaikan ke otot melalui j
alur saraf afferent. Tension merupakan kontraksi dari serat otot rangka yan
g menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi merupakan pemanjangan dari
serat-serat otot yang dapat menghilangkan sensasi ketegangan setelah otot
berkontraksi. Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik yang
melibatkan peregangan dan relaksasi semua kelompok otot dalam tubuh,
dari kepala hingga kaki (Genç&Og˘uz, 2018).

Teknik relaksasi otot secara progresif merupakan sebuah prosedur umum u


ntuk mengidentifikasi lokasi ketegangan, relaksasi dan merasakan perbeda
an antara keadaan tegang (tension) dan relaksasi yang akan diterapkan pad
a semua kelompok otot utama. Dengan demikian, dalam relaksasi otot pro
gresif diajarkan untuk mengendalikan otot-otot rangka sehingga memungk
inkan setiap bagian merasakan sensasi tegang dan relaks secara sistematis.
Relaksasi otot progresif menggunakan serangkaian gerakan otot tubuh
yang direlaksasikan yang bertujuan untuk melemaskan dan memberi efek
nyaman pada seluruh tubuh (Cohen, Cukor, & Kimmel, 2016).

Sejalan dengan temuan penelitian ini, Alfiyanti, Setyawan dan Kusuma


(2014); Li, et al. (2015); dan Gallego-Gómez (2019) melaporkan bahwa te
knik relaksasi otot dilaporkan menjadi terapi yang paling efektif untuk me
nurunkan depresi dan gangguan psikosomatis. Pasien yang menjalani hem
odialisis memiliki kecenderungan perubahan pola hidup dalam keluarga. P
asien akan mengalami perasaan kehilangan karena kehidupan normal yang
77

terganggu. Kondisi ini dapat menimbulkan permasalahan psikologis dan ra


sa marah. Perasaan marah yang tidak diungkapkan akan diproyeksikan ked
alam diri sendiri dan menimbulkan rasa putus asa(Smeltzer & Bare, 2015).
Teknik relaksasi otot dapat menjadi media yang memungkinkan pasien da
pat mengendalikan ketegangan dan membuat lebih nyaman (Preljevic,
2013). Pendapat lain membuktikan bahwa relaksasi dapat meningkatkan k
ebahagiaan (Forbes, Fichera, Rogers, & Sutton, 2017).

Peneliti menganggap bahwa penggunaan relaksasi otot progresif dapat me


njadi teknik yang efektif dalam menurunkan kecemasan yang dialami pasi
en dialysis. secara fisiologis, latihan relaksasi akan membalikkan efek
stres yang melibatkan bagian parasimpatetik dari sistem saraf pusat.
Relaksasi akan menghambat peningkatan saraf simpatetik,sehingga
hormon penyebab disregulasi tubuh dapat dikurangi jumlahnya. Sistem
saraf parasimpatetik, yang memiliki fungsi kerja yang berlawanan
dengan saraf simpatetik, akan memperlambat atau memperlemah kerja
alat-alat internal tubuh. Akibatnya, terjadi penurunan detak jantung,
irama nafas, tekanan darah, ketegangan otot,tingkat metabolisme, dan
produksi hormon penyebab stres. Seiring dengan penurunan tingkat
hormon penyebab stres, maka seluruh badan mulai berfungsi pada
tingkat lebih sehat dengan lebih banyak energi untuk penyembuhan
(healing), penguatan (restoration), dan peremajaan (rejuvenation).

Pada penelitian ini, responden melaporkan manfaat teknik relaksasi otot pr


ogresif (ROP) dalam menurunkan ketegangan dan kecemasan yang terjadi.
Hal ini tercermin dari hasil perbandingan jawaban di kuesioner pre dan po
st-test.

B. Keterbatasan Penelitian
78

Keterbatasan dalam penelitian yaitu pengukuran kecemasan menggunakan


kuesioner yang kemungkinan dipengaruhi oleh persepsi subjektif dari
responden saat melakukan pengisian kuesioner, dan responden yang
terlibat sedikit sehingga ada kemungkinan bias. Keterbatasan lainnya yang
dirasakan yaitu peneliti merasa kesulitan saat melakukan intervensi
relaksasi otot progresif (ROP). Awalnya peneliti merasa canggung
mengajarkan teknik ROP pada sesi pertama, namun pada sesi berikutnya
suasana menjadi lebih cair. Hal ini disebabkan kemampuan peneliti karena
peneliti masih tahap pemula.
79

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik menunjukkan bahwa
mayoritas umur berada pada rentang usia 36-45 tahun sebanyak
10responden (55%), jenis kelamin perempuan sebanyak 11 responden
(61%), pendidikan pada jenjang pendidikan dasar sebanyak 11 responden
(61%), pekerjaan sebagai karyawan swasta dan wiraswasta masing-masing
6 responden (33%), dan lama menjalani terapi hemodialysis >1-2 tahun
sebanyak 10 responden (56%).
2. Tingkat kecemasan pasien hemodialysis sebelum dilakukan intervensi
relaksasi otot progresif (ROP) yaitu mayoritas berada pada tingkat cemas s
edang (61%), diikuti cemas ringan (28%) dengan nilai mean sebesar
3. Tingkat kecemasan pasien hemodialysis setelah dilakukan intervensi
relaksasi otot progresif (ROP) yaitu berada pada tingkat cemas sedang (56
%), diikuti cemas ringan (44%).
4. Hasil analisis statistic menggunakan uji paired t-test menunjukkan bahwa
pemberian teknik Relaksasi Otot Progresif (ROP) dapat menurunkan mean
tingkat kecemasan sebesar 3,4 yaitu dari 49,1 (sebelum pemberian teknik
ROP) menjadi 45,7 (sesudah pemberian teknik ROP) dan hasil uji T dipero
leh p value sebesar 0,001 yang artinya ada pengaruh signifikan antara pem
berian teknik ROP dengan kecemasan pasien hemodialisis.

B. Saran

1. Pelayanan keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan
pelayanan keperawatan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah
kecemasan dengan menggunakan teknik relaksasi otot progresif (ROP)
dapat menurunkan tingkat cemas pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (CKD)
80

yang menjalani hemodialisis serta dapat diterapkan diruangan kemoterapi


dan perawatan lainnya yang memerlukan tindakan ini.

2. Perkembangan ilmu keperawatan.


Dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi tambahan
sebagai intervensi mandiri keperawatan dalam menangani pasien cemas
dengan menggunakan teknik relaksasi otot progresif (ROP).
DAFTAR PUSTAKA

Aksu, N. T., Erdogan, A., Ozgur, N. (2018). Effects of progressive muscle


relaxation training on sleep and quality of life in patients with pulmonary
resection, Sleep Breath. 22 (2018) 695–702, doi: 10.1007/s11325-017-1614-2
Alfiyanti, N. E., Setyawan, D. & Kusuma, M. A. B. (2014). Pengaruh relaksasi
otot progresif terhadap tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodilisis di Unit HD RS Telogorejo Semarang.
Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Astuti, H. T. & Ruhyana (2015). Pengaruh pemberian terapi relaksasi progresif


terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS PKU Muhammadiyah
Bantul.
Bayoumi, M., Al Harbi, A., Al Suwaida, A., Al Ghonaim, M., Al Wakeel, J.,
Mishkiry, A. (2013). Predictors of quality of life in hemodialysis
patients.Saudi J Kidney Disease Transplantation 2013;24(2):254-9.
Epub2013/03/30.
Bostani, S., Rambod, M., Sabaghzadeh Irani, P., & Torabizadeh, C. (2020).
Comparing the effect of progressive muscle relaxation exercise and support
group therapy on the happiness of nursing students: A randomized clinical
trial study. International Journal of Africa Nursing Sciences, 100218.
doi:10.1016/j.ijans.2020.100218
Brunner & Suddarth. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
suddarth. Edisi 12. Jakarta: EGC.

Cedeño, S., Vega, A., Macías, N., Sánchez, L., Abad, S., López-Gómez, J. M., &
Luño, J. (2020). Definiciones de hipotensión intradiálisis con poder
predictivo de mortalidad en una cohorte de hemodiálisis. Nefrología.
doi:10.1016/j.nefro.2020.01.003
Cohen, S.D., Cukor, D., &Kimmel, P.L. (2016). Anxiety in patients treated with
Hemodialysis.Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 11 (2016) 2250–2255.
Cukor, D., Coplan, J., Brown, C., Friedman, S., Newville, H., Safier, M., ...
Kimmel, P. L. (2008). Anxiety disorders in adults treated by hemodialysis: A
single-center study.American Journal of Kidney Diseases, 52(1), 128–136.
doi.org/10.1053/j.ajkd.2008.02.300.
Damanik, H. (2018). Pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan
tekanan darah pada pasien hipertensi di RSU Imelda. Jurnal Keperawatan
Priority, Vol. 1(2).
Departemen Kesehatan RI. (2009). Kategori Usia. Dalam http://kategori-
umurmenurut-Depkes.html
Ekarini, N. L. P., Heryati, & Maryam, R. S. (2019). Pengaruh terapi relaksasi otot
progresif terhadap respon fisiologis pasien hipertensi. Jurnal Kesehatan. Vol.
10(1), ISSN 2086-7751 (Print), ISSN 2548-5695 (Online).
Feroze, U., Martin, D., Reina-Patton, A., Kalantar-Zadeh, K., & Kopple, J. D.
(2010). Mental health, depression, and anxiety in patients on maintenance
dialysis. IranianJournal of Kidney Diseases, 4(3), 173.
Forbes, H., Fichera, E., Rogers, A., & Sutton, M. (2017). The Effects of Exercise
and Relaxation on Health and Wellbeing. Health Econ, 26(12), e67-e80.
doi:10.1002/hec.347
Gallego-Gómez, J. I., Balanza, S., Leal-Llopis, J., García-Méndez, J. A., Oliva-
Pérez, J., Doménech-Tortosa, J., … Rivera-Caravaca, J. M. (2019).
Effectiveness of music therapy and progressive muscle relaxation in reducing
stress before exams and improving academic performance in Nursing
students: A randomized trial. Nurse Education Today, 104217.
doi:10.1016/j.nedt.2019.104217

Genç, A., Og˘uz, S. (2018). The Effect of Progressive Relaxation Exercises on


Side Effects of Chemotherapy in Cancer Patients. Iran. Journal Nurse and
Midwifery Res. 5..
Harorani, M., Davodabady, F., Masmouei, B., & Barati, N. (2019). The effect of
progressive muscle relaxation on anxiety and sleep quality in burn patients: A
randomized clinical trial. Burns. doi:10.1016/j.burns.2019.11.021
Hassanzadeh, M., Kiani, F., Bouya, S., & Zarei, M. (2018). Comparing the effects
of relaxation technique and inhalation aromatherapy on fatigue in patients
undergoing hemodialysis. Complementary Therapies in Clinical Practice, 31,
210–214. doi:10.1016/j.ctcp.2018.02.019
Hastono, S., & Sabri, L. (2014).Statistik Kasehatan.Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada.

Heshmati Far, N., Salari, M., Rakhshani, M. H., Borzoee, F., & Sahebkar, M.
(2020). The effects of Benson relaxation technique on activities of daily living
in hemodialysis patients; A single-blind, randomized, parallel-group,
controlled trial study. Complementary Therapies in Clinical Practice, 101133.
doi:10.1016/j.ctcp.2020.101133
Irawan, D., Hasballah, K. & Kamil, H. (2018). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Stres dan Tekanan Darah Pada Klien Hipertensi. Jurnal Ilmu
Keperawatan, 6(1), 70-82. ISSN: 2338-6371, e-ISSN 2550-018X
Kamil, I., Agustina, R., &Wahid, A. (2018). Gambaran tingkat kecemasan pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
Jurnal Dinamika Kesehatan, Vol. 9 No. 2 (366-377).
Kanda, E., Usui, T., Kashihara, N., Iseki, C., Iseki, K.,Nangaku, M., (2018).
Importance of glomerular filtration rate change as surrogate endpoint for the
future incidence of end-stage renal disease ,in general Japanese population:
community-based cohort study. Clin. Exp. Nephrol. 22 (2) (2018) 318–327.
doi.org/10.1007/s10157-017-1463-0.

KDIGO. (2012). Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
of Chronic Kidney Disease. Official Journal of the International Society of
Nephrology, Vol.3 (1). https://kdigo.org/guidelines/ckd-evaluation-and-
management/
Lestari, A. (2017). Gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialysis berdasarkan kuesionerZung Self-Rating Axiety Scale
di RSUD Wates tahun 2017.
Lew, Q.-L. J., Jafar, T. H., Koh, H. W. L., Jin, A., Chow, K. Y., Yuan, J.-M., &
Koh, W.-P. (2016). Red Meat Intake and Risk of ESRD. Journal of the
American Society of Nephrology, 28(1), 304–312.
doi:10.1681/asn.2016030248
Li, Y., Wang, R., Tang, J., Chen, C., Tan, L., Wu, Z., Wang, X. (2015).
Progressive muscle relaxation improves anxiety and depression of pulmonary
arterial hypertension patients. Evidance-Based Complement. Alternative.
Med
Lira, S. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Penurunan
Tingkat Kecemasan pada Ibu Persalinan Pervaginam Fase Laten.
repositori.usu.ac.id/handle/123456789/1517
Liu, K., Chen, Y., Wu, D., Lin, R., Wang, Z., & Pan, L. (2020). Effects of
progressive muscle relaxation on anxiety and sleep quality in patients with
COVID-19. Complementary Therapies in Clinical Practice, 101132.
doi:10.1016/j.ctcp.2020.101132
Ma, T. K.-W., & Li, P. K.-T. (2016). Depression in dialysis patients. Nephrology,
21(8), 639–646. doi:10.1111/nep.12742
Macaron, G., Fahed, M., Matar, D., Bou-Khalil, R., Kazour, F., Nehme-Chlela,
D., & Richa, S. (2014). Anxiety, depression and suicidal ideation in Lebanese
patients undergoing hemodialysis. Community Mental Health Journal, 50(2),
235–238. doi.org/10.1007/s10597-013-9669-4.
McMahon, J., Handley, T. P. B., Bobinskas, A., Elsapagh, M., Anwar, H. S.,
Ricciardo, P. V., … Campbell, R. (2017). Postoperative complications after
head and neck operations that require free tissue transfer - prevalent, morbid,
and costly. British Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 55(8), 809–814.
doi:10.1016/j.bjoms.2017.07.015.

Moledina, D. G., & Perry Wilson, F. (2015). Pharmacologic treatment of


common symptoms in dialysis patients: A narrative review. Seminars in
Dialysis, 28(4), 377-383.
Morais, E. M., Moreira, P. R., & Winkelmann, E. R. (2020). Movie watching
during dialysis sessions reduces depression and anxiety and improves quality
of life: A randomized clinical trial.Complementary Therapies in Medicine, 52,
102488. doi:10.1016/j.ctim.2020.102488
Murtagh, F. E. M., Addington-Hall, J., & Higginson, I. J. (2007). The prevalence
of symptoms in end-stage renal disease: A systematic review. Advances in
Chronic KidneyDisease, 14(1), 82–99. doi.org/10.1053/j.ackd.2006.10.001.
Notoatmodjo, S. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan (Ed. Revisi). Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Nova, R. R. & Tumanggor, R. D. (2018). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot
Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Kanker Payudara di RSUP
Haji Adam Malik, Medan. TALENTA Conference Series: Tropical Medicine
(TM). Vol. 1(01), 59-66, dio: 10.32734/tm.v1i1.33
Nursalam. (2017). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.
(P. P. Lestari, Ed.) (4th ed.). Jakarta: Salemba Medika

Ozgundondu, B., & Gok Metin, Z. (2019). Effects of progressive muscle


relaxation combined with music on stress, fatigue, and coping styles among
intensive care nurses. Intensive and Critical Care Nursing.
doi:10.1016/j.iccn.2019.07.007

Pawlow, L.A. & Jones, G.E. (2005). The impact of abbreviated progressive
muscle relaxation on salivary cortisol and salivary immunoglobulin A (sIgA),
Appl. Psychophysiol. Biofeedback 30 (4) (2005) 375–387 doi:
10.1007/s10484-005-8423-2.
Perico N, Remuzzi G. (2015). Need for chronic kidney disease prevention
programs in disadvantaged populations. Clin Nephrology 2015;83(7Suppl. 1):
42-8.
Persatuan Nefrologi Indonesia (2018). Report of Indonesian Renal Registry 2018
11th.https://www.indonesianrenalregistry.org

Polit, F. D., & Beck, T. C. (2012).Resource Manual for Nursing Research.


Generating and Assessing Evidence for Nursing Practice. Ninth Edition.
USA: Lippincott.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2010). Fundamental of Nursing: Consep, Proses and
Practice. Edisi 7. Vol. 3. Jakarta: EGC

PPNI. (2019). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2thed.). Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from
http://www.inna-ppni.or.id
Pramono, C., Hamranani, S. S. T. &Sanjaya, M. Y. (2019). Pengaruh teknik
relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan pasien hemodialysis di
RSUD Wonosari.Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah 2 (2), November
2019, 1-51. ISSN 2338-2058 (print), ISSN 2621-2986 (online).
Prasetya, Z. (2016). Pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap perubahan
tingkat insomnia pada lansia.
Preljevic, V. T., Østhus, T. B. H., Os, I., Sandvik, L., Opjordsmoen, S., Nordhus,
I. H., &Dammen, T. (2013). Anxiety and depressive disorders in dialysis
patients: Association to health-related quality of life and mortality. General
Hospital Psychiatry, 35(6),619–624.
doi.org/10.1016/j.genhosppsych.2013.05.006.
Rahayu, S. M., Hayati, N. I. & Asih, S. L. (2020). Pengaruh Teknik Relaksasi
Otot Progresif terhadap Tekanan Darah Lansia dengan Hipertensi. Jurnal
Media Karya Kesehatan, Vol. 3(1), 91-98.
Rajeswari, S. & Sanjeeva Reddy, N. (2019). Efficacy of progressive muscle
relaxation on pregnancy outcome among anxious Indian primi mothers, Iran.
J. Nurs. Midwifery Res. 25 (2019) 23–30, doi: 10.4103/ijnmr.IJNMR_207_18.
Sadeghimoghaddam, S., Alavi, M., Mehrabi, T., Bankpoor-Fard, A. (2019). The
effect of two methods of relaxation and prayer therapy on anxiety and hope in
patients with coronary artery disease: a quasi-experimental study, Iran. J.
Nurs. Midwifery Res.24 (2) (2019) 102.
Schouten, R. W., Haverkamp, G. L., Loosman, W. L., Chandie Shaw, P. K., van
Ittersum, F. J., Smets, Y. F. C., … Siegert, C. E. H. (2019). Anxiety Symptoms,
Mortality, and Hospitalization in Patients Receiving Maintenance Dialysis: A
Cohort Study. American Journal of Kidney Diseases.
doi:10.1053/j.ajkd.2019.02.017
Schouten, R. W., Nadort, E., Harmse, V., Honig, A., van Ballegooijen, W.,
Broekman, B. F. P., & Siegert, C. E. H. (2020). Symptom dimensions of
anxiety and their association with mortality, hospitalization and quality of life
in dialysis patients. Journal of Psychosomatic Research, 133, 109995.
doi:10.1016/j.jpsychores.2020.109995
Semaan, V., Noureddine, S., & Farhood, L. (2018). Prevalence of depression and
anxiety in end-stage renal disease: A survey of patients undergoing
hemodialysis. Applied Nursing Research, 43, 80–85.
doi:10.1016/j.apnr.2018.07.009
Setyowati , Chung M. H, Ah. Yusuf (2019).Development of self-report
assessment tool for anxiety among adolescents: Indonesian version of the
Zung self-rating anxiety scale. Journal of Public Health in Africa 2019volume
10(s1):1172

Silaen, H. (2018). Pengaruh pemberian konseling dengan tingkat kecemasan pada


pasien yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Kota Medan. Jurnal
Ilmiah Keperawatan IMELDA. Vol.4 (1), 421-426
Smeltzer, S., Bare, B., Hinkle, J., Cheever, K. (2014). Biophysical and
Pychological Concepts in Nursing Practice, Brunner & Suddarths. Text Book
of Medical Surgical Nursing, thirteenth ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
Sopha, R. F. & Wardani, I. Y. (2016). Stres dan Tingkat Kecemasan Saat
Ditetapkan Perlu Hemodialisis Berhubungan dengan Karakteristik Pasien.
Jurnal Keperawatan Indonesia. Vol.19 No. 1. (55-61). pISSN 1410-4490,
eISSN 2354-9203.

Stuart, G. W. & Laraia, M. T. (2009). Principles and Practice of Psychiatric


Nursing 9th. Elsever. St.Louis: Mosby.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta, CV.

Thomas, B., Wulf, S., Bikbov, B., et al. (2015). Maintenance dialysis throughout
the World in Years 1990 and 2010. J Am Soc Nephrol 2015;26:2621-033.
Trillini, M., Perico, N., & Remuzzi, G. (2017). Epidemiology of End-Stage Renal
Failure: the Burden of Kidney Diseases to Global Health. Kidney
Transplantation, Bioengineering and Regeneration, 5–11. doi:10.1016/b978-
0-12-801734-0.00001-1
Ulya, Z. I. & Faidah, N. (2017). Pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap
penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di Desa Koripandriyo
Kecamatan Gabus Kabupaten Pati. Jurnal Keperawatan & Kesehatan
Masyarakat. Vol. 6(2).
Wakhid, A. & Suwanti (2019). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien yang
Mnejalani Hemodialisa. Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal.
Vol. 9 No 2. ISSN 2089-0834 (Cetak), ISSN 2549-8134 (Online).
Wetmore, J. B., & Collins, A. J. (2019). Dialysis and End-Stage Kidney
Disease.Chronic Kidney Disease, Dialysis, and Transplantation, 311–338.e4.
doi:10.1016/b978-0-323-52978-5.00021-5
Lampiran I
LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Kepada Yth.
Responden di Rumah Sakit

Dengan Hormat,
Saya Iim Rohimah selaku mahasiswa Program S1 Keperawatan Non Reguler
STIKes PERTAMEDIKA, memohon kesediaan Bapak/ibu/saudara/i untuk
menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi
Otot Progresif terhadap Kecemasan pada Pasien CKD dengan Hemodialisis di RS
EMC Tangerang”. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh Teknik
Relaksasi Otot Progresif terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani
Hemodialisis. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi instansi
pelayanan sebagai acuan untuk membuat kebijakan dan menciptakan lingkungan
kerja yang kondusif untuk meningkatkan pelayanan. Penelitian ini membutuhkan
waktu sekitar 60 menit (10 menit penjelasan penelitian, 20 menit pengisian
kuesioner dan 30 menit latihan relaksasi otot progresif).

Bapak/ibu/saudara/i dimohon untuk mengisi kuesioner yang peneliti berikan


terkait dengan tingkat kecemasan yang Bapak/ibu/saudara/i rasakan terkait
pengobatan Hemodialisis dan mengikuti latihan teknik relaksasi otot progresif
yang akan dipandu oleh peneliti dan tim. Peneliti menjamin sepenuhnya bahwa
penelitian ini tidak akan berdampak negatif terhadap responden. Penelitian ini
menjamin kerahasiaan identitas dan informasi yang responden berikan dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.

Demikian penjelasan tentang penelitian ini. Atas kesediaan Bapak/ibu/saudara/i,


kami ucapkan terima kasih.

Tangerang, Januari 2021


Peneliti,

Iim Rohimah
Lampiran II

LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tanga dibawah ini,


Nama : …………………………………(Inisial)
No Handphone : ………………………………………….

Setelah mendapat informasi dan penjelasan peneliti, saya memahami maksud dan
manfaat penelitian yang berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif
terhadap Kecemasan pada Pasien CKD dengan Hemodialisis di RS EMC
Tangerang”. Saya dengan ini secara sukarela dan tanpa paksaan, menyetujui dan
bersedia untuk berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian ini. Demikian
pernyataan persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Tangerang, Januari 2021

Peneliti Responden

(Iim Rohimah) (…………………………)


Lampiran III
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN

Kode Responden

Tanggal Pengisian : …… Januari, 2021

Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:


1. Kuesioner A : Karakteristik Responden
2. Kuesioner B :Kecemasan

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Isilah bagian titik-titik dengan jawaban dan berilah tanda (√) pada kolom yang
sesuai.
1. Umur : ……………. Tahun

2. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan

3. Pendidikan : 1. SD/ SMP/ SMA 2. Perguruan Tinggi

4. Pekerjaan : 1. PNS 2. Karyawan swasta

3. Wiraswasta 4. Petani

5. tidak bekerja

5. Lama menjalani Hemodialisis : ….. (tahun)


Lampiran IV

LEMBAR KUESIONER B: KECEMASAN


ZUNG-SELF ANXIETY RATING SCALE (ZSAS)

Petunjuk Pengisian:
Isilah setiap pernyataan dibawah ini dengan tanda (√) pada kolom yang tersedia
dengan alternatif pilihan sebagai berikut:
Tidak pernah : tidak pernah sama sekali
Kadang-kadang : kadang-kadang saja mengalami
Sebagian waktu : sering mengalami/ sebagian waktu
Hampir setiap waktu : selalu mengalami/ setiap waktu

Tidak Hampir
Kadang- Sebagian
No Pertanyaan perna setiap
kadang waktu
h waktu
1 Saya merasa lebih gugup dan
cemas dari biasanya
2 Saya merasa takut tanpa alasan
sama sekali
3 Saya mudah marah atau merasa
panic
4 Saya merasa seperti jatuh terpisah
dan akan hancur berkeping-keping
5 Saya merasa bahwa semuanya
baik-baik saja dan tidak ada hal
buruk akan terjadi
6 Lengan dan kaki saya gemetaran
7 Saya terganggu oleh nyeri kepala
leher dan nyeri pinggu
8 Saya merasa lemah dan mudah
lelah
9 Saya merasa tenang dan dapat
duduk diam dengan mudah
10 Saya merasa jantung saya berdebar-
debar
11 Saya merasa pusing tujuh keliling
Tidak Hampir
Kadang- Sebagian
No Pertanyaan perna setiap
kadang waktu
h waktu
12 Saya telah pingsan atau merasa
seperti itu
13 Saya dapat bernapas dengan mudah
14 Saya merasa jari-jari tangan dan
kaki mati rasa dan kesemutan
15 Saya terganggu oleh nyeri lambung
atau gangguan pencernaan
16 Saya sering buang air kecil

17 Tangan saya biasanya kering dan


hangat
18 Wajah saya terasa panas dan merah
merona
19 Saya mudah tertidur dan dapat
istirahat malam dengan baik
20 Saya mimpi buruk
Lampiran V
LEMBAR PROSEDUR
RELAKSASI OTOT PROGRESIF (ROP)

Teknik ROP yang telah dilakukan oleh Ozgundondu & Gok Metin (2019):
1. Kenakan pakaian yang nyaman, duduklah di kursi dengan posisi yang
nyaman.
2. Berikan perhatian khusus pada bagian tubuh tertentu yang sedang di latih. Jika
pikiran sedang mengembara dan tidak fokus, kembalikan perhatian pada otot
yang sedang di latih.
3. Ambil napas dalam melalui perut, tahan selama 3 detik, dan buang napas
perlahan. Pastikan saat bernapas, perut terangkat dan paru-paru terisi udara.
4. Saat mengeluarkan napas, bayangkan semua ketegangan di tubuh dilepaskan
dan mengalir keluar dari tubuh. Sekali lagi, tarik nafas dalam dan buang napas
perlahan. Rasakan tubuh telah rileks.
5. Saat menjalani setiap langkah, lanjutkan bernapas dengan cara yang
diinstruksikan sebelumnya.
6. Sekarang, kencangkan otot dahi dengan menaikkan alis setinggi yang anda
bisa. Tahan selama 5 detik dan kemudian lepas ketegangan, dan tunggu
selama 10 detik berikutnya.
7. Selanjutnya, kencangkan otot mata dengan cara pejamkan mata sampai
merasa tertahan,tahan selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
8. Sekarang tersenyumlah lebar-lebar, rasakan ketegangan di mulut dan pipi.
Tahan selama 5 detik dan lepaskan, rasakan kelenturan otot di wajah. Tunggu
10 detik
9. Tarik kepala ke belakang dengan lembut seolah-olah sedang melihat ke langit-
langit. Tahan posisi selama 5 detik dan lepaskan, rasakan ketegangan yang
dilepaskan. Tunggu 10 detik.
10. Sekarang, rasakan bagian kepala dan leher yang rileks. Tarik dan hembuskan
napas. Lepaskan semua stres dalam tubuh. Tarik dan hembuskan napas
kembali.
11. Sekarang, dengan erat, tetapi tanpa memaksa, kepalkan tangan Anda. Tahan
posisi ini selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
12. Sekarang, tekuk lengan bawah Anda untuk mengencangkan otot bisep.
Rasakan ketegangan di otot bisep. Tahan selama 5 detik dan lepaskan, rasakan
efek relaksasi. Tarik dan hembuskan napas.
13. Sekarang rentangkan lengan dan posisikan siku di depan untuk
mengencangkan otot trisep. Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10
detik.
14. Sekarang angkat bahu seolah-olah bisa menyentuh telinga Anda. Tahan
selama 5 detik dan lepaskan dengan cepat, rasakan beban di bahu. Tunggu 10
detik.
15. Kencangkan punggung atas dengan menarik bahu ke belakang. Tahan selama
5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
16. Kencangkan dada dengan menarik napas dalam-dalam. Tahan selama 5 detik
dan buang napas dalam-dalam.
17. Sekarang kencangkan otot perut dengan menariknya ke dalam perut. Tahan
selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik
18. Dengan lembut condongkan tubuh ke depan untuk mengencangkan punggung
bawah. Rasakan tubuh bagian atas melepaskan ketegangan dan stress, tahan
selama 5 detik dan rileks. Tunggu 10 detik.
19. Kencangkan bokong. Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Bayangkan pinggul
menjadi ringan. Tunggu 10 detik.
20. Sentuh lutut satu sama lain, lalu tekan patellae dengan cara seolah-olah sedang
memegang kertas tipis di antara keduanya. Tahan posisi selama 5 detik dan
lepaskan. Tunggu 10 detik.
21. Sekarang tekuk kaki, tarik jari-jari kaki ke arah tubuh, dan rasakan ketegangan
pada otot di bagian belakang kaki bagian bawah. Tahan selama 5 detik dan
lepaskan; rasakan berat kaki menurun. Tunggu 10 detik.
22. Tekuk jari-jari kaki, dan rasakan ketegangan pada otot-otot di depan kaki
bagian bawah. Tahan selama 5 detik dan lepaskan. Tunggu 10 detik.
23. Sekarang bayangkan gelombang relaksasi perlahan-lahan menyebar ke seluruh
tubuh, dimulai dari kepala dan mencapai kaki. Rasakan bobot tubuh menjadi
ringan dan santai. Tarik dan hembuskan napas.
Lampiran VI

Hasil SPSS
Statistics

Tingkat Jenis Lama Menjalani


Umur Responden Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan HD

N Valid 18 18 18 18 18

Missing 0 0 0 0 0
Mean 44.06 1.61 1.39 3.11 1.56
Std. Error of Mean 1.431 .118 .118 .312 .121
Median 43.50 2.00 1.00 3.00 2.00
a a
Mode 38 2 1 2 2
Std. Deviation 6.073 .502 .502 1.323 .511
Skewness .677 -.498 .498 .458 -.244
Std. Error of Skewness .536 .536 .536 .536 .536
Minimum 36 1 1 1 1
Maximum 58 2 2 5 2
Sum 793 29 25 56 28

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Umur Responden

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 36 1 5.6 5.6 5.6

37 1 5.6 5.6 11.1

38 2 11.1 11.1 22.2

39 1 5.6 5.6 27.8

40 2 11.1 11.1 38.9

41 1 5.6 5.6 44.4

43 1 5.6 5.6 50.0

44 1 5.6 5.6 55.6

46 2 11.1 11.1 66.7

47 2 11.1 11.1 77.8

49 1 5.6 5.6 83.3

52 2 11.1 11.1 94.4

58 1 5.6 5.6 100.0

Total 18 100.0 100.0


Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid laki-laki 7 38.9 38.9 38.9

perempuan 11 61.1 61.1 100.0

Total 18 100.0 100.0

Tingkat Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid pendidikan
11 61.1 61.1 61.1
dasar

pendidikan
7 38.9 38.9 100.0
tinggi

Total 18 100.0 100.0

Jenis Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid PNS 1 5.6 5.6 5.6


Karyawan
6 33.3 33.3 38.9
swasta

wiraswasta 6 33.3 33.3 72.2

tidak bekerja 5 27.8 27.8 100.0

Total 18 100.0 100.0

Lama Menjalani HD

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0-1 8 44.4 44.4 44.4

>1 10 55.6 55.6 100.0

Total 18 100.0 100.0


Statistics

Jumlah Cemas

N Valid 18

Missing 0

Mean 49.11

Std. Error of Mean 1.877

Median 49.50

Mode 42a

Std. Deviation 7.962

Skewness -.203

Std. Error of Skewness .536

Minimum 35

Maximum 61

Sum 884

a. Multiple modes exist. The smallest


value is shown
Jumlah Cemas Pre-tes

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 35 1 5.6 5.6 5.6

37 1 5.6 5.6 11.1

39 1 5.6 5.6 16.7

42 2 11.1 11.1 27.8

45 1 5.6 5.6 33.3

47 1 5.6 5.6 38.9

48 1 5.6 5.6 44.4

49 1 5.6 5.6 50.0

50 1 5.6 5.6 55.6

51 2 11.1 11.1 66.7


55 1 5.6 5.6 72.2

57 2 11.1 11.1 83.3

58 1 5.6 5.6 88.9

60 1 5.6 5.6 94.4

61 1 5.6 5.6 100.0

Total 18 100.0 100.0

Jumlah Cemas Post-test

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 33 2 11.1 11.1 11.1

35 1 5.6 5.6 16.7

39 1 5.6 5.6 22.2

40 3 16.7 16.7 38.9

44 1 5.6 5.6 44.4

45 1 5.6 5.6 50.0

48 2 11.1 11.1 61.1

49 1 5.6 5.6 66.7

53 1 5.6 5.6 72.2

54 1 5.6 5.6 77.8

55 3 16.7 16.7 94.4

57 1 5.6 5.6 100.0

Total 18 100.0 100.0

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 JumCem 49.11 18 7.962 1.877

JumCem2 45.72 18 8.094 1.908

Paired Samples Correlations


N Correlation Sig.

Pair 1 JumCem &


18 .980 .000
JumCem2

Paired Samples Test

Sig. (2-
Paired Differences t df tailed)

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error
Mean Deviation Mean Lower Upper

Pair 1 JumCem -
3.389 1.614 .380 2.586 4.191 8.909 17 .000
JumCem2

Uji normalitas
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

JumCem 18 100.0% 0 0.0% 18 100.0%


JumCem2 18 100.0% 0 0.0% 18 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

JumCem Mean 49.11 1.877

95% Confidence Interval for Lower Bound 45.15


Mean
Upper Bound 53.07

5% Trimmed Mean 49.23

Median 49.50

Variance 63.399

Std. Deviation 7.962


Minimum 35

Maximum 61

Range 26

Interquartile Range 15

Skewness .203 .536

Kurtosis .979 1.038

JumCem2 Mean 45.72 1.908

95% Confidence Interval for Lower Bound 41.70


Mean
Upper Bound 49.75

5% Trimmed Mean 45.80

Median 46.50

Variance 65.507

Std. Deviation 8.094

Minimum 33

Maximum 57

Range 24

Interquartile Range 15

Skewness .172 .536

Kurtosis 1.328 1.038

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

JumCem .117 18 .200* .959 18 .586


*
JumCem2 .149 18 .200 .920 18 .130

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Histogram
Lampiran VII
Lampiran VIII

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Iim Rohimah


Tempat/ Tanggal Lahir : Tangerang,08 maret 1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Rajeg Asri Rt 006/001 Blok B II no 36
kec. Rajeg Kab.Tangerang, Provinsi Banten.

Riwayat Pendidikan:
1. SDN Rajeg I lulus tahun 1995
2. SMPN Rajeg I lulus tahun 1998
3. SMAN I Mauk Tangerang lulus tahun 2001
4. AKPER Pemda Serang lulus tahun 2004
5. Sedang menempuh Program Studi SI Keperawatan di STIKes Pertamedika
sejak tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai