Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA INKONTINENSIA URINE

Disusun Oleh :
Kelompok 8
1. Heru Budi Santoso (202101002)
2. Cahayu (202101010)
3. Putri Delia Azhar (202101014)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


STIKES BANYUWANGI
T. A. 2021/2022

LEMBAR PERSETUJUAN
Makalah Keperawatan Medikal Bedah 1 dengan judul Asuhan Keperawatan Pada inkontinensia
urine, ini telah di setujui untuk dipresentasikan

Tanggal :

Oleh :

Pembimbing

Novita Surya Putri, S.Kep., Ns., M. Kep

NIK. 06.095.0815

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah asuhan keperawatan pada
inkontinensia urine.
Kami berharap dengan adanya makalah penelitian ini, dapat menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca. Makalah ini membahas tentang tahapan asuhan keperawatan pada
inkonte pada kasus semu. Makalah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
yang diberikan oleh dosen mata kuliah keperawatan medical bedah. Dalam upaya penyelesaian
makalah ini penulis telah mengerjakan dengan maksimal.
Kami mengucapkan banyak terimkasih kepada pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini hingga selesai. Serta tidak lupa kami sampaikan bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna dan kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun dan memperbaiki makalah ini.

Banyuwangi,22 September 2022

Penyusun,

Semua Anggota

DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini dapat
menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016). Menurut
studi epidemiologi dilaporkan bahwa inkontinensia urine dua sampai lima kali lebih sering
pada wanita dibandingkan pria. Inkontinensia urine menyebabkan gangguan dari fungsi
kandung kemih, yang menyebabkan masalah gangguan tidur, masalah pada kulit, masalah
pada fisik, isolasi sosial dan masalah psikologis. Sejumlah studi telah meneliti efek dari
inkontinensia urine pada lansia. Ditemukan juga efek negative pada pasien secara fisik,
psikologis, emosional, dan sosial. Dikomunitas lansia, masalah inkontinensia urine ini
berhubungan dengan depresi, menurunya aktifitas fisik, menjauh dari pergaulan sosial dan
kualitas hidup. Walaupun sering terjadi, inkontinensia urine amat jarang dibicarakan secara
terbuka (Sheila maria, 2022).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai semua jenis gangguan dimana urine keluar
secara tidak terkontrol. Diperkirakan 25-30% dari seluruh lansia menggalami inkontinensia
urine (Onat et.al, 2014). Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2010, 200 juta
jiwa penduduk dunia mengalami inkontinensia urine. Di Amerika Serikat, jumlah
inkontinensia urine mencapai 13 juta jiwa dengan 85% diantaranya perempuan dan laki laki.
Jumlah ini sebenernya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab masih banyak
kasus yang tidak dilaporkan. Di Indonesia jumlah penderita inkontinensia urine meningkat
pada tahun 2000 diperkirakan 5,8% dari jumlah penduduk yang mengalami inkontinensia
urine, tetapi penangananya masih sangat kurang (Cameron et.al, 2013). Penelitian pada
populasi lanjut usia dari masyarakat, didapatkan 75% dari pria dan 12% dari wanita diatas 70
tahun mengalami inkontinensia urine. Sedangkan mereka yang dirawat di psikogeriatri 15-
50% menderita inkontinensia urine. Inkontinensia dibagi menjadi inkontinensia akut, dan
inkontinensia kronik.
Inkontinensia urin dapat disebabkan karena penuaan, perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah atau batuk kronis. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan urin, selain itu adanya kontraksi atau gerakan abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab inkontinansia urin antara lain terkait dengan saluran kemih bagian
bawah, efek obat-obatan dan program kateterisasi. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor
sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan
intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Tonus otot yang tidak baik dapat
menyebabkan kontraksi otot kandung kemih melemah, kontrol dari sfingter uretra eksternal
tidak baik, dan miksi tidak terkontrol (Purnomo, 2017).
Tindakan pemasangan kateter dilakukan untuk membantu pasien yang mengalami
obstruksi pada saluran kemih atau pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan. Namun
tindakan pemasangan kateter ini bisa menimbulkan masalah lain seperti trauma pada uretra,
infeksi, dan menurunnya rangsangan berkemih. Menurunnya rangsangan berkemih terjadi
akibat pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat mengakibatkan
kandung kemih berkontraksi dan tidak akan terisi, selain itu juga dapat mengakibatkan
kandung kemih akan kehilangan tonusnya. Otot destrusor tidak dapat berkontraksi dan pasien
tidak dapat mengontrol pengeluaran urinenya, atau disebut inkontinensia urine. Pada pasien
di rumah sakit yang terpasang kateter dalam waktu yang cukup lama, pasien sangat mungkin
mengalami penurunan sensasi ingin berkemih atau miksi. Jika hal ini terjadi, maka pasien
dapat mengalami kesulitan mengontrol rasa berkemih sehingga mengompol atau mengalami
inkontinensia urin. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka pasien perlu menerima bladder
training.bladder gtraining merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan kontrol
terhadap keinginan berkemih. Secara umum, bladder training dilakukan sejak sebelum
kateter hingga setelah kateter dilepas (Purnomo, 2017).
1.2 Tujuan penelitian
1.2.1 Tujuan umum

Mahasiswa dapat mengetahui tujuan dari dilakukan asuhan keperawatan sebagai


memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan dengan gangguan system
perkemihan yaitu inkontinensia urine.

1.2.2 Tujuan Khusus


1.2.2.1 Mahasiswa mampu mengetahui konsep tentang asuhan keperawatan dengan gangguan
system perkemihan yaitu inkontinensia urine.
1.2.2.2 Melakukan pengkajian pada klien inkontinensia urine
1.2.2.3 Menentukan diagnose keperawatan pada klien inkontinensia urine
1.2.2.4 Merencankan tindakan keperawatan pada klien inkontinensia urine
1.2.2.5 Melaksanakan perencaan Tindakan keperawatan pada klien inkontinensia urine
1.2.2.6 Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien inkontinensia urine

1.3 Manfaat
Manfaat bagi mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman dan ketrampilan dalam
penerapan proses asuhan keperawatan pada kasus semu, kasus ini diharapkan dapat
menambah pengalaman dan pengetahuan dalam terhadap resiko inkontinensia urin dan bagi
institusi Pendidikan mampu mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam penerapan proses
keperawatan.

1.4 Sistematika Penulisan


a. Bab 1 Pendahuluan : Latarbelakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, dan Sistematika
Penulisan.
b. Bab 2 Tinjauan Pustaka : Definisi, Anatomi dan Fisiologi, Etiologi, Manifestasi Klinis,
Klasifikasi, Patofisiologi, Pathway, Penatalaksanaan dan Konsep Asuhan Keperawatan.
c. Bab 3 Asuhan Keperawatan pada kasus
d. Bab 4 Penutup : Kesimpulan dan Saran.
BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian inkontinensia urin


Inkontinensia urine adalah berkemih diluar kesadaran, pada waktu dan tempat yang tidak
tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau sosial. Aspek sosial yang akan dialami oleh
lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa terisolasi dan depresi. Inkontinensia urine
adalah sering berkemih/ngompol yang tanpa disadari merupakan salah satu keluhan orang
lanjut usia. Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial (Puspasari,
2019).
Inkontinensia akut atau transien bersifat tiba-tiba, biasanya berhubungan dengan kondisi
pengobatan atau pembedahan. Penyebab inkontinensia akut antara lain mobilitas terbatas,
pecal impaction, delirium, infeksi saluran kemih, DM tak terkontrol, hiperkalsemia
pengobatan anti kolinergik/beta adrenergik/alpha loker, diuretic, psikotropic, narkotik atau
alcohol (Puspasari, 2019).
Inkontinensia kronik atau persisten dibagi menjadi stress inkontinensia, urge
inkontinensia, overflow inkontinensia dan fungsional dan fungsional inkontinensia. Stress
inkontinensia biasa terjadi pada lansia wanita. Terjadi akibat peningkatan yang tiba-tiba pada
tekanan intraabdmomen akibat adanya kelemahan otot-otot disekitar uretra karena
kehamilan. Kelahiran pervagina, trauma pembedahan, obesitas dan batuk kronik. Pada pria
stress inkontinensia tidak biasa terjadi tetapi dapat terjadi apabila ada pembedahan prostate
dan terapi radiasi. Urgeinkontinensia pada lansia biasanya dihubungkan dengan
ketidakseimbangan otot detrusor/hiperrefleksia akibat dari cystitis, urethritis, tumor, batu,
juga stroke, dementia dan penyakit parkinson digubungkan dengan nocturia. Overflow
inkontinensia ditandai dengan keluhan sering miksi dengan volume urine sedikit, sulit
memulai miksi dan merasa tidak puas. Biasanya terjadi pada neuropati diabetic injury tulang
belakang, hipertropi prostat dan multiple sclerosis (Puspasari, 2019).

2.2 Anatomi dan Fisiologi urinaria


Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga
darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air
dan dikeluarkan berupa urine (Wr, 2017)
1. Ginjal

Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang
peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang
abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal
kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal
wanita. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri
dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia
kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk
kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh
kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah. Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut
tubulus nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal (Wr, 2017).
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal
dalam plasma (keseimbangan elektrolit).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan,
hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism
2. Ureter
Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung
kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm, dengan penampang kurang lebih
0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga
pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. lapisan sebelah dalam lapisa mukosa
3. Vesika urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet,
terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
a. Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah, bagian ini terpisah
dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen,
vesika seminalis, dan prostat.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan berhubungan dengan ligamentum
vesika umbilikalis.
4. Uretra
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian
menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke bagian penis panjangnya kurang
lebih 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari:
a. Uretra prostatia
b.  Uretra membranosa
c.  Uretra kavernosa
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring sedikitke arah atas,
panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis
(sebelah luar), lapisan spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara
klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi
diameternya hanya 6 cm. uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium
eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula
uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene)
yang  bermuara ke dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.

2.3 Etiologi Inkontinensia Urin

Faktor penyebab inkontinensia urin antara lain :

a. Poliuria Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan produksi
urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal karena
gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia. Nokturia
merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
c. Faktor usia Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena terjadinya
penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita) Penurunan produksi estrogen dapat
menyebabkan atropi jaringan uretra sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan rahim Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa
otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat mengalami
kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
g. Merokok Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin pada
dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan
inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
berkemih.
i. Obesitas Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin karena
meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan intra abdomen
menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya
adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak akan
menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat terjadi inkontinensia
urin.

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
2.4.1 Inkontinensia urin akut( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS
yaitu : delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology,
excessive urin production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool
impaction (impaksi feses).
2.4.2 Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama
( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat
hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi
otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
(stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe
Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
      Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari,
atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun
dengan operasi.
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
1. Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan
2.  Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit penurunan
uretra pada leher vesika urinaria
3. Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika urinaria 2 cm
atau lebih
4. Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung kemih. Leher
uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan gangguan
neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter intrinsic

b. Inkontinensia urin tipe urge


      Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak mampuan
menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa perasaan
ingin kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali ( frekuensi ) dan kencing di
malam hari ( nokturia ).

c.  Inkontinensia urin tipe overflow


      Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam
kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal
ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang
belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah
kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ), urin yang keluar sedikit dan
pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan
jarang terjadi pada wanita.
d.   Inkontinensia tipe campuran (Mixed)
      Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi yangpaling
umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan
tipe fungsional.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
a. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di
bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang
umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
b. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam.
c. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
d. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita
belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan
normal.
e. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat
ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada kandung
kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir
pada inkontinensia urine.  Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih
banyak daripada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi
untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot
detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien
mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk
menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang
menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan
70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan
nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus
inkontinensia urine.

2.6 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi sfingter
yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga
disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang
terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine
dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik
masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada beberapa pembagian
inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi 4 :
1. Urinary stress incontinence
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing
menjadi lebih besar dari pada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing
sewaktu batuk, mengejan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi
(misalnya dengan kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara
operasi (cara yang lebih sering dipakai).
2. Urge incontinence
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, dimana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang
mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia.
Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
3. Total incontinence
Total incontinence, dimana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala
posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang
menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya
fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina)
dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini
dijumpai, dapat ditangani dengan tindakan operasi.
4. Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah. Biasanya
hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum
tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak
puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber
penyebabnya.
2.7 Pathway
2.8 Penatalaksanaa medik inkontinensia urine
1. Latihan otot-otot dasar panggul, latihan penyesuaian berkemih, obat-obatan untuk
merelaksasi kandung kemih dan estrogen, tindakan pembedahan memperkuat muara
kandung kemih.
a) Inkontinen Stres
1) Latihan otot-otot dasar panggul
2) Latihan penyesuaian berkemih
3) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
4) Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
b) Inkontinensia urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiannya
2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan
patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah
c) Inkontinensia Overflow
1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten dan kalau tidak mungkin secara
menetap
2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
d) Inkontinensia tipe fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
2) Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
3) Penyesuaian modifikasi lingkungan tempat berkemih
4) Kalau perlu digunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada
kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar pelvis. Fisioterapi
meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan uretra pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan uretra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan
abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intra abdominal,
perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra,
terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisioterapi
membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada
kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan
hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih
dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali
normal dari keadaannya yang abnormal.
b. Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
3. Penatalaksanaan Farmakologik
a. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretra proksimal megandung alfa adrenoseptor yang
menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan uretra obat
aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping
relatif ringan.
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan
noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia
stres. Efek samping meningkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh
karena stimulasi SSP.
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan
tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa
dalam kombinasi dengan anti histamin dan anti hikholinergik. Dosis 50 mg dua kali
sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stress
mengalami perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek
meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis
tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada
inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan
jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat
4. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2
dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan
parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk
meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa
jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara
implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbilitas
karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan
dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan
elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, hodge pessary, silindris.
5. Alat Mekanis  (Mechanical Devices)
a. Tampon
Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya
terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat
menyebabkan vagina kering/luka.
b. Edward Spring
Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan inkontinensia
stress dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.
c. Bonnas’s Device
Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal dan urethra proksimal.
6. Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada
penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap
ada. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :
a. Kolporafi anterior.
b. Uretropeksi retropubik.
c. Prosedur jarum.
d. Prosedur sling pubovaginal.
e. Periuretral bulking agent.
f. Tension vaginal tape (TVT).
7. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urine, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia
urine, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah
tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine. Namun pemasangan pampers juga dapat
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter
menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan
untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak
dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan
infeksi pada saluran kemih.

2.9 Konsep asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan secara menyeluruh menurut (Melliany, 2019) yaitu :
a. Karakteristik demografi
1) Identitas pasien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, suku
bangsa, status perkawinan, alamat sebelumnya, dan hobi
2) Riwayat keluarga, keluarga yang bisa dihubungi, jumlah saudara kandung, jumlah
anak, riwayat kematian keluarga dalam satu tahun, dan riwayat kunjungan keluarga.
3) Riwayat pekerjaan dan status ekonomi, pekerjaan sebelumnya dan sumber
pendapatan saat ini.
4) Aktivitas dan rekreasi, meliputi jadwal aktivitas, hobi, wisata, dan keanggotaan
organisasi.
b. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Pola nutrisi
Pola nutrisi meliputi frekuensi makan, nafsu makanan, jenis makanan yang
dimakan, kebiasaan sebelum makan, makanan yang disukai dan tidak disukai, alergi
dengan makanan, dan keluhan yang berhubungan dengan makan. Selain makan
juga perlu dikaji asupan cairannya, meliputi jumlah air yang diminum dalam sehari,
jenis minuman (air putih, teh, cokelat, minuman berkafein, bersoda, dan
beralkohol), dan minuman kesukaan.
2) Pola eliminasi

Menurut Maas, (2014) pengkajian pola eliminasi khusus untuk lansia

dengan inkontinensia urin yaitu :

a) Buang air kecil, frekuensi berkemih sepanjang hari, frekuensi

berkemih di malam hari, kesulitan dalam berkemih (perlu

mengejan atau tidak), aliran urin, nyeri saat berkemih, adanya

campuran darah saat berkemih, dan warna urin.

b) Buang air besar, frekuensi buang air besar, konsistensi, warna

feses, keluhan saat buang air besar, dan penggunaan obat

pencahar.

3) Pola personal hygiene

Menggambarkan frekuensi mandi, gosok gigi, mencuci rambut,

penggunaan alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan kebersihan

tangan serta kuku.

4) Pola istirahat dan tidur

Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama tidur

saat tidur siang, dan keluhan saat tidur.


5) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan hubungan responden dengan keluarga, masyarakat,

dan tempat tinggal.

6) Pola sensori dan kognitif

Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori

meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan, dan pembau.

7) Pola persepsi dan konsep diri

Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap

kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri,

harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji tingkat depresi responden

menggunakan format pengkajian status psikologis.

8) Pola seksual dan reproduksi

Menggambarkan masalah terhadap seksualitas.


9) Pola mekanisme stress dan kopping

Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.

10) Pola tata nilai dan kepercayaan

Menggambarkan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual.

11) Kebiasaan mengisi waktu luang

Menggambarkan kegiatan responden dalam mengisi waktu luang seperti

mencuci baju, merajut, membaca majalah atau koran, mendengarkan

radio, dan beribadah.

12) Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan

Menggambarkan kebiasaan responden yang berdampak pada kesehatan

meliputi merokok, minum minuman beralkohol, dan ketergantungan

terhadap obat.
c. Status kesehatan

1. Status kesehatan saat ini

Biasanya adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin keluar dengan

tiba-tiba, dan tingginya frekuensi berkemih.

2. Riwayat kesehatan masa lalu

a. Penyakit yang pernah diderita, meliputi diabetes, hipertensi,

kolesterol, dan asam urat.

b. Riwayat alergi (obat, makanan, minuman, binatang, debu, dan

lain-lain).

c. Riwayat kecelakaan, lansia sering mengalami jatuh dan

terpeleset saat berjalan.

d. Riwayat dirawat di rumah sakit.

e. Riwayat pemakaian obat, biasanya pemakaian obat diuretik yang

cukup lama dapat menyebabkan inkontinensia urin.

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan meliputi keadaan umum, berat badan, kepala, dada,

abdomen, kulit, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah.

4. Lingkungan dan tempat tinggal

Pengkajian terhadap kebersihan dan kerapian ruangan, penerangan,

sirkulasi udara, dan kebersihan toilet.


2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pengkajian di atas, dapat disimpulkan diagnosa yang muncul pada

pasien inkontinensia urine menurut SDKI (2017) :

a. Inkontinensia urin berlanjut berhubungan dengan neuropati arkus refleks,

disfungsi neurologis, kerusakan refleks kontraksi detrusor, trauma,

kerusakan medula spinalis, dan kelainan anatomis.

b. Inkontinensia berlebih berhubungan dengan blok sfingter, kerusakan atau

ketidakadekuatan jalur aferen, obstruksi jalan keluar urin, dan

ketidakadekuatan detrusor.

c. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan ketidakmampuan atau

penurunan mengenali tanda-tanda berkemih, penurunan tonus kandung

kemih, hambatan mobilisasi, faktor psikologis; penurunan perhatian pada

tanda-tanda keinginan berkemih, hambatan lingkungan, kehilangan sensorik

dan motorik, gangguan penglihatan.

d. Inkontinensia urin refleks berhubungan dengan kerusakan konduksi

impuls di atas arkus refleks, dan kerusakan jaringan.

e. Inkontinensia urin stres berhubungan dengan kelemahan intrinsik sfingter

uretra, perubahan degenerasi/non degenerasi otot pelvis, kekurangan

estrogen, peningkatan tekanan intraabdomen, dan kelemahan otot pelvis.

f. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan iritasi reseptor kontraksi

kandung kemih, penurunan kapasitas kandung kemih, hiperaktivitas

detrusor dengan kerusakan kontraktilitas kandung kemih, dan efek agen

farmakologis.

g. Kesiapan peningkatan eliminasi urin


h. Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan menjalin hubungan

yang memuaskan, perubahan penampilan fisik, dan perubahan status

mental.

i. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan organisme

patogen lingkungan.
3. Rencana Keperawatan

Tabel 1. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan


Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Inkontinensia Setelah dilakukan 1. Kaji pola 1. Memberikan
urin tindakan berkemih dan informasi mengenai
keperawatan kegel bandingkan perubahan yang
exercise 4 kali 10 dengan sekarang. mungkin terjadi
siklus sehari selanjutnya.
dalam 4 minggu, 2. Dukung 2. Memotivasi
diharapkan perawatan diri responden untuk
kontinensia urin menjaga kebersihan
pasien meningkat diri dan
dengan kriteria menghindarkan
hasil : responden dari
1. Kemampuan 3. Buat jadwal resiko infeksi.
berkemih latihan otot dasar 3. Kegel exercise
meningkat. panggul atau berfungsi untuk
2. Nokturia kegel menguatkan otot-otot
menurun. elevator ani dan
3. Residu volume urogenital yang
urin setelah dapat menurunkan
berkemih inkontinensia urin.
menurun. 4. Anjurkan 4. Minum yang
4. Distensi minum adekuat adekuat akan
kandung kemih selama siang hari, menurunkan risiko
menurun. minimal 2 liter dehidrasi, infeksi
5. Dribbling (sesuai toleransi), saluran kemih,
menurun. dan diet tinggi dan konstipasi.
6. Frekuensi serat.
berkemih 5. Batasi minum 5.Pembatasan minum
membaik. saat menjelang di malam hari dapat
7. Sensasi tidur. menghindarkan
berkemih responden dari
membaik enuresis dan
(SLKI , 6. Kolaborasi nokturia.
L.04036, 2018) dengan dokter 6. Menurunkan derajat
dalam mengkaji inkontinensia.
efek pemberian
obat.
(SIKI, 2018)
4. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah aksi dalam melakukan tindakan dari

keperawatan, selesaikan perencanaan mandiri dan kolaboratif

untuk membantu pasien mencapai hasil dan tujuan yang

diinginkan. Tindakan mandiri adalah aktivitas dimana perawat

menggunakan pertimbangannya sendiri (Potter & Perry, 2010).

5. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dengan klien

yang dilakukan terapi kegel exercise. Klien merupakan sumber

evaluasi hasil dari respons terbaik bagi asuhan keperawatan.

Perawat harus mengevaluasi efektivitas intervensi keperawatan

dengan membandingkan tujuan. Bandingkan hasil aktual dengan

hasil yang diharapkan untuk menentukan keberhasilan sebagian

atau penuh (Potter & Perry, 2010).


BAB 3
BAB 4

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan harus mampu menggunakan metode ilmiah yaitu menggunakan
proses keperawatan. Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan
terorganisasi dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada reaksi
dan respons unik individu pada suatu kelompok atau perorangan terhadap
gangguan kesehatan yang dialami, baik actual maupun potensial. Proses
keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu pengkajian, diagnose yang mengacu pada
SDKI, perencanaan yang mengacu pada SLKI, Implementasi yang mengacu pada
SIKI, dan evaluasi.

Berdasarkan hasil penelitian penerapan asuhan keperawatan pada pasien


Ny. M

1. Pengkajian

Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan


sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan
keperawatan dapat ditentukan. Pada kasus Penyakit Ginjal Kronis, perawat dalam
melakukan pengkajian dituntut harus teliti dan kompherensif, sehingga mudah
dalam menegakkan diagnosa. Salah satu yang harus diperhatikan pada pasien
Penyakit Gagal Ginjal Kronis yaitu pengkajian pada system pencernaan, system
musculoskeletal dan system endokrin.

2. Diagnosa

Pada pasien Ny. M ada 5 diagnosa keperawatan yang tidak muncul, yaitu
masalah nyeri akut, gangguan integritas kulit, defisit nutrisi, resiko infeksi, dan
resiko perdarahan serta hanya ada 1 diagnosa yang ditegakan pada pasien yaitu
gagal ginjal kronik dan ada tertera di pathway yaitu perfusi perifer tidak efektif,
hypervolemia dan ketidakstabilan glukosa dalam darah.
3. Perencanaan

Perencanaan yang digunakan dalam kasus pada pasien disesuaikan dengan


masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan kriteria tanda dan gejala
mayor, minor dan kondisi pasien saat ini.

4. Implementasi

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan yang


telah peneliti susun. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny.
M sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan berdasarkan teori yang ada
dan sesuai dengan kebutuhan pasien penyakit Gagal Ginjal Kronis.

5. Evaluasi

Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan


keperawatan yang diberikan. Pada evaluasi yang peneliti lakukan pada pasien Ny.
M berdasarkan kriteria yang peneliti susun terhadap 3 diagnosa yang teratasi
sebagian yaitu perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin dan Hipervolemia berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi ditandai dengan Edema Perifer , Kadar Hb turun, intake lebih
banyak daripada output. Sedangkan diagnosa Ketidakstabilan Kadar Glukosa
Darah belum teratasi.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan pada pasien dengan


Penyakit Ginjal Kronis (PGK) diperlukan adanya suatu perubahan dan perbaikan
diantaranya :

1. Bagi peneliti

Dalam upaya memberikan asuhan keperawatan pada pasien Gagal ginjal


kronis yang diberikan dapat tepat, peneliti selanjutnya harus benar-benar
menguasai konsep tentang Gagal ginjal kronis itu sendiri, terutama pada faktor
etiologi, anatomi fisiologi dan patofisiologi tentang Gagal ginjal kronis, selain itu
peneliti juga harus melakukan pengkajian dengan tepat agar asuhan keperawatan
dapat tercapai sesuai dengan masalah yang ditemukan pada pasien.

2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan

Dalam pengembangan ilmu keperawatan diharapkan dapat menambah


keluasan ilmu keperawatan dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Penyakit Ginjal Kronis serta menjadi acuan dan bahan pembanding dalam
melakukan penelitian bagi peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTKA

Melliany, O. (2019) ‘Konsep Dasar Proses Keperawatan Dalam Memberikan


Asuhan Keperawatan ( Askep ) Pendahuluan’, Askep.

Purnomo (2017) ‘No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関


連指標に関する共分散構造分析 Title’, p. 634. Available at:
https://hsgm.saglik.gov.tr/depo/birimler/saglikli-beslenme-hareketli-hayat-db/
Yayinlar/kitaplar/diger-kitaplar/TBSA-Beslenme-Yayini.pdf.

Puspasari, F. aryu (2019) ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan’, Pustaka Baru Press, p. 352. Available at:
http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/catalogue/detail/318551.

SHEILA MARIA BELGIS PUTRI AFFIZA (2022) ‘No Title ‫הכי קשה לראות את מה‬
)8.5.2017(5 ,‫ הארץ‬,’‫שבאמת לנגד העינים‬, pp. 2003–2005.

Wr, lili resta (2017) ‘“ Asuhan Keperawatan P ada Pasien Inkontinensia Urine ”’.

Anda mungkin juga menyukai