Disusun Oleh:
Nden Ayu Pratiwi 032016040
Utari Ayunda Oktariani 032016053
Winda Sri Nurany 032016063
Aprilia Hannum 032016072
Harapan kami semoga hasil yang telah dicapai dalam makalah ini dapat
bermanfaat.Untuk penyempurnaan penulisan, diharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan selanjutnya.
Penyusun (Kelompok 7)
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala atau tanda klinis, dari satu
atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatric. Tampilan
klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh.Sindrom geriatrik menampilkan
banyak fitur-fitur umum. Keadaan lansia sangat umum yaitu lemah.
Efeknya pada kualitas hidup dan cacat substansial.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut
Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi),
Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan
intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia
urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi),
Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition
(malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur),
Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of
hearing,vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan
penciuman) (Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi sindrom geriatric ?
2. Sebutkan Karakteristik sindrom geriatric ?
3. Sebutkan Jenis- jenis sindrom geriatric ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi sindrom geriatric .
2. Untuk mengetahui Karakteristik sindrom geriatric.
3. Sebutkan Jenis- jenis sindrom geriatric .
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. DEFINISI
Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis,
dari satu atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien
geriatric. Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom
geriatri tidak terdiagnosis.(yulianti.2015)
Geriatri adalah suatu istilah yang terdiri dari kata geros (usia lanjut )
dan iatreia (merawat ). Geriatric sendiri mengacu pada cabang ilmu
kedokteran yang berfokus pada cabang ilmu kedokteran yang berfokus
pada pelayanan usia lanjut. (depsos.2007 )
B. Karakteristik Pasien Geriatric
1. Usia >60 tahun
2. Multipatologi
3. Tampilan klinis tidak khas
4. Polifarmasi
5. Fungsi organ menurun
6. Gangguan Status Fungsional
7. Gangguan nutrisi
C. Jenis- Jenis Geraitric sindrom
1. Inkontinensia urin
a. Definisi inkontinensia urin
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika
Inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ),
mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius ( paraplegia ),
kemungkinan besar sifatnya akan permanent (Brunner &
Suddarth, 2002. hal: 1471.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang
tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu
sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik
yang sering dijumpai pada usia lanjut.
b. Jenis- Jenis inkontinensia urin
1) Inkontinensia urgensi
Pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada
peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh
aktivitas otot destrusor yang berlebihan atau kontraksi
kandung kemih yang tidak terkontrol.
2) Inkontinensia tekanan
Pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang
meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal.
Batuk, bersin, tertawa dan mengangkat beban berat adalah
aktivitas yang dapat menyebabkan inkontinensia urine.
3) Inkontinensia aliran yang berlebihan (over flow
inkontinensia )
Terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu
penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini
pada umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau
obstruksi bagian luar kandung kemih. (Charlene J.Reeves
all).
4) Inkontinensia refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yag terganggu
seperti pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan
kandung kemih dipengaruhi refleks yang dirangsang oleh
pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada.
c. Etiologi
1. Gejala infeksi saluran kemih
Serangan bakteri memicu infeksi lokal yang mengiritasi
mukosa kandung kemih dan menyebabkan dorongan kuat
untuk buang air kecil. Kemudian mendesak pengeluaran
urin, yang mungkin satu-satunya tanda peringatan dari
infeksi saluran kemih, juga dapat disertai dengan frekuensi
kencing, disuria, dan urin berbau busuk
2. Atrofi vaginitis
Atrofi atau peradangan pada vagina akibat penurunan yang
signifikan dari kadar estrogen; kurangnya estrogen dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot dasar panggul.
atrofi mukosa vagina juga menyebabkan ketidak nyamanan
vagina, rasa terbakar, gatal, dan terkait dispareunia
3. Efek samping obat
Polifarmasi dan penggunaan α-adrenergik, neuroleptik,
benzodiazepines, bethanechol, cisapride, diuretik,
antikolinergik, agen anti-Parkinsonian, β-blocker,
disopyramides, angiotensin-converting enzyme inhibitor,
narcoleptics, atau obat psikotropika dapat memperburuk
inkontinensia, efek sedatif dan benzodiazepin dapat
mengganggu kemampuan pasien untuk mengendalikan
fungsi kandung kemih, sehingga urge incontinence
iatrogenik Diuretik dan meningkatkan Volume kemih
konsumsi cairan cepat dan berpotensi memperburuk gejala
inkontinensia urin.
4. Konsumsi kopi dan alkohol
Kopi menyebabkan kedua efek diuretik dan efek iritasi
independen, sehingga mengisi kandung kemih yang cepat
dan keinginan yang mendesak dan tidak sukarela untuk
buang air kecil. Alkohol, ketika dikonsumsi dalam jumlah
yang lebih besar, juga dapat menumpulkan kemampuan
kognitif pasien untuk mengenali dorongan untuk buang air
kecil, sehingga inkontinensia.
5. Inkontinensia urin biasanya berhubungan dengan penyakit
fisik yang mendasari, termasuk disfungsi kandung kemih,
melemah dasar panggul atau otot kandung kemih, penyakit
neurologis, operasi panggul sebelumnya, atau obstruksi
saluran kemih.
e. Reaksi obat
Proses penuaan menyebabkan menurunnya fungsi organ, baik
akibat proses degenerasi yang secara alamiah akan dialami oleh
setiap orang, maupun akibat penyakit yang diderita sebelumnya
(Donatus,1999; Granfinkel, 2007). Absorpsi suatu obat pada
usia lanjut dapat berubah disebabkan adanya perubahan
fisiologis pada usia lanjut, seperti menurunnya sekresi asam
lambung (25 –35%), aliran darah ke saluran cerna, produksi
tripsin pankreatik, gerakan saluran cerna atau waktu
pengosongan lambung dan jumlah sel pengabsopsi. Obat yang
digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke
dalam sistem sirkulasi. Keadaan yang dapat mempengaruhi
absorpsi obat pada usia lanjut antara lain perubahan kebiasaan
makan, tingginya konsumsi obat-obatan non resep (misalnya
antasida, laksansia) dan menurunnya kecepatan pengosongan
lambung (Donatus, 1999; Granfinkel, 2007).
Pada usia lanjut akan terjadi peningkatan lemak tubuh.
Persentasi lemak pada usia dewasa sekitar 8-20% (laki-laki)
dan 33% pada perempuan dan pada usia lanjut meningkat 33%
pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut
akan mempengaruhi distribusi obat plasma, dimana distribusi
obat larut lemak akan meningkat dan distribusi obat larut air
akan menurun (Darmansjah, 1994). Perubahan paling berarti
pada usia lanjut ialah menurunnya fungsi ginjal ditandai
dengan menurunnya Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan
creatinine clearance walaupun tidak terdapat penyakit ginjal
atau kadar creatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi
obat sering berkurang yang mengakibatkan bertambah lamanya
kerja obat. Obat yang mempunyai waktu paruh panjang perlu
diberikan dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya
berbahaya. Pemberian obat pada pasien usia lanjut tanpa
memperhitungkan fungsi ginjal sebagai organ yang akan
mengekskresikan obat akan berdampak pada kemungkinan
terjadinya akumulasi obat sehingga menimbulkan efek toksik
(Anonim, 2012).
f. Pencegahan polifarmasi
1. Penyedia layanan kesehatan harus mengevaluasi aspek
tentang penggunaan obat
2. Hindari obat-obatan yang kurang sesuai
3. Perhatikan riwayat pengobatan sebelumnya sebelum
meresepkan obat yang baru
4. Mendorong penggunakan terapi nonfarmako seperi diet dan
olahraga
5. Review pengobatan secara rutin meliputi terapi yang
sedang dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping,
interaksi, dosis, formulasi obat, dan berapa lama akan
dilakukan.
6. Komunikasi dengan tenaga kesehatan terutama mengenai
ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan
pasien untuk memenuhi aturan pengobatan.
7. Berikan pendidikan kesehatan terhadap pasien dan
keluarganya tentang penggunakan obat
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut.
Darmojo RB, Martono H. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Donatus, I.A. (1999). Nasib Obat Pada Diri Lanjut Usia (Lansia). Sigma. 1(1): 1-10
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.