Disusun Oleh :
Kelompok 8
Nama Anggota :
1. Bapak Sukarmin selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan demi terselesaikannya makalah ini.
2. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dimasa mendatang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan pembaca.
Penyusun
LEMBAR PENGESAHAN
1. Dosen pembimbing
Halaman Judul..........................................................................................................1
Kata Pengantar..........................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Masalah....................................................................................................4
A. Konsep Keluarga..................................................................................................5
B. Lansia..................................................................................................................6
C. Inkontinensia Urin...............................................................................................9
A. Kesimpulan..........................................................................................................19
B. Saran.....................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inkontinensia urin (IU) diartikan sebagai keluarnya urin tanpa disadari yang dapat
diamati secara objektif, serta menimbulkan masalah sosial dan kebersihan. IU merupakan
salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada lanjut usia (lansia). Pada
penelitian ini akan dinilai gambaran prevalensi dan dampak IU, serta kualitas tidur pada
lansia di Panti Werdha Provinsi Riau. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
dengan rancangan potong lintang yang dilakukan pada 30 orang lansia berusia lebih dari
60 tahun menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner, antara lain Incontinence
Impact Questionnaire-7 (IIQ-7), Urogenital Distress Inventory-6 (UDI-6), dan Pittsburgh
Sleep Quality Index (PSQI). Pada penelitian ini diketahui bahwa 16 orang (53,33%)
lansia mengalami IU, dan umumnya adalah perempuan. Tipe IU yang ditemukan, antara
lain tipe urgensi sebanyak 14 orang (87,5%), tipe stres sebanyak 1 orang (6,25%) dan tipe
luapan sebanyak 1 orang (6,25%). IU diketahui berdampak pada aktivitas fisik (44,44%),
perjalanan (44,44%) dan kesehatan emosional (11,12%). Lansia yang mengalami IU
memiliki kualitas tidur yang tidak baik (100%) dan waktu tidur yang singkat (68,75%).
Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi IU pada lansia di Panti Werdha Provinsi
Riau cukup tinggi dengan distribusi terbanyak adalah tipe urgensi. IU diyakini sangat
berdampak pada aktivitas fisik, emosi dan kualitas tidur( Dhany Febriantara, 2017).
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine involunter (tidak
disadari/mengompol) yang cukup menjadi masalah. Menurut Watson dalam Maryam dkk
(2008: 118), inkontinensia adalah berkemih diluar kesadaran pada waktu dan tempat yang
tidak tepat serta menyebabkan masalah kebersihan atau social (Maryam dkk, 2008)
Masalah inkontinensia urinarius dibagi menjadi akut dan persisten. Inkontinensia
akut terjadi secara tiba-tiba dan biasaya akibat dari penyakit akut. Inkontinensia persisten
diklasifikasikan menjadi inkontinensia stres, inkontinensia urgensi, inkontinensia
overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia stress adalah keluarnya urine
dengan tiba- tiba akibat aktivitas seperti tertawa, bersin, batuk, mengangkat beban,
melompat atau membungkuk (Stockslager & Schaeffer, 2008: 247).
Diseluruh dunia ada 50 juta orang menderita inkontinensia urine dengan rasio
perempuan dan laki-laki 2:1. Ada 41%-57% wanita lansia berumur lebih dari 40 tahun di
Amerika menderita ketidakmampuan ini, sedang di Inggris ada kirakira 14 juta orang
menderita masalah berkemih, yang artinya ada lebih banyak orang mengalami masalah
perkemihan dari pada asma, diabetes dan epilepsi jika digabungkan (Bali dkk, 2016:155;
Barrie, 2015: 45).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud inkontinensia urin?
2. Bagaimana klasifikasi dari inkontinensia urin?
3. Bagaimana etiologi inkontinensia urin?
4. Bagaimana proses terjadinya inkontinensia urin?
5. Bagaimana tanda dan gejala dari inkontinensia urin?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari inkontinensia urin?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami pengertian inkontinensia urine.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui pathofisiologi inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Inkontinensia Urin
1. Definisi
Inkontinensia Urin adalah kondisi yang ditandai oleh defek spingter
kandungkemih atau disfungsi neurologis yang menyebabkan hilangnya control terhadap
buang air kecil. Masalah Inkontinensia Urin ini bukan saja menimbulkan persoalan fisik
melainkan menyebabkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi sehingga
mempengaruhi kualitas hidup lansia (Amelia, R..,2020)
Inkontinensia Urin merupakan keluarnya urin tidak disadari pada waktu yang
tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang mengakibatkan
masalah sosial dan higienisitas penderita (Juananda. Dkk, 2017)
Inkontinesia Urin adalah pengeluaran urin involunter atau kebocoran urin yang
sangat nyata dan menimbulkan msalah soaial atau higienis (Karfoyo, dkk, 2017)
Inkontinensia Urin adalah suatu kandisi dimana urin keluar secara tidak sadar dan
terus menerus, sehingga menimbulkan dampak psikologis soaial, dan pola kebersihan
(Hysiene).
2. Etiologi
Secara umum Inkontinensia Urin disebabkan oleh perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih lansia, obesitas, menopause, usia lanjut. Penambahan berat dan
tekana selama hamil dapat menebabkan melemahnya otot dasar panggul rusak akibat
renggangnya otot dan jaringan penunjang serta robeknya jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya inkontinesia urin. Faktor jenis kelamin berperan
terjadinya inkontinensia urin pada khususnya pada wanita karena menurunya kadar
hormone esterogen pada usia menopause akan terjadi penurunan tunas otot vagina dan
otot pintu saluran kemih sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. (Moa,
dkk., 2017)
3. Klasifikasi
Menurut Cameron (2013) klasifikasi Inkontinensia urin ada 2 yaitu:
a. Inkontinensia Urin Akut
Inkontinensia ini terjadi kurang dari 6 bulan dari biasanya terjadi secara
mendadak kondisi ini berkaitan dengan penyakit akut yang diderita dan akan
menghilang ketika penyakitnya sudah bias ditangani atau sembuh. (Cameron,2013)
b. Inkontinensia Urin Kroik
Inkontinensia ini terjadi karena kapasitas kandung kemih yang menurun serta
lemahnya kontraksi otot detrusor yang mengakibatkan kegagalan dalam pengosongan
kandung kemih. Inkontinensia urine kronik di kelompokkan menjadi 4 diantaranya
sebagai berikut:
1) Inkontinensia urin tipe stress
Keadaan ini terjadi karena terdapat tekanan di dalam perut, kelemahan
pada otot di bagian dasar panggul, tindakan operasi. dan esterogen yang
menurun, gejala yang timbul adalah kencing saat tertawa, batuk, bersin, atau hal-
hal yang mengakibatkan tekanan pada perut. Penanganan yang bisa dilakukan
adalah dengan melakukan Senam Kagel secara rutin, mengkonsumsi obat, atau
juga bisa dilakukan dengan tindakan operasi.
2) Inkontinensia urin tipe fungsional
Inkontinensia ini terjadi karena adanya penurunan fungsi kognitif dan fisik
seperti pada pasien dimensi berat atau adanya gangguan neurologik dan
mobilitas serta gangguan psikologis. Inkontinensia ini ditandai dengan
ketidakmampuan mencapai tonet Onet untuk berkemih.
3) Inkontinensia urin tipe overflow
Inkontinensia ini disebabkan kan kan an karena otot detrusor pada
kandung kemih melemah. sementara isi dalam kandung kemih yang terlalu
banyak sehingga urine mengalir keluar . Gejala yang timbul adalah rasa tidak
puas saat berkemih merasa urine masih tersisa di kandung kemih, urine keluar
sedikit dan mengalir pelan.
4) Inkontinensia urin tipe urge
Inkontinensia ini terjadi karena ketidakstabilan kandung kemih yang
menyebabkan otot detrusor bereaksi secara berlebihan. gejala yang ditimbulkan
adalah tidak mampu menahan berkemih ketika terasa sensasi ingin berkemih,
sering kencing saat malam hari, serta kencing berulang kali. (Cameron,2013)
4. Tanda dan gejala
Gejala Inkontinensia yang yang biasanya terjadi adalah kencing sewaktu batuk,
mengedan, tertawa, bersin, berlari, serta perasaan ingin kencing yang mendadak kencing
berulang kali, dan penting di malam hari. (Moa, dkk 2017)
5. Patofisiologi
Pada Lanjut Usia Inkontinensia urine berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologi
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis, dan lingkungan, pada tingkat yang
paling dasar, proses berkemih diatur oleh refleks yang berpusat di pusat berkemih di
Serum. jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medula
spinalis (Darmojo, 2000)
Pengisian kandung kemih cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja
saraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf
simpatis serta saraf somatik yang mempersarafi otot dasar panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. jika korteks cerebri menekan Pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena
usia lansia sering mengalami Inkontinensia urine. karena dengan kerusakan dapat
mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan Inkontinensia. (Cameron,2013)
6. Penatalaksanaan
a. Keperawatan
1) Bantuan toileting Cavoiding/ toilet asistance
Jadwal berkemih, jadwal direkomendasikan disusun untuk satu hari penuh.
Latih merubah kebiasaan.
Promted voiding ( mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri untuk
menahan atau mengatur BAK.
2) Bladder training/ bladder re education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
Inkontinensia urge atau overactive. Bladder ( BAB/K) juga bisa dilakukan untuk
pasien dengan stress Inkontinensia. latihan yang dilakukan dalam bladder training
adalah menunda berkemih sampai dengan batas waktu tu yang telah ditentukan
untuk melatih fungsi bladder dalam menampung urine sesuai ukuran normal.
3) Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam memperbaiki stress
Inkontinensia. tujuan latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot
periuretra dan otot dasar pelvis. pasien yang dapat melakukan latihan ini
sebaiknya memiliki beberapa kriteria seperti:
Kondisi anatomi normal dan intact.
Tidak terdapat organ pelvis yang yang yang prolaps.
Kekuatan kontraktilitas otot cukup.
b. Penatalaksanaan medic
1) Terapi obat disesuaikan dengan penyebab Inkontinensia. antibiotik diresepkan jika
Inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan
mengobati spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakstabilan pada
destrusor. obat antipasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor aktivitas
otot polos kandung kemih. estrogen dalam bentuk oral, topikal, maupun
suppositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik, Inkontinensia stres Kadang
dapat diterapi dengan obat anti depresan.
2) Terapi perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu berkemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul ( latihan Kegel) pendekatan yang
dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari latihan kebiasaan dan
latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami Inkontinensia
urgensi. latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi
kognitif yang utuh yang mengalami Inkontinensia stress, intervensi perilaku
umumnya tidak dipilih untuk pasien yang mengalami Inkontinensia sekunder
akibat overflow, teknik tambahan seperti umpan biologis dan rangsangan listrik,
berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku, latihan kebiasaan bermanfaat
bagi pasien yang mengalami kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal
berkemih yang tetap biasanya setiap 2 sampai 4 jam.
3) Spiral dapat diresepkan bagi pasien wanita yang mengalami kelainan anatomi
seperti prolaps uterus gerak atau relaksasi pelvik. tersebut dapat intern, seperti
diafragma kontrasepsi, dan menstabilkan kandung kemih serta uretra, yang
mencegah Inkontinensia selama ketegangan fisik.
4) Toileting terjadwal.
5) Penggunaan Pads.
6) Inolweling kateterjika retensi urin tidak dapat dikoreksi secara medis atau
pembedahan dan untuk kenyamanan klien terakhir.
7) Pemeriksaan penunjang (Harina, 2018)
a. Urinalisis
b. USG
c. Urodinamik
Pemeriksaan urinalisis dapat menilai adanya infeksi saluran kemih ( ISK)
proteinuria, hematuria atau glikosuria.
8) Manajemen Keperawatan
Menejemen keperawatan untuk mengatasi inkontinensia urin terdiri
dari pengkajian, perubahan perilaku, penggunaan alat bantuan, modifikasi
diet, dan edukasi. PengkajianPengkajian merupakan bagian pertama untuk
mengelola UI, dari pengkajian kita dapat menyimpulkan penyebab
utama UI dan menejemen yang tepat untuk setiap klien.
1. Riwayat Kesehatan Klien Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien
dengan UI meliputi :
a. Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap
masalah saat berkemih, ketidak mampuan menahan kencing,
kebocoran urin, penggunaan absorbent.
b. Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk mengetahui ini
pertanyaan yangharus di jawab klien adalah berapa kali klien BAK
dalam satu hari, berapa lama klien dapat melakuka aktivitas antara waktu
berkemih.
c. Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
d. Obat-obatan yang dikonsumsi
e. Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
f. Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan
berkemih yang kuatg.Tanda gejala yang menunjukkan
kemampuan penampungan bladder seperti frequency, urgency,
nocturiah.Tanda gejala pada setiap berkemih seperti
intermittency, pancaran kencing lemah, tetesan urin pada akhir
berkemih, mengejani.Riwayat psikologi dan Sosial, dalam
pengkjian ini fungsi seksual juga menjadi unsur yang harus dikaji pada
klien untuk mengetahui kemungkinan kebocoran uring saat
melakukan hubungan seksual(Chin, 2001).
2. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan
fungsional meliputi kemampuan klien untuk melakukan
mobilisasi, kesadaran dan ketangkasan. Metode yang dapat
digunakan untuk menguji klien adalah dengan meminta klien
berjalan dari meja periksa ke tempat tidur, meminta klien
berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.
b. Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas
yang berpengaruh langsung terhadap UI
c. Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
melihat fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul
yang sangat berperan saat berkemih. Metode yang digunakan
adalah dengan meminta klien mengkontraksikan dan
merilekskan bagaian otot dasar panggul. Pengkajian ini
juga dapat dilakukan dengan komputer yaitu dengan
elektomyographydan pemeriksaan tekanan dengan
menggunakan Probeyang sensitif dengan memasukkan
probepada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya adalah
antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat adanya
lesi atau ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
e. Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian
rektal untuk memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu
mengkaji adanya massa atau tumor. Sedangkan pada laki-laki
digital rektal examibation(DRE) berfungsi untuk mengetahui
adanya massa atau pembesaran prostat (Chin, 2001).
3. Observasi kebocoran urin secara langsungPemeriksaan ini dilakukan dengan
meminta klien untuk batuk saat bladder dalam keadaan penuh
sehingga dapat diamati terjadinya UI. Kebocoran urin saat batuk
dapat diamati pada saat klien dalam posisi supine atau berdiri.
4. Mengukur volume residu bladder Pengukuran dilakukan setelah
klien berkemih atau Post Voided Residual (PVR) dengan
mengeluarkan sisa urin dengan menggunakan kateter atau
dengan menggunakan scan bladder. Residu bladdernormal adalah
kurang dari 50 ml, residu yang lebih dari 100 ml menunjukkan
adanya pengosongan bladder ang tidak adekuat (Hocking, 1999)
5. Voiding Diary (Bladder Chart)
Voiding diary sangat penting untuk mencatat pola eliminasi
urin dan pola kebocoran urin. Voiding diaryharus dilakukan
pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat berbagai
macam bentuk voiding diary, penggunaannya tergantung pada
informasi yang diinginkan saat pengkajian, kemampuan dan
kepatuhan klien untuk mengisi. Semakin detail dan lengkap isi diary
maka data yang didapat semakin akurat namun biasanya klien merasa
lebih rumit dalam pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi
voiding diary. Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah
dibawa klien dalam setiap aktivitas. Pencatatan dilakukan antara 7-14 hari
sehingga dapat memberikan hasil yang reliabel. Dalam beberapa praktik
yang dilakukan pencatatan selama 1-3 hari cukup untuk merekam
masalah UI pada. Dalam beberapa voiding diary selain waktu
berkemih dan kebocoran urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai
data dasar mengukur kapasitas bladder dan jumlah intake cairan
per 24 jam klien (Gray & Moore dalam Doughty,2006).
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan
UI. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi
yang terdapat dalam urin yang dapat berhubungan UI seperti darah,
glukosa, pus, bakteri, protein. Pemeriksaan lain yang harus disertakan
untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah
kultur urin (Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serumPemeriksaan serum darah diindikasi untuk
melihat adanya komplikasi sistemik. Seperti
kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan
Ureum Creatinin pada klien dengan obstruksi dan memiliki
komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
6. Pengkajian efek UI pada Quality Of Life (QOL)Pengkajian efek UI
terhadap QOL klien dapat direkam dengan menggunakan
berbagai instrument pengkajian Incontinence Impact
Quostionare(IIQ) dikelurakan oleh Kennedy (1992),
instrumen ini sudah mengalami beberap revisi. Instrumen yang lain
UDI (Urogenital distress Inventory) berisi 19 pertanyaan yang terkait
dengan
1. hubungan LUTS dengan Overactive Bladder;
2. hubungan LUTS denga Stress UI;
3. hubungan ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi Pelvis.
Instrumen yang sering digunakan adalah International Prostate
Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk mengetahui sejauh mana
klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus
IPPA dapat digunakan pada wanita.
7. Pengkajian lingkungan dan Fasilitas
Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahanklien
mencapai toilet, pencahayaan, kondisi lantai, alat bantu klien
untuk mencapai tempat tidur. Fasilitas yang dapat dikaji adalah ketersediaan
alat bantu UI seperti Absorbent, kateter, padding dan
penggunaan urinal (Kennedy, 1992).
8. UrodinamikAdalah pemeriksaan untuk melihat transportasi,
penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran kemih bagian tengan
atau bawah.
9. Endoskopi dan PencitraanEndoskopi untuk melihat kemungkinan
adanya tumor epitel, divertikel yang dapatmenyebabkan sumbatan
pada saluran kemih. Intervensi Perilaku :
1. Bantuan toileting (avoiding/toileting asisstance)
a. Jadwal berkemih, jadwal direkomen-dasikan disusun untuk
satu hari penuh. Dengan menggunakan jadwal berkemih klien
diharapkan lebih patuh terhadap waktu berkemih yang telah
disepakati. Interval berkemih pada umumnya setiap 2 jam.
b. Latihan merubah kebiasaanMerupakan latihan penyesuaian antara
kebiasaan klien berkemih dengan jadwal yang telah tersusun. Hal-
hal yang disesuaikan antara lain adalah frekuensi, volume, pola
kontinen dan inkontinence. Dengan jadwal dan latihan penyesuaian
diharapkan klien dapat mempunyai pola baru.
c. Prompted voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri
untuk menahan atau mengatur BAK). Bisikan untuk BAK
dilakukan setiap interval 2 jam. Tindakan ini direkomendasikan
untuk klien yang mengalami penurunan sensori untuk
merasakan regangan pada bladder dan penurunan rangsangan
berkemih. Pada pasien yang mengalami kelemahan
bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil
melakukan BAK maka diberi reward berupa umpan balik
positif (Hay-Smith et al, 20020.
2. Bladder training/ bladder re-education
Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang
mengalami Inkontinensia Urge atau overactive Bladder (OAB) dan bisa
juga dilakukan untuk pasien dengan stress inkontinensia. Latihan
yang dilkukan dalam bladder training adalah menunda berkemih
sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk
melatih fungsi bladderdalam menampung urin sesuai ukuran
normal.
Dalam penelitian terdapat perbaikan pada klien UI
dengan bladder training sebesar 10-15 % (Roe et al, 2002; Chin,
2001; NIH, 1988).
Terdapat persyaratan untuk klien yang akan menjalani bladder
training, klien mampu secara fisik, kognitif dan memiliki motivasi
untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan adalah klien harus
mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya
klien diminta untuk menahan keinginan berkemih dengan
melakukan relaksasi atau distraksi sampai dengan interval waktu
yang disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan waktu
beberapa bulan sehingga memperlihatkan perubahan pada
klien.
3. Latihan otot dasar panggulLatihan otot dasar panggul sangat
berpengaruh dalam memperbaikai stress inkontinensia. Tujuan
latihan ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot
periuretra dan otot dasar pelvis. Pasien yang dapat melakukan
latihan ini sebaiknya memiliki beberapa kriteria sepert :
a. kondisi anatomi normal dan intact;
b. tidak terdapat organ pelvis yang prolaps;
c. kekuatan dankontraktilitas otot cukup. Terdapat 5 tahapan
dalam latihan ini (terlampir). Beberapa alat telah
diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul
seperti; vaginal cone, stimulasi electrik, Biofeedback dan
extracorporeal Magnetic Innervation therapy (Doughty, 2006).
5. EVALUASI
1. DX 1: pasien mampu Berkemih dengan urine jernih, ketidak nyamanan berkurang
,urinalisis dalam batas normal, dan urine menunjukkan tidak adanya bakteri
2. DX 2: Kerusakan Integitas kulit dapat teratasi
3. DX 3: pasien mampu Mengungkapkan pemahaman tentang kondisinya saat ini, Keluhan
pasien berkurang tentang cemas atau gugup dan Ekspresi wajah rileks.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami selaku mahasiswa berharap dengan pembuatan paper dalam bentuk makalah
ini, dapat memberikan manfaat dalam proses belajar mengajar. Dan tetap mengharapkan
bimbingan lebih dalam lagi dari para Dosen pembimbing mengenai penyakit
“Inkontinensia Urin”.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, R.2020.Pravalensi dan Faktor Risiko Inkontinensia Urin pada Lansia Panti Sosial Tuna
Werdha (PSTW) Sumatera Barat.Health & Medical Jurnal, Vol 11 No 1 Januari 2020
Juananda, Desby, dkk.2017.Inkontinensia Urin pada Lnjut Usia di Panti Werdha Provinsi
Riau.Jurnal Kesehatan Melayu:eISSN 2597-34C7
Kaakinen, J., R., et al.2010.Family Health Care Nursing:Theory Practis and Research, 4th
edition.United States of America, F.A.Davis Company
Moa, Hillarius M., dkk.2017.Pengaruh Bladder Training Terhadap Inkontinensia Urin pada
Lanjut Usia di Posyandu Lansia Desa Sumber Adem Kecamatan Wonosari Malang
Rigby D. 2001. Integrated continence services. Nursing Standard. 16(8): 1-18. Roe B,
Thomas S. 2001. Continence in older people: A priority for primary care. Nursing Standard.
15(25): 45-53.