Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN

MANAGEMENT INKONTINESIA pada LANSIA


Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi

Dosen Pengajar:
Ika Ainur Rofi’ah S.Kep. Ns
Disusun Oleh:
1. Pamela Nanda Agustin
2. Silvy Arifianti
3. Irda Agustin
4. Elok Maulida
5. Yulinda Ayuningtika
6. Utari Dwi Z.A.Y
7. Karlina Rifka W.
8. Nela Aprilia
9. Suci Setyaningsih
10. Eka Cahya Maulida
11. Ananda Nurul Masyitah

PROGRAM STUDI S1-ILMU KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2017

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah–Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Kesehatan Jiwa 1 dengan judul

“LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN


MANAGEMENT INKONTINESIA pada LANSIA
” tepat pada waktunya. Shalawat serta salam kami sanjungkan kepangkuan Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman terang benderang
seperti yang kita rasakan sekarang.
Adapun penyelesaian makalah ini tak luput dari bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ika Ainur Rofi’ah, S. Kep. Ns selaku Dosen Sitem Perkemihan
2. Teman-teman yang ikut serta dalam membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi,
maupun dari segi penulisan, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan tugas ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3Tujuan.......................................................................................................... 1

BAB II : TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi ....................................................................................................... 2
2.2 Klasifikasi................................................................................................... 3
2.3 Etiologi ....................................................................................................... 7
2.4 Patofisiologi ............................................................................................... 9
2.5 Manifestasi Klinik ...................................................................................... 11
2.6 Komplikasi ................................................................................................. 11
2.7 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................. 11
2.8 Penatalaksanaan ......................................................................................... 13
2.9 Konsep Dasar Askep .................................................................................. 13

BAB III Pembahasan


3.1 Pengkajian ................................................................................................. 30
3.1.1 Identitas.......................................................................................... 30
3.1.2 Keluhan Utama.............................................................................. 30
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang......................................................... 30
3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu............................................................. 31
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga.......................................................... 31
3.2 Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 31
3.2.1 Pemeriksaan Umum.......................................................................... 31
3.2.2 Pemeriksaan Khusus......................................................................... 31
3.3 Analisa Data .............................................................................................. 32
3.4 Diagnosa Keperawatan ............................................................................... 33
3.5 Intervensi .................................................................................................... 34

3
BAB IV Penutup
4.1 Kesimpulan................................................................................................... 39
4.2 Saran............................................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... . 40


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang

Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi sewaktu sfringter
uretra internal dan eksternal di dasar kandungan kemih berelaksasi. Derajat regang yang
dibutuhkan untuk menghasilkan efek ini bervariasi pada individu, beberapa individu dapat
mentoleransi distensi lebih besar tanpa rasa tidak nyaman (Gipson,2002).

Inkontinesia urin adalah kondisi abnormaldan lebih banyak mempengaruhi


(perbandingan 2:1) sampai usia 80 tahun, selanjutnya kejadian ini memiliki frekuensi
yang sama pada wanita dan pria(Flathery,2003)dalam Perry,2009 wanita lansia terutama
yang telah meiliki anak biasanya mengalami inkontinesia stress yaitu pengeluaran urin
involunter yang terjadi saat mereka batuk,bersin,atau mengangkat benda. Ini terjadi akibat
melemahnya otot dasar panggul menyebabkan kebocoran urin akibat penakanan (ulmsten
1995 dalam Perry,2009)

Inkontinesia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak terkendali dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya yang mana keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional ,sosial dan higienis bagi penderitanya
(Martin dan Frey,2006). Inkontinesia urin merupakan malasah kesehatan yang sering
terjadi pada wanita terutama usia lanjut, namun secara keseluruhan inkontinesia terjadi
pada laki-laki maupun perempuan, baik anak-anak,dewasa maupun orang tua.
Inkontinesia urin juga jarang dikeluhkan pasien atau keluarga dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabuh untuk diceritakan kepada orang lain maupun dokter,diatas sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinesia urin bukanlah sebuah penyakit,tetapi
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,sosial,psikologi serta dapat
menurunkan kualitas gaya hidup(Soetojo,2009)

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud inkontinensia urin?
b. Apa saja klasifikasi inkontinensia urin?
c. Bagaimana menagemen inkontinensia urin?
d. Bagaiamana asuhan keperawatan pada inkontinensia urin?

1.3 Tujuan
a. Mengetahui apa yang dimaksud inlontinensia urin
b. Mengetahui klasifikasi inkontinensia urin
c. Megetahui bagaiman managemen inkontinensia urin
d. Mengetahui asuhan keperewatan pada inkotinensia urin
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI,
2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine.
(kamus keperawatan). Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 –
30% usialanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.
2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya
dibahas beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
A. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme
penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin,
menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring
atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam
abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat
melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif
perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus
sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari
merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal
dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu
mengejan dapat dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa
diperoleh dengan percobaan Marshall Marchetti. Penderita diminta untuk
berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke
dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti
oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita merasaingin
berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya
seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang
mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada
posisi berbaringt idakterjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada
posisi berdiri dengantungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada
saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan
dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga
sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran
urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapatdisembuhkan dengan
operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan
sistometri,sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan
kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut
terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut
7
ini sekitar 1200. Gambaran ini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan
badan.Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan
masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan
keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan.
Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan
diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan
ginekolog.
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4
pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan
senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan
inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang
semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini
berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah
ventral untuk menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral
menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding
vagina pada periosteum tulang pubis (teknikMarshall-Marchetti); dengan
mengikatkan dinding vagina lebih lateral pada lig. Pouparti (teknikBurch); atau
dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau
bahan yang tidak dapat diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan
seperti ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri
dan pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa
pembentukan sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di
atas, maka pola keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah inkontinensia stres terutama terdiri dari
pembentukan sisa urine segera dalam fase pasca bedah. Biasanya masalah ini
bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan
karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih
suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa
kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah.
Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang
berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
B. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkan dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).
Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot
detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang
(misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut
kandung kemih tak stabil.Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin
miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal
enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang
menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara
inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi
biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi
juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi
karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan
meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan
serviks. Burnett, menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf
pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang,
tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan
ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering
dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan
antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

C. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)


Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika
tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari
distensi kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan
kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh,
sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai
kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten atau
keluar tetes demi tetes. Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen,
seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular,
meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis.
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat
berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara
9
kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui
pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih
maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral.
Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi
sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai
keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh
persarafan simpatis dari ganglion. Pada lesi, terjadi dua jenis gangguan fungsi
kandung kemih yaitu:
1) Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya
lengkung refleks terjadi kelumpuhan flasid pada kandung kemih
dan dasar panggul. Sehingga miksi sebenarnya lenyap.
2) Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral
dan lengkung refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh
pusat yang lebih atas terhadap pusat miksi. Miksi sakral
menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi
refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang
otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat
yang lebih atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan
waktunya dengan otot kandung kemih sehingga miksi yang baik
terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak lengkap
sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.
Terdapat beberapa macam tes untuk memeriksa aktivitas
refleks pada segmen sakral medulla spinalis. Bila ada aktifitas
sakral, mungkin lesi jenis supranuklear.
a. Refleks anus
Kulit di dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi
pada sfingter anus bagian luar membuktikan bahwa refleksini ada. Jari
yang dimasukan di dalam rektum merasakan bahwa sfinger anus
menegang.
b. Refleks bulbokavernosus
c. Sewaktu klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot bulbo
dan iskiokavernosus.
d. Refleks ketok abdomen
Ketokan pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan tegangnya
sfingter ani. Ini dapat diraba dengan jari didalam rektrum.
3) Tes air es
Kandung kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-
90 ml air es. Jika dalam waktu satu menit kateter beserta air es
tertekan keluar lagi, terbukti adanya gangguan fungi kandung
kemih jenis supranuklear.

D. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung
pada waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi,
dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari
sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama
pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan
iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal,
operasi plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri,
semuanya dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk
membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam
rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan
operasi melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi
kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari
pascah bedah, maka penanganannya harus ditunda tiga bulan.Bila jaringan
sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan.

2.3 Etiologi
a. Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
b. Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
11
inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan otot dasar panggul.
c. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM)
d. Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine.
2.4 Patofisiologi

Perubahan Neurologik Perubahan struktur kandung


kemih (degenerative)

Perubahan otot urinari

Gangguan kontrol berkemih

Defisiensi tahanan urethra Tekanan dalam Kandung kemih

Inkontinensia Urine

Inkontinensia Urine Stress


Status kesehatan berubah Inkontinensia Urine Fungsional
Tekanan kandung kemih >
ansietas Otot detrusor tidak stabil tekanan urethra

Reaksi otot berlebihan Tekanan pada rongga


perut

Kencing mendadak Sering kencing di Kencing berulang


Tekanan Kandung kemih
malam hari kali
bocor

batuk bersin tertawa mengedan


Inkontinensia Urine Gangguan Pola
Dorongan Tidur
Rembesan urin

Urin mengiritasi kulit


Mengenai area genitalia

Resiko kerusakan
integritas kulit

Inkontinensia Urine Overflow


Inkontinensia Urine Total

Diabetes, cedera sumsum


Adanya fistula tl. Belakang, saluran
kencing tersumbat

13
Inkontinensia Urine Overflow
Vistula vesiko vaginalis
atau vistula uretrovaginalis

Diabetes, cedera sumsum


tl. Belakang, saluran
Inkontinensia Bedrest kencing tersumbat
Urinarius Total

Immobilitas Gangguan saraf

Otot detrusor lemah


Isolasi Sosial Risiko Infeksi Defisit Perawatan
Diri
Urin di kandung kemih

Kapasitas urin di kandung


kemih berlebih

Tidak puas setelah Urin yg keluar Pancaran lemah


BAK berlebih

Gangguan Rasa Nyaman Inkontinensia Urinarius


Aliran Berlebih
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml).
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.6 Komplikasi
a. Meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan.
b. Meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus-menerus.
c. Komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh darah
dan nervus.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi ekskretorik
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
e. Kateterisasi residu pascakemih

15
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
2.8 Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar panggul Latihan penyesuaian berkemih Obat-obatan
untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat
muara kandung kemih.
a. Inkontinensia urgensi
1) Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaianya.
2) Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen.
3) Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain
keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian
bawah.
4) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak
mungkin secara menetap.
5) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
b. Inkontensia overflow
1) Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak
mungkin secara menetap.
2) Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan.
c. Inkontinensia tipe fungsional
1) Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan
kebiasaan berkemih.
2) Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
3) Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih.
4) Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung
kemih.

2.9 Konsep Dasar Askep


Manajemen Perawatan pada Inkontinensia Urin
Menejemen keperawatan untuk mengatasi inkontinensia urin terdiri dari pengkajian,
perubahan perilaku, penggunaan alat bantuan, modifikasi diet, dan edukasi.
Pengkajian
Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI, dari pengkajian kita dapat
menyimpulkan penyebab utama UI dan menejemen yang tepat untuk setiap klien.
1. Riwayat Kesehatan Klien
Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien dengan UI meliputi :

17
a. Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap masalah saat
berkemih, ketidak mampuan menahan kencing, kebocoran urin, penggunaan
absorbent.
b. Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk mengetahui ini pertanyaan
yang harus di jawab klien adalah berapa kali klien BAK dalam satu hari,
berapa lama klien dapat melakuka aktivitas antara waktu berkemih.
c. Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
d. Obat-obatan yang dikonsumsi
e. Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
f. Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan berkemih yang
kuat
g. Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan penampungan bladder seperti
frequency, urgency, nocturia
h. Tanda gejala pada setiap berkemih seperti intermittency, pancaran kencing
lemah, tetesan urin pada akhir berkemih, mengejan
i. Riwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkjian ini fungsi seksual juga menjadi
unsur yang harus dikaji pada klien untuk mengetahui kemungkinan kebocoran
uring saat melakukan hubungan seksual (Chin, 2001).

b. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan fungsional
meliputi kemampuan klien untuk melakukan mobilisasi, kesadaran dan
ketangkasan. Metode yang dapat digunakan untuk menguji klien adalah
dengan meminta klien berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta
klien berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.
b. Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas yang berpengaruh
langsung terhadap UI
c. Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat
fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul yang sangat
berperan saat berkemih. Metode yang digunakan adalah dengan meminta klien
mengkontraksikan dan merilekskan bagaian otot dasar panggul. Pengkajian ini
juga dapat dilakukan dengan komputer yaitu dengan elektomyography dan
pemeriksaan tekanan dengan menggunakan Probe yang sensitif dengan
memasukkan probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya adalah antara 35-42
cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat adanya lesi atau
ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
e. Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal untuk
memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji adanya massa atau tumor.
Sedangkan pada laki-laki digital rektal examibation (DRE) berfungsi untuk
mengetahui adanya massa atau pembesaran prostat (Chin, 2001).
3. Observasi kebocoran urin secara langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk batuk saat bladder dalam keadaan
penuh sehingga dapat diamati terjadinya UI. Kebocoran urin saat batuk dapat diamati pada
saat klien dalam posisi supine atau berdiri.

4. Mengukur volume residu bladder


Pengukuran dilakukan setelah klien berkemih atau Post Voided Residual (PVR) dengan
mengeluarkan sisa urin dengan menggunakan kateter atau dengan menggunakan scan
bladder. Residu bladder normal adalah kurang dari 50 ml, residu yang lebih dari 100 ml
menunjukkan adanya pengosongan bladder ang tidak adekuat (Hocking, 1999)

5. Voiding Diary (Bladder Chart)


Voiding diary sangat penting untuk mencatat pola eliminasi urin dan pola kebocoran urin.
Voiding diary harus dilakukan pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat
berbagai macam bentuk voiding diary, penggunaannya tergantung pada informasi yang
diinginkan saat pengkajian, kemampuan dan kepatuhan klien untuk mengisi. Semakin
detail dan lengkap isi diary maka data yang didapat semakin akurat namun biasanya klien
merasa lebih rumit dalam pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi voiding diary.
Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah dibawa klien dalam setiap aktivitas.
Pencatatan dilakukan antara 7-14 hari sehingga dapat memberikan hasil yang reliabel.
Dalam beberapa praktik yang dilakukan pencatatan selama 1-3 hari cukup untuk merekam
masalah UI pada. Dalam beberapa voiding diary selain waktu berkemih dan kebocoran
urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai data dasar mengukur kapasitas bladder dan
jumlah intake cairan per 24 jam klien (Gray & Moore dalam Doughty,2006).

Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas Bladder:

Waktu Jumlah urin Kebocoran Jumlah konsumsi

19
Tabel 2. Contoh Voiding Diary versi simple

Waktu Senin Selasa Rabu Kamis


BAK BOCOR BAK BOCOR BAK BOCOR BAK BOCOR

6.Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan UI. Pemeriksaan
bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin yang dapat
berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein. Pemeriksaan lain yang
harus disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah kultur
urin (Chan, 1999).

b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya komplikasi sistemik.
Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan Ureum Creatinin pada klien
dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).

7. Pengkajian efek UI pada Quality Of Life (QOL)

Pengkajian efek UI terhadap QOL klien dapat direkam dengan menggunakan


berbagai instrument pengkajian Incontinence Impact Quostionare (IIQ) dikelurakan oleh
Kennedy (1992), instrumen ini sudah mengalami beberap revisi. Instrumen yang lain UDI
(Urogenital distress Inventory) berisi 19 pertanyaan yang terkait dengan 1) hubungan
LUTS dengan Overactive Bladder; 2) hubungan LUTS denga Stress UI; 3) hubungan
ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi Pelvis. Instrumen yang sering digunakan
adalah International Prostate Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk
mengetahui sejauh mana klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA dapat digunakan pada
wanita.

8. Pengkajian lingkungan dan Fasilitas


Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahan klien mencapai toilet, pencahayaan,
kondisi lantai, alat bantu klien untuk mencapai tempat tidur. Fasilitas yang dapat dikaji
adalah ketersediaan alat bantu UI seperti Absorbent, kateter, padding dan penggunaan
urinal (Kennedy, 1992).
9. Urodinamik
Adalah pemeriksaan untuk melihat transportasi, penyimpanan dan eliminasi urin pada
saluran kemih bagian tengan atau bawah.

10. Endoskopi dan Pencitraan


Endoskopi untuk melihat kemungkinan adanya tumor epitel, divertikel yang dapat
menyebabkan sumbatan pada saluran kemih.

21
Intervensi Perilaku

1. Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)

a. Jadwal berkemih, jadwal direkomen-dasikan disusun untuk satu hari penuh. Dengan
menggunakan jadwal berkemih klien diharapkan lebih patuh terhadap waktu berkemih
yang telah disepakati. Interval berkemih pada umumnya setiap 2 jam.
b. Latihan merubah kebiasaan
Merupakan latihan penyesuaian antara kebiasaan klien berkemih dengan jadwal yang
telah tersusun. Hal-hal yang disesuaikan antara lain adalah frekuensi, volume, pola
kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan latihan penyesuaian diharapkan klien
dapat mempunyai pola baru.

c. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk menahan atau
mengatur BAK). Bisikan untuk BAK dilakukan setiap interval 2 jam. Tindakan ini
direkomendasikan untuk klien yangmengalami penurunan sensori untuk merasakan
regangan pada bladder dan penurunan rangsangan berkemih. Pada pasien yang
mengalami kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil melakukan
BAK maka diberi reward berupa umpan balik positif (Hay-Smith et al, 20020.

2. Bladder training/ bladder re-education


Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang mengalami Inkontinensia
Urge atau overactive Bladder (OAB) dan bisa juga dilakukan untuk pasien dengan stress
inkontinensia. Latihan yang dilkukan dalam bladder training adalah menunda berkemih
sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk melatih fungsi bladder dalam
menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam penelitian terdapat perbaikan pada klien UI
dengan bladder training sebesar 10-15 % (Roe et al, 2002; Chin, 2001; NIH, 1988).
Terdapat persyaratan untuk klien yang akan menjalani bladder training, klien mampu
secara fisik, kognitif dan memiliki motivasi untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan
adalah klien harus mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya klien
diminta untuk menahan keinginan berkemih dengan melakukan relaksasi atau distraksi
sampai dengan interval waktu yang disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan
waktu beberapa bulan sehingga memperlihatkan perubahan pada klien.
3. Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaikai stress inkontinensia.
Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot periuretra dan otot dasar
pelvis. Pasien yang dapat melakukan latihan ini sebaiknya memiliki beberapa kriteria
seperti :

1) kondisi anatomi normal dan intact

2) tidak terdapat organ pelvis yang prolaps

3) kekuatan dan kontraktilitas otot cukup. Terdapat 5 tahapan dalam latihan ini (terlampir).
Beberapa alat telah diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul seperti;
vaginal cone, stimulasi electrik, Biofeedback dan extracorporeal Magnetic Innervation
therapy (Doughty, 2006).

23
Pengukuran dan Dukungan Perawatan

1. Kateter urin intermiten


Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien dengan UI fungsional, UI
Neurogenik atau Reflek, atau klien yang mengalami penurunan kemampuan kognitif
(Doughty,2006). Tujuan tindakan ini adalah untuk mencegah kerusakan pada otot detrusor
sebagai akibat regangan yang berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan
intermitent kateter dilakukan setiap 3-6 jam.

2. Indwelling urinary catheterization


Indwelling urinary catheter jarang digunakan pada pasien UI. Menurut CDC dan AHCR
indwelling catheter diindikasikan pada : 1) klien yang mengalami retensi urin dan tidak
dapat dikelola; 2) pada klien dengan penyakit terminal dan parah; 3) pasien yang
mengalami ulkus dekubitus stage 3 atau 4 dilakukan sampai luka sembuh; 4) pasien UI
yang dirawat dirumah dan caregiver tidak dapat membantu toileting. Perlu diperhatikan
tanda-tanda ISK pada pasien dengan indwelling kateter (Doughty,2006).

3. External collection systems


External collection system digunakan oleh klien laki-laki, secara umum dibagi dua yaitu
peralatan kompresi uretra dan external kateter. Peralatan kompresi uretra menahan urin
dengan melakukan penekanan pada korpus spongiosum, terdapar dua tipe alat yaitu penile
clamp dan inftable compression cuff. Alat ini jarang digunakan karena adanya risiko
iskemia pada penis, prosedur ini biasanya dilakukan pada pasien yang dapat mengerti dan
dapat menjalankan prosedur pengosongan setiap 3 jam. External catheter atau komdom
kateter merupakan alat yang sering menjadi pilihan pada klien laki-laki dibanding
absorbent dan indwelling kateter. Klien yang menggunakan alat ini harus memiliki kulit
penis yang intact (Jayachandran et al, 1985).

Absorbent products

Absorbent products digunakan untuk mencegah kebocoran pada saat klien beraktivitas
sosial atau pada klien dengan UI yang tidak dapat dikelola. Terdapat dua tipe absorben
yaitu : underpads atau bedpads dan bodyworn product. Risiko yang terjadi pada
pengguanaan absorbent adalah maserasi dan iritasi perineal. Sehingga direkomendasikan
untuk menggunakan pelindung kulit seperti cream atau oinment (Jayachandran et al, 1985).

4. Perawatan Kulit
Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya
kerusakan kulit atau terjadinya ulkus dekubitus. Metode yang dilkukan pada perawatan
kulit (Kennedy, 1992)
a. Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b. Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c. Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit perineal.
5. Manajemen diet dan cairan
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan dan makanan berserat.
Klien dianjurkan untuk mengurangi minuman yang mengandung kafein, minuman
karbonasi, jenis minuman lain yang dapat meningkatkan rangsang berkemih lebih cepat.
Peningkatan makan berserat sangat penting untuk klien guna mencegah terjadinya
konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi factor predisposisi terjadinya UI karena adanya
penekanan pada bladder dalam jangka waktu lama.
6. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah mencapai toilet sehingga
tidak terjadi kebocoran. Berikan pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak mudah licin.
Sediakan peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur agar mudah dijangkau.

Pendidikan

1. Pendidikan pasien dan caregiver


Tekankan pada klien bahwa UI adalah kondisi yang dapat diatasi dan dikelola. pendidikan
yang diberikan pada klien dan caregiver sangat spesifik sesuai dengan permaslahan
masing-masing klein. pendidikan harus melibatkan caregiver dan orang terdekat sehingga
klien mendapat dukungan dalam menjalankan terapi secara disiplin. pendidikan yang
dibrikan pada klien dapat mengurangi dan mencegah terjadinya gangguan fisik, psikologis,
dan kognitif klien (Patricia et al, 1996; Rigby, 2001).
2. Pendidikan keperawatan
Untuk memeneg gangguan yang spesifik pada klien sangat dibutuhkan perawat yang
spesialistik dibidang tersebut, sehingga untuk dapat mengelola UI secara konprehensif
diperlukan pendidikan berkelanjutan bagi perawat. Salah satu pendidikan berkelanjutan
untuk area ini adalah sertifikasi perawat kontinen (Doughty, 2006).

Penjaminan Kualitas
25
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan, perawat harus dapat mengidentifikasi
implikasi tindakan yang dilkukan, memberikan pelatihan pada perawat baru dan
mengidentifikasi kebutuhan pendidikan pada klien (Doughty, 2006).

1. Parameter evaluasi
Dalam perawatan klien UI indikator yang dapat diukur untuk menilai keberhasilan
menegemen pada UI . indikator ini dapat dilihat dari Insiden terjadinya UI selama masa
perawatan dilihat dari :
a. Proporsi Penerapan behavioural intervention pada klien UI yang dirawat di RS
b. Proporsi latihan otot dasar pelvis pada klien UI
c. Pendidikan berkelanjutan untuk perawat spesifik di bidang inkontinensia
• Jumlah perawat yang direncanakan mengikuti sertifikasi inkontinensia
• Proporsi perawat yang telah mengikuti sertifikasi inkontinensia, mampu dan
berwenang untuk mengevaluasi dan memeneg UI.

6.Voiding Diary (Bladder Chart)


Voiding diary sangat penting untuk mencatat pola eliminasi urin dan pola kebocoran urin.
Voiding diary harus dilakukan pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat
berbagai macam bentuk voiding diary, penggunaannya tergantung pada informasi yang
diinginkan saat pengkajian, kemampuan dan kepatuhan klien untuk mengisi. Semakin
detail dan lengkap isi diary maka data yang didapat semakin akurat namun biasanya klien
merasa lebih rumit dalam pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi voiding diary.
Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah dibawa klien dalam setiap aktivitas.
Pencatatan dilakukan antara 7-14 hari sehingga dapat memberikan hasil yang reliabel.
Dalam beberapa praktik yang dilakukan pencatatan selama 1-3 hari cukup untuk merekam
masalah UI pada. Dalam beberapa voiding diary selain waktu berkemih dan kebocoran
urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai data dasar mengukur kapasitas bladder dan
jumlah intake cairan per 24 jam klien (Gray & Moore dalam Doughty,2006).
Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas Bladder:

Waktu Jumlah Urin Kebocoran Jumlah


Konsumsi

Tabel 2. Contoh Voiding Diary versi simple

Waktu Senin Selasa Rabu Kamis


BAK Bocor BAK Bocor BAK Bocor BAK Bocor

7. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan UI.
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin
yang dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus, bakteri, protein.
Pemeriksaan lain yang harus disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi
saluran kemih adalah kultur urin (Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya komplikasi
sistemik. Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan Ureum
Creatinin pada klien dengan obstruksi dan memiliki komplikasi hidronefrosis
(Chan, 1999).

27
7. Pengkajian efek UI pada Quality Of Life (QOL)

Pengkajian efek UI terhadap QOL klien dapat direkam dengan menggunakan


berbagai instrument pengkajian Incontinence Impact Quostionare (IIQ)
dikelurakan oleh Kennedy (1992), instrumen ini sudah mengalami beberap revisi.
Instrumen yang lain UDI (Urogenital distress Inventory) berisi 19 pertanyaan
yang terkait dengan 1) hubungan LUTS dengan Overactive Bladder; 2) hubungan
LUTS denga Stress UI; 3) hubungan ketidaknyamanan pada saat berkemih dan
kodisi Pelvis. Instrumen yang sering digunakan adalah International Prostate
Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk mengetahui sejauh mana klien
BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk mengetahui derajat
pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA dapat digunakan pada wanita.

10. Pengkajian lingkungan dan Fasilitas


Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahan klien mencapai toilet,
pencahayaan, kondisi lantai, alat bantu klien untuk mencapai tempat tidur.
Fasilitas yang dapat dikaji adalah ketersediaan alat bantu UI seperti Absorbent,
kateter, padding dan penggunaan urinal (Kennedy, 1992).
11.Urodinamik
Adalah pemeriksaan untuk melihat transportasi, penyimpanan dan eliminasi urin
pada saluran kemih bagian tengan atau bawah.

10. Endoskopi dan Pencitraan


Endoskopi untuk melihat kemungkinan adanya tumor epitel, divertikel yang
dapat menyebabkan sumbatan pada saluran kemih.
Intervensi Perilaku

1. Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)


a. Jadwal berkemih, jadwal direkomen-dasikan disusun untuk satu hari
penuh. Dengan menggunakan jadwal berkemih klien diharapkan lebih
patuh terhadap waktu berkemih yang telah disepakati. Interval berkemih
pada umumnya setiap 2 jam.
b. Latihan merubah kebiasaan
Merupakan latihan penyesuaian antara kebiasaan klien berkemih dengan
jadwal yang telah tersusun. Hal-hal yang disesuaikan antara lain adalah
frekuensi, volume, pola kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan
latihan penyesuaian diharapkan klien dapat mempunyai pola baru.

c. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk


menahan atau mengatur BAK). Bisikan untuk BAK dilakukan setiap
interval 2 jam. Tindakan ini direkomendasikan untuk klien yang
mengalami penurunan sensori untuk merasakan regangan pada bladder
dan penurunan rangsangan berkemih. Pada pasien yang mengalami
kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil
melakukan BAK maka diberi reward berupa umpan balik positif (Hay-
Smith et al, 20020.
2. Bladder training/ bladder re-education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
Inkontinensia Urge atau overactive Bladder (OAB) dan bisa juga dilakukan untuk
pasien dengan stress inkontinensia. Latihan yang dilkukan dalam bladder training
adalah menunda berkemih sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk
melatih fungsi bladder dalam menampung urin sesuai ukuran normal. Dalam
penelitian terdapat perbaikan pada klien UI dengan bladder training sebesar 10-15
% (Roe et al, 2002; Chin, 2001; NIH, 1988). Terdapat persyaratan untuk klien
yang akan menjalani bladder training, klien mampu secara fisik, kognitif dan

29
memiliki motivasi untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan adalah klien harus
mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya klien diminta untuk
menahan keinginan berkemih dengan melakukan relaksasi atau distraksi sampai
dengan interval waktu yang disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan
waktu beberapa bulan sehingga memperlihatkan perubahan pada klien.

3. Latihan otot dasar panggul


Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaikai stress
inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot
periuretra dan otot dasar pelvis. Pasien yang dapat melakukan latihan ini
sebaiknya memiliki beberapa kriteria sepert : 1) kondisi anatomi normal dan
intact; 2) tidak terdapat organ pelvis yang prolaps; 3) kekuatan dan kontraktilitas
otot cukup. Terdapat 5 tahapan dalam latihan ini (terlampir). Beberapa alat telah
diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul seperti; vaginal cone,
stimulasi electrik, Biofeedback dan extracorporeal Magnetic Innervation therapy
(Doughty, 2006).

Pengukuran dan Dukungan Perawatan

a. Kateter urin intermiten


Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien dengan
UI fungsional, UI Neurogenik atau Reflek, atau klien yang mengalami
penurunan kemampuan kognitif (Doughty,2006). Tujuan tindakan ini
adalah untuk mencegah kerusakan pada otot detrusor sebagai akibat
regangan yang berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan
intermitent kateter dilakukan setiap 3-6 jam.

b. Indwelling urinary catheterization


Indwelling urinary catheter jarang digunakan pada pasien UI.
Menurut CDC dan AHCR indwelling catheter diindikasikan pada : 1)
klien yang mengalami retensi urin dan tidak dapat dikelola; 2) pada
klien dengan penyakit terminal dan parah; 3) pasien yang mengalami
ulkus dekubitus stage 3 atau 4 dilakukan sampai luka sembuh; 4)
pasien UI yang dirawat dirumah dan caregiver tidak dapat membantu
toileting. Perlu diperhatikan tanda-tanda ISK pada pasien dengan
indwelling kateter (Doughty,2006).

c. External collection systems


External collection system digunakan oleh klien laki-laki,
secara umum dibagi dua yaitu peralatan kompresi uretra dan external
kateter. Peralatan kompresi uretra menahan urin dengan melakukan
penekanan pada korpus spongiosum, terdapar dua tipe alat yaitu penile
clamp dan inftable compression cuff. Alat ini jarang digunakan karena
adanya risiko iskemia pada penis, prosedur ini biasanya dilakukan
pada pasien yang dapat mengerti dan dapat menjalankan prosedur
pengosongan setiap 3 jam. External catheter atau komdom kateter
merupakan alat yang sering menjadi pilihan pada klien laki-laki
dibanding absorbent dan indwelling kateter. Klien yang menggunakan
alat ini harus memiliki kulit penis yang intact (Jayachandran et al,
1985).

Absorbent products
Absorbent products digunakan untuk mencegah kebocoran pada saat klien
beraktivitas sosial atau pada klien dengan UI yang tidak dapat dikelola. Terdapat
dua tipe absorben yaitu : underpads atau bedpads dan bodyworn product. Risiko
yang terjadi pada pengguanaan absorbent adalah maserasi dan iritasi perineal.
Sehingga direkomendasikan untuk menggunakan pelindung kulit seperti cream
atau oinment (Jayachandran et al, 1985).

31
4. Perawatan Kulit
Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menurunkan risiko
terjadinya kerusakan kulit atau terjadinya ulkus dekubitus. Metode yang dilkukan
pada perawatan kulit (Kennedy, 1992) :
a. Inspeksi kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal.
b. Bersihkan kulit segara bila terken bocoran urin atau feses.
c. Gunakan pembersih kulit dan cream untuk melindungi kulit perineal.
5. Manajemen diet dan cairan
Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan dan makanan
berserat. Klien dianjurkan untuk mengurangi minuman yang mengandung kafein,
minuman karbonasi, jenis minuman lain yang dapat meningkatkan rangsang
berkemih lebih cepat. Peningkatan makan berserat sangat penting untuk klien guna
mencegah terjadinya konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya UI karena adanya penekanan pada bladder dalam jangka
waktu lama.

7. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah mencapai toilet
sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan pencahayaan yang cukup, lantai yang
tidak mudah licin. Sediakan peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur
agar mudah dijangkau.

Pendidikan

2. Pendidikan pasien dan caregiver


Tekankan pada klien bahwa UI adalah kondisi yang dapat diatasi dan dikelola.
pendidikan yang diberikan pada klien dan caregiver sangat spesifik sesuai dengan
permaslahan masing-masing klein. pendidikan harus melibatkan caregiver dan
orang terdekat sehingga klien mendapat dukungan dalam menjalankan terapi
secara disiplin. pendidikan yang dibrikan pada klien dapat mengurangi dan
mencegah terjadinya gangguan fisik, psikologis, dan kognitif klien (Patricia et al,
1996; Rigby, 2001).

3. Pendidikan keperawatan
Untuk memeneg gangguan yang spesifik pada klien sangat dibutuhkan
perawat yang spesialistik dibidang tersebut, sehingga untuk dapat mengelola UI
secara konprehensif diperlukan pendidikan berkelanjutan bagi perawat. Salah satu
pendidikan berkelanjutan untuk area ini adalah sertifikasi perawat kontinen
(Doughty, 2006).

Penjaminan Kualitas
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan, perawat harus dapat
mengidentifikasi implikasi tindakan yang dilkukan, memberikan pelatihan pada
perawat baru dan mengidentifikasi kebutuhan pendidikan pada klien (Doughty,
2006).
2. Parameter evaluasi
Dalam perawatan klien UI indikator yang dapat diukur untuk menilai
keberhasilan menegemen pada UI . indikator ini dapat dilihat dari Insiden
terjadinya UI selama masa perawatan dilihat dari :
a. Proporsi Penerapan behavioural intervention pada klien UI yang dirawat di RS
d. Proporsi latihan otot dasar pelvis pada klien UI
e. Pendidikan berkelanjutan untuk perawat spesifik di bidang inkontinensia
• Jumlah perawat yang direncanakan mengikuti sertifikasi inkontinensia
• Proporsi perawat yang telah mengikuti sertifikasi inkontinensia, mampu
dan berwenang untuk mengevaluasi dan memeneg UI

33
BAB III
PEMBAHASAN

Triger case :

Ny.T umur 60 tahun datang ke Rumah Sakit Sakinah diantar oleh keluarganya
dengan keluhan ingin buang air kecil (BAK) terus-menerus dan tidak bisa ditahan
sampai ke toilet. Ny.T mengatakan kencingnya lebih dari 5 kali dalam sehari.
Ny.T mengeluh sulit tidur pada saat malam hari. Ia juga mengatakan lecet-lecet
pada kulit disekitar paha dan bokong. Klien mengatakan malu apabila keluar
rumah, karena mengompol dan bau air kencingnya menyengat, sehingga lebih
sering berdiam diri dirumah. Klien pernah opname dirumah sakit tapi dengan
keluhan diare pada 5 bulan yang lalu. Ny.T mengatakan mempunyai riwayat
penyakit keturunan yaitu diabetes melitus. Setelah dilakukan pemeriksaan
didapatkan TTV dengan kesadaran : komposmetis, TD : 130/80 mmHg, N: 78 x/
menit, S: 370C, pernafasan 18 x/menit, CRT<2 detik. BB 48 kg dengan tinggi
badan 152 cm dan GDA 280 mg/dl. Ny.T direncanakan untuk Terapi Latihan
Senam Kegel.

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Nama : Ny.T
Umur : 60 Tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
3.1.2 Keluhan Utama
Pasien mengatakan ingin buang air kecil (BAK) terus-menerus.
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RS Sakinah dengan keluhan ingin buang air kecil
(BAK) terus-menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet.
3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan pernah opname dirumah sakit tapi dengan keluhan
diare pada saat 5 bulan yang lalu.
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan mempunyai riwayat keturunan dari keluarganya yaitu
penyakit diabetes mellitus.
3.2 Pemeriksaan Fisik
3.2.1 Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Komposmetis
TTV :
TD :130/80 mmHg
N : 78 x/ menit
RR : 18 x/ menit
S : 370C
3.2.2 Pemeriksaan Khusus (Body System)
 B1 (Breathing)
o Inspeksi bentuk dada simetris
o Tidak ada nyeri dada
o RR 18 x/menit
 B2 (Blood)
o Tekanan darah 130/80 mmHg
o Nadi 78x/menit
o Gula darah sewaktu 280 mg/dl
o CRT<2 detik
 B3 (Brain)
o Ny S tingkat kesadaran komposmetis
o Ny S tampak lemas
 B4 (Bladder)
o Poliuri: Banyak buang air kecil
o Kebersihan: negatif
o Warna urine kuning pekat

35
o Bau menyengat
 B5 (Bowel)
o BB 48 kg
 B6 (Bone)
o Ny S terlihat lemah
o Kekuatan otot 5 5
5 5
3.3 Analisa Data

No. Kelompok Data Etiologi Masalah


1. DS: pasien mengatakan ingin Penurunan system Inkontinensia Urine
perkemihan
buang air kecil (BAK) terus- Fungsional
menerus dan tidak bisa ditahan Terjadi pengisihan
kandung kemih
sampai ke toilet.
DO: Ny.T direncanakan untuk Otot distruksi
relaksasi
terapi latihan senam kegel.
- TTV: Volume daya
tamping membesar
TD: 130/80 mmHg
S: 370C Distrimulasi lewat
serabut refleks
N: 78 x/menit
eferen
RR: 18 x/menit
Spingter eksterernal
- Kadar glukosa sewaktu:
relaksasi
280 mg/dl
Isi kandung kemih
- Ny.T tampak ingin
keluar
berkemih
Inkontinensia urine
2. DS: pasien mengatakan sulit tidur Otot dekstrusi tidak Gangguan Pola Tidur
pada saat malam hari. stabil
DO:- ketidakpuasan tidur
- Ny.T tidak merasa cukup Reaksi otot berlebih
istirahat
- mata tampak cowong Sering kencing di
- mata tampak merah malam hari

Gangguan Pola
Tidur

3. DS: pasien mengatakan lecet-lecet Tekanan kandung Kerusakan Intergritas


pada kulit disekitar paha dan kemih Kulit
bokong.
DO: Nampak kemerahan pada kulit Rembesan urine
sekitar paha dan pantat.
Urine mengiritasi
kulit diarea genetalia

Kerusakan
Intergritas Kulit

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Inkontinensia urine fungsional berhubungan dengan kelemahan otot
pelvis.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan inkontinensia urine.
3. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan Frekuensi urine
berlebih ditandai dengan kemerahan pada kulit sekitar paha dan pantat.

37
3.5 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Inkontinensia urine fungsional NOC NIC
Definisi: Ketidakmampuan individu Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor integritas kulit
keperawatan selama 1x 24
yang biasanya kontinen, untuk pasien.
jam diharapkan pola
mencapai toilet tepat waktu untuk eliminasi pasien normal dan 2. Kaji kemampuan urgensi
teratasi
berkemih yang mengalami dan berkemih pasien.
Kriteria hasil
pengeluaran urine yang tidak 3. Instruksi pasien untuk
1. Mengosongkan
disengaja. menahan otot-otot
kantong kemih
Batasan karakteristik: disekiat uretra dan anus,
sepenuhnya
1. Berkemih sebelum mencapai disekitar uretra dan anus,
2. Mengenali keinginan
toilet kemudian relaksasi,
untuk berkemih
2. Inkontinensia urine sangat seolah-olah ingin
3. Kejernihan urin
dini menahan buang air kecil
4. Jumlah urine normal
3. Sensasi ingin berkemih dan buang air besar.
(500-1.500 cc/24
4. Mengosongkan kandung 4. Instruksikan pasien untuk
jam)
kemih dengan tuntas tidak mengkontraksikan
Faktor yang berhubungan: perut, pangkal paha dan
1. Keterbatasan neuromuskular pinggul, menahan nafas
atau mengejan selama
latihan.
5. Yakinkan bahwa pasien
mampu membedakan
kontraksi menahan dan
relaksasi yang berbeda
antara keinginan untuk
meninggikan dan
memasukkan kontraksi
otot dan usaha yang tidak
diinginkan untuk
menurunkan.
6. Instruksikan pasien untuk
melakukan latihan
pengencangan otot,
dengan melakukan 300
kontraksi setiap hari,
menahan kontraksi
selama 10 detik, dan
relaksasi selama 10 menit
diantara sesi kontraksi,
sesuai dengan protocol.
7. Identifikasi factor apa saja
penyebab inkontinesia
pada pasien (misalnya;
urine akut, pola berkemih,
pola kognitif, masalah
perkemihan, residu paska
berkemih, dan obat-
obatan).
8. Jaga privasi klien saat
berkemih.
9. Jelaskan penyebab
terjadinya inkontinesia
dan rasionalisasi setiap
tindakan yang dilakukan.
10. Monitor eliminasi urine,
meliputi frekuensi,
konsistensi, bau, volume
dan warna urine.
11. Diskusikan bersama
pasien mengenai prosedur

39
tindakan dan target yang
diharapkan.
12. Bantu pasien untuk
memilih diapers atau
popok kain yang sesuai
untuk penangganan
sementara selama
pengobatan sedang
dilakukan.
13. Bersihkan kulit sekitar
area genetalia secara
terartur.
14. Selanjutnya berikan obat-
obatan diuretic sesuai
jadwal minimal untuk
mempengaruhi irama
sirkandian tubuh.
15. Intruksikan pasien minum
minimal 1500cc air/hari.
16. Batasi makanan yang
mengiritasi kandung
kemih (misalnya;
minuman bersoda, kopi,
teh, dan coklat).
2. Gangguan Pola tidur NOC NIC
Berhubungan dengan:  Anxiety Control Sleep Enhancement
- Psikologis : usia tua, kecemasan,  Comfort Level  Determinasi efek-efek
agen biokimia, suhu tubuh, pola  Pain Level medikasi terhadap
aktivitas, depresi, kelelahan, takut,  Rest : Extent and Pattern pola tidur
kesendirian.  Sleep : Extent ang  Jelaskan pentingnya
- Lingkungan : kelembaban, Pattern tidur yang adekuat
kurangnya privacy/kontrol tidur, Setelah dilakukan tindakan  Fasilitasi untuk
pencahayaan, medikasi (depresan, keperawatan selama 1x 24 mempertahankan
stimulan), kebisingan. jam gangguan pola tidur aktivitas sebelum
- Fisiologis : Demam, mual, posisi, pasien teratasi dengan tidur (membaca)
urgensi urine. Inkontenensia Alvi kriteria hasil:  Ciptakan lingkungan
 Jumlah jam tidur dalam yang nyaman
batas normal  Kolaburasi pemberian
 Pola tidur,kualitas dalam
batas normal obat tidur
 Mampu mengidentifikasi
hal-hal yang
meningkatkan tidur

3. Kerusakan Integritas Kulit NOC NIC


Definisi : Perubahan / gangguan  tissue integrity : skin Pressure managemen
epidermis dan / atau dermis. and mucous 1. Anjurkan pasien
Batasan karakteristik :  membranes untuk menggunakan
 Kerusakan lapisan kulit  hemodyalis akses pakaian yang longgar
(dermis) kriteria hasil : 2. Hindari kerutan pada
 Gangguan permukaan kulit  intergritas kulit yang tempat tidur
(epidermis) baik bisa 3. Jaga kebersihan kulit
 Invasi struktur tubuh dipertahankan agar tetap bersih dan
Factor yang berhubungan : (sensasi, kering

 Eksternal : elastisitas,temperatur 4. Monitor kulit adanya

- Usia e,hidrasi,pikmentasi) kemerahan

- Kelembapan  tidak ada luka atau 5. Oleskan minyak/baby

 Internal lesi pada kulit oil pada daerah yang

- Perubahan status cairan  perfusi jaringan baik tertekan

- Perubahan pigmentasi  menunjukkan 6. Memandikan pasien

- Penurunan imologis pemahaman dalam dengan sabuh dan air

- Penurunan sirkulasi proses perbaikan hangat

- gangguan sensasi kulit dan mencegah Insition site care


terjadinya cedera 1. Membersihan,
berulang. memantau dan
 Mampu melindungi meingkatkan proses
kulit dan penyembuhan pada
mempertahankan luka yang tertutup

41
kelembapan kulit denga jahitan, klip
dan perawatan alami atau straples
2. Monitor tanda dan
gejala infeksi
3. Gunakan preparat
antiseptik sesuai
program
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali
yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan
hygiene dan social. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15 – 30% usialanjut di masyarakat dan 20-30% pasien
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin,
dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.

4.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang
makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak.

43
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H dan S. Kamitsuru. 2017. Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.
Nurjannah, Intansari. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi ke-6.
Jakarta: Moco Media
Nurjannah, Intansari. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi ke-6.
Jakarta: Moco Media

Nurarif, Amin Huda, Hardhi Kusuma.2015. NANDA NIC-NOC Jilid 1. Jogja :

Medaction.

E. Doenges Marilynn.2005.Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi : 3, Penerbit

Buku Kedokteran : EGC.

Smeltzer , Bare, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah , Brunner dan

suddart, Edisi 8. Jakarta: EGC.

Herlman, T. Heather.2012. NANDA International Diagnosis Keperawatan :

Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.


45

Anda mungkin juga menyukai