HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
DAFTAR ISI......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Tujuan.....................................................................................................4
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................6
2.1 Definisi...................................................................................................6
2.2 Etiologi...................................................................................................6
2.3 Patofisiologi...........................................................................................7
2.4 WOC....................................................................................................14
2.5 Klasifikasi............................................................................................15
2.6 Manifestasi Klinis................................................................................16
2.7 Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................22
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................24
2.9 Komplikasi...........................................................................................27
2.10 Prognosis............................................................................................28
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI................................................30
3.1 Pengkajian............................................................................................30
3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................32
3.3 Interevensi Keperawatan......................................................................32
BAB IV PENUTUP......................................................................................... 37
4.1 Kesimpulan.......................................................................................... 37
4.2 Penutup................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................39
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka terjadi. Kata skleroderma
berasal dari bahasa Yunani yaitu sclero berarti keras dan derma berarti kulit.
Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyerang jaringan ikat, dan
otot jari. Selain itu, terjadi keterbatasan saat pasien melakukan aktifitas
fungsional seperti menggenggam, bersalaman, mengangkat barang, dan
keterbatasan saat beraktifitas. Berdasarkan hal tersebut, maka penyakit
Skleroderma ini perlu dipelajari khususnya dalam praktek Asuhan
Keperawatan sistem integumen. Melalui makalah ini akan kami bahas tentang
skleroderma yang meliputi; anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi,
WOC,
klasifikasi,
manifestasi
skleroderma,
pemeriksaan
diagnostik,
Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan
Asuhan keperawatan sistem integumen pada klien dengan skleroderma.
1.3.2.Tujuan Khusus
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Skleroderma (Sklerosis Sistemik) merupakan suatu gangguan yang
bersifat kronis dan jarang terjadi, yang ditandai dengan adanya perubahan
degeneratif dan pembentukan jaringan parut pada kulit, persendian dan organorgan dalam, serta adanya kelainan pada pembuluh darah. Gangguan ini
menyebabkan pengerasan dan pengencangan pada kulit dan jaringan ikat.
2.2.
Etiologi
Etiologi belum diketahui secara pasti (Djuanda, 2007) diduga beberapa
faktor dapat mempengaruhi skleroderma antara lain:
a. Faktor Genetik
Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan
hukum Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan
kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko
relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko
penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan
rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien
skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen
kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas,
inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma
telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme
(ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19),
kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin,
sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)alpha), growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor
[CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein
matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC) (Setiyohadi,
2006).
b. Faktor Lingkungan
Agen infeksius terutama virus, paparan toksin lingkungan dan
pekerjaan
serta
obat-obatan
telah
dicurigai
dapat
mencetuskan
terhadap
human
cytomegalovirus
(hCMV)
dan
molekuler
antara
hCMV
dengan
host.
Penelitian
lain
Skleroderma (Gabrielli,
2009).
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden
skleroderma pada pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang
mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride,
epoxy resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma adalah
bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan (terutama
derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi
Patofisiologi
Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon
imun seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel.
Autoimunitas, perubahan fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin
merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa fenomena Raynaud
yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi
proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan
perbaikan jaringan (Varga, 2008).
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap
scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler,
inflamasi dan terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya
menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus
menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan
yang ireversibel (Varga, 2008).
2.3.1 Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan
penting dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi
awal penyakit ditandai dengan perubahan respon aliran darah pada suhu
dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat perubahan sistem
saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti
calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan
sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada
fenomena Raynaud primer gejala klinis relatif lebih ringan dan tidak
progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan
morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera
endotel (Richard et al., 2006).
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas
endothelium-derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide,
8
vascular
ini
spesifisitasnya
tinggi
terhadap
skleroderma
dan
fibroblast,
sel
endotel,
fibrillin-1
serta
enzim
matriks
10
baik dalam
11
sel
12
kegagalan loop
13
Gambar 3. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma (Gabrielli et al., 2009).
2.4. WOC
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
1.
Skleroderma Lokal
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit
kolagen yang berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis,
jaringan subkutan, atau keduanya (Jennife and Victoria, 20101) tanpa
keterlibatan sistemik (Vincent and Christina, 2008). Skleroderma
merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih
kekuning-kuningan dan keras, yang sering kali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian
tubuh mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.
b. Linear Sklerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai
perubahan
Sklerosis sistemik
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis
yang ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan
keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung
dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran
inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan
fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ
yang progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma,
membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain (Gabrielli
et al., 2009).
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di
ekstremitas, muka dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku
dan lutut tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya
adalah
sindroma
CREST
(calcinosis,
esophageal
dysmotility,
sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan
kelainan kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran
serologis yang khas untuk sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau
penyakit otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan
fenomena Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai
dengan sklerosis sitemik (Sriwulandari, 2011).
Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa
terlibat
15
lambat
Fenomena
Raynaud
Fibrosis
pulmonal
Hipertensi
arteri
terisolasi
fibrosis pulmonal
Sangat jarang
15 % terjadi; diawal
Sering, menonjol
Antisentromer
Antitopoisomerase (Scl-70)
pumonal
Krisis renal
scleroderma
Kalsinosis
kutis
Karakteristik
autoantibody
dan
berbatas
jelas
umumnya
dengan
hipo
atau
16
Gambar 4. Morfea bentuk plak. Pada stadium awal dapat terlihat batas
keunguan dan edema. (Vincent and Christina, 2008).
2. Morfea linier
Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan
seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi
dan kadang menyebabkan kontraktur. Bentuk morfea ini muncul lebih
umum pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik sering
sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot.
Kontraktur dapat menjadi penyebab morbiditas dan deformitas. Pada
anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang dan
mengganggu pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi
seluruh ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat (Vincent and
Christina, 2008).
Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan
coklat keunguan atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi,
umumnya dikenal dengan en coup de sabre. Perubahan meliputi seluruh
kulit kepala biasa ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus, otot, dan
tulang terkena, bentuk ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial
hemiatrophy atau Parry-Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi
kulit dan perkembangan hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan
secara langsung. Pasien terkena lesi wajah dan Parry-Romberg
syndrome datang dengan keadaan yang sangat berat. Pasien yang
bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea atrophic
band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah
dengan hilangnya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi
lidah dan kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala berat ini
juga dapat memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga
berpotensial kejang, sakit kepala, dan perubahan penglihatan (Vincent
and Christina, 2008).
3. Morfea Segemental
Bentuk ini dapat berlokalisasi di muka dan menyebabkan hemiatropi. Bila berada di sebuah atau lebih dari sebuah ekstremitas, di
samping ada indurasi ada pula atrofi pada lemak subkutis dan otot.
17
Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon serta ankilosis pada sendi
tangan dan kaki (Djuanda, 2007).
Gambar 5. Morfea linier. Kiri: plak indurasi linier yang meluas dari dorsal tangan
kanan ke jari ketiga dan meliputi sendi interfalang proksimal dan distal dengan
kontraktur. Kanan: en coup de sabre, tampak oblik
(Vincent and Christina, 2008).
4. Morfea Generalisata
Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang
ditandai dengan lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh
yang besar. Beberapa pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan
cakupan permukaan tubuh yang lebih kecil (Goodfield and Jones,
2004). Onsetnya biasanya perlahan-lahan. Lesi dengan warna ungu
disekeliling indurasi ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium
awal. Plak biasanya lebih besar dibanding morfea lain, dengan diameter
dalam sentimeter. Biasanya plak dimulai pada batang tubuh dan secara
bertahap meningkat dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru
selama satu atau dua tahun. Area utama yang terkena adalah batang
tubuh atas, dada, abdomen, dan paha atas (James et al., 2008).
18
19
Hiperpigmentasinya
menyeluruh
seperti
penyakit
Addison.
Fokal
didaerah
jantung,
karena
gangguan
spingter
20
Gambar 7. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien
skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien skleroderma terbatas
(Gabrielli, 2009).
21
yang
meningkat,
khususnya
kadar
serum
22
Gambar 10. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari spesimen biopsi
dengan infiltrat peradangan ringan dan serat kolagen padat,
yang terletak paralel epidermis.
23
Gambar 11. Gambar (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah pada spesimen
kulit pasien skleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan
meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri
interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.
(Gabrielli, 2009)
2.8 Penatalaksanaan
Tidak ada obat yang dapat menghasilkan perkembangan penyakit
skleroderma. Pada beberapa kasus, masalh sulit yang berhubungan dengan
skleroderma akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 tahun.
Bentuk skleroderma yang mengenai organ-organ dalam biasanya semakin
memburuk dengan berjalannya waktu.
Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk meredakan gejala dan
mengurangi kerusakan organ. Penanganan lain yang dapat dilakukan:
1.
2.
Terapi fisik dan latihan untuk membantu menjaga kekuatan otot, tetapi
tidak dapat sepenuhnya mencegah kontraktur sendi
3.
4.
b.
24
c.
Pengobatan
ditujukan
pada
komponen
peradangan,
tacrolimus,
retinoids,
atau
tidak
menggunakan
terdapat keterlibatan
25
26
Gambar 12. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ
(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD :
gastroesophageal refl ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF,
mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational
therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial hypertension; PDE-5 : type 5
phosphodiesterase; RP : Raynauds pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c
serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-, transforming
growth factor beta.)
2.9 Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering
ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda),
dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada
skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi berlawanan. Anakanak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang
berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada
ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan
keterlibatan kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial,
dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat
morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan
atropi jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006).
Komplikasi Skleroderma sistemik terjadi akibat PAH (pulmonary arterial
hypertension), RP (Raynauds phenomenon) dan SRC (scleroderma renal
crisis) (Sardana dan Garg, 2008).
2.10
Prognosis
27
Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl
atau kapasitas vital paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl) (Setiyohadi, 2006
28
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
3.1 Pengkajian
1. Data demografi
29
30
31
3.3.
NO.
1.
Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Nyeri akut (00134)
berhubungan dengan lesi
pada kulit
NOC
NIC
NOC :
Pain Level,
Pain control,
Comfort level
Kriteria Hasil :
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang
dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu
mengenali
nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda vital dalam
rentang normal
NIC :
Pain Management
1. Lakukan pengkajian
nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi,
kualitas
dan faktor presipitasi
2. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
3. Gunakan
teknik
komunikasi terapeutik
untuk
mengetahui
pengalaman
nyeri
pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
5. Kontrol lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan
dan
kebisingan
6. Kurangi
faktor
presipitasi nyeri
7. Pilih dan lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi,
non
farmakologi dan inter
personal)
8. Tingkatkan istirahat
9. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
10. Monitor penerimaan
pasien
tentang
32
manajemen nyeri
Analgesic
Administration
1. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
2. Cek riwayat alergi
3. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
4. Berikan
analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
5. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
2.
NOC :
Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes
Wound Healing : primer
dan sekunder
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama..
kerusakan
integritas kulit pasien
teratasi dengan kriteria
hasil:
Perfusi
jaringan
normal
Tidak ada tanda-tanda
infeksi
Ketebalan
Menunjukkan
pemahaman dalam proses
perbaikan
kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera berulang
Mampu melindungi
kulit dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
Menunjukkan
terjadinya
proses
penyembuhan luka
3.
NOC:
NIC :
Pressure
Management
1. Kaji tingkat
kerusakan kulit
2. Anjurkan klien untuk
mengenakan pakaian
longgar
3. Hindari kerutan pada
tempat tidur
4. Jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan
kering
5. Jauhkan lesi dari dari
manipulasi dan
kontaminasi
6. Mobilisasi klien
secara teratur
7. Kolaborasi pemberian
obat topical
NIC :
33
(00118) berhubungan
dengan penyakit,
perubahan fungsi tubuh,
gangguan fungsi
psikososial.
4.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
kesulitan menelan.
Body image
Self esteem
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama . gangguan body
image
pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
Body image positif
Mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
Mendiskripsikan secara
faktual perubahan fungsi
tubuh
Mempertahankan
interaksi sosial
Body Image
Enhancement
1. Kaji pola koping dan
tingkat harga diri klien
2. Kaji kesiapan klien
dalam perawatan dan
libatkan klien dalam
mengambil keputusan
tentang perawatan
3. Dorong klien untuk
mengungkapkan
perasaannya
tentang
fisiknya
4. Jelaskan
tentang
pengobatan,
perawatan, kemajuan
dan prognosis penyakit
5. Ajarkan klien untuk
merawat dirinya.
6. Dorong klien untuk
meningkatkan
aktivitas sosialnya.
NOC :
Nutritional Status : food
and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan
berat badan sesuai
dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda
malnutrisi
Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti
NIC :
Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi
makanan
2. kaji
penyebab
pengurangan
nafsu
makan
3. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi
yang
dibutuhkan pasien.
4. Berikan makanan yang
terpilih
(sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi)
5. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori
6. Berikan
informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi
7. Kaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi
34
yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor
adanya
penurunan berat badan
3. Monitor
tipe
dan
jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
4. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
5. Monitor
kadar
albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht
6. Monitor
makanan
kesukaan
7. Monitor
pucat,
kemerahan,
dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva
5.
NOC :
Joint Movement : Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Kriteria Hasil :
Klien meningkat dalam
aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan kekuatan
dan kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat Bantu
untuk mobilisasi (walker)
NIC :
Exercise therapy :
ambulation
1. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan
2. Bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
3. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang
teknik
ambulasi
4. Kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi
5. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
6. Dampingi dan bantu
35
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Skleroderma (Sklerosis Sistemik) merupakan suatu gangguan yang
bersifat kronis dan jarang terjadi, yang ditandai dengan adanya perubahan
degeneratif dan pembentukan jaringan parut pada kulit, persendian dan
organ-organ dalam, serta adanya kelainan pada pembuluh darah.
Gangguan ini menyebabkan pengerasan dan pengencangan pada kulit dan
jaringan ikat. Penyebab scleroderma belum diketahui secara pasti
(Djuanda, 2007) diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi, anatarain
faktor genetik dan faktor lingkungan.
Skleroma terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan pola
distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, yaitu Skleroderma lokal (suatu
penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang
menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya
tanpa keterlibatan sistemik) dan Skleroderma sistemik (penyakit sistemik
kronis yang ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma)
dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna,
jantung dan ginjal). Tanda dan gejala yang muncul pada penderita
scleroderma local terbagi menjadi yaitu morfea soliter (ditandai dengan
36
timbulnya satu atau beberapa plak berindurasi dan berbatas jelas umumnya
dengan hipo atau hiperpigmentasi dan disertai nyeri sebelum muncul
gejalla klinik), morfea linier (ditandai dengan indurasi kulit band-like dan
seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan
kadang menyebabkan kontraktur), morfea segmental (berlokalisasi di
muka dan menyebabkan hemi-atropi), dan morfea generalisata (ditandai
dengan lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar).
Sedangkan pada scleroderma sistemik, tanda dan gejalnya adalah biasanya
dimulai dengan keluhan seperti fenomena Raynaud yang kronik, edema
pitting pada tangan dan jari-jari.
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk penderita
scleroderma adalah pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan autoantibodi,
darah lengkap, immunoglobulin, fungsi ginjal dan jantung), pemeriksaan
radiologis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan histopatologis. Secara umum
belum ada pengobatan yang memuaskan untuk scleroderma, baik bentuk
lokal maupun sistemik, namun pada bentuk scleroderma lokal dapat
dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi triamsinolon acetonid
intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntik.
Pengobatan
topikal
dengan
salep
kortikosteroid
(triamsinolon,
DAFTAR PUSTAKA
Black CM. Scleroderma and fasciitis in childhood. Up To Date, 2002; 10(2): 998.
Djuanda, Suria. Penyakit Jaringan Konektif dalam Djuanda Adhi, editor. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 268-270.
Danukusumo Julianto. Skleroderma, Lupus eritematosus, dan dermatomiositis
dalam: Harahap Marwali, editor. 2000. Buku Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
hipokrates,hal 185-188
Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T. 2009 Scleroderma. The New England
Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society.p.1989-2003.
Gilliland BC. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorder In : Fauci
AS (eds). Harrisons Prinsiples of Internal Medicine 16th edition. New
York, Mc Graw-Hill, 2005; 1979 1990.
Jennife VN, Victoria PW. Morphea. [internet] [cited 2016 Mei 13]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1065782-overview
Mort, Sari. 2010. Memahami & Penatalaksanaan Scleroderma Edisi ke 2.
Sardana K, Garg VK. Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update. Indian
Journal Dermatology Venerology. 2008; 436-446.
Setyohadi B. Sklerosis Sistemik Dalam Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM
dkk (eds). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI, 2000; 187197.
Sriwulandari, Rita. 2011. Skerosis Sistemik. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran UNSRI / RSMH Palembang.
Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK,
Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatricks Dermatology in
38
General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.5436.
39