Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ASKEP PADA SISTEM PERKEMIHAN

DOSEN PENGAMPU :

Dini Rudini, S.Kep., NS., M.Kep.

DI SUSUN OLEH:

Fiqry Prasetyo
G1B116029

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT zat penguasa alam semesta yang telah
memberikan taufiq, rahmat, hidayah serta inayahnya sehingga Saya dapat untuk
menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “ASUHAN KEPERAWATAN
PADA SISTEM PERKEMIHAN”

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.

Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin. Dan
akhirnya semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca.
Terimakasih.

Jambi , 29 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 5

2.1 Pengkajian pada sistem perkemihan ......................................................... 5


2.2 Proses keperawatan saat pengkajian tes diagnosis sistem renal................ 6
2.3 Therapeutic interventions .......................................................................... 9

BAB III PENUTUP............................................................................................... 17

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 17


3.2 Saran .......................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut National Cancer Institute (2010), kandung kemih adalah organ
berongga di abdomen bagian bawah. Kandung kemih menyimpan urin; cairan
limbah yang dihasilkan oleh ginjal. Kandung kemih adalah bagian dari saluran
kencing. Urin lewat dari setiap ginjal menuju ke kandung kemih melalui
selang panjang yang disebut ureter. Urin meninggalkan kandung kemih
melalui uretra untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh. Dinding kandung
kemih memiliki tiga lapisan jaringan, yakni inner, middle, dan outer. Sel-sel
lapisan kandung kemih dapat berkembang abnormal dan menyebabkan kanker
kandung kemih. Kanker dimulai dari sel dan menghambat penyusunan
jaringan, dimana jaringan menyusun kandung kemih dan organ lain di dalam
tubuh. Sel-sel normal tumbuh dan terbagi untuk membentuk sel-sel baru
sebagaimana diperlukan tubuh. Saat sel normal menua atau rusak lalu mati,
sel-sel baru akan menggantikan. Saat terjadi tumor, sel-sel baru terbentuk saat
tubuh tidak membutuhkannya dan sel-sel tua atau rusak tidak akan mati.
Tumor pada kandung kemih dapat berupa tumor jinak dan tumor ganas
(kanker). Kanker inilah yang dapat menjadi ancaman untuk hidup, biasanya
dapat dihilangkan tetapi dapat tumbuh kembali, dapat menjalar atau merusak
jaringan atau organ di sekitarnya, dan dapat menyebar ke bagian tubuh yang
lain.
Diperkirakan sekitar 386.300 kasus baru dan 150.200 kematian akibat kanker
kandung kemih muncul di tahun 2008 di seluruh dunia (Jema, et al.
2011 dalam Rouissi, et al. 2011). Terdapat sekitar 70.530 baru terdiagnosa
kasus kanker kandung kemih (5.760 pada pria dan 17.770 pada wanita) dan
sekitar 14.680 terkait kematian (10.410 pada pria dan 4.270 pada wanita) di
USA di 2010 (Jemal, et al. 2010 dalam Rouissi, et al. 2011). Angka kejadian
paling tinggi rata-rata terjadi di Eropa, Amerika Utara, dan Afrika Utara.
Sedangkan angka yang tererndah ditemukan di Melanesia dan Afrika Tengah
(Jemal, et al. 2011 dalam Rouissi, et al. 2011).

1
Dari National Cancer Institute (2010), baik tumor jinak maupun tumor ganas
dapat terbentuk di permukaan dinding kandung kemih atau di dalam
dindingnya sendiri dan dengan cepat menyebar ke otot di bawahnya. Sekitar
90% kanker kandung kemih merupakan transisi dari sel karsinoma yang
muncul dari transisi epithelium dari membran mukosa. Kanker ini terkadang
juga merupakan transisi dari tumor jinak. Dalam jumlah yang lebih sedikit,
kanker kandung kemih melingkupi adenokarsinoma dan karsinona sel
skuamosa. Pasien dengan kanker kandung kemih dapat ditangani dengan jalan
operasi, kemoterapi, terapi biologi, dan terapi radiasi. Terkadang seroang
pasien dapat menerima lebih dari satu penanganan, tergantung dari lokasi dari
kanker kandung kemihnya, apakah kanker telah menyebar ke lapisan otot atau
lapisan luar kandung kemih.
Setiap pasien sebaiknya memiliki tim atau spesialis yang mampu
membantu perencanaan penyembuhan, termasuk melibatkan seorang perawat
onkologi. Perawat di sini akan membantu pasien yang mendapatkan
penanganan dalam bentuk operasi untuk melakukan perawatan luka, ostomi,
kontinensia. Seorang pasien juga berhak mendapatkan penjelasan dari pilihan
penanganan, hasil yang diharapkan, dan efek samping yang ditimbulkan dari
penanganan. Setelah mendapatkan penanganan, pasien akan lebih baik jika
melakukan follow up misalnya setiap tiga atau enam bulan sekali. Follow up
dan checkup ini akan membantu memastikan bahwa tidak ada perubahan
kondisi kesehatan dan akan dapat segera dilakukan penanganan jika terdapat
masalah kesehatan, karena pada dasarnya kanker kandung kemih memiliki
kemungkinan untuk muncul kembali. Tenanga kesehatan akan melakukan
pemeriksaan fisik, tes darah, sitoskopi, atau CT scans untuk memastikan
munculnya kembali kanker kandung kemih

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat kita tarik rumusan
masalah dari makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan sistem
perkemihan

2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar kita semua terutama
perawatan dan mahasiswa keperawatan dapat memahami mengenai asuhan
keperawatan pada sistem perkemihan .

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Pengkajian pada sistem perkemihan
2. Proses keperawatan saat pengkajian tes diagnosa sistem renal
3. Therapeutic interventions
a. Management inkontinensia urin ( stress incontinence, urge
incontinence, fungsional incontinance, overflow incontinance, total
incontinance )
b. Management retensi urin
c. Katater urin
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
Mengenali lebih jauh dan mengetahui tentang Asuhan keperawatan sistem
perkemihan
1.4.2 Manfaat bagi Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan
1. Dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami mengenai
asuhan keperawatan sistem perkemihan
2. Dapat menjadi bahan referensi dalam penelitian selanjutnya dan
menambah referensi untuk penelitian-penelitian yang sudah ada
1.4.3 Manfaat untuk Mahasiswa
1. Menambah wawasan mahasiswa tentang asuhan keperawatan sistem
perkemihan
2. Mengembangkan pengetahuan mahasiswa tentang asuhan keperawatan
sistem perkemihan
3. . Sebagai penunjang pengetahuan lebih bagi mahasiswa

3
1.4.4 Manfaat untuk FKIK UNJA
Meningkatkan pengetahuan mahasiswa UNJA tentang asuhan keperawatan
sistem perkemihan

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengkajian Pada Sistem Perkemihan

2.1.1 Anamnesa

a. Identitas pasien (data demografi)


Data demografi pasien meliputi: nama, alamat, jenis kelamin, usia,
pekerjaan, dst. Pajanan okupasional dengan zat – zat karsinogen
khususnya bahan pewarna dan pelarut yang digunakan dalam indutri dapat
menjadi faktor resiko.
b. Keluhan utama
Keluhan yang paling lazim didapatkan adalah adanya darah pada
urin (hematuria). Hematuria mungkin dapat dilihat dengan mata telanjang
(gross), tetapi mungkin pula hanya terlihat dengan bantuan mikroskop
(mikroskopis). Hematuria biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Keluhan
lainnya meliputi sering BAK dan nyeri saat BAK (diuria). Pasien dengan
penyakit lanjut dapat hadir dengan nyeri panggul atau tulang, edema
ekstremitas bawah dari kompresi korpus iliaka, atau nyeri panggul dari
obstruksi saluran kemih. Superfisial kanker kandung kemih jarang
ditemukan selama pemeriksaan fisik. Kadang – kadang, massa abdomen
atau pelvis dapat teraba. Periksa untuk limfadenopati.
c. Riwayat penyakit sekarang
Mendiskripsikan secara kronologis tentang perjalanan penyakit
pasien mulai dari awal mula sakit sampai dibawa ke rumah sakit.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat kesehatan seperti infeksi atau iritasi
saluran kemih atau gangguan berkemih seperti hematuria dan disuria.
e. Riwayat penyakit keluarga
Berhunbungan dengan riwayat kanker dalam keluarga seperti
kanker prostat, kanker ginjal, dan lainlain.

5
f. Riwayat penggunaan obat-obatan
Pasien mungkin mengkonsumsi obat-obatan seperti siklofosfamid
(cytoxan) yang menjadi faktor penyebab.
g. Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Misalnya kebiasaan merokok. Panjanan lingkungan dengan zat
karsinogen seperti 2-naftilamin, senyawa nitrat.
2.1.2 Pemeriksan Fisik
a. Keadaan umum pasien (tanda-tanda vital) pasien
b. Kesadaran
c. Pemeriksaan Head to Toes
- Kepala: normal
- Mata
- Inspeksi: konjungtiva anemis
- Hidung: normal
- Dada & axila: normal
- Pernafasan: normal
- Sirkulasi jantung: terjadi peningkatan aliran darah ke kandung kemih
karena proliferasi sel meningkat
- Abdomen:
inspeksi: distensi abdomen
palpasi: nyeri tekan pada abdomen
- Genitouary:
inspeksi: hematuria
palpasi: teraba ada massa pada daerah suprasimfisis, abdomen kuadran
bawah
- Ekstremitas (integumen & muskuluskletal):
inspeksi: kemerahan/iritasi pada daerah genitalia
palpasi: tugor kulit jelek. Kulit tampak pucat.

2.1.3 Pengkajian Diagnostik

1) Pemeriksaan Laboratorium
a. Urinalisis

6
Pada analisis mikoskopik urine, ditemukannya sel – sel darah
merah secara signifikan (lebih dari 2 per lapang pandang)
menunjukkan adanya cedera pada sistem saluran kemih dan
didapatkannya leukositoria (>5/lpb) menunjukkan adanya proses
inflamasi pada saluran kemih (Purnomo, 2011)
b. Pemeriksaan Darah
- Darah rutin (Purnomo 2011)
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar
hemoglobin, leukosit, laju endap darah, hitung jenis leukosit, dan
hitung trombosit.
- Faal ginjal (Purnomo 2011)
Beberapa uji faal ginjal yang sering diperiksa adalah pemeriksaan
kadar kreatinin, kadar ureum atau BUN (Blood Urea Nitrogen), dan
klirens kreatinin.
- Faal Hepar (Purnomo 2011)
Pemeriksaan faal hepar ditujukan untuk mencari adanya metastasis
suatu keganasan atau untuk melihat fungsi hepar secara umum.
- Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker)
Pemeriksaan penanda tumor antara lain adalah : PAP (Prostatic
Acid Phosphate) dan PSA (Prostat Spesific Antigen) yang berguna
untuk menegakkan diagnosis karsinoma. PSA ini dapat digunakan
sebagai deteksi awal tumor yang tidak invasif (Luo 2004).
- Cell survey antigen study (Nursalam 2009)
Pemeriksaan laboratorium untuk mencari sel antigen terhadap
kanker, bahan yang digunakan adalah darah vena.
c. Kultur urine
Digunakan untuk memeriksa adanya infeksi saluran kemih.
d. Histopatologi
Pemeriksaan ini dapat menentukan suatu jaringan normal,
mengalami proses inflamasi, pertumbuhan benigna, atau terjadi
maligna. Selain itu pemeriksaan ini dapat menentukan stadium
patologik serta derajat diferensiasi suatu keganasan.

7
e. Sitologi
Pemeriksaan sel-sel urotelium yang terlepas bersama urine
(biasanya nilai negative palsu tinggi). Derajat perubahan sel
diklasifikasikan dalam lima kelas mulai dari; normal, sel yang
mengalami peradangan, sel atipik, disuga menjadi sel ganas, dan sel
yang sudah mengalami perubahan morfologi menjadi sel ganas.
2) Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Polos Abdomen (BOF; BNO; KUB) (Purnomo 2011)
Foto polos abdomen atau KUB (Kidney Ureter Bladder)
adalah foto skrining untuk pemeriksaan kelainan urologi.
b. USG (Muttaqin 2011)
Sebelum pemeriksaan, pasien dipuasakan untuk
meminimalkan gas di usus yang dapat menghalangi pemeriksaan.
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang tidak invasive
yang dapat menilai bentuk dan kelainan dari buli.
c. Sitoskopi (Muttaqin 2011)
Prosedur pemeriksaan ini merupakan inspeksi langsung
uretra dan kandung kemih dengan menggunakan alat sitoskopi
(meruapakan suat alat yang mempunyai lensa optik pada ujungnya
sehingga dapat dengan leluasa melihat langsung). Sitoskop juga
memungkinkan ahli urologi untuk mendapatkan spesimen urine
dari setiap ginjal guna mengevaluasi fungsi ginjal. Alat forceps
dapat dimasukkan melalui sitokop untuk keperluan biopsi pada
kandunng kemih.
d. Flow Cytometri (Nursalam 2009)
Mendeteksi adanya kelaian kromosom sel-sel urotelim.
e. Pielogram Intravena / IVP (Price dan Wilson 2005)
Prosedur yang lazim pada IVP adalah foto polos radiografi
abdomen yang kemudian dilanjutkan dengan penyuntikan media
kontras intravena. IVP dapat memastikan keberadaan posisi ginjal,
serta menilai ukuran dan bentuk ginjal. Efek berbagai pemyakit

8
terhadap kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengekskresi
zat warna juga dapat dinilai.
f. Arteriogram ginjal (Price dan Wilson 2005)
Tindakan memasukkan kateter melalui arteri femoralis dan
aorta abdominlis sampai setinggi arteri renalis selanjutnya media
kontas disuntikkan. Tindakan ini untuk dapat sipakai untuk melihat
pembuluh darah pada neoplasma.
g. CT-scan (Price dan Wilson 2005)
CT-scan berperan penting dalam penetapan stadium
neoplasma menggantikan IVP dalam kasus trauma ginjal.
3) Biopsi (American Cancer Society 2012)
Jika pada test pencitraan dicurigai kanker telah menyebar, biopsi
dapat digunakan untuk memastikan penyebaran kanker ke luar kandung
kemih seperti jaringan sekitar kandung kemih, kelenjar limfa, atau organ
tubuh lain.

2.2 Proses Keperawatan Saat Pengkajian Tes Diagnosis Sistem Renal


2.2.1 Tes Urine

1. Urinalisis

Urinalisis atau analisis urine merupakan pemeriksaan yang bisa


dibilang memberi informasi besar terkait fungsi ginjal. Langkah pertama
dalam melakukan tes ini adalah tes dipstick. Hal ini
karena dipstick memiliki reagen tes urine untuk mengetahui adanya
konstituen normal dan abnormal, termasuk protein. Kemudian, urine
diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari sel-sel darah merah dan
putih, dan adanya silinder dan kristal (padatan).

Normalnya, protein (albumin) tidak ditemukan, atau setidaknya


hanya sedikit, dalam urine. Hasil positif pada tes dipstick menunjukkan
jumlah protein abnormal. Namun sebenarnya ada pemeriksaan lain yang
lebih sensitif dari tes dipstick untuk protein, yaitu estimasi laboratorium
albumin urine dan kreatinin dalam urine. Rasio albumin dan kreatinin

9
dalam urine memberikan perkiraan yang baik dari ekskresi albumin per
hari.

2. Tes Urine 24 Jam


Tes ini mengharuskan seseorang yang menjalaninya untuk
mengumpulkan semua urine selama 24 jam penuh. Dalam tes ini, urine
akan dianalisis untuk mengetahui kadar protein dan limbah produk
(seperti nitrogen urea dan kreatinin). Kehadiran protein dalam urine
mengindikasikan kerusakan ginjal. Jumlah kreatinin dan urea
diekskresikan dalam urine dapat digunakan untuk menghitung tingkat
fungsi ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG).
3. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
LFG adalah sarana standar untuk mengekspresikan fungsi ginjal
secara keseluruhan. Selama penyakit ginjal berlangsung, LFG akan turun.
LFG normal adalah sekitar 100-140 ml/menit pada pria dan 85-115
mL/menit pada wanita. Itu berkurang pada kebanyakan orang dengan
usia. LFG dapat dihitung dari jumlah produk limbah dalam urine 24 jam
atau dengan menggunakan pewarna khusus yang diberikan secara
intravena. Estimasi LFG (eLFG) dapat dihitung dari tes darah rutin,
tetapi bisa jadi tidak akurat pada orang yang lebih muda dari 18 tahun,
ibu hamil, dan orang-orang yang sangat berotot atau obesitas.

2.2.2 Tes Darah

1. Kreatinin dan Urea (BUN) dalam Darah

Ini adalah tes darah yang paling umum digunakan untuk memantau
penyakit ginjal. Kreatinin adalah produk dari kerusakan otot normal.
Urea adalah produk limbah dari pemecahan protein. Kadar zat ini
meningkat dalam darah seiring memburuknya fungsi ginjal.

2. Kadar Elektrolit dan Keseimbangan Asam-Basa

Disfungsi ginjal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit,


khususnya kalium, fosfor, dan kalsium. Kalium tinggi (hiperkalemia)

10
memerlukan perhatian khusus, dan keseimbangan asam-basa darah
biasanya terganggu juga. Penurunan produksi bentuk aktif dari vitamin D
dapat menyebabkan rendahnya kadar kalsium dalam darah.
Ketidakmampuan gagal ginjal mengekskresikan fosfor menyebabkan
kadar fosfor dalam darah meningkat. Kadar hormon testis atau ovarium
juga mungkin abnormal.

3. Jumlah Sel Darah


Karena penyakit ginjal mengganggu produksi sel darah dan
memperpendek kelangsungan hidup sel darah merah, perhitungan sel
darah merah dan hemoglobin mungkin rendah (anemia). Beberapa orang
dapat mengalami kekurangan zat besi karena kehilangan darah dalam
sistem pencernaan. Kekurangan nutrisi lainnya juga dapat mengganggu
produksi sel darah merah.
2.3 Therapeutic Interventions
2.3.1 Management Inkontinensia Urine
1. Latihan Pelvis
Latihan pelvis kegel dianjurkan untuk yang mengalami
inkontinensia stress.Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan
meningkatkan ambang berkemih yang mengakibatkan urgensi. Otot-otot
yang terlibat dapat diidentifikasi dengan cara memberitahukan pasien
untuk menghentikan aliran urine pada pertengahan pancaran untuk
menguatkan pintu keluar kandung kemih. Otot-otot yang digunakan
untuk melakukan hal ini adalah otot-otot yang akan diperkuat.
2. Maneuver Crede
Maneuver crede melibatkan penggunaan tekanan diatas region
suprapubik untuk secara manual menekan kandung kemih selama
berkemih.Disini pasien berkemih, kemudian berkemih lagi beberapa
menit kemudian dengan menggunakan maneuver crede.Metode ini
digunakan untuk inkontinensia akibat aliran yang berlebihan (overflow).
3. Bladder Training
Bladder training adalah penanganan tradisional untuk inkontinensia
urgensi.Bladder training meliputi berkemih dengan jadwal yang telah

11
ditentukan sebelumnya atau dengan pengaturan waktu setiap 30-40 menit
tanpa memperhatikan kebutuhan. Jika urgensi untuk berkemih muncul
lebih cepat, pasien disarankan untuk menahan urine sampai waktu yang
telah dijadwalkan.Interval berkemih diperpanjang secara bertahap apabila
sudah mampu mengontrol BAK.
4. Toileting Secara Terjadwal
Penjadwalan atau toileting langsung digunakan untuk pasien yang
mengalami gangguan kognitif.Pasien dibawa ke toilet atau ditempatkan
pada sebuah pispot setiap 2 jam.Pengkajian awal tentang frekuensi dan
waktu episode inkontinensia diikuti dengan toileting berdasarkan pola
inkontinensia individu dapat meningkatkan keberhasilan.Pasien yang
mampu untuk berespon dapat ditanya secara teratur tentang keinginan
berkemih.
5. Penggunaan Alat-Alat Eksternal
Alat-alat eksternal termasuk unit pengumpulan urine seperti kateter
yang dihubungkan dengan kantong rungkai, celana inkontinensia, dan
urinal jika fasilitas toilet tidak dapat dicapai oleh pasien.
6. Kateterisasi Secara Intermiten
Kateterisasi lurus yangintermiten lebih disarankan daripada kateter
menetap.Intervensi ini mungkin diperlukan untuk mereka yang
mengalami inkontinensia karena aliran yang berlebih atau inkontinensia
fungsional.Dalam pemasangan kateter ini perlu perhatian untuk hal
kebersihan dan penyimpanan karena terdapat bahaya infeksi nosokomial.
7. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan biasanya digunakan untuk mereka yang
gangguan mobilitas atau defisit neurologis. Pengkajian individual
mengindikasi apa yang diperlukan pasien tersebut. Contohnya peletakan
toilet dan atau penampung air kemih diletakkan dekat dengan tempat
tidur.
8. Pengobatan
Pengobatan diberikan berdasarkan diagnosis spesifik.Andrenergik
agonis dan ekstrogen dapat membantu mengatasi inkontinensia

12
stress.Relaksan kandung kemih, antidepresan trisiklik dan anti kolinergik
meningkatkan kandung kemih sehingga dapat mengatasi inkontinensia
urgensi.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam mengatasi
inkontinensia pada lansia, oksibutinin yang dikombinasikan dengan
bladder training lebih efektif dari pada hanya bladder training saja.
9. Pembedahan
Pembedahan yang dilakukan adalah prostektomi untuk pria dan
perbaikan dasar panggul, sistokel, atau retoksi untuk wanita.
10. Diet
Modifikasi diet ini adalah penjadwalan asupan cairan.Asupan
cairan setelah makan malam perlu dikurangi.Minuman dan minuman
yang dapat menstimulasi kandung kemih juga perlu dihindari, misalnya
kopi, teh, alkohol, serta cokelat.
2.3.2 Management Retensi Urine
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dapat membantu klinisi mengevaluasi
etiologi seperti tersebut di atas. Etiologi trauma, infeksi berat atau
sepsis, keganasan, dan etiologi neurologis perlu diwaspadai. Untuk
semua kasus, dokter perlu mengevaluasi akses uretra. Bila pasien
memiliki riwayat striktur uretra, cedera uretra, atau riwayat sulit
kateterisasi uretra, lakukan kateterisasi suprapubik atau rujuk pasien
ke urolog. Dokter juga perlu menyelidiki riwayat penggunaan obat
yang dapat memicu retensi, misalnya antihistamin dan antikolinergik.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen dapat menemukan distensi, perkusi
buli yang redup, dan palpasi suprapubik yang nyeri. Pada suspek BPH
atau kanker prostat, digital rectal examination dapat dilakukan untuk
memeriksa prostat. Penurunan sensasi perineal dan tonus sfingter ani
pada pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan sindrom kauda equina.
Pada wanita, lakukan pemeriksaan pelvis lengkap untuk mengevaluasi
massa atau prolaps organ. Pemeriksaan neurologis seperti tonus otot,

13
sensorik, dan refleks juga perlu dilakukan untuk evaluasi etiologi
neurologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urine postvoid residual (PVR) dengan USG dapat
memastikan ada tidaknya retensi. Urinalisis dapat dilakukan untuk
menilai perdarahan, kristal, atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan
fungsi ginjal berupa ureum dan kreatinin juga diperlukan untuk
mengevaluasi ada atau tidaknya gangguan ginjal bersama retensi
urine.
2.3.3 Kateter Urine
A. Pengertian Kateter Urine
Kateter urine yaitu memasukkan selang karet atau plastik (kateter)
ke dalam vesika urinaria (kandung kemih) melalui uretra (Asmadi, 2008).
Kateter urine yaitu tindakan pemasangan kateter urine yang
dilakukan dengan memasukkan selang plastik, karet atau logam melakui
uretra ke dalam kandung kemuh (Potter & Perry, 2006)
B. Macam-macam Kateter
Ada tiga macam kateter kandung kemih, yaitu kateter dengan
selang pembuangan satu buah, dengan dua buah dan dengan tiga buah
saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dinamakan lumen.
Kateter dengan tiga lumen dengan sendirinya akan memiliki garis
tengah (jadi lebih gemuk) yang lebih besar dibanding kateter dengan
satu lumen. Kateter yang dipakai tergantung pada tujuan memakai
kateter tersebut: kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu
kali, kateter dengan dua lumen adalah kateter yang ditinggal tetap
disitu satu lumen dipakai sebagai saluran pembuangan urine, lumen
yang lain dipakai untuk mengisi dan mengosongkan balon yang
dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika kateter dimasukkan
dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu, yang
menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam
kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus
dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk

14
tujuan membilas kandung kemih. Disini satu lumen dipakai untuk
memasukkan cairan pembilas, satu sebagai saluran pembuangan
cairan, dan satu untuk balon penampungan (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Kozier (2010), terdapat 4 jenis kateter berdasarkan bahan
yang digunakan, yaitu:
a. Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan
tidak fleksibel.
b. Kateter latex/karet: digunakan untuk penggunaan/pemakaian
dalam jangka waktu singkat (kurang dari 2 atau 3 minggu).
c. Kateter silikon murni/teflon: untuk penggunaan jangka waktu
lama 2-3 bulan karena bahan lebih lentur pada meatus uretra.
d. Kateter PVC (Polyvinylchloride): sangat mahal, untuk
penggunaan 4-6 minggu, bahannya lembut, tidak panas dan
nyaman bagi uretra.
C. Intervensi keperawatan
NOC (Nursing Outcomes Classification)
1. Immune Status
2. Knowledge : Infection control
3. Risk control
kriteria hasil : Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
NIC (Nursing Intervention Classification)
a. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan,
gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
b. Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko.
c. Ajarkan cara menghindari infeksi, laporkan kecurigaan infeksi
d. Observasi tanda-tanda infeksi seperti kemerahan, dan
peningkatan suhu tubuh untuk monitor kerentanan terhadap
infeksi.
e. Pertahankan sistem kateter steril (perawatan kateter regular
dengan sabun dan air).
f. Dorong istirahat pada klien, dorong asupan cairan klien.

15
g. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik. (Ackley & Ladwing,
2011)

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem perkemihan adalah saluran dalam tubuh manusia, meliputi ginjal


dan saluran keluarnya yang berfungs untuk membersihkan tubuh dari zat zat
yang tidak diperlukan. Zat yang diolah oleh sistem ini selalu berupa sesuatu
yang dilarutkan dalam air. Sistem ini terdiri sepasang ginjal. Ureter itu
bermuara pada sebuah kandungan kemih (urinary bladder, vesica urinaria)
diperut bagian bawah dibelakang tulang kemaluan (pubic hone ). Urine
selanjutnya dialihkan keluar melalui sebuah urether

3.2 Saran

Diharapkan melalui makalah ini pembaca mampu mengerti asuhan


keperawatan dari pengkajian, diangnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi pada klien dengan gangguan Kandung Kemih. Berdasarkan materi
yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka perawat dan mahasiswa
keperawatan mengerti dan memahami akan medikasi. Sehingga perawat dapat
mengimplementasikannya dalam proses penanganan terhadap pasien. Maka
asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien akan berjalan dengan baik
dan maksimal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Mindardi D. Urinary Retention. International Continence Society. 2018.


https://www.ics.org/committees/standardisation/terminologydiscussions/
urinaryretention

Billet M, Windsor TA. Urinary Retention. Emerg Med Clin North Am.
2019;37(4):649-660. doi:10.1016/j.emc.2019.07.005

Baughman, Diane C. (2000). Keperawatan medical-bedah : Buku Saku untuk


Brunner dan Suddart. Jakarta : EGC

Vasavada S, Carmel M, Rackley R, Kim E. Urinary Incontinence. Medscape.


2019. Diakses dari: https://emedicine.medscape.com/article/452289-
overview
Lucas M., Bedretdinova D, Berghams LC, Bosch LLRH, Burkhard FC,
Cruz F, et al. Guidelines on Urinary Incontinence. Eur Assoc Urol.
2015;1–75.

DeMaagd G, Davenport T. Management of Urinary Incontinence. P&T. 2012;37

18

Anda mungkin juga menyukai