TINGKAT 3C
ISTI MUHOLIFAH
JUHINDA NOORSA
WULAN ANGGRAENY SAMAS
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah perubahan sistem perkemihan dapa lansia.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
BAB 1
BAB 3
3.1 Pengkajian. 11
3.2 diagnosa. 13
3.3 intervensi. 13
3.4 evaluasi. 14
BAB 4PEMBAHASAN. 18
BAB 5 PENUTUP. 19
DAFTAR PUSTAKA. 21
LAMPIRAN. 22
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Adapun masalah / gangguan medik yang dapat terjadi pada usia lanjut adalah
sebagai berikut : masalah pernafasan, masalah peredaran darah, masalah fungsi
kemih ( Gangguan berkemih berupa retensio urin, Inkontinensia urin, Benign Prostat
Hypertropi ),masalah kepikunan / Demensia, masalah gangguan gerak, dan masalah
gangguan tidur ( Setiati et al, 2007 dalam Fernandes 2010 ).
Inkontinensia urin adalah masalah dan gangguan umum di antara pasien geriatri.
(Onat, 2014 dalam Chesor 2015).
Inkontinensia urin adalah masalah umum pada pria maupun wanita lanjut usia
merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali kaadaan ini dapat menyebab
masalah fisik, emosional,
sosial, dan hyginis pada penderita (Cameron, 2013 dalam Chesor 2015).
Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses penuaan,
tetapi perubahan traktusurinarius yang berkaitan dengan penambahan usia
merupakan faktor predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (
Juniardi, 2008 dalam Fernandes, 2010 ).
3
Menurut Ekowati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan
inkontinensia urine dengan tingkat depresi pada usia lanjut” juga mengatakan bahwa
masalah sistem perkemihan yang paling sering dialami oleh lansia adalah
inkontinensia urine yang diakibatkan oleh menurunnya fungsi sistem organ lansia.
Berdasarkan masalah sistem perkemihan yang banyak dailami oleh lansia, seperti
inkontinensia urine maka salah satu tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
untuk menangani inkontinensia urine adalah dengan bledder training (latihan
menahan kemih).
4
a. mengetahui perubahan sistem perkemihan yang terjadi pada lansia
b. mengetahui masalah keperawatan sistem perkemihan pada lansia
c. mengetahui asuhan keperawatan dengan perubahan sistem
perkemihan pada lansia
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1) ginjal (ren) merupakan unit fungsional dari ginjal adalah nefron. Pada masa
dewasa lanjut jumlah neuron telah berkurang setengahnya dari jumlah neuron
dewasa muda. Selain itu nefron yang tersis memiliki lebih banyak ketidak
6
normalan(stanley dan beare, 2007). Menurut maryam(2008) pada lanjut usia
ginjal mengalami pengecilan dan neufron menjadi atrofi.
2) Kandung kemih( vesica urinaria) terjadi perubahan yang pada umumnya
menyertai penuaan termasuk kapasitas kandung kemih yang lebih kecil(
stanley dan beare, 2007)
Stanley dan beare (2007) frekuensi berkemih normal adalah setiap 3 jam
sekali atau tidak lebh dari 8 kali dalam sehari. Tidak normalnya berkemih pada
seseorang lanjut usia adalah apabila frekuensi berkemih lanjut usia sebanyak 1 kali
per 2 jam tanpa bisa di tahan atau bisa dikatakan bisa berkemih sebanyak 12 kali
dalam 24 jam( meiner dan lueckkenotte,2006). Observasi frekuensi berkemih
dilakukan selama satu hari dan akan mendapatkan hasil yang maksimal jika observasi
dilakukan selama 7 hari ( kincade, et al.2005)
7
1. Definisi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine didefinisikan oleh International Continence
Society (ICS) sebagai keluhan atas kebocoran urine yang tidak disadari.
Inkontinensia Urine menyebabkan masalah sosial dan higienis bagi
penderitanya. Penting untuk mengetahui penyebab dari inkontinensia urine
sehingga penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan tepat. Empat penyebab
pokok dari inkontinensia urine pada pasien usia lanjut yaitu: gangguan
urologik, gangguan neurologis, gangguan fungsional atau psikososial, dan
gangguan lingkungan (Setiati, 2007 dalam Suyatni, 2017).
2. Etiologi Inkontinensia Urine
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain disebabkan melemahnya otot
dasar panggul, kebiasaan mengejan yang salah ataupun karena penurunan
esterogen. Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi karena
kehamilan,setelah melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas, dan operasi vagina. Semakin bertambahnya usai seseorang
semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu adanya konstraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih
baru berisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih (Widiastuti, 2011
dalam Suyatni,2017)
3. Tipe Inkontinensia
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urine yaitu : inkontinensia
dorongan, inkontinensia total, inkontinensia stress, inkontinensia refleks,dan
inkontinensia fungsional. (Hidayat, 2006 dalam Suyatni, 2017).
a. Inkontinensia dorongan
Pasien inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan
kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini
8
disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan konstraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih
sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22%
dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008 dalam Suyatni,
2017).
b. Inkontinensia total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang
merupakan pengeluaran urine yang terus-menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain :
disfungsi neurologis, kontraksi independen, dan reflek detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006 dalam Suyatni, 2017)
c. Inkontinensia stress
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urine yang disebabkan meningkatnya tekanan
di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi
sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda berat, tertawa. Keluar urine
dari uretra pada saat terjadi tekanan intra abdominal, merupakan jenis
inkontinensia yang paling banyak prevalensinya 8-33%. Pada pria
kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia adalahkerusakan
spingteruretra ekterna pasca prostatektomi (Purnomo, 2008 dalam
Suyatni, 2017).
Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan
dapat disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria,
kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah
keadaan lain (Smeltzer dan Bare, 2001 dalam Suyatni, 2017)
d. Inkontinensia refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urine yang tidak dirasakan, tipe ini kemungkinan
9
disebabkan karena adanya kerusakan neurologis. Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak
dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006 dalam Suyatni, 2017).
e. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan suatu keadaan seseorang yang
mengeluarkan urine secara tidak sadar dan tidak dapat diperkirakan.
Keadaan ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup
kuat untuk mengeluarkan urine. (Hidayat, 2006 dalam Suyatni 2017).
10
BAB 3
3.1 Pengkajian
11
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah
supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di uretra luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
12
3.2 Diagnosa Keperawatan
13
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
14
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan
kantung drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan
teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh
urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
Tingkatkan masukan sari buah berri.
Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas
kulit teratasi.
15
Kriteria Hasil :
Jumlah bakteri <100.000/ml.
Kulit periostomal tetap utuh.
Suhu 37° C.
Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan
kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong
lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk
menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai
setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
16
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan
1.4 Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih
sesuai dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa
menggunakan obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria,
tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi
senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya
frekuensi inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
17
BAB 4
PEMBAHASAN
Dari beberapa jurnal yang kami kumpulkan menyatakan bahwa inkontinensia urin
merupakan gangguan sistem perkemihan yang sering dialami oleh lansia, baik di
indonesia maupun di negara lain. Hal ini di sebabkan oleh menurunnya fungsi organ
perkemihan pada lansia. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi inkontinensia
urin adalah degan bladder training atau kegel exersaise.
18
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar dari
infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan intake dan
output cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.
19
20
Daftar pustaka
21
LAMPIRAN
22
23
24
25
26
27
28
29
30
BLADDER TRAINING
Erfin Firmawati, Ns.,MNS
Yuni Permata Sari Istanti, Ns., MKep.,Sp.KMB., HNC
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat:
1. Melatih bladder training sesuai indikasi
2. Melakukan bladder training
Pada pasien yang terpasang kateter dalam jangka waktu yang lama, pasien
mungkin mengalami penurunan sensasi ingin berkemih atau miksi.Jika hal ini terjadi,
maka pasien dapat mengalami kesulitan mengontrol rasa berkemih sehingga
mengompol atau mengalamiinkontinensia urin.Untuk mencegah hal itu terjadi, maka
pasien perlu menerima bladder training.
Bladder training merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan
kontrol terhadap keinginan berkemih.Secara umum, bladder training dilakukan sejak
sebelum kateter hingga setelah kateter dilepas.Secara umum, panduan bladder
training sebelum kateter dilepas adalah sebagai berikut:
1. Perawat harus mengkaji rencana perawatan pasien termasuk kemungkinan durasi
terpasang kateter.
2. Prosedur bladder training harus dengan persetujuan dokter
3. Jadwal pelaksanaan baldder training perlu didiskusikan dengan pasien
4. Bladder training bisa memakan waktu hingga 4 hari atau setelah pasien mampu
mengontrol miksi dengan baik
5. Kosongkan urin bag saat selang penghubung kateter ke urin bag di klem
6. Saat klem dilepas, catat warna, kejernihan, dan jumlah urin.
7. Sebelum benar-benar dilepas, pasien harus mampu mentoleransi minimal 250 cc
urin di kandung kemih
31
2. Cuci tangan dengan 6 langkah, gunakan sarung tangan bersih
3. Jelaskan prosedur pada pasien
4. Pada hari pertama, klem selang kateter 1-2 jam (disarankan bisa mencapai waktu 2
jam kecuali pasien merasa kesakitan)
5. Kosongkan urin bag
6. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa kesakitan atau tidak toleran
terhadap waktu 2 jam yang ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan secara
bertahap
7. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine mengalir dari kandung kemih
menuju urine bag hingga kandung kemih kosong
8. Biarkan klem tidak terpasang sekitar 15 menit, setelah itu klem lagi 1-2 jam.
9. Lanjutkan prosedur ini hinggal 24 jam pertama
10. Pada hari kedua, tingkatkan lama klem menjadi 2-3 jam, lepaskan klem 15 menit
dan klem ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
11. Pada hari ketika, tingkatkan lagi lama klem menjadi 3-4 jam, lepaskan klem 15
menit dan klem ulang. Lakukan prosedur ini higga 24 jam
12. Pada hari ke 4, lepas kateter dan amati seksama respon pasien setelah kateter
dilepas
13. Anjurkan pasien untuk ke toilet setiap 2 jam
14. Setelah kateter dilepas, maka lakukan proses selanjutnya yaitu dengan
melakukan: kegel exercise, penundaan berkemih, dan penjadwalan berkemih
15. Kegel exercise adalah latihan untuk penguatan otot pelvis agar mampu
menghentikan aliran urin. Berikut langkah-langkah melakukan kegel exercise:
16. Penundaan berkemih: pada pasien yang mengalami inkontinensia, penundaan
berkemih dapat membantu mengontrol urin.Caranya, saat merasa ingin berkemih,
tunda berkemih selama 5 menit.Jika berhasil, maka tingkatkan waktu penundaan
berkemih misalnya menjadi 10 menit.Lakukan hal tersebut secara bertahap hingga
mencapai waktu 3-4 jam.Jika keinginan berkemih sering muncul sebelum batas waktu
yang anda targetkan, lakukan teknik relaksasi.Tarik nafas anda dalam-dalam dan
pelan. Kegel exercise bisa diakukan juga untuk membantu menunda berkemih
17. Penjadwalan berkemih: beberapa orang mengontrol inkontinensia dengan pergi
berkemih secara teratur. Hal ini berarti bahwa pasien pergi berkemih pada jam yang
telah ditentukan meskipun belum merasa ingin berkemih. Pasien bisa dijadwalkan
berkemih setiap jam, lalu secara bertaham ditingkatkan hingga waktu yang sesuai
untuk pasien.
18. Perawat dapat menganjurkan pasien untuk:
32
a. Minum secara normal, minimal 6-8 gelas per hari (1000-1500ml) kecuali ada
anjuran lain dari dokter. Pasien harus minum dengan normal dan tidak mengurangi
jumlah minum. Mengurangi asupan cairan tidak akan memperbaiki inkontinensia,
tetapi justru akan membuat urin menjadi sangat pekat. Hal ini dapat
mengiritasikandung kemih dan membuatnya semakin sering ingin berkemih
sementara urin yang tertampung dalam kandung kemih sangat sedikit.Kondisi ini
juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih.
b. Minum secara bertahap.Hindari minum banyak dalam sekali waktu. Minum
banyak dalam sekali waktu, keinginan untuk berkemih akan lebih susah dikendalikan
karena kandung kemih segera penuh, sehingga keinginan berkemih akan segera
muncul setelah minum banyak.
c. Beberapa minuman dapat mengiritasi kandung kemih dan menyebabkan keinginan
untuk berkemih semakin sering.Minuman beralkohon dan mengandung kafein harus
dihindari.Minuman jenis lain yaitu minuman bersoda, coklat, dan
minumanberkabonasi.
d. Hindari banyak minum 2 jam menjelang tidur karena banyak minum sebelum tidur
akan meningkatkan keinginan berkemih saat malam hari.
19. Anjurkan pasien untuk segera mencari pertolongan medis jika setelah dilepas
kateternya pasien mengalami:
a. Tidak dapat berkemih selama 6 jam
b. Ada perasaan ingin berkemih tetapi tidak dapat berkemih
c. Mengalami nyeri hebat di punggung (back pain)
d. Perut membesar
e. Demam (> 37.5oC)
f. Mual dan muntah
33
KEGEL EXERCISE
Erfin Firmawati, Ns.,MNS
Yuni Permata Sari Istanti, Ns., MKep.,Sp.KMB., HNC
Learning Objective:
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa dapat :
1. Melakukan persiapan alat untuk mengajarkan kegel exercise kepada pasien sesuai
indikasi
2. Mengajarkan kegel exercise dengan benar
A. DEFINISI
Latihan kegel atau latihan otot panggul adalah latihan yang bertujuan untuk
menguatkan otot perianal (pubococcygeus).
1. Temukan otot yang tepat. Kegel exercise melatih otot pelvis agar lebih kuat. Untuk
menentukan otot pelvis yang tepat, maka hentikan urin saat sedang berkemih.Jika
urin dapat dihentikan, maka otot pelvis yang dimaksud telah ditemukan.Otot tersebut
yang harus dikontraksikan saat melakukan kegel exercise.
2. Ketika sudah berhasil mengidentifikasi otot pelvis, kosongkan kandung kemih.
Setelah itu kegel exercise bisa dimulai. Dilarang melakukan kegel exercise saat
sedang berkemih karena hal tersebut justru akan melemahkan otot pelvis dan
menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan meningkatkan
resiko infeksi saluran kemih.
3. Mulai kegel exercise dengan mengontraksikan otot pelvis, tahan kontraksi hingga 5
detik dan relaks selama 5 detik. Ulangi proses tersebut hingga 4-5 set. Lakukan terus
latihan secara bertahap hingga dapat menahan kontraksi selama 10 detik sebanyak 10
set.
4. Untuk hasil yang maksimal, fokuslah mengkontraksikan hanya bagian
pelvis.Jangan melakukan kontraksi pada area perut, panggul, pantat atau paha, tetapi
konsentrasi hanya bagian otot pelvis.Hindari menahan nafas saat melakukan kegel
exercise, sebaliknya bernafaslah secara bebas dan rileks pada saat melakukan kegel
exercise.
5. Lakukan kegel exercise minimal3 kali sehari sebanyak 10 set. Penundaan
berkemih: pada pasien yang mengalami inkontinensia, penundaan berkemih dapat
membantu mengontrol urin.Caranya, saat merasa ingin berkemih, tunda berkemih
34
selama 5 menit.Jika berhasil, maka tingkatkan waktu penundaan berkemih misalnya
menjadi 10 menit.Lakukan hal tersebut secara bertahap hingga mencapai waktu 3-4
jam.Jika keinginan berkemih sering muncul sebelum batas waktu yang anda
targetkan, lakukan teknik relaksasi.Tarik nafas anda dalam-dalam dan pelan. Kegel
exercise bisa diakukan juga untuk membantu menunda berkemih. Penjadwalan
berkemih: beberapa orang mengontrol inkontinensia dengan pergi berkemih secara
teratur.Hal ini berarti bahwa pasien pergi berkemih pada jam yang telah ditentukan
meskipun belum merasaingin berkemih. Pasien bisa dijadwalkan berkemih setiap
jam, lalu secara bertaham ditingkatkan hingga waktu yang sesuai untuk pasien.
Perawat dapat menganjurkan pasien untuk:
1. Minum secara normal, minimal 6-8 gelas per hari (1000-1500ml) kecuali ada
anjuran lain dari
dokter. Pasien harus minum dengan normal dan tidak mengurangi jumlah minum.
Mengurangi
asupan cairan tidak akan memperbaiki inkontinensia, tetapi justru akan membuat urin
menjadi
sangat pekat. Hal ini dapat mengiritasi kandung kemih dan membuatnya semakin
sering ingin
berkemih sementara urin yang tertampung dalam kandung kemih sangat sedikit.
Kondisi ini juga
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih.
35