Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA


PADA LANSIA

KELOMPOK 3
1. ANIK SULASIH (201901103)
2. DEWI SOFIANA (201901109)
3. HISYAM AL MAHZUMY (201901115)
4. MOHAMMAD HILMY IRAWAN (201901121)
5. WAHID SUBAKTI (201901127)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat serta hidayah-NYA sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
tentang “Makalah Asuhan Keperawata Inkontinensia pada Lansia”. Makalah ini
disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik.
Dengan diselesaikannya makalah ini, penyusun mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini
hingga selesai.
Penyusun sangat berharap makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan
tentang Asuhan Keperawata Inkontinensia pada Lansia. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penyusun dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penyusun berharap semoga
makalah tentang “Makalah Asuhan Keperawata Inkontinensia pada Lansia” ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Pare, Agustus 2020

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................................3
A. Pengertian Inkontinensia........................................................................................3
B. Etiologi Inkotinensia..............................................................................................3
C. Klasifikasi Inkotinensia..........................................................................................5
D. Patofisiologi Inkotinensia.......................................................................................6
E. Manifestasi Klinis Inkotinensia..............................................................................7
F. Diagnosis Inkotinensia...........................................................................................7
G. Penatalaksanaan Inkotinensia.............................................................................9
H. Asuhan Keperawatan Pada Inkontinensia................................................................11
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................24
A. Kesimpulan..........................................................................................................24
B. Saran....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002). Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan
penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina
disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan
diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa
mengalami gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia.
Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnya umur dan
paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedangkan
pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16%
pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian
5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai
20% pada wanita dengan 5 anak.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30%
usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah
berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah
inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi
pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua
mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut
merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi
tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal
proses menua.

1
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,
artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala
gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana
didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian
mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah
membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan
neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga
kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres,
dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia
stres dan desakan secara bersamaan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia pada lansia ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Defenisi Inkotinensia

2. Mengetahui Etiologi Inkotinensia

3. Mengetahui Klasifikasi Inkotinensia

4. Mengetahui Patofisiologi Inkotinensia

5. Mengetahui Manifestasi Klinis Inkotinensia

6. Mengetahui Diagnosis Inkotinensia

7. Mengetahui Penatalaksanaan Inkotinensia

8. Mengetahui Asuhan Keperawatan Inkontinensia pada Lansia

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Inkontinensia

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih


yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis
penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine
adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan
secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.

B. Etiologi Inkotinensia

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada

anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar

panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah,

atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air

seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding

kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,

sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan

gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi

urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

3
1. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika

terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi

antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka

dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan

jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi

feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,

mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan

laksatif.

2. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih

karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti

diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan

cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan

cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

3. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi

urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.

4. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit

kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya

penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan

substitusi toilet.

5. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus

disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang

tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena

penyakit yang dideritanya.

4
6. Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul,

karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),

menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat

menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama

sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar

panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta

robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya

inkontinensia urine.

7. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia


menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang
semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
C. Klasifikasi Inkotinensia
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006) yaitu
:
1. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat untuk berkemih.
2. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan.

5
3. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin
kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
4. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin
yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila
volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
5. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin
tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
D. Patofisiologi Inkotinensia
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi,
antara lain :
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika
Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal
sekitar 300-600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih
diantara 150-350 ml. Berkemih dapat ditundas 1-2 jam sejak
keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih atau
miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan
sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra. Pada orang dewasa
muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia
tidak semua urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang
dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan
adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada peroses penuaan
adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi
jaringan uretra dan efek akibat melahirkan mengakibatkan
penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G Patricia,
2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi
kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan

6
pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih
sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu
menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
E. Manifestasi Klinis Inkotinensia
Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1. Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2. Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3. Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4. Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5. Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin.

F. Diagnosis Inkotinensia
1. Anamnesa
Pada inkontinensia urin pasien datang dengan keluhan sering tidak
dapat menahan kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum

7
sampai dikamar mandi. Pasien juga kadang mengatakansaat tertawa
terbahak, tanpa sadar urin keluar dengan sendirinya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Abdomen
Mengenali adanya kandung kemih yang penuh (fullblast), rasa nyeri,
massa, atau riwayat pembedahan.
b. Pemeriksaan genitalia
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis
c. Pemeriksaan rectum (rectal touche)
Mendapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus
sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbocavernosus, Nodul
prostat.
d. Pemeriksaan Pelvis
Mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus
otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
e. Evaluasi neurologis
Sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksaan
sensasi perineum, tonus otot, dan refleks bulbocavernosus.
Pemeriksaan Neurologis juga perlu untuk mengevaluasi penyakit
seperti : kompresi medulla spinalis dan parkinson disease.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah
buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur
atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100
cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
b. Urinalisis : dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk
mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi
awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

8
1. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea
nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran
kemih bagian bawah
3. Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat
istirahat
4. Imaging tes atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian
atas dan bawah.
5. Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu : Elektrolit, ureum,
creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
6. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan
jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak
inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia
urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon
terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena
dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu
terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

G. Penatalaksanaan Inkotinensia

1. Mempertahankan homeostasis
2. Mengontrol Inkontinensia urin
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.
Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

9
a. melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi
berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk
berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan lansia. Promoted voiding dilakukan dengan
cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
c. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
1.    Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan
berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
2.    Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air
besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan
urethra dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis,
yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

10
Pada sfingter relaks diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
7.    Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia
yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya:
a.    Pampers : dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi
dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka
lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni
keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan
kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
b.    Kateter : menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan
batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan
alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.
Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran
kemih.
c.    Alat bantu toilet : Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan
oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah
baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta
membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

11
H. Asuhan Keperawatan Pada Inkontinensia
1. Pengkajian
A. Data Biografi
Nama : Ny. M
Umur : 60 Tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tinggi badan/berat badan : TB : 150 cm BB : 45 kg
Penampilan umum : Baik
Alamat : Jl. Tanah Merdeka 7
Orang yang mudah dihubungi: Tn. P
Hubungan dengan klien : Anak
Alamat dan telepon : Jl. Tanah Merdeka 7 (021) 8678869
Diagnosa medis : Inkontinensia Urine
B. Riwayat Keluarga
Genogram

Ny.
M 60

Keterangan :
= Meninggal = Laki-laki

12
= Perempuan = Pasien = tinggal serumah
Penjelasan:
Klien anak kedua dari 3 bersaudara. Klien mempunyai riwayat keturunan
hipertensi dari ayahnya yang meninggal karena hipertensi sedang ibunya
meninggal karena sudah tua. Klien tidak memiliki riwayat penyakit
menular, degeneratif, dan obesitas. Klien mempunyai 4 orang anak.
C. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan saat ini : Guru mengaji
Pekerjaan sebelumnya :-
Sumber-sumber pendapatan : uang dari anak-anaknya
Kecukupan terhadap kebutuhan : Cukup
D. Riwayat Lingkungan Hidup
Type tempat tinggal : 16x8 m
Jumlah kamar :2
Kondisi tempat tinggal : Baik
Jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah :3
Derajat privasi : Aman
Tetangga terdekat : Baik
Alamat dan telepon :
E. Riwayat Rekreasi
Hobi/minat :-
Keanggotaan dalam organisasi :-
Liburan/perjalanan :-
F. Sistem Pendukung
Perawat/bidan/dokter/fisioterapi : dokter
Jarak dari rumah : 2 km
Rumah sakit : 6 km
Klinik :-
Pelayanan kesehatan dirumah :-
Makanan yang dihantarkan :-

13
Perawatan sehari-hari yang dilakukan keluarga : keluarga merawat
klien dengan mengganti popok 2x sehari,
G. Deskripsi kekhususan
Kebiasaan ritual : Sholat, membaca Al – Qur’an
Yang lain : Doa-doa yang lain
H. Status Kesehatan
Status kesehatan umum selama lima tahun yang lalu
- Klien mengatakan dua tahun lalu terkena hipertensi dan rutin
mengonsumsi obat diuretik
Keluhan utama
- Provokative/palliative : -
- Quality/quantity :-
- Region :-
- Severity scale :-
- Timming :-
Obat-obatan : obat diuretic, furosemide
Status imunisasi : lengkap
Alergi (obat-obatan/makanan/faktor lingkungan) : tidak ada
Penyakit yang diderita : Hipertensi
I. Aktivitas Hidup Sehari-hari (berdasarkan indeks Katz, disimpulkan
Skore..)

Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz

1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri


2 Berpakaian Seluruhnya tanpa bantuan
3 Pergi ke toilet Memerlukan bantuan
4 Berpindah Tanpa bantuan
(berjalan)
5 BAB dan BAK Kadang-kadang ngompol / defekasi di tempat
tidur
6 Makan Tanpa bantuan

14
Berdasarkan indeks KATZS, pemenuhan kebutuhan ADL klien diskor
dengan C karena berdasarkan pengamatan, klien hanya mampu memenuhi
4 kebutuhan dasar yaitu mandi, berpakaian, berjalan. dan makan
Psikologis
- persepsi klien : persepsi klien terhadap penyakitnya klien
merasa wajar karena sudah tua
- konsep diri : baik karena klien mampu memandang
dirinya secara positif
- emosi : stabil
- adaptasi : klien mampu beradaptasi dengan
baik
- mekanisme pertahanan diri : klien mengatakan lebih senang tinggal
dirumah karena bisa berkumpul dengan anak-anaknya
J. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem)
1. Keadaan umum
Baik, klien tampak bersih
2. Tingkat kesadaran
 Refleks membuka mata (eye): Spontan = 4
 Respon Motorik (motorik):Respon baik dengan perintah: 6
 Respon Verbal (verbal) : Orientasi baik : 5
 Jumlah Nilai GCS = 15
 Interpretasi GCS : Normal (Compos Mentis)
3. Tanda-tanda vital
 TD :180/140 mmHg
 Nadi : 80 kali/menit
 RR : 18 kali/menit
 Suhu : 36,5 ° C
4. Sistem kardiovaskuler
 Inspeksi: ictus cordis pada ICS-5 pada linea medio klavikularis kiri

15
 Palpasi: teraba ictus kordis dengan telapak jari II-III-IV dan lebar iktus
kordis 1 cm
 Perkusi:
- batas atas jantung : ICS 3
-batas kanan : linea midsternalis dextra
-batas kiri : mid aksilaris sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I dan II terkesan murni,tunggal,irama jantung
teratur
5. Sistem pernafasan
 Inspeksi : dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu nafas
 Palpasi : tidak ada pembesaran abnormal, fremitus taktil normal
 Perkusi : bunyi normal, resonan/vesikuler, suara paru ka/ki sama dan
seimbang
 Auskultasi : tidak ada ronkhi, wheezing, krekels basah
6. Sistem integumen
- Inspeksi: tekstur kulit terlihat kendur, keriput (+)
- Palpasi: turgor kulit jelek
- Inspeksi : terdapat ruam kemerahan pada sekitar area genitalia
7. Sistem perkemihan
 Inspeksi : saat ini klien terpasang kateter indwelling
 Palpasi : terdapat distensi pada kandung kemih
8. Sistem muskuloskeletal
 ROM klien baik/penuh
 Ekstremitas atas : Terpasang infuse Rl 2000cc/24 jam pada tangan kanan,
tonus otot baik,kekuatan otot tangan kiri kanan sama yaitu pada skala 5
 Ekstremitas bawah : Kekuatan otot kaki kiri dan kanan sama yaitu pada
skala 5
 Tidak ada nyeri persendian
 Osteoporosis (-), tidak ada kelainan tulang

16
9. Sistem endokrin
- Klien mengatakan tidak menderita kencing manis.
- Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar
10. Sistem immune
- Klien mengatakan sudah lengkap imunisasi
- Riwayat penyakit yang berkaitan dengan imunisasi tidak ada
11. Sistem gastrointestinal
 Bising usus normal pada auskultasi abdomen
 Klien mengatakan tidak ada kesulitan mengunyah makanan
12. Sistem reproduksi
- Klien mempunyai 2 orang anak dari hasil pernikahannya, riwayat berhenti
menstruasi 10 tahun yang lalu.
13. Sistem persyarafan
 N.I (Olfaktorius):fungsi penghiduan/penciuman
Ketika pasien diminta menutup mata dan menutup salah satu lubang
hidung kemudian disuruh untuk menghidu bau kopi, pasien dapat
menyebutkan dengan benar
 N.II (Optikus) fungsi penglihatan
Pasien dapat menyebutkan angka yang ditunjukan pada jarak 2 meter
 N.III,IV,VI(Okulomotorius,Troklearis,Abdusens)
Ukuran pupil kiri kanan sama (Isokor) Refleks cahaya lambat,bola mata
mampu digerakkan ke segala arah.
 N.V (Trigeminus)
Sensorik:Pasien dapat merasakan usapan kapas pada daerah pipi dengan
mata tertutup setelah dilakukan berulang-ulang
Motorik:Terdapat gerakan tonus muskulus maseter ketika pasien disuruh
mengunyah
 N.VII (Fascialis)
Sensorik:Pasien dapat merasakan teh manis yang diberikan
Motorik:Pasien dapat menaikan alis mata dan mengerutkan dahi

17
 N.VIII (Akustikus)
Pasien dapat mendengar detakan jam perawat ketika diletakan dibelakang
telinga
 N.IX (Glossofaringeus)
Kemampuan menelan baik walaupun dilakukan perlahan-lahan ketika
minum air
 N.X (Vagus)
Gerakan uvula saat pasien mengatakan “ah” dan letak uvula di tengah
 N.XI ( Assesorius)
Pasien mampu menggerakan bahu kiri dan kanan dengan perlahan-lahan
 N.XII (Hypoglosus)
Pasien dapat menjulurkan lidah keluar ,dan gerakan lidah mendorong pipi
kiri dan kanan dari arah dalam

K. Pemeriksaan status kognitif/afektif/sosial


1. Status kognitif/afektif
- Short potable mental status questionaire (SPMSQ) dengan skor: 10, fungsi
intelektual utuh
- Mini mental state exam (MMSE) dengan skor: 25, aspek kognitif dari
fungsi mental dalam keadaan baik
- Inventaris depresi beck, dengan skor: 3. Tidak ada tanda-tanda depresi
pada klien.
2. Status sosial
- Apgar keluarga dengan lansia, skor: 8 dimana fungsi social klien dalam
keadaan normal

L. Pemeriksaan Penunjang
- Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
- Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosasitol.

18
Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS : Gangguan Kehilangan
 Klien mengatakan tidak dapat eliminasi kemampuan
menahan jika sudah terasa ingin urin untuk
BAK menghambat
 Klien juga mengatakan saat dia kontraksi
bersin, membungkuk, batuk tiba-tiba kandung
keluar sedikit air kencing kemih
 Keluarga mengatakan Ny. M sering
kencing tanpa disadari (ngompol).
 Sering ngompol terutama malam
hari.

DO :
 Sebelumnya Ny. M ada riwayat
hipertensi 2 tahun lalu dan
mengonsumsi obat diuretik.
 Frekuensi berkemih tiap hari sekitar
15-18x
 Terdapat distensi kandung kemih
DS : Resiko Irigasi
 Klien mengatakan disekitar area kerusakan konstan oleh
genitalia terasa nyeri, panas dan integritas urine
gatal kulit

DO :
 Terdapat iritasi dan ruam kemerahan
pada sekitar area genitalia dan
pangkal paha.

19
 Klien menggunakan popok namun
sehari hanya menggantinya 2x
sehingga terasa lembab
DS : Resiko Intake yang
 Ny.M mengatakan minumnya tiap kekurangan tidak
hari sekitar 200 ml volume adekuat
cairan
DO : tubuh
 Saat dilakukan pengkajian Ny.M
kelembaban bibir kering.
 TB&BB 150cm, 45kg
 Klien terpasang infuse RL 2000cc/24
jam
 output 2100cc, balance cairan 100cc

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih
2) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
3) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
3. Intervensi
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk menghambat kontraksi kandung kemih
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu
mengontrol eliminasi urine.
Kriteria Hasil :
o Mengompol menurun
o Nokturia menurun

20
o Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi Rasional
 Kaji kebiasaan pola berkemih dan  Berkemih yang sering dapat
gunakan catatan berkemih sehari. mengurangi dortongan beri
distensi kandung kemih
 Ajarkan untuk membatasi masukan
cairan pada malam hari.  Pembatasan cairan pada malam
 Ajarkan teknik untuk mencetuskan hari dapat mencegah terjadinya
refleks berkemih (rangsangan enurasis
putaneus dengan penepukan supra  Untuk membantu dan melatih
pubik). pengosongan kandung kemih.
 Berikan penjelasan tentang
pentingnya hidrasi optimal,  Hidrasi optimal diperlukan untuk
sedikitnya 2000cc/hari bila tidak mencegah ISK dan batu ginjal.
ada kontra indikasi.
 Bila masih terjadi inkontinensia  Kapasitas kandung kemih
kurangi waktu antara berkemih mungkin tidak cukup untuk
yang telah direncanakan menampung volume urine
 Kolaborasi dengan dokter dalam sehingga diperlukan untuk lebih
mengkaji efek medikasi dan sering berkemih.
tentukan kemungkinan perubahan
obat, dosis/jadwal pemberian obat
untuk menurunkan frekuensi
inkontinensia.

2. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh


urine
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kulit
periostomal klien kembali normal.
Kriteria Hasil :
o Jumlah bakteri <100.000/ml.
o Kulit periostomal tetap utuh.
o Suhu 37° C.

21
o Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi Rasional
 Pantau penampilan kulit  Untuk mengidentifikasi kemajuan
periostomal setiap 8 jam. atau penyimpangan dari hasil yang
 Ganti wafer stomehesif setiap diharapkan.
minggu atau bila bocor  Peningkatan berat urine dapat
terdeteksi. Yakinkan kulit bersih merusak segel periostomal,
dan kering sebelum memasang memungkinkan kebocoran urine.
wafer yang baru. Potong lubang Pemajanan menetap pada kulit
wafer kira-kira setengah inci periostomal terhadap asam urine
lebih besar dar diameter stoma dapat menyebabkan kerusakan kulit
untuk menjamin ketepatan dan peningkatan resiko infeksi.
ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal.
Kosongkan kantung urostomi
bila telah seperempat sampai
setengah penuh.

3. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang


tidak adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi.
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi Rasional
 Awasi TTV  Pengawasan invasive diperlukan
untuk mengkaji volume
intravascular, khususnya pada
pasien dengan fungsi jantung
buruk.
 Catat pemasukan dan pengeluaran
 Untuk menentukan fungsi ginjal,
kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan caian
 Awasi berat jenis urine
 Untuk mengukur kemampuan
ginjal dalam mengkonsestrasikn
 Berikan minuman yang disukai
urine
sepanjang 24 jam
 Membantu periode tanpa cairan,

22
 Timbang BB setiap hari meminimalkan kebosanan pilihan
yang terbatas dan menurunkan
rasa haus
 Untuk mengawasi status cairan

4. Evaluasi keperawatan
S : - Pasien mengatakan bahwa tidak mengeluarkan urin pada saat bersin dan
tertawa.
- Pasien mengatakan sudah bisa mengontrol berkemih
- Pasien mengatakan jarang BAK di malam hari
O : - Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urin pasien tidak menetes.
- Pasien mengeluarkan urin lebih dari 2 jam sekali.
A :  Masalah teratasi
P :  Masalah teratasi pasien pulang.

23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang
tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Seiring dengan bertambahnya
usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara
lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Manifestasi klinis
inkontinensia antara lain sering miksi, Spasme kandung kemih, aliran konstan
terjadi pada saat tidak diperkirakan, tidak ada distensi kandung kemih,
nokturia dan pengobatan Inkontinensia tidak berhasil, adanya urin menetes
dan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, Sering miksi,
Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur
diagnostik yang diperlukan mempunyai hasil yang baik untuk menegakkan
diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urin persisten yang utama yaitu:
stress inkontinensia, urgency inkontinensia, overflow inkontinensia, dan
fungsional inkontinensia. Penatalaksaanaa konservatif dilakukan pada
inkontinensia urin seperti : Latihan otot dasar panggul (Pelvic Floor
Exersize), Bladder training, habbit training, Promoted voiding, Penggunaan
kateter menetap, dan obat – obatan. Sedangkan penanganan operatif berupa
kolporafi anterior, uretropeksi retropubik, prosedur jarum, prosedur sling
pubovaginal, periuretral bulking agent, dan tension vaginal tape (TVT).

24
B. Saran
Tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan pelayanan yang
professional sehingga dapat berperan dalam pemberian asuhan keperawatan
pada pasien leukemia, oleh karena itu tenaga kesehatan harus meningkatkan
kemampuan, pengetahuan, keterampilan, melalui program pendidikan agar
menjadi tenaga kesehatan yang berkualitas.

25
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol


1. Jakarta: EGC.
Hidayah, a. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi
2). Jakarta: Salemba Medika.
Martono, Hadi. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Purnomo, Basuki. 2009. Dasar – Dasar Urologi Edisi ke IV. Jakarta : CV
Sagung Seto
Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC
Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing
Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai