Anda di halaman 1dari 39

Ffgu6jy6ASUHAN KEPERAWATAN DEWASA DENGAN GANGGUAN

SISTEM INTEGUMEN : SKLERODERMA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Keperawatan Integumen


yang Diampu Ibu Ilya Krisnana, S.Kep. Ns., MKep.
Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

KELOMPOK 3 AJ-2 B18


Hairun Puspah
131511123016
Cicik Eka Irawati
131511123024
Auzan Muttaqin
131511123030
Novia Shinthia Dewie
131511123050
Muhammad Ali
131511123066
Lailatul Isnaini
131511123070
Muhammad Saelindra
131511123090
Kurnia Fidyastria
131511123092

Program Studi Pendidikan Ners


Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya
2016
DAFTAR ISI
1

HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
DAFTAR ISI......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Tujuan.....................................................................................................4
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................6
2.1 Definisi...................................................................................................6
2.2 Etiologi...................................................................................................6
2.3 Patofisiologi...........................................................................................7
2.4 WOC....................................................................................................14
2.5 Klasifikasi............................................................................................15
2.6 Manifestasi Klinis................................................................................16
2.7 Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................22
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................24
2.9 Komplikasi...........................................................................................27
2.10 Prognosis............................................................................................28
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI................................................30
3.1 Pengkajian............................................................................................30
3.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................32
3.3 Interevensi Keperawatan......................................................................32
BAB IV PENUTUP......................................................................................... 37
4.1 Kesimpulan.......................................................................................... 37
4.2 Penutup................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................39

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka terjadi. Kata skleroderma
berasal dari bahasa Yunani yaitu sclero berarti keras dan derma berarti kulit.
Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyerang jaringan ikat, dan

diklasifikasikan sebagai salah satu penyakit rematik autoimun (Mort, 2010).


Menurut Gilliland (2005) Sklerosis sistemik (skleroderma) ialah penyakit
multisistim kronis, penyebabnya belum diketahui. Sklerosis sistemik ditandai
dengan kulit menebal akibat penumpukan (akumulasi) jaringan ikat
(konektif), disertai kelainan fungsi dan bentuk organ viseral termasuk saluran
cerna, paru, jantung dan ginjal.
Prevalensi skleroderma relatif rendah, anak-anak dan dewasa muda jarang
terkena. Usia 30 sampai 50 tahun merupakan usia terbanyak yang terkena
penyakit ini. Pada usia kurang dari 16 tahun, kejadiannya (insidens) sekitar
3% dari seluruh kasus skleroderma. Perempuan terkena 3 kali lebih sering
dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Mort (2010) ada lebih dari lima ribu
orang di Australia mengalami skleroderma sistemik. Secara statistik, wanita
tiga hingga empat kali lebih banyak terkena penyakit skleroderma daripada
pria. Skleroderma dapat berkembang dan ditemukan dalam setiap kelompok
umur dari bayi sampai orang tua, namun paling sering ditemui pada usia
antara 25-55 tahun.
Patogenesis skleroderma sangat kompleks, diduga karena faktor pencetus
yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor yang diduga
berkaitan dengan penyakit ini antara lain ras kulit berwarna, keadaan
lingkungan, misalnya: debu silika, bahan kimia dan obat-obatan. Tanda dan
gejala penyakit skleroderma berbeda-beda, kadang terlihat dan mungkin juga
tidak terlihat, tergantung bagian tubuh yang terkena dan tingkat
keparahannya. Pada beberapa kasus, skleroderma memberi dampak hanya
pada kulit. Akan tetapi, ada juga yang berdampak pada struktur luar kulit
seperti pembuluh darah, organ internal, dan saluran pencernaan. Salah satu
tanda dan gejala yang ditemukan pada penderita skleroderma adalah adanya
sindroma CREST (Calcinosis, fenomena Raynaud, disfungsi esofagus,
sklerodaktili, dan telengiektasis) (Mort, 2010).
Akibat munculnya tanda dan gejala di atas menimbulkan beberapa
permasalahan diantaranya impairment berupa adanya rasa nyeri pada kedua
tangan, kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan terjadinya keterbatasan
lingkup gerak, dan adanya penurunan kekuatan otot telapak tangan dan otot-

otot jari. Selain itu, terjadi keterbatasan saat pasien melakukan aktifitas
fungsional seperti menggenggam, bersalaman, mengangkat barang, dan
keterbatasan saat beraktifitas. Berdasarkan hal tersebut, maka penyakit
Skleroderma ini perlu dipelajari khususnya dalam praktek Asuhan
Keperawatan sistem integumen. Melalui makalah ini akan kami bahas tentang
skleroderma yang meliputi; anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi,
WOC,

klasifikasi,

manifestasi

skleroderma,

pemeriksaan

diagnostik,

penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis, serta Asuhan


keperawatan pada pasien dengan skleroderma.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori skleroderma?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pasien dengan skleroderma?
1.3.

Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan
Asuhan keperawatan sistem integumen pada klien dengan skleroderma.
1.3.2.Tujuan Khusus
1.

Mengetahui pengertian skleroderma

2.

Mengetahui etiologi dari skleroderma

3.

Mengetahui patofisiologi dari skleroderma

4.

Mengetahui WOC dari skleroderma

5.

Mengetahui klasifikasi dan patofiologis skleroderma

6.

Mengetahui manifestasi klinis skleroderma

7.

Mengetahui pemeriksaan dignostik pada skleroderma

8.

Mengetahui penatalaksanaan pasien dengan skleroderma

9.

Mengetahui komplikasi skleroderma

11. Mengetahui prognosis skleroderma


12. Mengetahui Asuhan keperawatan pasien dengan skleroderma

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Skleroderma (Sklerosis Sistemik) merupakan suatu gangguan yang
bersifat kronis dan jarang terjadi, yang ditandai dengan adanya perubahan
degeneratif dan pembentukan jaringan parut pada kulit, persendian dan organorgan dalam, serta adanya kelainan pada pembuluh darah. Gangguan ini
menyebabkan pengerasan dan pengencangan pada kulit dan jaringan ikat.

2.2.

Etiologi
Etiologi belum diketahui secara pasti (Djuanda, 2007) diduga beberapa
faktor dapat mempengaruhi skleroderma antara lain:

a. Faktor Genetik
Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan
hukum Mendelian. Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan
kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko
relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko
penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan
rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien
skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan pada polimorfisme gen
kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi imunitas,
inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma
telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme
(ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19),
kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin,
sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)alpha), growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor
[CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein
matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC) (Setiyohadi,
2006).

b. Faktor Lingkungan
Agen infeksius terutama virus, paparan toksin lingkungan dan
pekerjaan

serta

obat-obatan

telah

dicurigai

dapat

mencetuskan

skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan


antibodi

terhadap

human

cytomegalovirus

(hCMV)

dan

antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu terjadinya


apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses
mimikri

molekuler

antara

hCMV

dengan

host.

Penelitian

lain

menunjukkan implikasi infeksi hCMV pada vaskulopati allograft pada


transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan pembentukan
neointima vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif.
hCMV dapat secara langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast
yang terinfeksi sehingga hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian
skleroderma adalah rasional. Infeksi Human parvovirus B19 juga
diperkirakan berhubungan dengan kejadian

Skleroderma (Gabrielli,

2009).
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden
skleroderma pada pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang
mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride,
epoxy resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma adalah
bleomycin, pentazocine, cocaine dan penekan nafsu makan (terutama
derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan kejadian

hipertensi

pulmonal (Gabrielli, 2009)


2.3.

Patofisiologi
Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon
imun seluler dan humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel.
Autoimunitas, perubahan fungsi sel endotel dan aktifitas vaskuler mungkin
merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa fenomena Raynaud
yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi
proses yang kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan
perbaikan jaringan (Varga, 2008).
Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap
scleroderma, akan menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler,
inflamasi dan terjadinya autoimunitas. Inflamasi dan respon imun akhirnya
menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi secara terus
menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan
yang ireversibel (Varga, 2008).

Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik(Mayes, 2008).

2.3.1 Vaskulopati
Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan
penting dalam implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi
awal penyakit ditandai dengan perubahan respon aliran darah pada suhu
dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat perubahan sistem
saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti
calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan
sensitifitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada
fenomena Raynaud primer gejala klinis relatif lebih ringan dan tidak
progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan perubahan
morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera
endotel (Richard et al., 2006).
Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas
endothelium-derived factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide,
8

prostacyclin) dan vasokonstriksi (endothelin-1). Terjadi peningkatan


permeabilitas pembuluh darah mikro sehingga diapedesis leukosit
transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta
agregasi trombosit. Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel
Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adhesi intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan lainnya
(Richard et al., 2006).
Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan
bahkan pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang
menyerupai sel otot polos mengalami proliferasi, membran basal menebal,
reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi lumen
vaskuler progresif akibat hipertrofi tunika intima dan media serta fibrosis
adventitia, ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis
sehingga menjadi suatu lingkaran setan.

Angiogrom tangan dan ginjal

pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya gambaran


vaskuler (Richard et al., 2006).
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan
vasokonstriktor (tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF).
Kerusakan vaskuler ini kemudian diikuti dengan gangguan fibrinolisis.
Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan terbentuknya radikal
bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut
melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang
seharusnya mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik
tampaknya gagal pada Skleroderma. Kegagalan vaskulogenesis terjadi
dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti

vascular

endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah


progenitor sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam
sirkuklasi jumlahnya menurun secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian
in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel endotel matur terganggu.
Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan pembuluh
darah adalah pertanda dari Skleroderma (Richard et al., 2006).
2.3.2. Autoimunitas Seluler dan Humoral
Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang
teraktifasi akan terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang
9

terkena. Sel T yang menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi


seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR serta menampakkan restriksi
reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai respon terhadap
antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga
meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha
1 integrin yang berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat
endotel dan fibroblast (Mayes, 2008).
Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang
memfasilitasi diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi
menunjukkan respon Th2 terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan
IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat menginduksi TGF-beta yang merupakan
modulator regulasi imun dan akumulasi matriks. TGF-beta dapat
menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai
aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain
(Mayes, 2008).
Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan
bronchial menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan
dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 serta penurunan produksi
interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang sintesis kolagen
dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan
memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin (Mayes, 2008).
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma.
Autoantibodi

ini

spesifisitasnya

tinggi

terhadap

skleroderma

dan

menunjukkan hubungan yang kuat dengan fenotif penyakit individual dan


haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar autoantibodi
berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai
aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan
menyerang langsung protein mitosis seperti topoisomerase I dan RNA
polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang antigen permukaan atau
protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma
dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi
terhadap

fibroblast,

sel

endotel,

fibrillin-1

serta

enzim

matriks

10

metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin mempunyai peran


patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan (Mayes, 2008).
Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan
peran pembentukan autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu
teori, pada pasien sklerodema self-antigen spesifik dapat membuat
perubahan struktural melalui celah proteolitik, peningkatan level ekspresi
atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali
oleh sistem imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B
yang merusak autoantigen, menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop
potensial yang merusak toleransi imun (Mayes, 2008).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan

baik dalam

autoimunitas dan fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi,


Sel B dpat berperan sebagai antigen presenting cell (APC), menghasilkan
sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi sel T dan sel
dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik
dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan
menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma (Mayes, 2008).
2.3.3. Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama
Skleroderma yang membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat
lain. Fibrosis merupakan konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan
vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur jaringan normal
dengan jarunga ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas scleroderma (Denton and Black, 2006).
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap
integritas fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika
Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami
proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks makromolekul
lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor
permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi
miofibroblast. Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera jaringan
yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan

11

berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi (Denton and Black,


2006).
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terusmenerus dan makin besar yang menghasilkan perubahan matriks dan
pembentukan jaringan parut.

Aktivasi fibroblast yang salah ini serta

akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang mendasari


terjadinya fibrosis pada scleroderma (Denton and Black, 2006).
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal
dari sumsum tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel
mononuklear yang mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi
memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive fibrocytes pada
penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta (Denton and Black,
2006).

Gambar 2. Aktivasi Fibroblast pada scleroderma (Gabrielli et al., 2009).

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di


sumsum tulang, perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan
meningkatnya diferensiasinya menjadi matriks adesif dan fibrosit yang
kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel menjadi

sel

mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru


dan ginjal serta organ lain (Denton and Black, 2006).

12

Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot


polos. Baik proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi
oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di dalam jaringan terjadi karena
adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi terhadap
pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan
TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan
mengubahnya menjadi skar yang rapat (Denton and Black, 2006).
Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari
fibroblast pasien skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis
berbagai molekul matriks ekstraseluler, ekspresi reseptor kemokin dan
molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap apoptosis dan
sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler
yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan

kegagalan loop

umpan balik negative Smad-7 tampak pada Skleroderma. Protein


koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi Smad dan
merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang
memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi
antara Smad, p300 dan protein seluler lain mempengaruhi progresifitas
proses fibrogenik scleroderma dengan cara memodulasi transkripsi gen
(Denton and Black, 2006)

13

Gambar 3. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma (Gabrielli et al., 2009).

2.4. WOC
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :
1.

Skleroderma Lokal
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit
kolagen yang berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis,
jaringan subkutan, atau keduanya (Jennife and Victoria, 20101) tanpa
keterlibatan sistemik (Vincent and Christina, 2008). Skleroderma
merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih
kekuning-kuningan dan keras, yang sering kali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian
tubuh mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan.
b. Linear Sklerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai

perubahan

skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai


atrofi otot dan tulang dibawahnya
14

c. Skleroderma en coup de sabre : Merupakan varian skleroderma linier,


dimana garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah
atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dana
kelainan tulang (Sriwulandari, 2011).
2.

Sklerosis sistemik
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis
yang ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan
keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna, jantung
dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran
inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan
fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ
yang progresif akibat dari proses fibrosis. Adanya gambaran skleroderma,
membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain (Gabrielli
et al., 2009).
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di
ekstremitas, muka dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku
dan lutut tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya
adalah

sindroma

CREST

(calcinosis,

esophageal

dysmotility,

sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sitemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan
kelainan kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran
serologis yang khas untuk sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau
penyakit otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan
fenomena Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai
dengan sklerosis sitemik (Sriwulandari, 2011).
Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa

Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa


Tampilan Sklerosis Sistemik Terbatas
Sklerosis Sistemik Difus
Kulit yang

Terbatas pada jari, lengan

Difus: jari-jari, ekstremitas, wajah,

terlibat

distal, wajah, progresifitas

badan, progresifitas cepat

15

lambat
Fenomena

Mendahului keterlibatan kulit;

Raynaud
Fibrosis

berhubungan dengan iskemia

pulmonal
Hipertensi
arteri

Sejalan dengan keterlibatan kulit

Mungkin terjadi, moderat

Sering, awal dan berat

Sering, lambat, mungkin

Dapat terjadi, berhubungan dengan

terisolasi

fibrosis pulmonal

Sangat jarang

15 % terjadi; diawal

Sering, menonjol

Dapat terjadi, ringan

Antisentromer

Antitopoisomerase (Scl-70)

pumonal
Krisis renal
scleroderma
Kalsinosis
kutis
Karakteristik
autoantibody

2.6. Manifestasi Klinis


a. Skleroderma sirkumskripta/ Skleroderma lokalisata/Morfea
1. Morfea soliter (Morfea en plaque)
Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak
berindurasi

dan

berbatas

jelas

umumnya

dengan

hipo

atau

hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai dengan edema dengan atau tanpa


eritema sekitar. Nyeri muncul beberapa minggu sebelum muncul gejala
klinik. Lesi aktif biasa berindurasi dan berbatas eritema dan violaceous.
Lesi berkembang menjadi keputihan atau kuning, khususnya di sentral.
Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm2. Morfea tipe plak ini lebih sering
ditemukan pada batang tubuh, khususnya bagian bawah, dibandingkan
ekstremitas dan wajah (Jennifer and Victoria, 2010).

16

Gambar 4. Morfea bentuk plak. Pada stadium awal dapat terlihat batas
keunguan dan edema. (Vincent and Christina, 2008).

2. Morfea linier
Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan
seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi
dan kadang menyebabkan kontraktur. Bentuk morfea ini muncul lebih
umum pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik sering
sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot.
Kontraktur dapat menjadi penyebab morbiditas dan deformitas. Pada
anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang dan
mengganggu pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi
seluruh ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat (Vincent and
Christina, 2008).
Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan
coklat keunguan atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi,
umumnya dikenal dengan en coup de sabre. Perubahan meliputi seluruh
kulit kepala biasa ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus, otot, dan
tulang terkena, bentuk ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial
hemiatrophy atau Parry-Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi
kulit dan perkembangan hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan
secara langsung. Pasien terkena lesi wajah dan Parry-Romberg
syndrome datang dengan keadaan yang sangat berat. Pasien yang
bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea atrophic
band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah
dengan hilangnya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi
lidah dan kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala berat ini
juga dapat memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga
berpotensial kejang, sakit kepala, dan perubahan penglihatan (Vincent
and Christina, 2008).

3. Morfea Segemental
Bentuk ini dapat berlokalisasi di muka dan menyebabkan hemiatropi. Bila berada di sebuah atau lebih dari sebuah ekstremitas, di
samping ada indurasi ada pula atrofi pada lemak subkutis dan otot.
17

Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon serta ankilosis pada sendi
tangan dan kaki (Djuanda, 2007).

Gambar 5. Morfea linier. Kiri: plak indurasi linier yang meluas dari dorsal tangan
kanan ke jari ketiga dan meliputi sendi interfalang proksimal dan distal dengan
kontraktur. Kanan: en coup de sabre, tampak oblik
(Vincent and Christina, 2008).

4. Morfea Generalisata
Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang
ditandai dengan lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh
yang besar. Beberapa pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan
cakupan permukaan tubuh yang lebih kecil (Goodfield and Jones,
2004). Onsetnya biasanya perlahan-lahan. Lesi dengan warna ungu
disekeliling indurasi ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium
awal. Plak biasanya lebih besar dibanding morfea lain, dengan diameter
dalam sentimeter. Biasanya plak dimulai pada batang tubuh dan secara
bertahap meningkat dalam ukuran, dengan perkembangan plak baru
selama satu atau dua tahun. Area utama yang terkena adalah batang
tubuh atas, dada, abdomen, dan paha atas (James et al., 2008).

18

Gambar 6. Morfea generalisata pada subkutaneus dengan perubahan


permukaan minimal (Vincent and Christina, 2008).

b. Skleroderma difusa progresiva/ Sklerosis sistemik


Skleroderma sistemik biasanya dimulai dengan keluhan seperti
fenomena Raynaud yang kronik, edema pitting pada tangan dan jari-jari.
Sepertiga pasien pertama kali mengeluh adanya sakit dan kaku pada jarijari dan lutut. Pada beberapa kasus, keluhan pertama adalah poliartritis
aktif yang sering berpindah. Dalam kasus lain, terdapata arthritis jari-jari
yang erosif dan berat. Pada pemeriksaan sinar X ditemukan :
1. Resorpsi jari-jari
2. Kalsifikasi subkutan
3. Ruangan persendian menyempit
4. Erosi fokal tulang-tulang tertentu (Danukusumo, 2000).
Kelinan kulit mendahului kelainan alat-alat dalam beberapa tahun
sebelumnya. Penyakit lebih lanjut akan meluas ke anggota gerak atas,
badan, muka, dan akhirnya anggota gerak bawah. Pada fase dini pitting
edema yang ringan, tidak sakit berlangsung beberapa bulan, kemudian
kulit menjadi kasar. Sebelumnya kulit terasa indurasi, kaku, kemudian
atrofi, keras dan melekat dengan struktur di bawahnya. Kulit pada muka
menjadi seperti topeng tanpa ekspresi, kehilangan garis-garis muka,
penipisan dari bibir dan penyempitan pembukaan mulut (mikrostomia)
(Danukusumo, 2000).
Tampak adanya alur-alur radial sekitar mulut. Jarang mukosa mulut
terkena. Kulit hidung ketat dan nampak hidung lebih runcing.
Telengangiektasi pada muka dan badan bagian atas. Pada daerah yang
terkena, kulit menjadi tipis dan rambut menghilang tak berkeringat.

19

Hiperpigmentasinya

menyeluruh

seperti

penyakit

Addison.

Fokal

hipo/hiperpigmentasi timbul sebagai reaksi setelah adanya peradangan


pada daerah sklerosis (Danukusumo, 2000).
Sklerodaktili menyebabkan jari-jari menjadi runcing dengan kulit
yang jelas atrofi. Seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE) ataupun
dermatomiositis nampak adanya telangiektasi pada pinggir kuku. Sekitar
75% dari kasus skleroderma sistemik, pembesaran, pelebaran kapiler pada
lipatan kuku, membentuk Giant atau bentuk sosis dapat dilihat dengan
optalmoskop, ini berguna menkonfirmasi diagnosis. Problem yang umum
adanya rasa sakit kambuhan pada tukak ujung jari . Penyembuhan pada
tukak kuku jari lambat. Kontraktur fleksi pada jari-jari yang kaku
menimbulkan masalah (Danukusumo, 2000).
Pada sinar-X gigi, sering ada pelebaran membran periodontal dan
lamina dura hilang. Penyerapan tulang pada sudut mandibula, mungkin
akibat dari pengelupasan kulit dan atrofi otot. Kelainan-kelainan alat
dalam:
1. Disfungsi oesophagus (90%) mengenai 2/3 daerah distal biasanya
disertai disfagia.
Rasa terbakar

didaerah

jantung,

karena

gangguan

spingter

oesophagus bagian bawah


Konstipasi, diare, kembung dan kadang-kadang gangguan absorpsi
2. Fibrosis paru
3. Gagal jantung atau perikarditis miokardial, prevalensi fibrosis cukup
tinggi antara 50-70%.
4. Gagal ginjal sekitar 45% dengan uremia perlahan-lahan dan progresif
(Danukusumo, 2000).
Pada sklerosis sistemik terdapat sindrom CRST (calsinosis cutis,
Raynaud phenomenon, sclerodactily and telangiectasis syndrome) yakni
bentuk ringan skleroderma sistemik. Hanya esophagus terkena, alat-alat
dalam lain tidak. Pada bentuk ini survival rate 10 tahun ialah 93%
(Djuanda, 2007).

20

Gambar 7. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien
skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien skleroderma terbatas
(Gabrielli, 2009).

Gambar 8. (A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik,


(C.) Amputatum (Denton and Black, 2006).

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Autoantibodi
Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear
antibody (ANA) yaitu sebesar 46%-80% dari seluruh pasien, biasanya
dengan susunan homogenous immunofluorescence. Bila meluas, 36%53% kasus memiliki anti-single stranded DNA dan/atau antibody
antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki

21

antibodi positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis


morfea lainnya, dan autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis
yang lebih berat, jumlah lesi yang lebih banyak, lesi yang lebih
sklerotik, dan durasi klinis yang lebih lama (Vincent and Christina,
2008). Pada 95% pasien sklerosis sistemik didapatkan antibody
antinuclear. ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (anti
topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20-30%, dan separuhnya
terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang lain
adalah DNA Histon kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase
I,II dan III (Setiyohadi, 2006).

Gambar 9. Autoantibodi pada scleroderma (Gabrielli, 2009).

b. Pemeriksaan Darah Lengkap


Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50% pasien morfea. Kadar
eosinofilia berhubungan dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar
eosinofilia dapat bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi
kutaneus dan rasio sedimentasi eritrosit meningkat 25% .
c. Pemeriksaan Imunoglobulin
Imunoglobulin

yang

meningkat,

khususnya

kadar

serum

imunoglobulin G, dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan lebih


luas dan kontraktur sendi. Faktor rheumatoid positif ditemukan pada
26% pasien.
d. Pemeriksaan Fungsi Ginjal, Jantung

22

2. Uji fungsi paru


Fibrosis paru dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi vital
(penyakit paru restriktif)
3. Pemeriksaan histopatologi
a. Gambaran Histopatologi Morfea
Pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan histologi yang
spesifik. Terdapat vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan
reduplikasi lamina basalis, khususnya pada lesi dengan indurasi yang
terlihat sebagai tepi persegi (squared-off edge) pada spesimen biopsi.
Infiltrat peradangan superfisial dan dalam kadang-kadang dapat terlihat.
Pada lesi yang sangat dini terdapat infiltrat peradangan di dermis dalam
dan jaringan subkutaneus. Juga dapat terlihat limfosit, makrofag, sel
plasma, eosinofil, dan sel mast. Deposit glikosaminoglikan dapat
terdeteksi di stadium awal morfea, khususnya bila proses pembuatan
preparat histologis dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga
komponen matriks ini(Vincent and Christina, 2008) .

Gambar 10. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari spesimen biopsi
dengan infiltrat peradangan ringan dan serat kolagen padat,
yang terletak paralel epidermis.

b. Gambaran histopatologi skleroderm sistemik


Pada stadium dini gambarannya sama dengan morfea. Pada
stadium lanjut terlihat menghilangnya unit pilosebasea, kelenjar
keringat dan salurannya. Dengan mikroskop elektron serat kolagen
yang imatur ukurannya antara 100-400 A sedangakan yang normal
ukurannya antara 700-800 A. Semua pembuluh darah dari semua
ukuran terkena. Pada fase dini hanyalah terjadi pelebaran kapiler dan
pembuluh limfe, kemudia proliferasi intima dan mungkin perklengketan

23

komplit. Perubahan tersebut mungkin juga terjadi pada pembuluh darah


otot.

Gambar 11. Gambar (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah pada spesimen
kulit pasien skleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan
meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri
interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.
(Gabrielli, 2009)

2.8 Penatalaksanaan
Tidak ada obat yang dapat menghasilkan perkembangan penyakit
skleroderma. Pada beberapa kasus, masalh sulit yang berhubungan dengan
skleroderma akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 tahun.
Bentuk skleroderma yang mengenai organ-organ dalam biasanya semakin
memburuk dengan berjalannya waktu.
Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk meredakan gejala dan
mengurangi kerusakan organ. Penanganan lain yang dapat dilakukan:
1.

Menggunakan pakaian yang hangat, sarung tangan, dan menjaga


kepala tetap hangat

2.

Terapi fisik dan latihan untuk membantu menjaga kekuatan otot, tetapi
tidak dapat sepenuhnya mencegah kontraktur sendi

3.

Penderita dianjurkan untuk tidur dengan kepala lebih tinggi untuk


membantu mengatasi refluks asam lambung

4.

Pembedahan, misalnya untuk:


a.

Melebarkan bagian esofagus yang menyempit karena jaringan


parut

b.

Amputasi jari. Jika luka terbuka pada jari-jari tangan akibat


fenomena Raynaud sampai mengalami gangren, maka mungkin
penting untuk dilakukan amputasi jari

24

c.

Transplantasi paru pada orang-orang dengan gangguan paru


berat.
Secara umum belum ada pengobatan yang memuaskan untuk

scleroderma, baik bentuk lokal maupun sistemik.


1. Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morphea
Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi
inaktif secara spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat
menyebabkan fibrosis/sklerosis ireversibel dari kulit dan jaringan
subkutan.

Pengobatan

ditujukan

pada

komponen

peradangan,

pelepasan sitokin, dan aktivasi dan deposit kolagen. Banyak terapi


yang telah digunakan pada pengobatan morfea dengan keberhasilan
yang bervariasi (Vincent and Christina, 2008).
Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau
injeksi triamsinolon acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi
suntikan, maksimal 10 lokasi suntik. Pengobatan topikal dengan salep
kortikosteroid (triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah
meluasnya lesi. Perlu emolien dan sunscreen.
Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa
studi telah menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea
menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet
A (UVA), atau fototerapi UVAI (Vincent and Christina, 2008).
Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau
sedikit lesi morfea, dapat menggunakan pengobatan topikal seperti
calcipotriene,

tacrolimus,

retinoids,

atau

tidak

menggunakan

pengobatan sama sekali. Di sisi lain, lesi en coup de sabre dapat


menyebabkan kecacatan yang nyata. Pendekatan pada lesi wajah
menggunakan hydroxychloroquine dan mungkin methotrexate dalam
kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari kortikosteroid
sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn fototerapi. Jika
pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika

terdapat keterlibatan

subkutaneus yang banyak, pengobatan yang bermanfaat adalah


methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immunosuppressive lainnya juga telah digunakan (Vincent and Christina,
2008).

25

Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari


ekstremitas yang terkena, intervensi bedah, dan stapling dari lempeng
epifisis dari sisi yang normal dapat efektif. Hal ini akan menyebabkan
pertumbuhan yang lebih lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas
yang terkena dan dapat menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas
yang lebih sedikit (Vincent and Christina, 2008).
2. Penatalaksanaan Skleroderma Sistemik
Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang
terlibat. Derajat penyakit merupakan kunci untuk dimulainya terapi.
Progresifitas perubahan kulit menunjukkan perlunya terapi segera
utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat
tergantung manifestasi organ spesifik.
Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara
oral: Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahanlahan hingga dosis maintenance 2,5 5 mg/hr. Bisa diberikan juga
vitamin E 200 IU per hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan
methyldopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara bertahap dipertahankan
1-3 bulan sampai ada kemajuan klinis.
Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan
pesat beberapa tahun terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah
ini.

26

Gambar 12. Ringkasan penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ
(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD :
gastroesophageal refl ux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF,
mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational
therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterial hypertension; PDE-5 : type 5
phosphodiesterase; RP : Raynauds pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c
serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-, transforming
growth factor beta.)

2.9 Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering
ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda),
dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada
skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi berlawanan. Anakanak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang
berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada
ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan
keterlibatan kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial,
dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat
morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan
atropi jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006).
Komplikasi Skleroderma sistemik terjadi akibat PAH (pulmonary arterial
hypertension), RP (Raynauds phenomenon) dan SRC (scleroderma renal
crisis) (Sardana dan Garg, 2008).
2.10

Prognosis
27

Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak


melibatkan sistemik, walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit
jaringan penghubung lainnya yang pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus
adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur rata-rata 35 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara
nyata. Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat
berreaktivasi setelah beberapa tahun remisi. En coup de sabre dapat tidak
terdeteksi selama beberapa dekade. Hal ini mungkin karena morfea menjadi
proses kronik dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa tahun.
Sedikit atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya
gejala penyakit yang persisten (Vincent and Christina, 2008).
Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar
68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit
dan banyaknya keterlibatan organ visceral. Pada sklerosis sitemik difus
kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal.
Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi
pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai resiko yang
tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan
limfoma non Hodgkin Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien
sklerosis sitemik. Satu hal yang unik adalah bahwa resiko timbulnya
adenokarsinoma esophagus sangat rendah walaupun terdapat metaplasi
mukosa esophagus distal (metaplasia Barret). Penelitian Altman dkk,
mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis sklerosis
sitemik adalah :
-

Usia lanjut( > 64 tahun)

Penurunan fungsi ginjal (BUN<16 mg/dl)

Anemia (Hb<11 gr/dl)

Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)

Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)

Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl
atau kapasitas vital paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl) (Setiyohadi, 2006

28

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
3.1 Pengkajian
1. Data demografi
29

Prevalensi skleroderma relatif rendah, anak-anak dan dewasa muda


jarang terkena. Usia 30 sampai 50 tahun merupakan usia terbanyak
yang terkena penyakit ini. Pada usia kurang dari 16 tahun, kejadiannya
(insidens) sekitar 3% dari seluruh kasus skleroderma. Perempuan
terkena 3 kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki.
2. Keluhan utama
Timbul bercak-bercak yang mengeras dan mengencang di kulit
3. Riwayat penyakit sekarang
Timbul bercak-bercak yang mengeras dan mengencang di kulit pada
jari, lengan distal, wajah, dan badan. Timbul fenomena Raynaud,
dimana terjadi perubahan warna, rasa baal, atau nyeri pada jari-jari
tangan atau jari-jari kaki sebagai respon terhadap suhu dingin atau
stress emosional. Terbentuk benjolan-benjolan pada jari-jari tangan,
pada daerah bertulang lainnya, atau di persendian, dan bisa terjadi
luka pada ujung-ujung jari dan buku-buku jari. Suara berderak saat
menggerakkan persendian dan pergerakan daerah yang terkena juga
menjadi terbatas akibat pergesekan jaringan yang meradang.
4. Riwayat penyakit dahulu
Agen infeksius terutama virus, paparan toksin lingkungan dan
pekerjaan, serta obat-obtan telah dicurigai dapat mencetuskan
scleroderma. beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan
insiden scleroderma pada pekerja yang terpapar silica. paparan kerja
lainnya yang mungkin berhubungan dengan scleroderma adalah
polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons ( toluene,
trichloroethylene).
5. Riwayat penyakit keluarga
Risiko penyakit autoimun lain termasuk SLE dan rematoid arthritis
meningkat pada keturunan pertama pasien scleroderma.
6. Riwayat psikososial
Klien dengna penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada
bagian muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami
gangguan konsep diri diantaranya perubahan citra tubuh dan harga diri
menurun.
7. Keadaan umum

30

8. Kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, tanda-tanda vital


TD, Nadi, Suhu, dan RR dalam batas normal.
9. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Lihat kebersihan kepala, bentuk kepala simetris atau tidak, adakah
lesi, bercak-bercak yang mengeras dan mengencang di kulit wajah,
b. Leher
Tidak terdapat gangguan
c. Mulut
Terbentuk jaringan parut di esofagus bagian bawah, sehingga
penderita menjadi sulit untuk menelan.
d. Abdomen
Gangguan penyerapan makanan karena pergerakan usus yang
kurang baik, sehingga bisa menyebabkan penurunan berat badan.
e. Ekstermitas
Bercak-bercak yang mengeras dan mengencang di kulit pada jari,
lengan distal. kulit menjadi keras saat diraba. Timbul fenomena
Raynaud, dimana terjadi perubahan warna, rasa baal, atau nyeri
pada jari-jari tangan atau jari-jari kaki. Terbentuk benjolanbenjolan pada jari-jari tangan, pada daerah bertulang lainnya, atau
di persendian, dan bisa terjadi luka pada ujung-ujung jari dan bukubuku jari. Pembengkakan, nyeri tekan dan kekakuan pada sendi
disertai suara berderak saat menggerakkan persendian dan
pergerakan daerah yang terkena juga menjadi terbatas.
10. Psikologis
Pada klien dengan skleroderma mengalami perubahan emosi dan
merasa malu karena penyakit yang diderita.
3.2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut (00134) berhubungan dengan lesi pada kulit
2. Kerusakan integritas kulit (00046) berhubungan dengan perubahan
morfologik dan kerusakan sel epidermis
3. Gangguan citra tubuh (00118) berhubungan dengan penyakit,
perubahan fungsi tubuh, gangguan fungsi psikososial.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kesulitan menelan.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada
sendi.

31

3.3.
NO.
1.

Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Nyeri akut (00134)
berhubungan dengan lesi
pada kulit

NOC

NIC

NOC :
Pain Level,
Pain control,
Comfort level
Kriteria Hasil :
Mampu
mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan)
Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang
dengan menggunakan
manajemen nyeri
Mampu
mengenali
nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri)
Menyatakan
rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda vital dalam
rentang normal

NIC :
Pain Management
1. Lakukan pengkajian
nyeri
secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi,
kualitas
dan faktor presipitasi
2. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
3. Gunakan
teknik
komunikasi terapeutik
untuk
mengetahui
pengalaman
nyeri
pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon
nyeri
5. Kontrol lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan
dan
kebisingan
6. Kurangi
faktor
presipitasi nyeri
7. Pilih dan lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi,
non
farmakologi dan inter
personal)
8. Tingkatkan istirahat
9. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
10. Monitor penerimaan
pasien
tentang

32

manajemen nyeri
Analgesic
Administration
1. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
2. Cek riwayat alergi
3. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
4. Berikan
analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
5. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
2.

Kerusakan integritas kulit


(00046) berhubungan
dengan perubahan
morfologik dan
kerusakan sel epidermis

NOC :
Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes
Wound Healing : primer
dan sekunder
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama..
kerusakan
integritas kulit pasien
teratasi dengan kriteria
hasil:
Perfusi
jaringan
normal
Tidak ada tanda-tanda
infeksi
Ketebalan
Menunjukkan
pemahaman dalam proses
perbaikan
kulit
dan
mencegah
terjadinya
sedera berulang
Mampu melindungi
kulit dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
Menunjukkan
terjadinya
proses
penyembuhan luka

3.

Gangguan citra tubuh

NOC:

NIC :
Pressure
Management
1. Kaji tingkat
kerusakan kulit
2. Anjurkan klien untuk
mengenakan pakaian
longgar
3. Hindari kerutan pada
tempat tidur
4. Jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan
kering
5. Jauhkan lesi dari dari
manipulasi dan
kontaminasi
6. Mobilisasi klien
secara teratur
7. Kolaborasi pemberian
obat topical

NIC :

33

(00118) berhubungan
dengan penyakit,
perubahan fungsi tubuh,
gangguan fungsi
psikososial.

4.

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
kesulitan menelan.

Body image
Self esteem
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama . gangguan body
image
pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
Body image positif
Mampu mengidentifikasi
kekuatan personal
Mendiskripsikan secara
faktual perubahan fungsi
tubuh
Mempertahankan
interaksi sosial

Body Image
Enhancement
1. Kaji pola koping dan
tingkat harga diri klien
2. Kaji kesiapan klien
dalam perawatan dan
libatkan klien dalam
mengambil keputusan
tentang perawatan
3. Dorong klien untuk
mengungkapkan
perasaannya
tentang
fisiknya
4. Jelaskan
tentang
pengobatan,
perawatan, kemajuan
dan prognosis penyakit
5. Ajarkan klien untuk
merawat dirinya.
6. Dorong klien untuk
meningkatkan
aktivitas sosialnya.

NOC :
Nutritional Status : food
and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan
berat badan sesuai
dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda
malnutrisi
Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti

NIC :
Nutrition Management
1. Kaji adanya alergi
makanan
2. kaji
penyebab
pengurangan
nafsu
makan
3. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi
yang
dibutuhkan pasien.
4. Berikan makanan yang
terpilih
(sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi)
5. Monitor jumlah nutrisi
dan kandungan kalori
6. Berikan
informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi
7. Kaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi

34

yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor
adanya
penurunan berat badan
3. Monitor
tipe
dan
jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
4. Jadwalkan pengobatan
dan tindakan tidak
selama jam makan
5. Monitor
kadar
albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht
6. Monitor
makanan
kesukaan
7. Monitor
pucat,
kemerahan,
dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva
5.

Kerusakan mobilitas fisik


berhubungan dengan
kekakuan pada sendi.

NOC :
Joint Movement : Active
Mobility Level
Self care : ADLs
Transfer performance
Kriteria Hasil :
Klien meningkat dalam
aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan kekuatan
dan kemampuan
berpindah
Memperagakan
penggunaan alat Bantu
untuk mobilisasi (walker)

NIC :
Exercise therapy :
ambulation
1. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan
2. Bantu klien untuk
menggunakan tongkat
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
3. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang
teknik
ambulasi
4. Kaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi
5. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
6. Dampingi dan bantu

35

pasien saat mobilisasi


dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs.
7. Berikan alat bantu jika
klien memerlukan.
8. Ajarkan
pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan
jika
diperlukan

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Skleroderma (Sklerosis Sistemik) merupakan suatu gangguan yang
bersifat kronis dan jarang terjadi, yang ditandai dengan adanya perubahan
degeneratif dan pembentukan jaringan parut pada kulit, persendian dan
organ-organ dalam, serta adanya kelainan pada pembuluh darah.
Gangguan ini menyebabkan pengerasan dan pengencangan pada kulit dan
jaringan ikat. Penyebab scleroderma belum diketahui secara pasti
(Djuanda, 2007) diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi, anatarain
faktor genetik dan faktor lingkungan.
Skleroma terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan pola
distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, yaitu Skleroderma lokal (suatu
penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang
menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya
tanpa keterlibatan sistemik) dan Skleroderma sistemik (penyakit sistemik
kronis yang ditandai dengan penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma)
dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama paru, saluran cerna,
jantung dan ginjal). Tanda dan gejala yang muncul pada penderita
scleroderma local terbagi menjadi yaitu morfea soliter (ditandai dengan

36

timbulnya satu atau beberapa plak berindurasi dan berbatas jelas umumnya
dengan hipo atau hiperpigmentasi dan disertai nyeri sebelum muncul
gejalla klinik), morfea linier (ditandai dengan indurasi kulit band-like dan
seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan
kadang menyebabkan kontraktur), morfea segmental (berlokalisasi di
muka dan menyebabkan hemi-atropi), dan morfea generalisata (ditandai
dengan lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar).
Sedangkan pada scleroderma sistemik, tanda dan gejalnya adalah biasanya
dimulai dengan keluhan seperti fenomena Raynaud yang kronik, edema
pitting pada tangan dan jari-jari.
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk penderita
scleroderma adalah pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan autoantibodi,
darah lengkap, immunoglobulin, fungsi ginjal dan jantung), pemeriksaan
radiologis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan histopatologis. Secara umum
belum ada pengobatan yang memuaskan untuk scleroderma, baik bentuk
lokal maupun sistemik, namun pada bentuk scleroderma lokal dapat
dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi triamsinolon acetonid
intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntik.
Pengobatan

topikal

dengan

salep

kortikosteroid

(triamsinolon,

betametason dll) dapat mencegah meluasnya lesi. Perlu emolien dan


sunscreen. Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Sedangkan
pada bentuk yang sekleroderma sistemik dapat digunakan kortikosteroid
secara oral: Prednison dosis awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahanlahan hingga dosis maintenance 2,5 5 mg/hr. Bisa diberikan juga vitamin
E 200 IU per hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan methyldopa 125500 mg/hari, dinaikkan secara bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai
ada kemajuan klinis.
4.2 Saran
Setelah penyajian dari makalah asuhan keperawatan scleroderma
ini, diharapkan perawat dapat menerapakan pengetahuan dan konsep
asuhan keperawatan mereka tentang penyakit skleroderma ini untuk bisa di
terapkan di tempat bekerja. Semoga makalah yang kami sajikan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat diaplikasikan
37

sehari-hari kritik dan saran dari teman-teman sangat kami


harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Black CM. Scleroderma and fasciitis in childhood. Up To Date, 2002; 10(2): 998.
Djuanda, Suria. Penyakit Jaringan Konektif dalam Djuanda Adhi, editor. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 268-270.
Danukusumo Julianto. Skleroderma, Lupus eritematosus, dan dermatomiositis
dalam: Harahap Marwali, editor. 2000. Buku Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
hipokrates,hal 185-188
Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T. 2009 Scleroderma. The New England
Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society.p.1989-2003.
Gilliland BC. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorder In : Fauci
AS (eds). Harrisons Prinsiples of Internal Medicine 16th edition. New
York, Mc Graw-Hill, 2005; 1979 1990.
Jennife VN, Victoria PW. Morphea. [internet] [cited 2016 Mei 13]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1065782-overview
Mort, Sari. 2010. Memahami & Penatalaksanaan Scleroderma Edisi ke 2.
Sardana K, Garg VK. Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update. Indian
Journal Dermatology Venerology. 2008; 436-446.
Setyohadi B. Sklerosis Sistemik Dalam Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM
dkk (eds). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ketiga. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI, 2000; 187197.
Sriwulandari, Rita. 2011. Skerosis Sistemik. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran UNSRI / RSMH Palembang.
Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK,
Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatricks Dermatology in

38

General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.5436.

39

Anda mungkin juga menyukai