Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

PADA PASIEN DENGAN CARDIAC ARREST

DOSEN PENGAMPU :

Ns. Tommy J.F Wowor, S.Kep., MM

Di Susun Oleh :

Sisilia Pardjer : 173112420170135

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

TAHUN 2019-2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat TYME, yang telah memberikan saya kelancaran
dalam menyelesaikan makalah pada mata kuliah keperawatan kritis yang berjudul “ Makalah
Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien Dengan Cardiac Arrest” sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dalam waktu yang telah direncanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya
tidak lepas dan peran serta dari :

1. Bpk. Ns. Tommy J F Wowor, S.Kep., MM Selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan
Kritis
2. Teman- Teman Seperjuangan kami Angkatan 2017 terkhususnya kelas A1 yang telah
memberikan dukungan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dan juga masukan dalam penyelesaian makalah ini.
Oleh karena itu saya mengucapkan Terimakasih. Semoga kita semua akan selalu di
berkati oleh TYME.

Akhir kata, saya sebagai penyusun meminta maaf jika makalah ini memiliki banyak
kekurangan. Kritik dan saran saya harapkan dari teman-teman semua dan juga para pembaca
lainnya agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik.

Penyusun

Sisilia Pardjer

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi .............................................................................................. 3


2.2 Etiologi .............................................................................................. 3
2.3 Faktor Presdisposisi .......................................................................... 6
2.4 Patofosiologi ..................................................................................... 8
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 10
2.6 Proses terjadinya cardiac arrest ........................................................ 10
2.7 Pemeriksaan Diagnostik .................................................................... 11
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................ 13

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Konsep asuhan keperawatan..........................................21

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................................

4.1 Kesimpulan................................................................................................................30

4.2 Saran...........................................................................................................................30

Daftar Pustaka.......................................................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi


jantung.Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa penyakit jantung. Waktu
dan carakematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala
muncul. Alasanyang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari serangan
jantung adalah penyakit jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah
ke otot jantung). Sehingga pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena
kekurangan suplai darah

Dari 90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga dari
korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian mendadak
terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang
lebihmungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi
pemicu munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya,
serta penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga
dapat menyebabkan kematian SDC.

Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba dan tak
terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital
lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.

SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darahmengalir
ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak
tibatiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi setelah atau selama
pemulihan dari serangan jantung.

Penangkapan mendadak Jantung (SCA) adalah penyebab utama kematian di


AmerikaSerikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh 1.000
orang per hariatau satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung,terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.

1
Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan
SCAserangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit
arterikoroner.

SCA dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung
padaorang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah
sakitmeningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang
usialebih dari 85 years.

Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA.
Namun,kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit
jantung ataufaktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat keluarga dengan
penyakit jantungatau ada anggota keluarga yang pernah meninggal mendadak perlu
mewaspadai terjadinya.

1.2.Rumusan Masalah
2. Apa definisi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
3. Bagaimana epidemiologi dan etiologi Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
4. Apa saja tanda dan gejala Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?
5. Bagaimana prognosis Henti Jantung ( Cardiac Arrest)
6. Bagaimana pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang Henti Jantung
( Cardiac Arrest)?
7. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan Henti Jantung ( Cardiac Arrest)?

1.3. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsepHenti Jantung ( Cardiac


Arrest)

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan bronkopneumonia
b. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dan etiologi Henti Jantung ( Cardiac
Arrest);
c. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala serta patofisiologi Henti Jantung (
Cardiac Arrest)

2
d. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan penunjang
henti jantung ( cardiac arrest )
e. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien henti jantung ( cardiac
arrest )

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau


proseskematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar
93 persenSCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya
gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati
(juga disebut Sudden Cardiac Arrest ) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi
hati (perhentian jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu
dan cara kematianyang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala muncul. Yang
paling umum yangalasan pasien mati mendadak dari perhentian jantung adalah penyakit
jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa pasokan darah ke otot jantung).

Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu,
kata “mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah timbulnya
kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest ) yang fatal; batas waktu ini
untuk kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang
terdapat diantara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.

Serangan jantung mendadak adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak


padaorang yang didiagnosis mungkin atau tidak mengidap penyakit jantung.Waktu dan
carakematian yang tak terduga. Hal ini terjadi segera atau segera setelah gejala muncul
(AHAGuidelines For CPR and ECC, 2010).

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa
terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak.
Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan
tanda tampak (American Heart Association,2010).

3
2.2 Etiologi

Faktor-faktor Risiko :

1. Usia

Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien yang bebas dari
CADsimtomatik.

2. Jenis kelamin

Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang
bebasdari CAD yang mendasari.

3. Merokok

Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD (ada efek
aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel). Tetapi menurut
pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria.
Yangmenarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok
jugameningkatkan insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti
jantung.

4. Penyakit jantung yang mendasari.


a. Tidak ada penyakit jatung yang diketahuiPasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD,
bila dibandingkan dengan pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi ventrikel
kiri.
b. Penyakit arteri koronaria (CAD)

Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD mempunyai frekuensi
SCDSembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter
Post Infarction Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita
MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
yangkurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum
MI danronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun)
dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita
MI) dengan resikoSCD yang lebih besar.

4
c. Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)

Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya insiden aritmia
ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan riwayat sinkop atau
prasinkop.Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.

d. Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)


Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang
bisamenyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar).
RiwayatVT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.

e. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)

Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur tambahan atau
AFdengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran jalur tambahan
antegrad)menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan
bahkan kematianmendadak.

f. Sindrom Q-T yang memanjang

Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai peningktan
resikoSCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa
berhubungandengan kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi ke
VF.

5. Lain-lainnya
a. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan predisposisi SCD
b. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan SCD yang
telahditemukan
c. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita ditemukan
peningkataninsiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
d. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam mengurangi
insidenSCD.
e. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD pada pria,
bukanwanita.
f. Riwayat aritmia - Aritmia supraventrikel

5
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel disertai
dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia
supraventrikelmenimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat
menyebabkan tidak stabilnyalistrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang
menyebabkan VT terus-menerus atauVF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.

- Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus menpunyai
peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang
tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD
dan VTspontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan
tanpa riwayatVT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan
VF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.

6. Faktor pencetus
a. Aktivitas

Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang
meninggalmendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau
segera setelahgerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika
aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.

b. Iskemia

Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam
distribusiarteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi
dibandingkandengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang
aktif disertai dengantidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai
kemungkinan lebih banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu
jarak.

c. Spasme arteri koronaria

Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan brakikardia
sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak
bahwalebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria,
lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn
dengan derajatCAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis

6
ditambah spasmearteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan
pasien spase arterikoronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.

2.3 Faktor predisposisi


Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi
untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:
a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain;
jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk
mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang
mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada
pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk terkena
cardiac arrest.
c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa kondisi
tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect.
Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium
dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia yang
mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti
WolffParkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa
menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan
aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin
ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya
cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac
arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,


umumnyamekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darahakan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk
semua organ tubuh.Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,

7
menyebabkan korban kehilangankesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak
mungkin terjadi jika cardiac arresttidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi
kematian dalam 10 menit (Suddencardiac death).

Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang


mendasariterjadinya cardiac arrest.

1. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal
sebagaiserangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest.
Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung
menjadi kerasdan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam
arteri. Semakinmeningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya,
otot-otot jantungtidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan
fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung
mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi
langsung dari jantung,meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.

2. Stress Fisik

Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya:

a. perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam


b. sengatan listrik
c. kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang
berat
d. Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e. Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki
gangguan jantung.
f. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleksakibat
penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.

3. Kelainan Bawaan

8
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan
iniditurunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki
peningkatanresiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapatmengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.

4. Perubahan struktur jantung

Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls
listrik.Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau
penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari
jantung.

5. Obat-obatan

Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin,
aspirin,asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan
pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa
medicalrecord untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan
darah padalaboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.

6. Tamponade jantung

Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak
mampuuntuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.

7. Tension pneumothorax

Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan
terusmasuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini
akanmenyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak
dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran
balik ke jantung.

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118 (2010) yaitu:

9
a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara, tepukan di pundak
ataupun cubitan.
b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan pernafasan
dibuka.
c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.6 Proses terjadinya cardiac arrest


Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi ventrikel
(VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol (Diklat
Ambulans Gawat Darurat 118, 2010). a) Fibrilasi ventrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada keadaan ini
jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada
kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi. b)
Takhikardi ventrikel
Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan
otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi. Frekuensi
nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT
dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih
diutamakan. Pada kasus VTdengan gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT
tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR adalah
pilihan utama. c) Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas atau
menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur
dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan. d)
Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada monitor
irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang harus segera
diambil adalah CPR.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Elektrokardiogram

Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang
EKG,sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal tangan
dan kaki.EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkangangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan
impuls listrik normal,EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG

10
dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang
meningkatkan risiko kematian mendadak.

2. Tes darahi.
a. Pemeriksaan Enzim Jantung

Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan
jantung.Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel
darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.

b. Elektrolit Jantung

Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada
jantung, diantaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita
dan cairantubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapatmemicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.

3. Test Obat

Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia,
termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.

4. Test Hormon

Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac
arrest.

5. Imaging tesi.
a. Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga
dapatmenunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.

b. Pemeriksaan nuklir

Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran
darahke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke
dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir
melalui jantungdan paru-paru.

c. Ekokardiogram
11
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogramdapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh
cardiac arrest dantidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi),
atau apakah adakelainan katup.

6. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping

Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah sembuh dan
jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum ditemukan. Dengan jenis tes
ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor
jantung Anda. Tesini dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke
berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran
impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda
untuk merangsang jantung pasienuntuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau
menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.

7. Ejection fraction testing

Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah seberapa
baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan kapasitas pompa
jantungdengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase
darahyang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal
adalah 55sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden
cardiac arrest.Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan
ekokardiogram,Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantungAnda atau computerized tomography (CT) scan jantung.

8. Coronary catheterization (angiogram)

Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat
merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalamarteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui
arteri, biasanya melaluikaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri,
arteri menjadi terlihat padaX-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan.

12
Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan
melakukan angioplasti danmemasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

2.8 Penatalaksanaan

Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:

a. Respons awal
b. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support )
c. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support )
d. Asuhan pasca resusitasi
e. Penatalaksanaan jangka Panjang

Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter, perawat,
personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk meningkatkan
keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan
pascaresusitasi, dan penatalaksanaan jangka panjang.

1. Respons Awal

Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan
olehhenti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi
pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah
telahterjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal
dapatmenetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk
diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi
benda asingatau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara
kuat dengan tanganterkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan
sepertiga bawahkadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi
tindakan ini jugadikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi
ventrikel. Karena itu, telahdianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada
pasien yang dimonitor;rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalahmembersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di dalam mulut
dikeluarkan, danmaneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya
benda asing yangterjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti

13
respirasi (respiratoryarrest ) yang mendahului serangan henti jantung, pukulan prekordial
kedua dapat dilakukansetelah saluran napas dibersihkan.

2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar ( Basic Life Support )

Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner


(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan dasar yang
bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan intervensi yang definitive
dapatdilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk
menghasilkan sertamempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi dada.
Respirasi mulut ke mulutdapat dilakukan bila tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang
khusus misalnya pipa napasorofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu
bag dengan masker.
Langkah-langkah penting yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiopulmoner :

- Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.


- Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
- Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago
tiroid.
- Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung (Isselbacher: 228)

Langkah-Langkah Bantuan Hidup dasar :

1. Berikan ventilasi dengan 2 kali tiupan efektif


2. Lakukan tindakan Pijat jantung Luar pada pertengahan Sternum dengan kedalaman 4-5
cmsebanyak 30 kompresi setiap siklus (dilakukan dengan 1 atau 2 orang penolong) dan
dilakukanselama 4 siklus (kurang lebih 1 menit menjadi 100 kompresi) 2 kali ventilasi
setiap siklusnya dan pastikan saat memberikan ventilasi posisi kepala dalam keadaan
Head Til-Chin Lift.
3. Cek kembali denyut nadi karotis
4. Bila ada DC shock atau AED, bisa diberikan kejut jantung sebanyak 200 Joule (pada
VT/VF)
5. Untuk Henti jantung, pertimbangkan pemberian model Cardiac Tumb.

Lanjutkan tindakan RJP sampai :

14
a. Bila ada respon atau pasien menjadi sadar kembali
b. Penderita dinyatakan meninggal dunia (pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif)
c. Penolong kelelahan dan tidak ada penolong lain
d. Sudah ada penolong lain yang lebih berkompeten

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan RJP :-

a. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun


b. Jangan menekan pada daerah Prosesus xifoideus karena dapat berakibat robeknya hati
c. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi tetap melekat pada sternum,
jari- jari jangan menekan iga korban
d. Hindari gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
e. Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RJPDalam AHA Guidelines For CPR
and ECC, 2010 review 07 Desember 2011, langkah penanganan pada pasien Cardiac
arrest adalah :
1. Pengenalan dini dari Sudden cardiac Arrest berdasarkan pengkajian terhadap
ketidaksadaran(un-responsiveness) dan tidak adanya nafas normal (tidak bernafas atau
hanya Gasping/agonal).
2. Teknik Look, Listen, Feel atau Lihat, Dengar, Rasakan untuk mengkaji Breathing korban,
padaGuidliness CPR menurut AHA tahun 2010 ini di tiadakan.Check nafas dilakuakan
pada saat pengenalan dini keadaan emergency (terutama cardiac) satu paket dengan
pengkajian kesadaran(responsiveness / un-responsiveness )

3. Di dorong / dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR (hanya melakukan
penekanandada saja, tanpa memberikan tiupan dua kali) bagi penolong awam yang tidak
terlatih.
4. Perubahan sequence atau urutan langkah-langkah CPR. Kalau di Guidelines tahun 2005
atauyang sebelumnya kita mengenal urutan ABC (Airway, Breathing, Circulation), maka
diGuidelines AHA tahun 2010 ini menjadi CAB (Circulation, Airway, Breathing), jadi
setelah callfor help dan di pastikan kondisi aman untuk menolong, lalu check response
korban termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa tehnik LLF. Kalau
ternyata korban tidak sadar dan tidak bernafas atau bernafas tapi Cuma gasping (nafas
abnormal), langsung ke C, yangartinya kalau untuk orang awam langsung lakukan
kompresi atau untuk Health Care provider (Paramedic, Nurse, Dokter) check nadi karotis

15
dulu dengan tidak lebih dari sepuluh detik. Kalauselama itu nadi tidak terasa atau tidak
yakin, jangan buang waktu, segera lakukan kompresi tiga puluh kali di ikuti dengan dua
tiupan yang mana durasi tiap tiupan tidak lebih dari satu detik, bagi yang tidak terlatih
bisa hanya melakukan kompresi saja tanpa di ikuti dengan tiupan atau disebut dengan
Hand Only CPR seperti yang sudah di jelaskan pada point diatas.
5. Seperti halnya Guidelines tahun 2005, guidelines 2010 ini pun menekankan pada focus
untuk melakukan High Quality CPR, yang mana hal itu bisa tercapai bila kita bisa
melakukan HighQuality Compression. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kualitas
kompresi adalah Rate(kecepatan), depth (kedalaman), dada re-coil sempurna antara
kompresi, minimal intrupsi padasaat melakukan kompresi dan menghindari pemberian
ventilasi (tiupan) yang berlebihan.
6. Pada guidelines 2005, term yang di gunakan untuk menggambarkan rate atau kecepatan
dari kompresi adalah “ approximately” 100 x/menit, yang artinya kecepatan kompresi
kurang lebih seratus kali per menit (kurang atau lebih dikit boleh lah-red). sedangkan
untuk
Guidelines 2010 ini di gunakan term “at least” 100 x/m, yang artinnya kecepatan
kompresi yang baik pada saatCPR tidak boleh kurang dari seratus kali per menit.
7. Pada guidelines 2005, kedalaman kompresi pada orang dewasa adalah 1.5- 2 inches (4-5
cm).tahun 2010 ini di tetapkan bahwa kedalaman kompresi untuk orang dewasa adalah 2
inches (5cm), anak-anak juga 2 inches dan 1.5 inches untuk infant
8. Untuk penggunaan AED, di guidelines terbaru ini tidak ada perbedaan dengan Guidelines
tahun2005

3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut ( Advance Life Support )

Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan


aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung)
danmemulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini
mencakup:

a. Tindakan intubasi dengan endotracheal tube


b. Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c. Pemasangan lini infuse.

16
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera,
dapatmemulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan melakukan
defibrilasiatau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau
mungkin,tindakan defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna selang
infuse.Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan
arusnya.Segera setelah diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik
sebesar 200-J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga
maksimal 360-J,dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan takikardia
atau fibrilasiventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi,
atau bila 2 atau 3kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera,
ventilasi dan analisis gasdarah arterial harus segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3
intravena yang sebelumnyadiberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai
keharusan yang rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar.
Namun, pasien yang tetap mengalamiasidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil
harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 padaawalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap
10-15 menit.

Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini berhasil
atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan pemberian ini diulang
dalam waktu 2menit pada pasien-pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang
persisten atau tetapmenunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh
infuse lidokain dengantakaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan
keadaan tersebut, pemberianintravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga
tercapai dosis total 500800mg, diikutidengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan
dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat(dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5 menit; dosis
pemeliharaan (maintanance) 0,5-2mg/menit), dapat dicoba. Untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin(0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5
menit sekali selama resusitasi dengan upayadefibrilasi pada saat-saat diantara setiap
pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapatdiberikan secara intrakardial jika cara
pemberian intravena tidak dapat dilakukan. Pemberiankalsium glukonat intravena tidak lagi
dianggap aman atau perlu untuk pemakaian yang rutin.Obat ini yang hanya digunakan pada
pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetusVF resisten, pada keadaan adanya
hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerimadosis toksik antagonis hemat
kalsium.

17
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan
carayang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki
peranan.Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus
diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau
atropine diberikanintravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing
eksternal kini sudahdapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur,
tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu
pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi
jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan
benda asing dengan maneuver Heimlichatau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yangmenyumbat di jalan napas.

4. Perawatan Pasca Resusitasi

Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung.Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive
terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support ) dan mudah dikendalikan setelah
kejadian permulaan.Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit
selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator
biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi
hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi
ventrikel sekunder pada IMA (kejadian denganabnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawakematian), upaya resusitasi kurang
begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi,angka rekurensinya cukup tinggi.
Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil
akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrolgangguan hemodiunamik
dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan
bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasienyang secara hemodinamis
tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.

Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang menyertai
penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang berhasil diresusitasi,
perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit yang mendasari serangan henti
jantungtersebut. Pasien dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan
infeksiterkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang
dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap

18
hasil akhir henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalannafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan gangguan
metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai harapan hidup baik jika mereka
mendapat resusitasidengan cepat dan dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.

5. Penatalaksanaan Jangka Panjang

Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis
karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien yang
tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai
stabilitashemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk
tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar
dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup
setelah henti jantung diluar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen
pada 1 tahun, 45 persen pada2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2
tahun. Perbandingan historismendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan
intervensi yang baru. Tetapiseberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji
intervensi bersamaan yang terkendali.

Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI akutdan
transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang menderita henti
jantungselama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun
uji diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional dan
ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara
umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung
iskemik kronik, tanpa MIakut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau
ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini.
Jika terdapat alasan untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik
atau Intervensi medis (sepertiangiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik.
Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi
elektris terprogram untuk menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada
pasien. Jika ya, informasi ini dapat digunakansebagai data dasar untuk mengevaluasi
efektifitas obat untuk pencegahan kekambuhan.Informasi ini juga dapat digunakan untuk
menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta. Menggunakan

19
teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi ejeksi 30 persen atau
lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen selama tahun pertama tindak
lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen,
tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup
setelah henti jantung. Untuk pasien yang keberhasilan dengan terapiobat tidak dapat
diidentifikasi dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman
defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator ) dalam tubuh,atau
pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat
dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan
hidup prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah
lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang
operasi. Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk
kemampuan untuk memaculebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out) beberapa
aritmia pada pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia untuk pasien ini, digunakan dengan
pantas, menunjukkan perbaikan perbaikanyang berlanjut pada hasil akhir jangka Panjang

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Konsep asuhan keperawatan

Pada pasien yang henti jantung harus segera dilakukan tindakan keperawatan seperti
memberikan persiapan awal henti jantung.

Penanganan Awal Henti Jantung (Cardiac Arrest). Empat jenis ritme jantung yang
menyebabkan henti jantung yaitu fibrilasi ventrikel (VF), takikardia ventrikel yang sangat
cepat (VT), aktivitas listrik tanpa pulsa (PEA), dan asistol. Untuk bertahan dari empat ritme
ini memeriukan bantuan hidup dasar Dukungan Kehidupan Dasar dan bantuan hidup lanjutan
Dukungan Kardiovaskular Lanjut (ACLS) (American Heart Association (AHA), 2005).

Ventrikel fibrilasi merupakan penyebab paling sering menyebabkan kematian


mendadak akibat SCA. American Heart Association (AHA) menggunukan 4 mata rantai

20
penting untuk mempertahankan hidup korban untuk mengilustrasikan 4 tindakan penting
dalam menolong korban SCA akibat ventrikel fibrilasi. Empat mata rantai tersebut adalah:

1. Sesegara mungkin memerlukan bantuan Layanan Medis Darurat (EMS) atau tenaga
medis terdekat.
2. Sesegera mungkin melakukan RJP.
3. Sesegera mungkin melakukan defibrilasi
4. Sesegera mungkin dilakukan Advanced Life Support diikuti oleh perawatan
postresusitasi.

Sebagaimana kondisi VF, kondisi aritmia lain yang dapat menyebabkan SCA juga
memerlukan tindakan resusitasi jantung dan paru-paru (RJP) yang diperlukan segera
dilakukan. Adapun algoritma dari RJP yaitu:

Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway pembebasan jalan nafas,
Breathing / usaha nafas, Sirkulasi / bantu memperbaiki sirkulasi). Namun sebelum
melakukan 3 prinsip penanganan penting dalam RJP tersebut, penolong harus melakukan
persiapan sebelumnya yang memastikan kondisi aman dan memungkinkan dilakukan
RJP. Setelah memastikan kondisi aman, penolong akan menilai respons korban dengan
cara: meminta korban atau meminta korban secara langsung, contoh: "Kamu tidak apa-
apa?"; atau dengan memberikan stimulus nyeri. Jika pasien merespons tetapi lemah atau
pasien merespons tetapi tidak merespons sama saja maka segera menerima bantuan
dengan. panggilan nomor darurat terdekat,

A. AIRWAY (Pembebasan jalan nafas)

Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan korban
pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam kondisi terlentang.
Beberapa poin penting dalam melakukan pembebasan jalan nafas:

I. Gunakan triple mancuver (manuver lift tilt-chin untuk jalan nafas bagi korban yang
tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan kepala).
2. Jika ada kecurigaan trauma vertebra serviks, pembebasan jalan nafas
menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi leher.
3. Bebaskan jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas
dengan swab atau suction jika ada.

B. BREATHING (Cek pemafasan)

21
Setelah memastikan jalan nafas bebas, penolong segera lakukan cek pernafasan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain:

1. Cek pemafasan dilakukan dengan cara melihat, mendengarkan (mendengarkan nafas), dan
merasakan (merasakan hembusan nafas) selama 10 detik.
2. Setiap dalam 10 detik usahu nafas tidak adekuat (jika terjadi respirasi terengah-engah
pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pemafasan, maka berikan 2 kali nafas
buatan (masing-masing I setiap detik dengan volume yang cukup untuk membuat dada
mengembang).
3. Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlibat naik hanus diberikan, pada
sebagian besar dewasu sekitar 10 ml / kg (700 hingga 10XK) ml).

4. Rekomendasi dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:


a. Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas dibuat tidak lebih penting
dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit pertama kadar oksigen dalam
darah masih mencukupi kebutuhan sistemik. Selain itu pada awal terjadi henti
jantung, masalah lebih terletak pada penurunan output jantung schingga kompresi
lebih efektif.
Lebih baik karena inilah alasan untuk meminimalisir interupsi saat kompresi dada.
b. Vaitilasi dan kompresi menjadi sama-sama penting saat prolonged VF SCF’
c. Hindari hiperventilasi (baik pernapasan mulut-mulut / masker / ambubag) dengan
memberikan volume permapasan normal (tidak terlalu kuat dan cepat)
d. Saat pasien sudah menggunakan alat bantu nafas (ET. LMA, dil) frekuensi nafas
diberikan 8-10 nafas / menit tanpa usaha mensinkronkan nafas dan kompresi dada.
e. Jika memerlukan titrasi untuk memberikan nafas buatan (misalnya, korban harus
melaporkan penyakit tertentu schingga penolong tidak aman'resiko tertular) maka
lakukan kompresi dada. Setelah memberikan pernafusan buatan, segera lakukan
pengecekan sirkulasi dengan menggunakan pulsasi arteri carotis (dipasang dilateral
jakun'tulang krikoid).
f. Pada pasien dengan sirkulusi spontan (pulsasi teraba) diperlukan bantuan dengan
raturata 10-12 nafus / menit dengan I nafas butuh 5-6 detik dan setiap kali nafas harus
dapat dikembangkan dada.

22
C. SIRKULASI

Beberapu hal yang perlu diambil dalam rangka sirkulasi pada saat melakukan
resusitasi jantung dan paru:

1. Kompresi yang "efektif" diperlukan untuk mempertahankan aliran darah selama resusitasi
dilukukan.
2. Kompresi akan memungkinkan pasien diletakan terlentang pada alas yang keras dan
penolong tergantung disisi dada korban.
3. Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi yang kuat dan cepat
(untuk dewasa 100 kali kompresi / menit dengan kompresi 2 inchi / 4-5 cm; menyediakan
waktu untuk dada mengembang sempurna setelah kompresi; kompresi yang dilakukan
dengan ritmik dan rileks) ,
4. Kompresi dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi pernafasan dan sirkulasi
tidak adekuat. Rasio yang digunakan dalam kompresi dada dengan kompresi 30: 2 adalah
berdasarkan konsensus dari para ahli. Kombinasi antara kompresi dada dengan kompresi
lain; Peningkatan frekuensi kompresi dada dan hiperventilasi dapat dilakukan dengan
kompresi minimal terhadap kompresi, Sebaiknya melakukan masing-masing tindakan
(kompresi dada dan ventilasi) secara independen dengan kompresi dada 100x / menit dan
dioperasikan 8-10 kali nafas per menit dan kompresi tidak membuat ventilasi berhenti
dan sebaliknya, hal ini khusus untuk 2 orang penolong).
5. Pada pencarian literatur ditemukan lima sitasi: satu LOE (Level Atau Bukti) 4, dan Empat
LOE 6. Frekuensi tinggi (lebih dari 100 kompresi permenit) manual CPR telah
dikembangkan sebagai teknik meningkatkan resusitasi dari henti jantung, Pada saat ini
studio pada binatang. Frekuensi CPR yang meningkatkan hemoxdinamik, dan tanpu
meningkatkan trauma (LOE6, Swart 1994, Maier 1984, Kem 1986). Pada satu studio
tambahan pada hewan, CPR frekuensi tinggi tidak meningkatkan hemodinamik
berlebihan yang dilakukan standar CPR (eit Tucker, 1994).

Contoh Kasus : Seorang laki-laki berusia 52 tahun tiba-tiba terjatuh tidak sadarkan diri ketika
sedang berjalan di pedestrian. Kejadian tersebut diketahui oleh perawat A yang sedang
melintas dijalantersebut. Perawat A dengan segera menghampiri Tn. W untuk memberikan
pertolongan. Padasaat kejadian, perawat A tidak dapat merasakan pernafasan korban, disertai
dengan nadikarotis tidak teraba.PengkajianPengkajian PrimerA.

23
A. Pengkajian

1. Identitas Klien
• Nama : Tn. W
• Umur : 52 tahun
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Alamat : Malang, Jatim

2. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran


3. Pengkajian primer
• Circulation : Nadi karotis tidak teraba, akral hangat
• Airway :Jalan nafas paten, tidak terlihat adanya sumbatan atau benda asing.
• Breathing :Apneu, korban tidak dapat bernafas spontan.
• Disability :Korban tidak sadarkan diri.

4. Pengkajian sekunder
A. Riwayat kesehatan sekarang
Korban tiba-tiba tidak sadarkan diri ketika berjalan di pedestrian dengan skor GCS 3,
nadi karotis tidak teraba, pernafasan tidak ada. B. Riwayat kesehatan laluTidak diketahui.
C. Riwayat kesehatan keluarga : keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama.

5. Pemeriksaan head to toe

Kepala : Tidak terdapat hematom, tidak ada distensi vena leher, trachea terlihat dan teraba
pada garis tengah. Pupil kiri dan kanan 5 mm.Leher Tidak terdapat deformitas, tidak ada
kekakuan.Thoraks Dada simetris, tidak ada pengembangan paru dari proses inspirasi dan
ekspirasi,tidak terdengar suara nafas, tidak terdengar suara jantung.AbdomenTidak ada
tanda trauma, distensi, ascites, dan nyeri tekan.PelvisTidak ada luka, tidak ada
deformitasPahaTidak ada luka trauma, tidak ada deformitas.Kaki bagian bawah dan
lenganTidak ada luka, pembengkakan, deformitas

B. ANALISA DATA
Data Etiologic Problem

24
DS : - - Penurunan suplai 02 ke Gangguan perfusi serebral
DO : otak

- Warna kulit pucat


- Kulit dingin
- CTR > 2 Detik
DS : - Suplai 02 ke otak tidak Gangguan perfusi jaringan
DO : terpenuhi
- Seanosis kuku dan
bibir
DS : - Suplai 02 tidak Gangguan pertukaran gas
DO : adekuat

- Nilai GDA tidak


normal
- Terlihat
distress
pernapasan
DS : - Kemampuan pompa Penurunan curah jantung
DO : jantung menurun
- Tekanan darah tidak ada
- nadi perifer tidak teraba
Diagnose Keperawatan :

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kemampuan pompa


jantungb menurun
2. Gangguan perfusi cerebral berhubungan dengan penurunan suplai 02 ke
otak 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai o2 tidak
adekuat
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai o2 yang tidak adekuat
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnose Tujuan Intervensi Rasional

25
1. Penurunan Setelah di lakukan - Lakukan - Untuk
curah tindakan keperawatan pijat jantung mengaktifkan
jantung di harapkan kerja pompa
berhubungan penurunan curah jantung
dengan jantung dapat kembali - Berikan - Meningkatkan
kemampuan meningkat dengan oksigen sediaan oksigen
pompa kriteria hasil : tambahan untuk kebutuhan
jantung - Nadi perifer dengan mikard untuk
menurun
teraba kanula melawan
- Tekanan daraj nasal/masker efek
dalam batas
dan obat hipoksia/iskemia.
normal
sesuai Banyak obat
indikasi dapat di gunakan
untuk
meningkatkan
volume sekuncup,
memperbaiki
kontraktiltas.
- Palpasi nadi - Penurunan curah
perifer jantung dapat
menunjukan
menurunnya nadi

26
- radial, dorsalis
pedis dan
postibial.
Nadi
mungkin
hilang
atau tidak teratur
Pantau - untuk di palpasi.
tekanan Pada pasien
darah cardiac
arrest
tekanan
darah
menjadi
- Kaji kulit rendah
terhadap atau
pucat dan mungkintidak
ada. Pucat
sianosis menunjukan
menurunnya
perfusi sekunder
terhadap tidak
adekuatnya
- curah jantung.
2. Gangguan Setelah di lakukan - Berikan - Obat di berikan
perfusi tindakan vasodilator untuk
cerebral keperawatan di misalnya meningkatkan
berhubunga harapkan sirkulasi : sirkulasi
n dengan darah kembali nitrogliserin miokardia
penurunan normal sehingga , nifedipine,
sesuai
suplai 02 ke transport 02 kembali dengan
otak lancar dengan indikasi atau
Instruksi
kriteria hasil :
dokter
- Pasien Posisikan
akan kaki lebih
-

27
memperlihatk - Mempercepat
penosongan vena
an tanda-
tanda vital
dalam batas
normal

- Warna dan - tinggi dari - superficial,


suhu tubuh jantung mencegah
normal distensi
- CTR <2 detik berlebihan
dan
meningkatkan
aliran balik vena.
Sirkulasi yang
Pantau terhenti
adanya menyebabkan
pucat, transport 02
sianosis dan keseluruh
- kulit dingin - tubuh
atau lembab juga terhenti
sehingga
akral
sebagai
bagian
yang paling jauh
dengan
Pantau jantung
pengisisan menjai pucat dan
kapiler dingin
(CTR) Suplai darah
kembali
normal
jika CTR< 2
detik dan
menandakan
suplai 02 kembali

28
normal
3. Gangguan Setelah dilakukan - Berikan 02 - Meningkatkan
pertukaran tindakan konsentrasi
sesuai
gas
berhubunga keperawatan di indikasi oksigen alveolar
n dengan harapkan sirkulasi dan dapat
suplai
darah kembali memperbaiki
o2
normal sehingga hipoksia
tidak
jaringan Nilai
adekuat pertukaran gas dapat - GDA yang
berlangsung dengan - Pantau normal
GDA menandakan
kriteria hasil :
- Nilai GDA pasien

Normal
- Tidak ada - pertukaran
distress gas
pernapasan semakin
membaik Untuk
- evaluasi
Pantau distress
pernapasan pernapasan

29
BAB IV PENUTUP

4.1.Kesimpulan

Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa otot jantung
secara tiba- tiba yang berakibat pada terhentinya proses penghantaran oksigen dan
pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini bisa terjadi akibat hipoksia Lama karena
terjadinya henti nafas yang merupakan akibat terbanyak henti jantung pada bayi dan anak.

Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung lama, karena
sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan kematian jaringan otak. Hal
tersebutlah yang menjadi alasan penatalaksanaan berupa CPR atau RJP harus dilakukan
secepat mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan menunjang kelangsungan
hidup korban.

Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban, apapun teknik
yang digunakan adalah memastikan penolong dan korban berada di tempat yang aman,
menilai kesadaran korban dan segera meminta bantuan

4.2.Saran

Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti jantung sebaiknya
dapat diberikan kepada masyarakat umum, mengingat bahwa resusitasi dapat memberikan
pertolongan awal. Dampak yang di timbulkan semakin berat jika waktu datangnya
pertolongan semakin lama.

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Assiciaton ,Pediatric Basic Life Support : 2010 American Heart Association
Guidelines For Crardiopulmonary Resuscitation and emergency cardiovascular Care,
Circulation 2010

PPGD basic I, Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia, 2011

Ulfah AR,. Advance Cardiac Life Sipport, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Jakarta.
2003 . AHA guidelines For CPR and ECC.

30
31

Anda mungkin juga menyukai