Disusun oleh :
KELOMPOK 1
Universitas Nasional
Jakarta
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Kritis
tentang ”KEJANG DEMAM”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Kejang Demam dapat memberikan
manfaat terhadap pembaca.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
Kesimpulan 25
Saran 25
Daftar Pustaka 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi kejang demam
2. Untuk mengetahui etiologi kejang demam
3. Untuk mengetahui patofisiologi kejang demam
4. Untuk mengetahui pathway kejang demam
5. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi kejang demam
6. Untuk mengetahui apa saja komplikasi kejang demam
7. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang kejang demam
8. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan kejang demam
9. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan kejang demam
10. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan kejang demam
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) (1993, dalam Pellock, 2014)
kejang demam merupakan gangguan neurologis akut yang paling umum terjadi pada bayi dan
anak-anak disebabkan tanpa adanya infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam terjadi pada umur
3 bulan sampai 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <6 bulan atau
>3 tahun. Kejang demam dapat terjadi bila suhu tubuh diatas 38oC dan suhu yang tinggi dapat
menimbulkan serangan kejang.
Menurut Maria (2011), setiap anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang
berbeda dimana anak dengan ambang kejang yang rendah terjadi apabila suhu tubuh 38 derajat
Celsius tetapi pada anak yang memiliki ambang kejang yang tinggi terjadi pada suhu 40 derajat
Celsius bahkan bisa lebih dari itu.
Demam dapat terjadi setiap saat dan bisa terjadi pada saat setelah kejang serta anak
dengan kejang demam memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit demam kontrol
(Newton, 2015).
2.2 Etiologi
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak, truma, bekuan
darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala putus alcohol
dangangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, sabagian kejang merupakan
idiopatuk (tidak diketahui etiologinya)
1. Intrakranial
2. Ekstra cranial
Kelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino, ketergantungan dan kekurangan
asam amino
3. Idiopatik
2.3 Patofisiologi
Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan dipengaruhi oleh
usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia,
asidodosis laktat disebabkan oleh matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan perederan darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak.
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang
berlangsung lama di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu
kejang demam yang berlansung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga
terjadi epilepsi (Nurindah , 2014).
2.4 Pathway
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai
dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang
mioklonik.
a. Kejang Tonik
Kejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan
masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis
kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di
bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi
selaput otak atau kernikterus
b. Kejang Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan
multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik,
terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi
besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
c. Kejang Mioklonik
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang danterjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini
merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada
kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.(Lumbang Tebing, 1997)
2.6 Komplikasi
Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada orang tua,
sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang, kejang demam tidak
mengakibatkan kerusakan otak, keterbelakangan mental atau kesulitan belajar / ataupun epiksi
Epilepsy pada anak di artikan sebagai kejang berulang tanpa adanya demam kecil kemungkinan
epilepsy timbul setelah kejng demam. Sekitar 2 – 4 anak kejang demam dapat menimbulkan
epilepsy, tetapi bukan karena kejang demam itu sendiri kejang pertama kadang di alami oleh
anak dengan epilepsy pada saat mereka mengalami demam. Namun begitu antara 95 – 98 % anak
yang mengalami kejang demam tidak menimbulkan epilepsy
Komplikasi yang paloing umum dari kejang demam adalah adanya kejang demam
berulang. Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka demam kembali resiko
terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika :
1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi
Risiko yang akan dihadapi seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari
faktor:
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
Namun begitu faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah usia. Semakin muda
usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar kemungkinan mengalami kejang
berulang
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak
jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
5. Uji laboratorium
Pencegahan yang harus dilakukan pada anak yang mengalami kejang demam adalah
sebagai berikut :
1. Imunisasi adalah dengan sengaja memasukkan vaksin yang berisi mikroba hidup yang
sudah dilemahkan pada balita yang bertujuan untuk mencegah dari berbagain macam
penyakit. Imunisasi akan memberikan perlindungan seumur hidup pada balita terhadap
serangan penyakit tertentu. Apabila kondisi balita kurang sehat bisa diberikan imunisasi
karena suhu badannya akan meningkat sangat tinggi dan berisiko mengalami kejang
demam. Berbagai jenis vaksinasi atau imunisasi yang saat ini dikenal dan diberikan
kepada balita dan anak adalah vaksin poliomyelitis, vaksin DPT (difteria, pertusis dan
tetanus), vaksin BCG (Bacillus Calmette Guedrin), vaksin campak (Widjaja, 2009).
2. Orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengamati anak dengan
cara jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak karena benda tersebut justru
dapat menyumbat jalan napas, anak harus dibaringkan ditempat yang datar dengan posisi
menyamping bukan terlentang untuk menghindari bahaya tersedak, jangan memegangi
anak untuk melawan, jika kejang terus berlanjut selama 10 menit anak harus segera
dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat dan setelah kejang berakhir jika <10 menit anak
perlu dibawa ke dokter untuk meneliti sumber demam terutama jika ada kekakuan leher,
muntah-muntah yang berat dan anak terus tampak lemas (Lissauer, 2013).
Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa terdapat 4 faktor untuk menangani kejang demam
diantaranya adalah pemberantasan kejang secepat mungkin, pengobatan penunjang, memberikan
pengobatan rumat serta mencari dan mengobati penyebab.
2. Pengobatan penunjang yaitu dengan melepas pakaian ketat yang digunakan pasien,
kepala pasien sebaiknya dimiringkan untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan
agar jalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen dan bila perlu dilakukan
inkubasi atau trakeostomi serta penghisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan
fungsi jantung diawasi secara ketat. Berikut tindakan pada saat kejang :
(1) Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidih
yang telah dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik
(2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien dan lepaskan pakaian yang
mengganggu pernapasan seperti ikat pinggang dan gurita
(3) Bila suhu tinggi berikan kompres secara intensif
(4) Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat
(5) Isap lendir sampai bersih, berikan oksigen boleh sampai 4L/menit dan jika pasien
upnea lakukan tindakan pertolongan (Ngastiyah, 2014).
3. Pengobatan rumat, pada saat kejang demam telah diobati kemudian diberikan pengobatan
rumat. Mekanisme kerja diazepam sangat singkat, yaitu berkisar antara 45-60 menit
sesudah di suntik. Oleh karena itu harus diberikan obat antiepileptik dengan daya kerja
lebih lama misalnya fenobarbital atau defenilhidantoin. Fenobarbital diberikan langsung
setalh kejang berhenti dengan diazepam. Lanjutan pengobatan rumat tergantung dari pada
keadaan pasien. Pengobatan ini dibagi menjadi dua bagiam yaitu profilaksis intermiten
dan profilaksis jangka panjang (Natsume, 2016).
4. Mencari dan mengobati penyebab. Etiologi dari kejang demam sederhana maupun
epilepsi biasanya disebabkan oleh infeksi pernapasan bagian atas serta otitis media akut.
Cara untuk penanganan penyakit ini adalah dengan pemberian obat antibiotik dan pada
pasien kejang demam yang baru datang untuk pertama kalinya dilakukan pengambilan
pungsi lumbal yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan terdapat infeksi
didalam otak seperti penyakit miningitis (Arief, 2015).
Patel (2015), menjelaskan bahwa orang tua harus di ajari bagaimana cara
menolong pada saat anak kejang dan tidak boleh panik serta yang penting adalah
mencegah jangan sampai timbul kejang serta memberitahukan orang tua tentang apa yang
harus dilakukan jika kejang demam berlanjut dan terjadi di rumah dengan tersedianya
obat penurun panas yang didapat atas resep dokter yang telah mengandung
antikonvulsan, anak segera diberikan obat antipiretik bila orang tua mengetahui anak
mulai demam dan jangan menunggu suhu meningkat serta pemberian obat diteruskan
sampai suhu sudah turun selama 24 jam berikutnya (Ghassabian, et al. 2012). Jika terjadi
kejang, anak harus dibaringkan ditempat yang rata dan kepalanya dimiringkan serta buka
baju anak dan setelah kejang berhenti, pasien bangun kembali suruh minum obat dan
apabila suhu pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya dikompres serta beritahukan
kepada orang tua pada saat anak mendapatkan imunisasi agar segera beritahukan dokter
atau petugas imunisasi bahwa anak tersebut menderita kejang demam agar tidak
diberikan pertusis (Patil, et al. 2012).
A. Data Subyektif
a. Identitas Klien
Nama : An. A
d. Riwayat Kesehatan
An. A usia 3 tahun 2 bulan dibawa ke RS dr. Soedirman dengan keluhan utama demam
dan kejang ±1 jam sebelum masuk rumah sakit, kejang berlangsung <10 menit, saat kejang
mata An. A tampak berputar-putar. Tidak terjadi kejang pada anggota tubuh yang lain. Dua
hari sebelum masuk RS pasien mengalami diare dan belum berobat kemanapun. BAB cair 5x
sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit, BAB lendir dan berdarah pasien mengalami
muntah ix selama dirumah. Saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak mengalami kejang, suhu
37,60C, pernapasan 25x/menit, nadi 92x/menit. Ibu pasien tampak cemas dan mengatakan
khawatir dengan kondisi anaknya.
Ibu pasien mengatakan An. A pernah sakit pilek, batuk, diare dan belum pernah pula di
rawat di RS. Keluarga pasien hanya membawa ke bidan atau dokter saat An. A sakit.
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami kejang.
Ibu pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mengalami sakit seperti pasien.
Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai penyakit menurun seperti asma, DM, hipertensi
maupun penyakit menular seperti HIV/AIDS , TBC, Hepatitis dll.
4. Riwayat Kehamilan
Anak perempuan dari ibu G2 P2 A0. Ibu pasien mengatakan saat hamil ibu pasien
mengalami mual muntah tetapi hanya pada trimester I dan biasanya hanya pada pagi hari.
Pada Trimester ke III ibu mengalami nyeri punggung dan tulang belakang. Ibu pasien tidak
pernah jatuh saat hamil pasien mengatakan rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter
kandungan yang dekat dari rumahnya dan melakukan imunisasi TT di dokter tersebut.
Selama hamil ibu pasien mengatakan hanya mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh
dokter dan tidak pernah mengkonsumsi jamu tradisional
5. Riwayat Persalinan
Ibu pasien mengatakan An. A lahir secara normal dan spontan dibantu oleh bidan. Tidak
ada kelainan bawaan dan tidak mempunyai gangguan selama proses persalinan. Pasien lahir
pada usia kehamilan 39 minggu, setelah lahir pasien langsung menangis, BBL : 3300 gram,
PB:49 cm.
6. Riwayat Imunisasi
Pasien sudah mendapat imunisasi lengkap : hepatitis, campak, BCG, Polio I, II, III dan
DPT I, II, III
Ibu pasien mengatakan An. A tidak mengalami keterlambatan dalam proses tumbuh
kembang.
a. Perkembangan motorik kasar : pasien mampu berjalan dengan satu kaki, dan
berlari.
b. Motorik halus : menyusun menara kubus, mewarnai, menggambar bentuk (bulat,
persegi, segitiga)
c. Bahasa : berbicara dengan orang lain dengan baik (nyambung)
d. Perkembangan sosial : pasien mampu berjabat tangan, bekenalan dengan orang
lain, dan berinteraksi dengan pasien lain.
8. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki : Menikah
: Pasien
9. Kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan klien = 1000+50 (15-5) = 1000+ 50×5 =1000+250 =1250 cc/24 jam
Kenaikan suhu IWL = 30-3,2×15 = 402cc/24 jam
10. Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori klien Usia 1-3 tahun = 75-90 kkal/ kgBB/ hari = 75 x 15 kg = 1.125
kkal = 90 x 15 kg =1.350 kkal Jadi, kebutuhan kalori An.A yaitu 1.125-1.350 kkal/hari
B. Data Obyektif
Pemeriksaan Fisik
1. TTV
Nadi : 92 x/menit
Suhu : 37.6˚C
RR : 25 x/menit
2. Antropometri :
Lingkar Kepala : 52 cm
Lingkar Lengan atas : 16 cm
Lingkar dada: 54 cm
BB : 15 Kg
TB: 101 cm
3. Kepala : mesocephal, tidak ada benjolan maupun edema, rambut bersih dan berwarna hitam,
ubun ubun sudah keras dan menyatu
4. Mata : konjungtiva anemis, sklera anikterik, refleks pupil dan penglihatan normal
5. Hidung : tidak ada polip, tidak terlihat pernafasan cuping hidung,
6. Mulut : Membran mukosa bibir tampak pucat, tidak ada kandidiasis pada lidah maupun rongga
mulut,lidah dapat bergerak bebas, gigi sudah lengkap
7. Telinga : normal, bersih
8. Leher : Leher tampak simetris, tidak teraba adanya massa dan tidak ada pembesaran kelenjar
limfe. Tidak ada kesulitan untuk menelan makanan atau minuman.
9. Dada
Paru
Inspeksi : tidak terdapat tarikan dinding dada ke dalam, dada simetris
Palpasi : vocal fremitus seimbang sinistra-dextra, pengembangan paru simetris
Perkusi : sonor
ANALISA DATA
1. A. DS :
- Ibu pasien mengatakan klien demam sejak tanggal 12 Juli 2017
- Ibu pasien mengatakan, saat demam pasien langsung dibawa ke rumah sakit
- Ibu pasien mengatakan saat di IGD pasien mengalami kejang 1x pada suhu 40,40C
B. DO :
- Terjadi peningkatan suhu tubuh , S: 37,6˚C
- Kulit teraba hangat
- Kulit tampak kemerahan
Problem : Hipotermi
Etiologi : penyakit (diare)
2. A. DS :
- Ibu pasien mengatakan An. A BAB cair 5x sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit,
BAB lendir dan berdarah
- Ibu pasien mengatakan An. A muntah 1x
DO :
- Pasien tampak lemah
- Pasien BAB cair 3x
- Pasien tidak mau minum
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kejang demam adalah perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan akibat kenaikan
suhu dimana suhu rectal diatas 38°C sehingga mengakibatkan renjatan kejang yang biasanya
terjadi pada anak dengan usia 3 bulan sampai 5 tahun.
2. Data yang didapat dari pengkajian berupa Ibu klien mengatakan demam sejak tanggal 12 Juli
2017, saat di IGD klien mengalami kejang 1x pada suhu 40C , Terjadi peningkatan suhu tubuh ,
S: 37,6˚C , Kulit klien teraba hangat dan tampak kemerahan
2. Risiko defisit volume cairan b.d Intake cairan yang tidak adekuat
Saran
1. Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang manajemen demam pada anak untuk
mencegah kejang demam.
2. Anjurkan orang tua untuk melakukan manajemen anak demam untuk mencegah terjadinya
kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, C., & Sowden, L. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/110/jtptunimus-gdl-rizqianag0-5455-2-babii.pdf diakses
pada Rabu 11 Maret 2020