Anda di halaman 1dari 23

GERIATRIC SYNDROM

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh:
Nden Ayu Pratiwi 032016040
Utari Ayunda Oktariani 032016053
Winda Sri Nurany 032016063
Aprilia Hannum 032016072

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Atas karunia Allah SWT akhirnya kelompok kami dapat menyelesaikan


makalah dengan judul “GERIATRIC SYNDROM ”  

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari keterbatasan kemampuan


baik dalam pengalaman maupun pengetahuan serta waktu yang tersedia sehingga
kami yakin dalam penyajian makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian kami telah berusaha secara maksimal dengan melaksanakan kelompok
belajar.

Harapan kami semoga hasil yang telah dicapai dalam makalah ini dapat
bermanfaat.Untuk penyempurnaan penulisan, diharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan selanjutnya.

Bandung, Oktober 2019

Penyusun (Kelompok 7)
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala atau tanda klinis, dari satu
atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien geriatric. Tampilan
klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh.Sindrom geriatrik menampilkan
banyak fitur-fitur umum. Keadaan lansia sangat umum yaitu lemah.
Efeknya pada kualitas hidup dan cacat substansial.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut
Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi),
Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan
intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (inkontinensia
urin dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi),
Immunodeficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition
(malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur),
Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenic) dan Impairement of
hearing,vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan
penciuman) (Setiati dkk., 2006 dalam AA Dini, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi sindrom geriatric ?
2. Sebutkan Karakteristik sindrom geriatric ?
3. Sebutkan Jenis- jenis sindrom geriatric ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi sindrom geriatric .
2. Untuk mengetahui Karakteristik sindrom geriatric.
3. Sebutkan Jenis- jenis sindrom geriatric .
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. DEFINISI
Sindrom geriatri merupakan kumpulan gejala dan atau tanda klinis,
dari satu atau lebih penyakit yang sering dijumpai pada pasien
geriatric. Tampilan klinis yang tidak khas sering membuat sindrom
geriatri tidak terdiagnosis.(yulianti.2015)
Geriatri adalah suatu istilah yang terdiri dari kata geros (usia lanjut )
dan iatreia (merawat ). Geriatric sendiri mengacu pada cabang ilmu
kedokteran yang berfokus pada cabang ilmu kedokteran yang berfokus
pada pelayanan usia lanjut. (depsos.2007 )
B. Karakteristik Pasien Geriatric
1. Usia >60 tahun
2. Multipatologi
3. Tampilan klinis tidak khas
4. Polifarmasi
5. Fungsi organ menurun
6. Gangguan Status Fungsional
7. Gangguan nutrisi
C. Jenis- Jenis Geraitric sindrom
1. Inkontinensia urin
a. Definisi inkontinensia urin
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika
Inkontinensia urin terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ),
mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius ( paraplegia ),
kemungkinan besar sifatnya akan permanent (Brunner &
Suddarth, 2002. hal: 1471.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang
tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu
sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik
yang sering dijumpai pada usia lanjut.
b. Jenis- Jenis inkontinensia urin
1) Inkontinensia urgensi
Pelepasan urine yang tidak terkontrol sebentar setelah ada
peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh
aktivitas otot destrusor yang berlebihan atau kontraksi
kandung kemih yang tidak terkontrol.
2) Inkontinensia tekanan
Pelepasan urine yang tidak terkontrol selama aktivitas yang
meningkatkan tekanan dalam lubang intra abdominal.
Batuk, bersin, tertawa dan mengangkat beban berat adalah
aktivitas yang dapat menyebabkan inkontinensia urine.
3) Inkontinensia aliran yang berlebihan (over flow
inkontinensia )
Terjadi jika retensi menyebabkan kandung kemih terlalu
penuh dan sebagian terlepas secara tidak terkontrol, hal ini
pada umumnya disebabkan oleh neurogenik bladder atau
obstruksi bagian luar kandung kemih. (Charlene J.Reeves
all).
4) Inkontinensia refleks
Ini terjadi karena kondisi sistem saraf pusat yag terganggu
seperti pada demensia. Dalam hal ini, pengosongan
kandung kemih dipengaruhi refleks yang dirangsang oleh
pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan berhenti
berkemih tidak ada.
c. Etiologi
1. Gejala infeksi saluran kemih
Serangan bakteri memicu infeksi lokal yang mengiritasi
mukosa kandung kemih dan menyebabkan dorongan kuat
untuk buang air kecil. Kemudian mendesak pengeluaran
urin, yang mungkin satu-satunya tanda peringatan dari
infeksi saluran kemih, juga dapat disertai dengan frekuensi
kencing, disuria, dan urin berbau busuk
2. Atrofi vaginitis
Atrofi atau peradangan pada vagina akibat penurunan yang
signifikan dari kadar estrogen; kurangnya estrogen dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot dasar panggul.
atrofi mukosa vagina juga menyebabkan ketidak nyamanan
vagina, rasa terbakar, gatal, dan terkait dispareunia
3. Efek samping obat
Polifarmasi dan penggunaan α-adrenergik, neuroleptik,
benzodiazepines, bethanechol, cisapride, diuretik,
antikolinergik, agen anti-Parkinsonian, β-blocker,
disopyramides, angiotensin-converting enzyme inhibitor,
narcoleptics, atau obat psikotropika dapat memperburuk
inkontinensia, efek sedatif dan benzodiazepin dapat
mengganggu kemampuan pasien untuk mengendalikan
fungsi kandung kemih, sehingga urge incontinence
iatrogenik Diuretik dan meningkatkan Volume kemih
konsumsi cairan cepat dan berpotensi memperburuk gejala
inkontinensia urin.
4. Konsumsi kopi dan alkohol
Kopi menyebabkan kedua efek diuretik dan efek iritasi
independen, sehingga mengisi kandung kemih yang cepat
dan keinginan yang mendesak dan tidak sukarela untuk
buang air kecil. Alkohol, ketika dikonsumsi dalam jumlah
yang lebih besar, juga dapat menumpulkan kemampuan
kognitif pasien untuk mengenali dorongan untuk buang air
kecil, sehingga inkontinensia.
5. Inkontinensia urin biasanya berhubungan dengan penyakit
fisik yang mendasari, termasuk disfungsi kandung kemih,
melemah dasar panggul atau otot kandung kemih, penyakit
neurologis, operasi panggul sebelumnya, atau obstruksi
saluran kemih.

6. Hypoestrogenic states, penuaan, dan kelainan jaringan ikat


dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot dasar
panggul
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Grace. A Pierce, 2006 (Ilmu Bedah.
Edisi 3. Jakarta : Erlangga)
1) Inkontinensia urgensi
Terapi medikamentosa: Modifikasi asupan cairan,
hindari kafein, obati setiap penyebab (infeksi, tumor, batu),
latihan berkemih, antikolinergik/relaksan otot polos
(oksibutin, tolterdin).
Terapi pembedahan : Sistoskopi (cystoscopy) adalah
prosedur pemeriksaan dengan sebuah tabung fleksibel
berlensa yang dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung
kemih dan kemudian untuk mempelajari kelainan dalam
kandung kemih dan saluran kemih bawah. Alatnya disebut
sistoskop
2) Inkontinensia stress
Terapi medikamentosa : Latihan otot – otot dasar panggul,
estrogen untuk vaginitis atrofik
Terapi Pembedahan : Uretropeksi retroubik atau
endoskopik, perbaikan vagina, sfinger buatan.
3) Inkontinensia overflow
Drainase jangka pendek dengan kateter untuk
memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan
berlebihan, kemudian penggunaan stimulan otot detrusor
jangka pendek (bethanekol ; distigmin). Jika semuanya
gagal, katerisasi interminten yang dilakukan sendiri
(inkontensia overflow neurogenik).
e. Komplikasi inkontinsia urin
1) Ruam kulit atau iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan manifestasi kita
menemukan masalah dengan kulit, karena mereka yang
menderita masalah ini terkait kandung kemih, memiliki
kemungkinan mengembangkan luka, ruam atau semacam
infeksi kulit, karena fakta bahwa kulit mereka overexposed
cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit atau
iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus berhubungan
dengan urin akan iritasi, sakit dan dapat memecah.
2) Infeksi saluran kemih
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih
berulang.
3) Prolapse
Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang
dapat terjadi pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari
vagina, kandung kemih, dan dalam beberapa kasus uretra,
drop-down ke pintu masuk vagina. Lemahnya otot dasar
panggul sering menyebabkan masalah. Prolaps biasanya
perlu diperbaiki dengan menggunakan operasi
2. Jatuh
a. Definisi
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau
saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang
mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih
rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
(Darmojo, 2009).
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek
yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja,
tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan
kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari
penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda
dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh
(Tinetti, 2003).
b. Faktor resiko
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lanjut usia dibagi
dalam dua golongan :
1) Faktor instrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan
mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan
orang lain dalam kondisi yang sama mungkin tidak jatuh
(Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah
gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan
gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah,
kekakuan sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya aliran darah
ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat
dingin, pucat dan pusing.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan
sekitarnya) diantaranya cahaya ruangan yang kurang
terang, lantai yang licin, tersandung benda-benda. Faktor-
faktor ekstrinsik tersebut antara lain lingkungan yang tidak
mendukun. meliputi cahaya ruangan yang kurang terang,
lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak
stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang
rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-
alat bantu berjalan (Darmojo, 2009).
c. Etiologi jatuh
Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh adalah
penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), lantai
yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak
mudah dipegang dan alat-alat atau perlengkapan rumah tangga
yang tidak stabil dan tergeletak di bawah. (Darmojo, 2009).
Menurut Friedman, 1998 adalah kondisi interior rumah
meliputi bagaimana ruangan-ruangan tersebut dilengkapi oleh
perabot, kelayakan perabot, penerangan yang tidak memadai
dan eksterior rumah meliputi lantai, tangga, jeruji dalam
keadaan buruk, tempat obat-obatan tidak terjangkau dan pintu
masuk dan pintu keluar ke rumah tidak terdapat penerangan
dan ruang gerak yang cukup untuk keluar dari rumah, kabel
listrik telanjang di lantai, kolam renang yang tidak dipagari
secara memadai.
d. Komplikasi Jatuh
1) Cedera
Cedera mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa
sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot,
robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya
fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas.
2) Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang
berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan
mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri
dan pembatasan gerak.
3) Kematian
e. Pencegahan
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2009), ada
3 usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
1. Identifikasi faktor resiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu
dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis,
muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang
berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan.
Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan.
Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda
kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang
sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya
diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat
aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin
sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang
mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan
diberi pegangan di dinding.

2. Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)


Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana
keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah
tempat, pindah posisi. Bila goyangan badan pada saat
berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan
latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga
harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak
dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita
mengangkat kak dengan benar pada saat berjalan, apakah
kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk
berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi
bila terdapat kelainan/penurunan.
3. Mengatur/ mengatasi faktor situasional.
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita
lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin
kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional
bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan
perbaikan lingkungan , faktor situasional yang berupa
aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi
kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh
melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai
hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut
usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan
atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.
f. Penatalaksanaan jatuh
Pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga
diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada
kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya
jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktivitas fisik,
penggunaan alat bantu gerak. Untuk penderita dengan
kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan fungsional
terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi
kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu
penderita mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan secara
terus-menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan
status fungsional. Terapi untuk penderita dengan penurunan
gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi
penyebab/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan
dalam program gait training dan pemberian alat bantu berjalan.
Biasanya progam rehabilitasi ini dipimpin oleh fisioterapis.
Penderita dengan dizziness syndrom, terapi ditujukan pada
penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-
obat yang menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker,
diuretic dan antidepresan. Terapi yang tidak boleh dilupakan
adalah memperbaiki lingkungan rumah/tempat kegiatan lanjut
usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2009).
3. Malnutrisi
a. Definisi malnutrisi
Kelemahan nutrisi merujuk pada keadaan yang terjadi pada
usia lanjut karena kehilangan berat badan fisiologis dan
patologis yang tidak disengaja. Anoreksia pada usia lanjut
merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan
makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak
diinginkan (Kane et al., 2008). Pada pasien, kekurangan nutrisi
disebabkan oleh keadaan pasien dengan gangguan menelan,
sehingga menurunkan nafsu makan pasien.
b. Faktor yang mempengaruhi nutrisi pada lansia
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat
kerusakan gigi atau ompong.
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan
penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
3. Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya
menimbulkan konstipasi.
6. Penyerapan makanan di usus menurun.
c. Masalah gizi pada lansia
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara
barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada
waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalai
pada lansia penggunaan kalori berkurang karena
berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit
untuk diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan.
2. Kegemukan
merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya
: penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.
3. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social
ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila
konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan
menyebabkan berat badan kurang dari normal. Apabila hal
ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan
kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki,
akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit
menurun,
4. kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
5. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang
dan ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan
akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun,
kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak
bersemangat.
d. Pemantauan nutrisi pada lansia
1. Penimbangan berat badan
peningkatan BB atau penurunan BB lebih dari 0.5
Kg/minggu. Peningkatan BB lebih dari 0.5 Kg dalam 1
minggu beresiko terhadap kelebihan berat badan dan
penurunan berat badan lebih dari 0.5 Kg /minggu
menunjukkan kekurangan berat badan.
b. Menghitung berat badan ideal pada dewasa :
Rumus : Berat badan ideal = 0.9 x (TB dalam cm – 100)
Catatan untuk wanita dengan TB kurang dari 150 cm dan
pria dengan TB kurang dari 160 cm, digunakan rumus :
Berat badan ideal = TB dalam cm – 100
Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih
Jika BB kurang dari ideal artinya gizi kurang
2. Kekurangan kalori protein
Waspadai lansia dengan riwayat : Pendapatan yang kurang,
kurang bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan
hidup atau teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi
palsu yang kurang tepat, sulit untuk menyiapkan makanan,
sering mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu nafsu
makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan
tidak mengundang selera. Karena hal ini dapat menurunkan
asupan protein bagi lansia, akibatnya lansia menjadi lebih
mudah sakit dan tidak bersemangat.
3. Kekurangan vitanmin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan
paparan sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum
susu, dan kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak
terkandung pada ikan, hati, susu dan produk olahannya.
e. Perencanaan makanan untuk lansia
Perencanaan makan secara umum
1. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang
beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun
dan zat pengatur.
2. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang.
Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga
dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil. Contoh
menu :
Pagi : Bubur ayam
Jam 10.00 : Roti
Siang : Nasi, pindang telur, sup, pepaya
Jam 16.00 : Nagasari
Malam : Nasi, sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, pisang
3. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum
dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan
menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan
kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah
tinggi.
4. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan
makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.
5. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
· Makanlah makanan yang mudah dicerna
· Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-
gorengan
· Bila kesulitan mengunyah karena gigirusak atau gigi palsu
kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang
· Makan dalam porsi kecil tetapi sering
· Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah
sebaiknya diberikan
6. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus
diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus
dan menambah nafsu makan.
7. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan,
hati, telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.
8. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara
dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi makanan yang
digoreng
Perencanaan makan untuk mengatasi perubahan saluran cerna
Untuk mengurangi resiko konstipasi dan hemoroid :
1. Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi
setiap hari, seperti sayuran dan buah-buahan segar, roti dan
sereal.
2. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan
setiap hari untuk melembutkan feses.
3. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin ,
karena pasien akan
menjadi tergantung pada laksatif.
4. Polifarmasi
a. Definisi
Polifarmasi adalah penggunaan obat banyak sekaligus
terhadap pasien, melebihi yang dibutuhkan terkait dengan
perkiraan diagnosis. Pasien yang berusia lanjut biasanya
menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang sering
di derita usia lanjut adalah hipertensi, gagal jantung, dan infark
serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan
fungsi hati, dan ginjal. Juga terdapat berbagai keadaan yang
khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi
kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran.
Semua itu menyebabkan pasien usia lanjut mendapatkan
pengobatan yang relatif banyak jenisnya (Roy dan Varsha,
2005).
Polifarmasi termasuk meresepkan obat melebihi indikasi
klinik, pengobatan mencakup setidaknya satu obat yang tidak
diperlukan, penggunaan empiris 5 obat atau lebih, yang jelas
polifarmasi mengandung risiko lebih besar dari manfaat yang
didapat (Rahmawati, et al., 2006).
b. Kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi
1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas
2. terapi yang sama untuk penyakit yang sama
3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi
4. obat dengan dosis yang tidak tepat
5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek
samping obat
Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat
dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia
memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis
yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis
ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat
menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan
farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).

c. Mekanisme interaksi obat


Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat
lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut:
1. modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi
konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi
farmakodinamik).
2. mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs
aksinya (interaksi farmakokinetik). Interaksi ini penting
secara klinis mungkin karena: indeks terapi obat B sempit
(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan
menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan
sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
3. kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja
konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek
secara substansial).
4. untuk kebanyakan obat, kondisi ni tidak dijumpai,
peningkatan sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat
yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas
keamanannya lebar.
5. sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam
dan batas terapi yang sempit sehingga interaksi obat dapat
menyebabkan masalah, sebagai contoh obat antitrombotik,
antiepilepsi, litium, dan obat-obat imunosupresan (Hashem,
2005).
d. Perubahan pada usia lanjut yang berkaitan dengan
penggunaan obat
Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda
dari pasien usia muda akibat penyakit yang beragam dan
kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi
pada pasien usia lanjut. Proses menua dapat mempengaruhi
farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga berpotensi
interaksi.

e. Reaksi obat
Proses penuaan menyebabkan menurunnya fungsi organ, baik
akibat proses degenerasi yang secara alamiah akan dialami oleh
setiap orang, maupun akibat penyakit yang diderita sebelumnya
(Donatus,1999; Granfinkel, 2007). Absorpsi suatu obat pada
usia lanjut dapat berubah disebabkan adanya perubahan
fisiologis pada usia lanjut, seperti menurunnya sekresi asam
lambung (25 –35%), aliran darah ke saluran cerna, produksi
tripsin pankreatik, gerakan saluran cerna atau waktu
pengosongan lambung dan jumlah sel pengabsopsi. Obat yang
digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke
dalam sistem sirkulasi. Keadaan yang dapat mempengaruhi
absorpsi obat pada usia lanjut antara lain perubahan kebiasaan
makan, tingginya konsumsi obat-obatan non resep (misalnya
antasida, laksansia) dan menurunnya kecepatan pengosongan
lambung (Donatus, 1999; Granfinkel, 2007).
Pada usia lanjut akan terjadi peningkatan lemak tubuh.
Persentasi lemak pada usia dewasa sekitar 8-20% (laki-laki)
dan 33% pada perempuan dan pada usia lanjut meningkat 33%
pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut
akan mempengaruhi distribusi obat plasma, dimana distribusi
obat larut lemak akan meningkat dan distribusi obat larut air
akan menurun (Darmansjah, 1994). Perubahan paling berarti
pada usia lanjut ialah menurunnya fungsi ginjal ditandai
dengan menurunnya Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan
creatinine clearance walaupun tidak terdapat penyakit ginjal
atau kadar creatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi
obat sering berkurang yang mengakibatkan bertambah lamanya
kerja obat. Obat yang mempunyai waktu paruh panjang perlu
diberikan dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya
berbahaya. Pemberian obat pada pasien usia lanjut tanpa
memperhitungkan fungsi ginjal sebagai organ yang akan
mengekskresikan obat akan berdampak pada kemungkinan
terjadinya akumulasi obat sehingga menimbulkan efek toksik
(Anonim, 2012).

f. Pencegahan polifarmasi
1. Penyedia layanan kesehatan harus mengevaluasi aspek
tentang penggunaan obat
2. Hindari obat-obatan yang kurang sesuai
3. Perhatikan riwayat pengobatan sebelumnya sebelum
meresepkan obat yang baru
4. Mendorong penggunakan terapi nonfarmako seperi diet dan
olahraga
5. Review pengobatan secara rutin meliputi terapi yang
sedang dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping,
interaksi, dosis, formulasi obat, dan berapa lama akan
dilakukan.
6. Komunikasi dengan tenaga kesehatan terutama mengenai
ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan
pasien untuk memenuhi aturan pengobatan.
7. Berikan pendidikan kesehatan terhadap pasien dan
keluarganya tentang penggunakan obat
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut.

Darmojo, R. Boedhi.,dkk.1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Darmojo RB, Martono H. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut)
edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Donatus, I.A. (1999). Nasib Obat Pada Diri Lanjut Usia (Lansia). Sigma. 1(1): 1-10

Gallo, Joseph.1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta : EGC

Gardner, H. 2000. A Case Againts Spiritual Intelligence. International Journal for


The Psychology, 10: 27-34.

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical
geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.

Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC

Potter & Perry.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4.Jakarta :EGC

Terrie YC. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in the Elderly.


http://www.pharmacytimes.com

Yulianti.2015.”geriatric sindrom”.malang : fakultas kedokteran

Anda mungkin juga menyukai