Anda di halaman 1dari 26

KEPERAWATAN ANAK I

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATAL DENGAN ASFIKSIA

Oleh Kelompok 3 :

1. Ervina Junila Rosario S ( 191114201669 )


2. Ari Endah Oktafiana ( 191114201679 )
3. Dona Vetrisia Yuniarta ( 191114201685 )
4. Febriana Rosi Natalia ( 191114201691 )
5. Nisrina Noor Sahda ( 191114201709 )
6. Siti Aisyah ( 191114201720 )
7. Widjayanti ( 191114201726 )
8. Nur Laili Sa’adah ( 191114201734 )

Dosen Pengampu :
Ika Arum D.S, S.Kep.,Ns.,M.Biomed.

STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG


S1 KEPERAWATAN 3B
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas berkat, rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya. Makalah ini membahas tentang “Asuhan
Keperawatan pada Neonatal dengan Afiksia” Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Anak 1. Kami juga berharap semoga pembuatan makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Dalam pembuatan makalah ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu kami ucapkan terimakasih kepada ibu Ika Arum D.S, S.Kep.,Ns.,M.Biomed. selaku
dosen pengampu. Serta pihak-pihak lain yang turut membantu dalam menyusun makalah ini.
Usaha serta kerja keras telah kami upayakan untuk menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya, namun kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata
kesempurnaan sebagai manusia biasa kita tidak jauh dari kesalahan serta kekhilafan, oleh
karena itu apabila ada kesalahan-kesalahan baik dari segi kata-kata atau penulisan yang tidak
sesuai dengan pedoman penulisan makalah yang kami sengaja maupun tidak kami sengaja,
kami mohon maaf.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................4
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN KONSEP.......................................................................................................5
2.1 Definisi Infeksi Post Partum.......................................................................................5
2.2 Etiologi......................................................................................................................... 5
2.3 Klasifikasi.....................................................................................................................6
2.4 Tanda dan gejala.........................................................................................................6
2.5 Diagnosa...................................................................................................................... 7
2.6 Patofisiologi dan pathway.......................................................................................8
2.7 Asuhan keperawatan................................................................................................10
2.7.1 Pengkajian keperawatan.........................................................................................10
2.7.2 Diagnosa keperawatan............................................................................................11
2.7.3 Perencanaan keperawatan......................................................................................11
2.7.4 Pelaksanaan keperawatan......................................................................................14
2.7.5 Evaluasi keperawatan..............................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................................15
BAB III PEMBAHASAN............................................................................................................ 16
3.1 Pengobatan Farmakologi..........................................................................................17
3.1.1 Antisipasi kebutuhan resulsitasi.......................................................................17
3.1.2 Epinefrin.............................................................................................................. 21
3.1.3 Volume Ekspander.............................................................................................22
3.1.3 Bikarbonat........................................................................................................... 22
3.1.4 Nalokson............................................................................................................. 22
3.2 Pengobatan NonFarmakologi...................................................................................23
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................... 24
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 24
4.2 Saran............................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bayi baru lahir atau biasa di sebut dengan periode neonatus yang berlangsung
sejak bayi lahir sampai usianya 28 hari, merupakan waktu berlangsungnya perubahan
fisik yang dramastis pada bayi baru lahir, pada masa ini organ bayi mengalami
penyesuaian dengan keadaan di luar kandungan, sebagian besar bayi yang baru lahir
akan menunjukan usaha pernafasaan spontan dengan sedikit bantuan atau gangguan
(Julina, 2017).
Asfiksia merupakan suatu kejadian kegawatdarutaran yang berupa kegagalan
bernafas secara spontan segera setelah lahir dan sangat beresiko untuk terjadinya
kematian dimana keadaan janin tidak spontan bernafas dan teratur sehingga dapat
menurunkan oksigen dan makin meningkatkan karbondioksida yang menimbulkan
akibat buruk dalan kehidupan berlanjut (Ligawati, 2018).
Faktor yang dapat menyebabkan asfiksia adalah faktor ibu yaitu usia ibu kurang
dari 20 atau lebih dari 35 tahun, paritas, faktor plasenta yaitu plasenta tipis, plasenta
kecil, solusio plasenta, faktor janin yaitu premature, intrauterine Growth Retardation
(IUGR), tali pusat menumbung, lilitan tali pusat faktor persalinan yaitu : partus lama,
partus tindakan, persalinan normal, persalinan dengan sectio caesarea /SC (Wahyuni,
2013).
Persalinan normal dapat terjadi asfiksia pada bayi baru lahir karena adanya
penekanan saat terjadi mekanisme persalinan berlangsung, meliputi: engagement,
penurunan kepala, fleksi, rotasi dalam, ekstensi, rotasi luar dan ekspulsi. Asfiksia pada
persalinan spontan disebabkan karena adanya dari faktor maternal (hipotensi, syok
maternal, malnutrisi), faktor uterus (kontraksi memanjang, gangguan vaskuler), faktor tali
pusat (prolapsus dan penumbungan tali pusat), dan faktor plasenta (Tuti & Syuhada,
2015).
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan Asfiksia ?
2) Apa saja tanda dan gejala dari Asfiksia?
3) Apa saja faktor penyebab dari Asfiksia?
4) Bagaimana asuhan keperawatan terhadap pasien neonatal dengan Asfiksia ?
5) Apa saja penatalaksanaan medis maupun non medis untuk menangani pasien
neonatal dengan Asfiksia ?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui pengertian dari Asfiksia
2) Untuk mengetahui tanda gejala dari Asfiksia
3) Untuk mengetahui asuhan keperawatan terhadap pasien neonatal dengan Asfiksia
4) Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan non medis dari pasien neonatal
dengan Asfiksia
BAB II
TINJAUAN KONSEP

2.1 Definisi Infeksi Post Partum


Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia,
hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis (menurut World Health Organization (WHO)).
Asfiksia neonatrum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas
spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan semakin meningkatkan
kadar karbondioksida yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih
lanjut. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bayi untuk memulai bernapas segera
setelah lahir dan kegagalan bayi untuk memulai bernapas segera setelah lahir dan
mempertahankan beberapa saat setelah lahir. Asfiksia neonatorum merupakan sebuah
emergensi neonatal yang dapat mengakibatkan hipoksia (rendahnya suplai oksigen ke
otak dan jaringan) dan kemungkinan kerusakan otak atau kematian apabila tidak
ditangani dengan benar.

2.2 Etiologi
Menurut Gomella yang dikutip dari AHA dan American Academy of Pediatrics
(AAP) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi yang
terdiri dari :
1. Faktor ibu :
a. Hipoksia ibu : hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat terjadi
karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia lain.
b. Ganggguan aliran darah uterus : berkurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor janin
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Hal ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher dan lain-lain
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu :
a. pemakaian obat anestesi dan analgesia yang berlebihan
b. trauma persalinan
c. kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran
pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.

2.3 Klasifikasi
Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia di klasifikasikan sebagai berikut :
a) Virgorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan
tindakan resusitasi.
b) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis dan refleks iritabilitas tidak
ada.
c) Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat yang kadang-kadang pucat dan
refleks iritabilitas tidak ada.

2.4 Tanda dan gejala


Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan asfiksia menurut Sukarni & Sudarti
(2012). antara lain :
1. Tidak bernafas atau napas megap-megap atau pernapasan cepat, pernapasan
cuping hidung.
2. Pernapasan tidak teratur atau adanya retraksi dinding dada
3. Tangisan lemah atau merintih
4. Warna kulit pucat atau biru
5. Tonus otot lemas atau ekstremitas terkulai
6. Denyut jantung tidak ada atau lambat (bradikardia) kurang dari 100 kali per
menit.
Sedangkan, tanda dan gejala bayi baru lahir dengan asfiksia (Sudarti dan
Fauziah 2012) antara lain :
1. Pernapasan cuping hidung
2. Pernapasan cepat
3. Nadi cepat
4. Sianosis
5. Nilai APGAR kurang dari 6

2.5 Diagnosa
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Cara
untuk mendiagnosa asfiksia adalah sebagai berikut:
a. Antepartum
Terjadi pola yang abnormal atau nonreaktif pada nonstress fetal heart monitoring
dan pada contraction stress test terjadi pola deselerasi lanjut. Frekuensi normal
denyut jantung janin adalah antara 120 sampai 160x/menit.
b. Intrapartum
Bradikardi di bawah 100x/menit antara kontraksi rahim atau pola deselerasi yang
abnormal, irregulitas denyut jantung janin yang jelas, takikardi di atas 160x/menit
(terjadi silih berganti dengan bradikardi), pola deselerasi lanjut pada frekuensi
denyut jantung janin dan keluarnya mekonium pada presentasi kepala. Pada
presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya meconium dalam air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal
tersebut dapat dilakukan dengan mudah.
c. Postpartum
Menentukan keadaan bayi baru lahir dengan nilai Apgar. Menentukan tingkatan
bayi baru lahir: angka 0, 1, atau 2 untuk masing-masing dari lima tanda, yang
bergantung ada/tidaknya tanda tersebut. Penentuan tingkatan (grading) ini
dilakukan 1 menit setelah lahir dan diulang setelah 5 menit.
2.6 Patofisiologi dan pathway
Hampir setiap proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara, proses ini dianggap perlu sebagai perangsang kemoreseptor pusat
pernafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan pernafasan
teratur. Pada Asfiksia Neonatorum seperti ini tidak memiliki efek buruk karena diimbangi
dengan reaksi adaptasi pada neonatus. Pada penderita asfiksia berat usaha napas ini
tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Apneu atau kegagalan
pernafasan mengakibatkan berkurangnya oksigen dan meningkatkan karbondioksida,
pada akhirnya mengalami asidosis respiratorik. Pada tingkat ini disamping penurunan
frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi
nampak lemas (flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak menunjukkan upaya bernafas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan
pertukaran gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya
menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi
metabolism anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya
akan terjadi perubahan kardiovaskuler.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang beberapa
keadaan diantaranya:
a. Hilangnya sumber glikogen jantung berpengaruh pada fungsi jantung.
b. Kurang adekuat pengisian udara alveolus berakibat tetap tingginya resistens
pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah menuju paru dan system sirkulasi
tubuh lain mengalami gangguan.
c. Asidosis metabolik mengakibatkan turunnya sel jaringan otot jantung berakibat
terjadinya kelemahan jantung.
Dari proses patofisiologi tersebut sehingga fase awal asfiksia ditandai dengan
pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperapneu) diikuti dengan
apneu primer kira-kira satu menit dimana pada saat itu pulsasi jantung dan tekanan
darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10 kali/menit selama
beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu
sekunder. Pada asfiksia berat bisa terjadi kerusakan pada membran sel terutama sel
susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, akibatnya menjadi
hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia
berlangsung selama 8-15 menit.
Bila janin kekurangan O₂ dan kadar CO₂ bertambah , maka timbullah
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat.
Jika kekurangan O₂ terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat di pengaruhi lagi.
Timbullah kini rangsangan dari nervu simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan
akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan intrauterine dan
bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Jika
berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan yang dalam, denyut jantung terus
menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas.
Pernapasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder.
Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O₂ dalam darah
(PaO₂) terus menurun. Bayi sekarang tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak akan menunjukkan upaya pernapasan secara spontan (Sudarti dan Fauziah 2012).
Pathway
2.7 Asuhan keperawatan
2.7.1 Pengkajian keperawatan
Pengkajian bayi risiko tinggi : Asfiksia menurut Wong, 2008 meliputi :
1. Biodata : nama bayi, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa dan
identitas orangtua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi karena berkaitan dengan
diagnosa asfiksia neonatorum.
2. Keluhan utama : pada bayi dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak napas.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan : bagaimana proses persalinan apakah spontan,
prematur, aterm, letak bayi dan posisi bayi
4. Kebutuhan dasar :
 Pola nutrisi pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral karena
organ tubuh terutama lambung belum sempurna, selain itu bertujuan untuk
mencegah terjadinya aspirasi pneumoni.
 Pola eliminasi : umumnya bayi mengalami gangguan BAB karena organ
tubuh terutama pencernaan belum sempurna.
 Kebersihan diri : perawat dan keluarga bayi harus menjaga kebersihan
terutama saat BAB dan BAK.
 Pola tidur : biasanya terganggu karena bayi sesak napas.
5. Pemeriksaan fisik :
a) Pengkajian umum : ukur panjang dan lingkar kepala secara periodik,
adanya tanda distres: warna buruk, mulut terbuka, kepala terangguk-
angguk, meringis, alis berkerut.
b) Pengkajian pernapasan : bentuk dada (barrel, cembung), kesimetrisan,
adanya insisi, selang dada, penggunaan otot aksesoris : pernapasan
cuping hidung, atau substernal, interkostal, atau retraksi subklavikular,
frekuensi dan keteraturan pernapasan, auskultasi dan gambarkan bunyi
napas : stridor, krekels, mengi, bunyi menurun basah, mengorok,
keseimbangan bunyi napas
6. Data penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan
diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat
pula. Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
 Darah rutin : Nilai darah lengkap pada bayi asfiksia terdiri dari :
Hb (normal 15-19 gr%) biasanya pada bayi dengan asfiksia Hb
cenderung turun karena O2 dalam darah sedikit.
 Leukosit : Lebih dari 10,3 x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x 10
gr/ct) karena bayi preterm imunitas masih rendah sehingga resiko
tinggi.
 Trombosit : (normal 350 x 10 gr/ct) Trombosit pada bayi
preterm dengan post asfiksia cenderung turun karena sering terjadi
hipoglikemi.
 Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
Nilai analisa gas darah pada bayi post asfiksia terdiri dari : pH
(normal 7,36- 7,44). Kadar pH cenderung turun terjadi asidosis
metabolik. PCO2 (normal 35- 45 mmHg) kadar PCO2 pada bayi post
asfiksia cenderung naik sering terjadi hiperapnea. PO2 (normal 75-
100 mmHg), kadar PO2 pada bayi post asfiksia cenderung turun
karena terjadi hipoksia progresif. HCO3 (normal 24-28 mEq/L).
 Nilai serum elektrolit pada bayi post asfiksia terdiri dari :Natrium
(normal 134- 150 mEq/L) . Kalium (normal 3,6-5,8 mEq/L). Kalsium
(normal 8,1-10,4 mEq/L) Photo thorax : Pulmonal tidak tampak
gambaran, jantung ukuran normal.
2.7.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada bayi baru lahir dengan asfiksia (Wong, 2008)
adalah :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuskular, penurunan energi, dan keletihan
2. ermoregulasi tidak efektif berhubungan dengan kontrol suhu yang imatur dan
penurunan lemak tubuh subkutan
3. Risiko tinggi infeksi berhungngan dengan pertahanan imunologi yang kurang
4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (resiko tinggi) berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna nutrisi karena imaturitas dan atau penyakit.
5. Resiko tinggi kekurangan atau kelebihan volume berhubungan dengan
karakteristik fisiologis imatur dari bayi preterm dan atau imaturitas atau penyakit.
2.7.3 Perencanaan keperawatan
Intervensi yang ditetapkan pada bayi baru lahir dengan asfiksia (Wong, 2008) adalah :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas paru dan
neuromuskular, penurunan energi, dan keletihan
Tujuan : pasien akan memperlihatkan parameter oksigen yang adekuat
Hasil yang diharapkan :
a. Jalan napas tetap paten
b. Pernapasan memberikan oksigenasi dan pembuangan CO₂ yang
adekuat
c. Frekuensi dan pola napas dalam batas normal
d. Oksigen jaringan adekuat
Intervensi :
a. Atur posisi untuk pertukaran udara yang optimal (posisikan
terlentang dengan leher sedikit ekstensi. R/ untuk mencegah
penyempitan jalan napas
b. Hindari hiperekstensi leher. R/ akan mengurangi diameter trakea
c. Observasi adanya tanda gawat napas (pernapasan cuping
hidung, retraksi dinding dada, takpnea, apnea, grunting, sianosis,
saturasi oksigen yang rendah.
d. Lakukan pengisapan. R/ untuk menghilangkan mukus yang
terakumulasi dari nasofaring, trakea.
e. Gunakan posisi semi-telungkup atau miring. R/ untuk mencegah
aspirasi pada bayi dengan mukus berlebihan atau yang sedang
diberi makan.
f. Pertahankan suhu lingkungan yang netral. R/ untuk menghemat
penggunaan O₂.
2. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan kontrol suhu yang imatur
dan penurunan lemak tubuh subkutan
Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh yang normal
Hasil yang diharapkan : Suhu aksila bayi tetap dalan rentang normal
Intervensi :
a. Tempatkan bayi didalam inkubator, atau penghangat radian atau
pakaian hangat dalam keranjang terbuka. R/ untuk
mempertahankan suhu tubuh bayi
b. Pantau suhu aksila pada bayi yang tidak stabil dan kontrol suhu
udara. R/untuk mempertahankan suhu kulit dalam rentang ternal
yang dapat diterima
c. Gunakan pelindung panas plastik bila tepat. R/ untuk menurunkan
kehilangan panas
d. Pantau tanda-tanda hipertermia mis, kemerahan, ruam, diaforesis
(jarang)
3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologi yang kurang
Tujuan : pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi nosokomial
Hasil yang diharapkan :bayi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
nosokomial
Intervensi :
a. Pastikan bahwa semua pemberi perawatan mencuci tangan sebelum
dan sesudah mengurus bayi. R/ untuk meminimalkan pemajanan
pada organisme infektif
b. Pastikan semua alat yang kontak dengan bayi sudah bersih dan steril
c. Isolasi bayi lain yang mengalami infeksi sesuai kebijakan institusional
d. Instruksikan pekerja perawat kesehatan dan orang tua dalam
prosedur kontrol infeksi
e. Beri antibiotik sesuai instruksi
4. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (resiko tinggi) berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna nutrisi karena imaturitas dan atau
penyakit
Tujuan : pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat, dengan masukan kalori
untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif, dan menunjukkan
penambahan berat badan yang tepat
Hasil yang diharapkan :
a. Bayi mendapat kalori dan nutrisi esensial yang adekuat
b. Bayi menunjukkan penambahan berat badan yang mantap (kira-
kira 20 sampai 30 gr/hari) pada saat fase pasca akut penyakit.
Intervensi :
a. Pertahankan cairan parenteral atau nutrisi parenteral sesuai
instruksi
b. Pantau adaya tanda-tanda intoleransi terhadap terapi
parenteral total, terutama protein dan glukosa
c. Kaji kesiapan bayi untuk menyusu pada payudara ibu
khususnya kemampuan untuk mengkoordinasikan menelan
dan pernapas
d. Susukan bayi pada payudara ibu jika pengisapan kuat
5. Risiko tinggi kekurangan atau kelebihan volume cairan berhubungan dengan
karakteristik fisiologis imatur dari bayi preterm dan atau imaturitas atau
penyakit
Tujuan : pasien menunjukkan status hidrasi adekuat
Hasil yang diharapkan : bayi menunjukkan bukti homeostasis
Intervensi :
a. Pantau dengan ketat cairan dan elektrolit dengan terapi yang
meningkatkan kehilangan air tak kasat mata
b. Pastikan masukan cairan oral/parenteral yang adekuat
c. Kaji status hidrasi (mis, turgor kulit, tekanan darah, edema,
berat badan, membran mukosa, berat jenis urine, elektrolit,
fontaneil)
d. Atur cairan parenteral dengan kertat
e. Hindari pemberian cairan hipertonik (mis, obat tidak
diencerkan, infus glukosa terkonsetrasi)
f. Pantau keluaran urin dan nilai laboratorium untuk bukti
dehidrasi
2.7.4 Pelaksanaan keperawatan
Tahap ini perawat mencari inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukan
pada nursing orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.7.5 Evaluasi keperawatan
Tahap ini perawat melakukan tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, dan pelaksanaanya sudah berhasil dicapai.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan asfiksia (Surasmi, 2013) adalah :
1. Membersihkan jalan napas dengan pengisapan lendir dan kasa steril
2. Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptik
3. Apabila bayi tidak menangis lakukan sebagai berikut :
a. Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki, mengelus-elus dada,
perut dan punggung
b. Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan resusitasi mouth to
mouth
c. Pertahankan suhu tubuh agar tidak perburuk keadaan asfiksia dengan cara :
membungkus bayi dengan kain hangat, badan bayi harus dalam keadaan
kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin gunakan minyak atau baby
oil untuk membersihkan tubuh bayi, kepala bayi ditutup dengan baik atau
kenakan topi,
4. Apabila nilai APGAR pada menit ke lima sudah baik (7-10) lakukan perawatan
selanjutnya : bersihkan badan bayi, perawatan tali pusat, pemberian ASI sedini
mungkin dan adekuat, melaksanakan antromentri dan pengkajian kesehatan,
memasang pakaian bayi dan mengenakan tanda pengenal bayi.
BAB III
PEMBAHASAN

Asfiksia terjadi karena terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari
ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah
lahir. Asfiksia dapat mempengaruhi organ vital lainnya dan dapat mendorong terjadinya infeksi,
kerusakan otak atau kematian. asfiksia neonatorum merupakan kelanjutan dari kegawatan janin
atau fetal distress intrauteri. Fetal distress adalah keadaan ketidakseimbangan antara
kebutuhan O2 dan nutrisi janin sehingga menimbulkan perubahan metabolisme janin menuju
metabolisme anaerob yang disebabkan oleh banyak hal terutama oleh faktor risiko ibu seperti
anemia. Pada ibu usia kurang dari 20 tahun akan berisiko karena ibu belum siap secara organ
reproduksi dan diusia lebih 35 tahun secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani
kehamilan dan merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia. Pada ibu yang
mengalami preeklamsia terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta sehingga dapat mengakibatkan asfiksia bayi baru lahirserta gawat janin karena
kekurangan oksigenasi. Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat
bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin meningkatkan
karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia dan berakhir
dengan asidosis. Keadaan asidosis, gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai
akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir.
Kegagalan ini juga berakibat pada terganggunya fungsi dari masing-masing jaringan dan organ
yang akan menjadi masalah pada hari-hari pertama perawatan setelah lahir.
Pada bayi yang lahir cukup bulan yakni dengan usia kehamilan 37-42 minggu dimana
organ-organ tubuh janin sudah lengkap selain itu janin sudah siap untuk hidup di luar kan-
dungan, sedangkan bayi yang dilahirkan oleh ibu di usia kehamilan melebihi 42 minggu,
kejadian asfiksia bisa disebabkan oleh fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi akibat proses
penuaan.
Proses penuaan atau penurunan fungsi ini mengakibatkan transportasi oksigen dan pasokan
makanan dari ibu ke janin juga menurun atau terganggu. Risiko kejadian asfiksia neonatorum
lebih tinggi pada ibu hamil dengan kualitas antenatal care kurang baik dibandingkan ibu hamil
dengan kualitas antenatal care baik. Kualitas antenatal care merupakan faktor risiko terjadinya
asfi ksia neonatorum. Kualitas antenatal care dilihat dari frekuensi dan keteraturan kunjungan
pemeriksaan kehamilan yang melahirkan bayi asfiksia lebih rendah dibandingkan ibu yang
melahirkan bayi non asfiksia.
Semakin rendah kualitas antenatal care ibu hamil semakin tinggi kejadian asfiksia
neonatorum. Kunjungan antenatal care yang tepat dan pelayanan antental care yang
berkualitas mampu meningkatkan deteksi dini terhadap kelainan yang terjadi pada ibu hamil.
Antenatal care (pemeriksaan kehamilan) ibu hamil merupakan upaya membantu mengurangi
angka kematian ibu dan bayi. Keuntungan yang lain dari antenatal care yaitu untuk menjaga
agar selalu sehat selama masa kehamilan, persalinan dan nifas serta mengusahakan bayi yang
dilahirkan sehat, memantau kemungkinan adanya risiko kehamilan, dan merencanakan
penatalaksanaan yang optimal terhadap kehamilan risiko tinggi serta menurunkan morbiditas
dan mortalitas ibu dan janin.

3.1 Pengobatan Farmakologi


3.1.1 Antisipasi kebutuhan resulsitasi
Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah
penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada
setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut
harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif
dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan
melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan intubasi
endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi
akurat dan inisiasi bantuan sangatlah penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus.
Pada setiap kelahiran harus ada setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada
bayi baru lahir. Orang tersebut harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk
pemberian ventilasi tekanan positif dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang
datang harus memiliki kemampuan melakukan resusitasi neonatus secara komplit,
termasuk melakukan intubasi endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Pada
resusitasi neonatus secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma
resusitasi neonatal.

SOP Resusitasi
Persiapan Alat 1. Perlengkapan penghisap
a. Balon penghisap (bulb syringe)
b. Penghisap mekanik dan tabung Kateter
penghisap
c. Pipa lambung
2. Peralatan balon dan sungkup
a. Balon resusitasi neonatus yang dapat
memberikan oksigen 90% sampai 100%,
dengan volume balon resusitasi ± 250 ml
b. Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi
kurang bulan (dianjurkan yang memiliki
bantalan pada pinggirnya)
c. Sumber oksigen dengan pengatur aliran
(ukuran sampai 10 L/m) dan tabung.
3. Peralatan intubasi
a. Laringoskop
b. Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan
stilet (bila tersedia) yang cocok dengan pipa
endotrakeal yang adaSelang endotrakeal
(endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia)
yang cocok dengan pipa endotrakeal yang
ada
4. Obat-obatan
a. Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) – 3 ml atau
ampul 10 ml
b. Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer
Laktat) untuk penambah volume—100 atau
250 ml.
c. Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml)—
ampul 10 ml.
d. Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0
mg/ml
e. Dextrose 10%, 250 ml
f. Kateter umbilikal
Persiapan Klien & Lingkungan 1. Beri tahu klien tentang tindakan yang akan dilakukan
2. Atur posisi klien

Pelaksanaan Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan


menjawab 4 pertanyaan:
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah air ketuban jernih?
c. apakah bayi bernapas atau menangis?
d. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung
dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak
dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada
ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk
menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu
pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau
beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:
1. Memberikan kehangatan Bayi
Diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant
warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat
mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi
seluruh tubuh.
2. Memposisikan bayi dengan sedikit
menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit
tengadah dalam posisi menghidu agar posisi farings,
larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan
mempermudah masuknya udara.
3. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas
adalah bergantung pada keaktifan bayi dan
ada/tidaknya meconium.
4. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan
meletakkan pada posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap
sekret, dan mengeringkan akan memberi rangsang
yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.
Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret
dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat,
maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan
menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.
5. Ventilasi tekanan positif
6. Kompresi dada
7. Pemberian epinefrin dan atau pengembang
volume (volume expander)
8. Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk
menentukan perlu tidaknya resusitasi lanjutan. Tanda
vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:
 Pernafasan
 Frekuensi Nafas
 Warna Kulit
9. Pemberian Oksigen
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka
diberikan tambahan oksigen. Pemberian oksigen
aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan
sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak
mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan
selang/pipa oksigen.
10. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap
tahapan resusitasi sesuatu dengan keadaan, antara
lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi:
1) Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami
depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan
sebagai langkah pertama sebelum melakukan
tindakan resusitasi yang lain, untuk
membersihkan mekoneum dari jalan napas.
2) Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup
menghasilkan perbaikan kondisi,
pengembangan dada, atau jika ventilasi
tekanan positif berlangsung lebih dari
beberapa menit, dapat dilakukan intubasi
untuk membantu memudahkan ventilasi.
3) Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat
membantu koordinasi antara kompresi dada
dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi
ventilasi tekanan positif.
4) Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi
frekuensi jantung maka cara yang umum
adalah memberikan epinefrin langsung ke
trakea melalui pipa endotrakeal sambil
menunggu akses intravena.
5) Jika dicurigai ada hernia diafragmatika,
mutlak dilakukan pemasangan selang
endotrakeal. Cara pemasangan selang
endotrakeal perlu dikuasai diantaranya
melalui pelatihan khusus.
Evaluasi 1. Evaluasi hasil subjektif dan objektif
2. Simpulkan hasil kegiatan
3. Berikan reinforcement positif
4. Lakukan kontrak waktu untuk kegiatan selanjutnya
5. Akhiri kegiatan dengan cara yang baik
Dokumentasi 1. Catat kegiatan yang telah dilakukan, catat tanggal
dan jam pelaksanaan
2. Catat respon klien terhadap tindakan
3. Nama dan paraf perawat

3.1.2 Epinefrin
Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit
setelah dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik.
Epinefrin tidak boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin
akan meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan
0,1-0,3 ml/kgBB larutan1:10.000 (setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau
melalui selang endotrakeal. Dosis dapat diulang 3-5 menit secara intravena bila
frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal diberikan jika pemberian dilakukan
melalui selang endotrakeal.
3.1.3 Volume Ekspander
Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir
yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi, hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis
ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat. Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit.
Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat
berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan
darah O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.9
3.1.3 Bikarbonat
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir
yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus
disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan
adalah 2 mEq/kg BB atau 4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya
terdapat BicNat dengan konsetrasi 7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau
dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara intra vena dengan kecepatan tidak
melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.
3.1.4 Nalokson
Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi
depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik dalam
waktu 4 jam sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat
dan stabil. Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai sebagai
pecandu obat narkotika, sebab akan menyebabkan gejala putus obat pada sebagian
bayi. Cara pemberian intravena atau melalui selang endotrakeal. Bila perfusi baik dapat
diberikan melalui intramuskuler atau subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB,
perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia dalam 2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1
mg/ml.

3.2 Pengobatan NonFarmakologi


1. Teknik Muscle Pumping
Teknik muscle pumping merupakan salah satu tindakan untuk meningkatkan
aliran balik darah vena menuju ke jantung, yaitu untuk mengalirkan darah yang
berada di ekstremitas inferior bayi menuju ke atrium kanan sehingga terjadi sirkulasi
darah yang teratur, maka berpengaruh terhadap sistem. Teknik muscle pumping
dapat digambarkan dengan cara menggerakan kedua kaki bayi, posisi kedua lutut
dilipat menuju kearah dada bayi. Muscle pumping bermanfaat membantu adaptasi
bayi baru lahir dengan cara memperlancar aliran darah vena yang ada di
ekstremitas bawah menuju ke jantung, dimana darah yang rendah kandungan
oksigen dan tinggi karbondioksida yang berasa dari sirkulasi sistemik dihantarkan
melalui vena kava inferior menuju atrium kanan melalui katup trikuspidalis masuk ke
ventrikel kanan lalu dihantarkan melalui arteri pulmonalis menuju ke paru-paru untuk
di oksigenasi kembali. Selanjutnya darah yang telah kaya oksigen akan masuk
melalui vena pulmonalis menuju atrium kiri melalui katup bikuspidalis masuk ke
ventrikel kiri untuk dihantarkan menuju sirkulasi sistemik pembuluh aorta, dan
dialirkan ke seluruh tubuh untuk kontraksi otot pernafasan, gerakan perut, dan
metabolisme bayi baru lahir lainnya.
2. Terapi Hipoterrmia
Hipotermia (cooling) merupakan terapi nonspesifik yang dapat mempengaruhi
proses kematian neuron pada fase kegagalan energi primer maupun sekunder.
Hipotermia melindungi neuron dengan mengurangi kecepatan metabolik serebral,
mengurangi pelepasan asam amino eksitatorik (glutamat, dopamin), memperbaiki
ambilan glutamat yang terganggu oleh iskemik, serta menurunkan produksi NO dan
radikal bebas. Terapi hipotermia yang diberikan pada bayi asfiksia yang memenuhi
indikasi, mampu mencegah timbulnya kejang dengan mengurangi kecepatan
metabolik serebral, menghambat aktivitas glutamat dan dopamine dan
meningkatkan ambang batas kejang listrik pada otak.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari materi yang kami bahas dapat disimpulkan bahwa Asfiksia neonatrum
adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur,
sehingga dapat menurunkan oksigen dan semakin meningkatkan kadar karbondioksida
yang dapat menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor baik dari faktor ibu, plasenta, janin dan neonatus. Asfiksia pada
bayi ditandai dengan bayi lahir dengan tidak bernafas, kulit pucat (biru), Tonus otot
lemah dll.

4.2 Saran
Saran dari kelompok kami untuk pembaca makalah ini yaitu untuk melakukan
pemeriksaan atau check kandungan secara rutin untuk mengetahui keadaan janin yang
ada di kandungan ibu.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
baik dari sisi referensi maupun cara penulisan dan penyusunan, maka dari itu kami
harap masukan (saran) untuk perbaikan pada makalah-makalah selanjutnya baik dari
dosen pengampu mata kuliah ataupun dari rekan-rekan pembaca.Kami akan terima
dengan lapang dada setiap kritikan dan saran yang sifatnya membangun untuk
perubahan kearah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Nule, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Bayi Ny. E. N Dengan Asfiksia Sedang Di
Ruangan NICU RSUD. Prof DR. W. Z Johanes Kupang.
Sari, D. P., Santoso, S., & Widyasih, H. HUBUNGAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD
WONOSARI TAHUN 2018 (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta).
IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV)
McGuire W. Perinatal asphyxia. Clin Evid 2006;15:1–2.
Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby General Hospital: a study of
incidence, risk factors and outcome. PNG Med J 2000;43(1-2):110-120. (Level of
evidence IIb)
Intarti, W. D., Puspitasari, L., & Pradani, R. I. (2016). Efektifitas muscle pumping dalam
meningkatkan score APGAR pada bayi baru lahir dengan asfiksia. Jurnal
Kebidanan, 8(01).
Kusuma, E. (2019). Pengaruh Terapi Hipotermi terhadap Kejadian Kejang pada Bayi Asfiksia di
Ruang Alamanda RSUD Bangil. Jurnal Citra Keperawatan, 7(2), 72-78.

Anda mungkin juga menyukai