Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMAKOTERAPI 2

“ INFEKSI SALURAN KEMIH (INKONTINENSIA URINE) “

Dosen Pembimbing:
Apt.Muh.Taufiqqurahman,M.Farm

Disusun Oleh:
1)
Fifi Chairunnisya (16190000002)
2)
Widi Miftahul Janah (16190000012)
4)
Mariana Rena (16190000016)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU (STIKIM)
Jalan Harapan No. 50 Rt 7 Lenteng Agung Kec. Jagakarsa Jakarta Selatan
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
Telp (012) 78894043
2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur senantiasa kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha

Esa karna atas berkat dan rahmat Nya kami diberi kemudahan dalam menyusun

makalah ini dan Mampu menyelesaikan dengan tepat waktu. Dalam penyusunan

makalah ini penulis berterima kasih kepada dosen mata kuliah Farmakoterapi 2,

Apt.Muh.Taufiqqurahman,M.Farm. Karena telah membimbing sehingga ilmu yang

diberikan dapat diterapkan dan digunakan dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai “ Infeksi Saluran

Kemih (Inkontinensia Urine)“ Sehingga para pembaca dapat memperdalam ilmu

mengenai materi tersebut lebih baik lagi. Apabila ada kesalahan dalam penulisan,

kritik dan saran sangat membantu dan akan ditampung untuk memperbaiki makalah

ini kembali.

Jakarta, 26 oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi .......................................................................................................... 3

2.2 Etiologi ........................................................................................................... 3

2.3 Klasifikasi ...................................................................................................... 5

2.4 Patofisiologi ................................................................................................... 8

2.5 Manifestasi klinisis ...................................................................................... 11

2.6 Faktor resiko ............................................................................................... 11

2.7 Diagnosa ....................................................................................................... 12

2.8 Penatalaksana .............................................................................................. 14

2.9 Pencegahan .................................................................................................. 18

BAB III PENYELESAIAN KASUS METODE SOAP

3.1 Studi Kasus .................................................................................................. 19

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa
awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia
urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup
sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial.
Kelompok lansia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko
mengalami gangguan kesehatan. Hal ini dikarenakan pada lansia mengalami
perubahan-perubahan fisiologis meliputi perubahan pada sistem persarafan, sistem
pendengaran, sistem penglihatan, sistem Cardiovascular, sistem pengaturan tubuh,
sistem Respirasi, sistem Gastrointestinal,sistem urinaria, sistem integumen, dan sistem
Muskuloskeletal. Perubahan fisiologis pada sistem urinaria dapat menyebabkan dan
mempermudah lansia mengalami gangguan urinari seperti, disuriya, poliuria dan salah
satunya adalah inkontinensia urine.
Inkontinensia urin sering kali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya,
antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang
memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah
inkontinensia urin, dan menganggap kondisi tersebut sesuatu yang wajar terjadi pada
lansia serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan baik dokter, maupun tenaga medis
yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana inkontinensia urin yang baik
atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah
kesehatan yang dan dapat diselesaikan.
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa
awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau
sosial. Variasi dari inkontinensia urine meliputi dari kadang-kadang keluar hanya
berupa tetes urine saja, sampai benar- benar banyak, bahkan disertai inkontinensial
alvi.
Dampak negatif dari Inkontinensia Urine adalah dijahui orang lain karena
berbau pesing, minder, tidak percaya diri, timbul infeksi didaerah kemaluan,

1
pemborosan uang untuk pemeliharaan kesehatan, tidak bisa beraktifitas dengan baik
sehingga pendapatan menurun, akhirnya dapat menurunkan kualitas hidupnya.
Berbagai cara untuk mengurangi masalah Inkonotinensia urine adalah :
megajarkan cara Latihan Bledder Training tujuannya adalah untuk memperpanjang
jarak berkemih yang terkedali dengan tehnik relaksasi atau distraksi (mengalihkan
pikiran dari keinginan berkemih) sehingga kelayan dapat menahan atau menghambat
keinginan berkemih, megajarkan Latihan Kandung Kemih tujuannya adalah untuk
menghidari terjadinya distensi berlebih. dan selain itu kita juga bisa mengajarkan
Latihan Kegel tujuannya adalah untuk mengkontraksikan otot dasar panggul dengan
cara seolah-olah sedang menahan keluarnya flatus atau feses.
1.2.Rumusan Masalah
1. Defenisi Inkotinensia Urin
2. Etiologi Inkotinensia Urin
3. Klasifikasi Inkotinensia Urin
4. Patofisiologi Inkotinensia Urin
5. Manifestasi Klinis Inkotinensia Urin
6. Faktor Resiko Inkontinensia Urin
7. Diagnosis Inkotinensia Urin
8. Penatalaksanaan Inkotinensia Urin
9. Pencegahan Inkotinensia Urin
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui defenisi Inkotinensia Urin
2. Untuk mengetahui etiologi Inkotinensia Urin
3. Untuk mengetahui klasifikasi Inkotinensia Urin
4. Untuk mengetahui patofisiologi Inkotinensia Urin
5. Untuk mengetahui manifestasi Klinis Inkotinensia Urin
6. Untuk mengetahui faktor Resiko Inkontinensia Urin
7. Untuk mengetahui diagnosis Inkotinensia Urin
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan Inkotinensia Urin
9. Untuk mengetahui pencegahan Inkotinensia Urin
10. Serta untuk menambah wawasan bagi mahasiswa/i

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa

awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia

urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup

sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari

inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar

banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran

feses).

Inkontinensia urine adalah eleminasi urin dari kandung kemih tidak

terkendali atau terjadi di luar keinginan (Brunner & Sudart,2002; Aspiani,2014)

Inkontinensia urin adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu dikontrol

oleh sfingter eksternal. (Mubarak dan Chayatin Nurul,2007; Aspiani,2014).

Inkontinensia urin adalah ketidak mampuan otot sfingter eksternal sementara atau

menetap untuk mengontrol ekresi urin. (Wartonah Tarwoto,2003; Aspiani,2014).

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin secara tidak terkendali atau tidak pada

tempatnya. (Soeparman,2001). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa inkontinensia urin merupakan suatu kondisi dimana keluarnya urin tidak

sengaja atau tidak dapat untuk dikendalikan dikarenakan otot sfingter tidak mampu

mengontrol eskresi urin.

2.2 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi

dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat

3
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini

mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya

kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun

kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di

saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau

adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

1. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi

saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis

atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical.

Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan,

bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan

kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan

laksatif.

2. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena

berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang

harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa

diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

3. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin

meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.

4. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma,

atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke

toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.

4
5. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus

disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang

dideritanya.

6. Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena

kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,

kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama

kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan

selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar

panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan

lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.

7. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50

tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran

kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor

risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan

dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang

semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi

perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

2.3 Klasifikasi
1. Inkontinensia Urin Akut (Transien)

Inkontinensia urin transien memiliki onset mendadak, biasanya dihubungkan

dengan penggunaan obat-obatan atau penyakit akut.

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol sehingga berkemih tidak

pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan

teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu

5
timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten,

seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula

menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra

(vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga

sering menyebabkan inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya

inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi

vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian dapat menyebabkan

inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat menyebabkan

inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa,

analgesic narkotik, psikotropik, antikolinergik dan diuretik.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia ini dapat digunakan

akronim :

D : Delirium

I : Infection of urinary tract or other infection

A : Athropic Urethritis and vaginitis

P :Pharmaceutical ( diuretics, anticolinergic, antihistamine, Ca Chanel Blocker

P : Psychological Problems, espesially depresion

E : Excess urin output ( CHF, hyperglikemia,dll)

R : Restricted mobility

S : Stool impaction

6
2. Inkontinensia Urin Kronis (persisten)

a. Inkontinensia urin tipe stress

Tidak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan

intraabdomen seperti pada saat batuk, bersin, atau berolahraga. Umumnya

disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,merupakan penyebab tersering

inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun.

Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada pria akibat

kerusakan pada sfingter uretra setelah pembedahan transuretral atau radiasi.

Pasien mengeluh mengeluarkan urinpada saat tertawa, batuk, atau berdiri.

Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia tipe urgency

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan

berkemih. Inkontinensia jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor

tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah – masalah neurologis sering

dikaitkan dengan inkontinensia urgensi ini, meliputi stroke, penyakit parkinson,

demensia, dan cedera medulla spinalis. Inkontinensia ini sering dialami oleh

lansia diatas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas

detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi

yang involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali.

c. Inkontinensia urin tipe overflow

Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung

kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti

pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes mellitus atau sclerosis

multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung

7
kemih, dan faktor obat-obatan . Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit

urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d. Inkontinensia Fungsional

Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya

pengeluaran urin akibat faktor – faktor diluar kandung kemih. Penyebab

tersering adalah demensia berat, maalah muskuloskeletal berat, faktor

lingkunagn yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi dan faktor

psikologis.

2.4 Patofisiolgi
a. Patofisologi inkontinensia secara umum

Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika

Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-

600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih

dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan

berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter internal dan

sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra.

Pada orang dewasa muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses

ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau

kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya

retensi urine.

Terjadinya pengisian kandung kemih sehingga meningkatkan tekanan

didalam kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung

kemih) memberikan respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume

daya tamping. Bila titik daya tampung telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin

8
akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke

lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi.

Impuls kemudian disalurkan melalui serabut efferen dari lengkungan

reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfingter interna

yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan urine

masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal

mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Reflek ini bisa mengalami interupsi

sehingga berkemih dikeluarkan oleh impuls inhibitor dari pusat kortek yang

berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari

sistem ini mengalami kerusakan, akan bisa terjadinya inkontinensia urin.

b. Patofisiologi inkontinensi urin berdasarkan tipe nya

 Inkontinensia urin karena penurunan kadar esterogen pada wanita lansia

Esterogen dapat mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan

sensitifitas alfa adreno reseptor pada otot polos uretra. Inkontinensia urin

disebabkan oleh perubahan pada jaringan epitel dan vaskular yang terdapat

didalam mukosa dan jaringan otot, terjadi akibat proses penuaan dan

penurunan

kadar esterogen secara mekanisme dapat disebabkan :

 Uretra hipermobilitas

Terjadi dimana uretra tidak menutup secara sempurna dan sangat mudah

digerakkan. Kondisi ini terjadi ila otot dasar pelvis menjadi lemah akibat

proses penuaan dan mengikuti hal – hal seperti dibawah ini :

a) Tekanan dari otot dasar pelvis berkurang

b) Kandung kemih akan turun kebawah

c) Mendesak otot – otot yang mengelilingi kandung kemih

9
Tipe 1 : terjadi karena leher kandung kemih dan uretra tidak menutup

dengan sempurna.

Tipe 2 : terjadi karena leher kandung kemih dan uretra tidak menutup

dengan sempurna

 Kelemahan otot yang mengelilingi kandung kemih (ISD : Intrinsic Sfingter

Deficiency). Tipe ini kadang disebut tipe 3 inkontinensia urin. Disebabkan

karena otot-otot kandung kemih rusak atau lemah. Kondisi ini

menyebabkan leher kandung kemih terbuka selama fase pengisian.

Tekanan penutupan pada uretra rendah.

 Stress Inkontinensia

Inkontinensia tipe ini sering terjadi pada wanita. Otot dasar pamggul,

vagina, dan ligamen nya menyokong kandung kemih. Jika struktur tersebut

melemah, maka kandung kemih akan turun, menekan sedikit keluar dari pelvis

kearah vagina. Hal ini mencegah otot – otot yang biasanya memberikan

kekuatan untuk menutup uretra untuk bekerja sehingga urin dapat keluar

selama moment stres fisik seperti saat batuk, tertawa, dll.

 Urgency Inkontinensia

Tindakan otot kandung kemih yang tidak disadari dapat terjadi karena

kerusakan saraf pada kandung kemih ke nervus sistem (spinal cord dan SSP)

atau otot. Sinyal saraf yang abnormal mungkin disebabkan karena spasme

pada kandung kemih

 Overflow Inkontinensia

Terjadi jika karena kandung kemih tidak dapat mengosongkan dengan

baik karena itu masih ada sisa urin di dalam kandung kemih. Otot kandung

10
kemih yang lemah atau sumbatan uretra dapat menyebabkan inkontinensia urin

tipe ini.

2.5 Manifestasi Klinis


 Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.

Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.

 Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan

gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.

 Tidak bisa menahan untuk miksi

 Terdapat rembesan urin

 Urin keluar sebelum sampau tempatnya

 Frekuensi urin bertambah

 Pasien tidak merasa puas saat berkemih

 Urin menetes

 Keluar urin tanpa disadari

2.6 Faktor Resiko


 Kondisi kesehatan secara umum/ riwayat keluarga yang menderita DM

 Bertambahnya usia yang membuat kapasitas kandung kemih menurun

 Merokok dan sering terpapar asap rokok

 Bronkitis yang membuat orang sering batuk

 Trauma atau cedera kandung kemih atau uretra

 Stoke, Parkinson disease

 Batu pada kandung kemih

 Konstipasi

 Konsumsi alkohol

 Konsumsi cafein atau minuman bersoda terlalu banyak

11
 Penggunaan obat diuretic, antidepresan, sedative, narcotic dan obat – obat diet

2.7 Diagnosa
1. Anamnesa

Pada inkontinensia urin pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat

menahan kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai dikamar

mandi. Pasien juga kadang mengatakansaat tertawa terbahak, tanpa sadar urin

keluar dengan sendirinya.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Abdomen

Mengenali adanya kandung kemih yang penuh (fullblast), rasa nyeri, massa,

atau riwayat pembedahan.

b. Pemeriksaan genitalia

Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis

c. Pemeriksaan rectum (rectal touche)

Mendapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter,

sensasi perineal, dan refleks bulbocavernosus, Nodul prostat.

d. Pemeriksaan Pelvis

Mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot,

prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.

e. Evaluasi neurologis

Sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksaan sensasi

perineum, tonus otot, dan refleks bulbocavernosus. Pemeriksaan Neurologis

juga perlu untuk mengevaluasi penyakit seperti : kompresi medulla spinalis dan

parkinson disease.

3. Pemeriksaan Penunjang

12
a. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang

air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau

menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti

pengosongan kandung kemih tidak adekuat.

b. Urinalisis : dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi

adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti

hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik

lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes

lanjutan tersebut adalah :

1. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,

creatinin, kalsium glukosa sitologi.

2. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih

bagian bawah

3. Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat

4. Imaging tes atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian atas

dan bawah.

5. Laboratorium pemeriksaan yang dilakukan yaitu : Elektrolit, ureum,

creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi

ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

6. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk

mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu

dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia

urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola

13
berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat

digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai

intervensi terapeutik karena dapat digunakan untuk mengetahui faktor-

faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

2.8 Penatalaksanaan
1. Mengurangi faktor resiko

2. Mempertahankan homeostasis

3. Mengontrol Inkontinensia urin

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia

urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,

dan lain-lain.

Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

a. melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)

dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi berkemih 6-7 x/hari.

Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum

waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-

mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin

berkemih setiap 2-3 jam.

b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia. Promoted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia

mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau

pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan

gangguan fungsi kognitif (berpikir).

14
c. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar

panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar

panggul tersebut adalah dengan cara :

 Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,

kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke

belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ±

10 kali.

 Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar

dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih

kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

4. Untuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada beberapa hal khusus yang

dianjurkan misalnya :

 Inkontinensia tipe stress

 Latihan otot-otot dasar panggul

 Latihan penyesuaian berkemih

 Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih

 Tindakan pembedahan dapat memperkuat muara kandung kemih

 Inkontinensia urgensi:

 Latihan mengenal sensasi berkemih

 Obat-obatan untuk merelaksasikan kandung kemih dan estrogen

 Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan yang dalam

keadaan patologik dapat menyebabkan iritasi pada saluran kandung

kemih bagian bawah.

 Inkontinensia tipe luapan:

15
 Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, atau menetap.

 Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.

 Inkontinensia tipe fungsional:

 Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan

berkemih.

 Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya,

 Penyesuaian atau modifikasi lingkungan tempat berkemih

 Kalau perlu gunakan obat-abatan yang dapat merelaksasikan kandung

kemih

5. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah

antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,

Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu

pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relaks diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau

alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi

diberikan secara singkat.

6. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan

urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.

Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk

menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu,

16
divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvik (pada wanita). Terapi

pembedahan pada stress inkontinensia dapat berupa :

a. Kolporafi anterior

b. Uretropeksi retropubik

c. Prosedur jarum

d. Prosedur sling pubovaginal

e. Periuretral bulking agent

f. Tension Vaginal Tape (TVT)

Tindakan operatif sangat membutuhkan inform consent yang cermat dan

baik pada penderita dan keluarganya karena angka kegagalan maupun

rekurensi tindakan ini tetap ada.

7. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang

menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi

lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya:

 Pampers : dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana

pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun

pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila

jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan

akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan

pada kulit, gatal, dan alergi.

 Kateter : menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat

menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu.

Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang

17
secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini

digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih.

Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

 Alat bantu toilet : Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh

orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat

bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu

memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

2.9 Pencegahan
 Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkan

inkontinensia urin

 Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain

 Makan tinggi serat agar terhindar dari sembelit

 Mengurangi konsumsi cafein dan minuman bersoda

 Rajin berolahraga

 Berhenti konsumsi alkohol

 Mengontrol berat badan agar tidak kegemukan

 Jangan menahan-nahan keinginan untuk buang air kecil

 Untuk wanita, jangan terlalu sering hamil dan melahirkan

18
BAB III

PENYELESAIAN KASUS METODE SOAP

STUDI KASUS

Seorang ibu Ny.X sedang hamil 2 bulan, mengalami Infeksi Saluran Kemih dan

diberi Tetrasiklin 500 mg 3x sehari. Ny.X tersebut juga mengalami demam dan

muntah-muntah, diberi Parasetamol 500 mg 3x1, dan Metoklopramid 10 mg 3x sehari.

METODE SOAP

1. Subjektive

- Pasien : Ibu hamil 2 bulan

- Daftar Problem Pasien :

 Infeksi Saluran Kemih

 Demam dan muntah

2. Objective

ISK : Tetrasikin = 500mg  3 x sehari

Demam dan muntah – muntah : Paracetamol = 500 mg  3 x sehari

Metoklopramid = 10 mg  3 x sehari

3. Assasement

 adanya ADR (adverse drug reaction )

- tidak dianjurkan menggunakan obat tetrasiklin ( termasuk kategori D)

- adanya problem disebabkan karena obat

- pengobatan diperlukan untuk terapi

- semua pengobatan dibutuhkan

- tidak ada duplikasi obat

19
- semua terapi obat tepat kecuali tetrasiklin

- bentuk sediaan dan cara pemberian benar

- adanya efek samping penggunaan obat yang harus dihindari (tetrasiklin)

4. Plan

 Penggantian tetrasiklin dengan antibiotik lain dengan kontraindikasi yang tidak

berbahaya untuk ibu hamil.

 Tetrasiklin diganti dengan cefadroxil.

Tetrasiklin : Obat Golongan D

- katagori D : Ada bukti mengenai resiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya

manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari resikonya(misalnya jika obat

diperlukan untuk mengatasi situasi yang terancam jiwa atau untuk penyakit serius

yang tidak efektif atau tidak mungkin di atasi dengan obat yang lebih aman).

- Mengganggu pertumbuhan tulang mewarnai gigi menjadi kuning kecoklatan,

hypoplasia dan kerusakan pada email.

- Cefadroxil merupakan obat untuk gangguan saluran kemih dan saluran nafas.

Cefadroxil : Obat Golongan B

- katogori B : studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan tidak

memperlihatkan adanya resiko pada janin, tetapi tidak ada studi terkontrol pada

wanita hamil, atau studi terhadap sistem reproduksi binatang percobaan

memperlihatkan adanya efek samping (selain penurunan fertilitas) yang tidak

dilaporkan terjadi pada studi terkontrol pada wanita hamil trimester pertama (dan

tidak ada bukti mengenai resiko pada trimester selanjutmnya).

20
 PROFIL PENGOBATAN

Obat Golongan Dosis Indikasi / Kontraindikasi Efek Samping

Tetrasiklin D 500 mg In : infeksi saluran kemih Urtikaria, mual, muntah

Antibiotik 3x dan alat kelamin dan diare.

sehari KI : Hepatitis, hamil,

gangguan ginjal

Cefadroxile B 0,5 – 1 In : infeksi gram positif dan Diare, mual, muntah,

Antibiotik g gram negatif gangguan darah

sefalosporin 2 x KI : hipersensitifitas terhadap

generasi I sehari sefalosprorin porfiria

Paracetamol Derivat 500 mg In : menurunkan demam, Keracunan hati, anemia

para amino 3x meringankan sakit kepala dan hemolitik, reaksi

fenol sehari sakit gigi hematologi.

KI : Hipersensitifitas dan

gangguan fungsi hati

Metoklopramid Derivat 10 mg In : GI, mabuk perjalanan, Mengantuk, lemah,

aminoklor 3x dan mual lelahgeliah, konstipasi,

benzamida sehari KI : Hipersensitifitas, diare dan urtikaria

Antiemetika penderita epilepsi

kuat

21
 MONITORING

Tujuan dilakukannya monitoring ini adalah untuk memaksimalkan efek terapi

dan meminimalkan DRPs. Kehamilan pada trimester 1 masih termasuk dalam keadaan

rentan, oleh karenanya obat bebas maupun peresepan obat yang diberikan harus benar-

benar diperhatikan.

Sehingga perlu diterapkan suatu tujuan pemantauan terapi yaitu dengan

menentukan monitoring yang spesifik terhadap pasien dan monitoring yang spesifik

terhadap obat, selain itu juga terhadap efek samping obat yang diberikan. Untuk kasus

yang dialami Ny. X yang perlu dimonitoring antara lain :

NO PARAMETER TUJUAN MONITORING

1. Mual muntah Mengetahui apakah masih mengalami gejala

mual dan muntah setelah pemberian obat

Metoklopramid 10mg

2. Pemeriksaan urin Untuk melihat adanya infeksi pada saluran

kemih yang diakibatkan oleh bakteri

3. Pemeriksaan suhu tubuh, Mengetahui suhu tubuh pada pasien masih

nadi, leukosit, LED tinggi tau tidak setelah pemberian parasetamol

500mg dan pemberian antibiotik

4. USG Memantau perkembangan janin dalam

kandungan.

22
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan cukup sering dijumpai pada

lansia. Pada wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki, terutama pada wanita yang

sudah tua, banyak anak, pernah mengalami operasi di daerah panggul, yang menderita

penyakit kencing manis atau penyakit saraf.

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini

lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah

melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar

panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan

vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan

prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.

Empat penyebab pokok inkontinensia urin yaitu, gangguan urologik, neurologis,

fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Ada pula inkontinensia urin akut

dan kronik (persisten). Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan

dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika kondisi akut

tersebut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia urin persiten

merujuk pada kondisi inkontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi

akut/iatrogenik dan berlangsung lama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur

diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis

gangguan ini. Jenis inkontinensia urin persisten yang utama yaitu: stress

inkontinensia, urgency inkontinensia, overflow inkontinensia, dan fungsional

inkontinensia. Penatalaksaanaa konservatif dilakukan pada inkontinensia urin seperti :

23
Latihan otot dasar panggul (Pelvic Floor Exersize), Bladder training, habbit training,

Promoted voiding, Penggunaan kateter menetap, dan obat – obatan. Sedangkan

penanganan operatif berupa kolporafi anterior, uretropeksi retropubik, prosedur

jarum, prosedur sling pubovaginal, periuretral bulking agent, dan tension vaginal tape

(TVT).

Berbagai komplikasi dapat menyertai Inkontinensia Urine seperti infeksi saluran

kencing, gangguan tidur, masalah sosial higiene yang pada akhirnya mengakibatkan

isolasi sosial, stress, luka, lecet, dan tak kalah pentingnya biaya perawatan yang

tinggi. Secara tidak langsung masalah tersebut dapat menyebabkan dehidrasi, karena

umumnya pasien mengurangi minum, karena kawatir terjadi Inkontinensia Urine,

pada pasien yang kurang aktifitas hanya berbaring di tempat tidur dapat menyebabkan

ulkus dekubitus dan dapat meningkatkan resiko infeksi lokal termasuk osteomyelitis

dan sepsis. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia

urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan jika

diketahui dengan tepat jenis atau tipe inkontinensianya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Martono, Hadi. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

2. Purnomo, Basuki. 2009. Dasar – Dasar Urologi Edisi ke IV. Jakarta : CV Sagung

Seto

3. Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:

Interna Publishing

4. Universitas Sriwijaya. Inkontinensia Urin. URL http/:digilib.unsri.ac.id/ download/

inkontinensia%20urine.pdf.Diakses pada april 2014

5. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25132/4/Chapter%2011.pdf

6. Pustaka.unpad.ac.id/.../Pustaka_Unpad_Inkontinensia_Urin.pdf.pdf

7. Keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%201-V_1.pdf

Anda mungkin juga menyukai