Disusun Oleh :
Kelompok 8
1. Heru Budi Santoso (202101002)
2. Cahayu (202101010)
3. Putri Delia Azhar (202101014)
LEMBAR PERSETUJUAN
Makalah Keperawatan Medikal Bedah 1 dengan judul Asuhan Keperawatan Pada inkontinensia
urine, ini telah di setujui untuk dipresentasikan
Tanggal :
Oleh :
Pembimbing
NIK. 06.095.0815
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah asuhan keperawatan pada
inkontinensia urine.
Kami berharap dengan adanya makalah penelitian ini, dapat menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca. Makalah ini membahas tentang tahapan asuhan keperawatan pada
inkonte pada kasus semu. Makalah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas
yang diberikan oleh dosen mata kuliah keperawatan medical bedah. Dalam upaya penyelesaian
makalah ini penulis telah mengerjakan dengan maksimal.
Kami mengucapkan banyak terimkasih kepada pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini hingga selesai. Serta tidak lupa kami sampaikan bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna dan kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat
membangun dan memperbaiki makalah ini.
Penyusun,
Semua Anggota
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
Manfaat bagi mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman dan ketrampilan dalam
penerapan proses asuhan keperawatan pada kasus semu, kasus ini diharapkan dapat
menambah pengalaman dan pengetahuan dalam terhadap resiko inkontinensia urin dan bagi
institusi Pendidikan mampu mengevaluasi kemampuan mahasiswa dalam penerapan proses
keperawatan.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang
peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang
abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang jumlahnya ada dua buah kiri dan kanan, ginjal
kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal
wanita. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri
dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia
kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia medularis) berbentuk
kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh
kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah. Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut
tubulus nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal (Wr, 2017).
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal
dalam plasma (keseimbangan elektrolit).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan,
hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism
2. Ureter
Ureter Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung
kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm, dengan penampang kurang lebih
0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga
pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. lapisan sebelah dalam lapisa mukosa
3. Vesika urinaria
Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet,
terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
a. Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah, bagian ini terpisah
dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen,
vesika seminalis, dan prostat.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
c. Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan berhubungan dengan ligamentum
vesika umbilikalis.
4. Uretra
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian
menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke bagian penis panjangnya kurang
lebih 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari:
a. Uretra prostatia
b. Uretra membranosa
c. Uretra kavernosa
Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring sedikitke arah atas,
panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis
(sebelah luar), lapisan spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan lapisan mukosa
(lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara
klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran ekskresi. Apabila tidak berdilatsi
diameternya hanya 6 cm. uretra ini menembus fasia diafragma urogenitalis dan orifisium
eksterna langsung di depan permukaan vagina, 2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula
uretra bermuara ke uretra, yang terbesar diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene)
yang bermuara ke dalam orifisium uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.
a. Poliuria Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan produksi
urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal karena
gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia. Nokturia
merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
c. Faktor usia Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena terjadinya
penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita) Penurunan produksi estrogen dapat
menyebabkan atropi jaringan uretra sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan rahim Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa
otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat mengalami
kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
g. Merokok Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin pada
dinding kandung kemih.
h. Konsumsi alkohol dan kafein Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat menyebabkan
inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat meningkatkan frekuensi
berkemih.
i. Obesitas Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin karena
meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan intra abdomen
menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan melemahnya tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih biasanya
adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang semakin banyak akan
menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih sehingga dapat terjadi inkontinensia
urin.
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
2.4.1 Inkontinensia urin akut( Transient incontinence )
Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim DIAPPERS
yaitu : delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan pharmacology,
excessive urin production (produksi urin yang berlebihan), restriksi mobilitas dan stool
impaction (impaksi feses).
2.4.2 Inkontinensia urin kronik ( Persisten )
Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama
( lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih akibat
hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi
otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe
(stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing tipe
Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress
Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan
estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari,
atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun
dengan operasi.
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:
1. Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan
2. Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit penurunan
uretra pada leher vesika urinaria
3. Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika urinaria 2 cm
atau lebih
4. Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung kemih. Leher
uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan gangguan
neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter intrinsic
2.6 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi sfingter
yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga
disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing. Fungsi otak besar yang
terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine
dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas
berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi
suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik
masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter
yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi
detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow Ada beberapa pembagian
inkontinensia urin, tetapi pada umumnya dikelompokkan menjadi 4 :
1. Urinary stress incontinence
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam kandung kencing
menjadi lebih besar dari pada tekanan pada urethra. Gejalanya antara lain kencing
sewaktu batuk, mengejan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan secara tanpa operasi
(misalnya dengan kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun secara
operasi (cara yang lebih sering dipakai).
2. Urge incontinence
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, dimana otot ini
bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing yang
mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia.
Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
3. Total incontinence
Total incontinence, dimana kencing mengalir ke luar sepanjang waktu dan pada segala
posisi tubuh, biasanya disebabkan oleh adanya fistula (saluran abnormal yang
menghubungkan suatu organ dalam tubuh ke organ lain atau ke luar tubuh), misalnya
fistula vesikovaginalis (terbentuk saluran antara kandung kencing dengan vagina)
dan/atau fistula urethrovaginalis (saluran antara urethra dengan vagina). Bila ini
dijumpai, dapat ditangani dengan tindakan operasi.
4. Overflow incontinence
Overflow incontinence adalah urin yang mengalir keluar akibat isinya yang sudah
terlalu banyak di dalam kandung kencing akibat otot detrusor yang lemah. Biasanya
hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum
tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak
puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kencing), urin yang
keluar sedikit dan pancarannya lemah. Pengobatannya diarahkan pada sumber
penyebabnya.
2.7 Pathway
2.8 Penatalaksanaa medik inkontinensia urine
1. Latihan otot-otot dasar panggul, latihan penyesuaian berkemih, obat-obatan untuk
merelaksasi kandung kemih dan estrogen, tindakan pembedahan memperkuat muara
kandung kemih.
a) Inkontinen Stres
1) Latihan otot-otot dasar panggul
2) Latihan penyesuaian berkemih
3) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
4) Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
b) Inkontinensia urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiannya
2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan
patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah
c) Inkontinensia Overflow
1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten dan kalau tidak mungkin secara
menetap
2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
d) Inkontinensia tipe fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
2) Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
3) Penyesuaian modifikasi lingkungan tempat berkemih
4) Kalau perlu digunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada
kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar
panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
a. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik uretra dan dasar pelvis. Fisioterapi
meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan uretra pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan uretra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal ke dalam daerah yang ditransmisi tekanan
abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intra abdominal,
perubahan posisi dan pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra,
terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisioterapi
membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada
kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan
hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih
dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali
normal dari keadaannya yang abnormal.
b. Bladder Training
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
3. Penatalaksanaan Farmakologik
a. Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretra proksimal megandung alfa adrenoseptor yang
menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan uretra obat
aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping
relatif ringan.
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan
noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia
stres. Efek samping meningkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh
karena stimulasi SSP.
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan
tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa
dalam kombinasi dengan anti histamin dan anti hikholinergik. Dosis 50 mg dua kali
sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stress
mengalami perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek
meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen dosis
tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada
inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan
jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat
4. Stimulasi Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2
dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan
parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk
meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa
jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara
implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbilitas
karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan
dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan
elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, hodge pessary, silindris.
5. Alat Mekanis (Mechanical Devices)
a. Tampon
Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya
terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat
menyebabkan vagina kering/luka.
b. Edward Spring
Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dengan inkontinensia
stress dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.
c. Bonnas’s Device
Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal dan urethra proksimal.
6. Penatalaksanaan Pembedahan
Tindakan operatif sangat membutuhkan informed consent yang cermat dan baik pada
penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap
ada. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :
a. Kolporafi anterior.
b. Uretropeksi retropubik.
c. Prosedur jarum.
d. Prosedur sling pubovaginal.
e. Periuretral bulking agent.
f. Tension vaginal tape (TVT).
7. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urine, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia
urine, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah
tidak berhasil mengatasi inkontinensia urine. Namun pemasangan pampers juga dapat
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter
menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan
untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak
dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan
infeksi pada saluran kemih.
pencahar.
penggunaan alat mandi (sabun, pasta gigi, dan shampo), dan kebersihan
Menggambarkan pola tidur, lamanya tidur saat malam hari, lama tidur
harga diri, peran dan identitas diri. Mengkaji tingkat depresi responden
terhadap obat.
c. Status kesehatan
Biasanya adanya keluhan nyeri saat berkemih atau urin keluar dengan
lain-lain).
3. Pemeriksaan fisik
ketidakadekuatan detrusor.
farmakologis.
mental.
patogen lingkungan.
3. Rencana Keperawatan
5. Evaluasi
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien. Perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan harus mampu menggunakan metode ilmiah yaitu menggunakan
proses keperawatan. Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan
terorganisasi dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada reaksi
dan respons unik individu pada suatu kelompok atau perorangan terhadap
gangguan kesehatan yang dialami, baik actual maupun potensial. Proses
keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu pengkajian, diagnose yang mengacu pada
SDKI, perencanaan yang mengacu pada SLKI, Implementasi yang mengacu pada
SIKI, dan evaluasi.
1. Pengkajian
2. Diagnosa
Pada pasien Ny. M ada 5 diagnosa keperawatan yang tidak muncul, yaitu
masalah nyeri akut, gangguan integritas kulit, defisit nutrisi, resiko infeksi, dan
resiko perdarahan serta hanya ada 1 diagnosa yang ditegakan pada pasien yaitu
gagal ginjal kronik dan ada tertera di pathway yaitu perfusi perifer tidak efektif,
hypervolemia dan ketidakstabilan glukosa dalam darah.
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Evaluasi
5.2 Saran
1. Bagi peneliti
SHEILA MARIA BELGIS PUTRI AFFIZA (2022) ‘No Title הכי קשה לראות את מה
)8.5.2017(5 , הארץ,’שבאמת לנגד העינים, pp. 2003–2005.
Wr, lili resta (2017) ‘“ Asuhan Keperawatan P ada Pasien Inkontinensia Urine ”’.