Anda di halaman 1dari 40

 MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN

PALIATIF

 (Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan


 Withdrawing or Withholding Life-Support Treatment)

 BAB I
 PENDAHULUAN
 Latar Belakang
 Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah memb
awa dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara lain :
transplantasi organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi, abortus
provokatus (aborsi) dan euthanasia. Selain menyangkut bidang edokteran sendiri, perke
mbangan dan kemajuan tersebut justru harus lebih banyak berhadapan dengan hak asa
si manusia, etika dan hukum.(Achadiat, 2007).
 Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan mutu individual, ma
ka peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus dilakukan, agar tidak tertinggal de
ngan rotasi zaman. Begitu pula dalam bidang pelayanan keperawatan, peningkatan pela
yanan haruslah dilandasi dengan nilai-
nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan yang profesional harus dilandasi oleh nila
i-
nilai intelektual, komitmen moral terhadap diri sendiri, tanggungjawab terhadap masyar
akat, otonomi, serta pengendalian. Oleh karena itu tenaga kesehatan diharapkan mam
pu memberikan kontribusi yang optimal sesuai dengan pengetahuan, teknologi serta es
tetika perawatan pasien. (Mendri, 2009)
 Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pad
a dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruk
tif kronis, cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit geneti
ka dan penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disampin
g kegiatan promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan kes
ehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit dis
embuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak ha
nya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terba
ik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak
hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat ba
dan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada st
adium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun ju
ga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilaku
kan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Perawata
n paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang mengontrol int
ensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak ada harapan
untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat dan juga tid
ak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian penting da
lam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana sering kali
prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Pasi
en cenderung untuk memilih hidup singkat namun bahagia daripada hidup yang panjan
g tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas pasien yang berada dalam stadium lanjut
ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang realistis hanyalah penghalang nyeri
dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang efektif dapat meningkatkan
kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010) Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya
untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar
masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasidengan baik. Perawatan paliatif adal
ah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik danterintegrasi dengan melibatkan berba
gai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan
terbaik sampai akhir hayatnya.Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang mengem
bangkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dari masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam hidup, pada berbagai kelainan bersifat kronis atau pada pen
yakit terminal. Perawatan paliatif berfokus pada aspek yang multidimensi termasuk psik
ologis, social, spiritual, fisik, interpersonal dan komponen perawatan. Menurut Tejawin
ata (2006), salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian,
ketulusan, dan rasa syukur. Begitu pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya pe
nanganan nyeri yang mutlak harusdilakukan dalam perawatan paliatif. Beliau juga meny
atakan, pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliat
if pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yan
g berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang
calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan ke
sehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahiran
dengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si ba
yi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat p
erawatan paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari da
n penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini ta
mpaknya memiliki sedikit hubungannya dengan perawatan akut disampaikandalam pen
gaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meni
nggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati diru
mah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat. Mere
ka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan penyakit akut
ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol gejala, terutama
rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw adalah menyangkut
“kehidupan dan kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan minum, kadang-
kadang dalam keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus d
iberikan nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara u
mum seorang rata-
rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari tanpa makan. Seorang yang gem
uk malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena sel-sel lemak secara perlahan-
perlahan akan hancur dan memberikan daya-
tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih cepat. Dalam waktu 3
(tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan tenaganya.Dengan kema
juan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa di
perpanjang dengan memberikan makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan p
ernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema a
pakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang sud
ah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk menolong jiwa pasi
en, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh "merelakan pasien itu mening
gal" (allowing the patient to die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak mungkin lagi
untuk menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan diperpanjang d
an kadang-
kadang pasien sudah tidak tahan lagi penderitaannya. Memang persoalannya bersifat k
asuistis, sehingga suatu pedoman yang pasti dan baku tak mungkin diberikan. Tergantu
ng kepada hati- nurani sang dokter dan kepercayaan dan agama yang dianutriya. Juga t
ergantung kepada hukum dari negara yang berlaku. ( Guwandi, 2000). Dua pengacara,
David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah memberikan suatu contoh kasus dari Rhode
Island yang menghebohkan. Kasusnya sebagai berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serik
at, di Rhode Island, telah menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adala
h seorang pasien Rhode Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan vegeta
tif (persistent vegetative state). Mengingat Gray tidak mempunyai harapan lagi untuk si
uman kembali, maka suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial dihentikan s
aja agar Gray direlakan untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan meng
atakan hal ini tidak bisa mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanas
ia. Tindakan itu tidak selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana
atau perdata karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pe
ngadilan. Pengadilan federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan
hidrasi kepada Gray dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya, p
engadilan berpendapat bahwa ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak pember
ian bantuan kehidupan, termasuk makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan
hak ini adalah hak yang paling utama di atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray
telah merupakan suatu preseden penting di Rhode Island, tetapi ini masih belum meme
cahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi para dokter dalam memutuskan :
apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan. ( Guwandi, 2
000).Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit. Di satu pihak
dokter harus menghormati hak-
hak pasien (termasuk hak untuk mati? ), namun dilain pihak faktor-
faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidk
, pada masa sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus-
kasus euthanasia atau mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di
merika Serikat setuju dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperol
eh kesempatan. (Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih belum menda
patkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum
Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kas
us pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta P
usat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan gan
guan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebe
lum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyataka nsehat oleh d
okter. Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang
sama pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian dan telaah dari sudut medis, e
tika moral maupun hukum oleh masing-
masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan
yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profes
or Leenen kasus-kasus demikian ini disebut sebagai Pseudo-
Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia. Dalam bahasa I
ndonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-
semu. Salah satu bentuk Pseudo-
Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui
tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007) Menghentikan atau tidak
memulai memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or Withholding Life-
Support Treatment). Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euth
anasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertim
bangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial, etika, maupun moral. Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adala
h, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati, individual right; dalam keadaan khusus membun
uh orang legal; dilihat dari Pancasila: Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manf
aat, Pengobatan paliatif mulai berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Me
mberikan rasa aman kepada para tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, w
alau kehidupan semu tunggu mu’jizat; Sleepery Slope. (Sutarno, 2012)
 Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu lan
gkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan
pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dal
am perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau meneru
skan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat dihar
apkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien. Pen
ghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek hi
dup pasien, melainkan untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensi
nya. Dapat pula dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya penganiayaan t
erhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan diancam pidana ......
.)
 Permasalahan
 Berdasar Pemaparan contoh kasus tersebut diatas dilema etik yang sering ditemukan
dalam praktek keperawatan paliatif dapat bersifat personal ataupun profesional. Dile
ma menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua
atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tim perawatan paliatif kadang sulit
karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-
sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema etis jug
a terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses peng
ambilan keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan intera
ksi dan komunikasi yang baik dari tim perawatan paliatif. ” Bagaimana Aspek Medikol
egal Dalam Perawatan Paliatif (Studi Kasus Pseudo-
Euthanasia : pada Tindakan Withdrawing or Withholding Life-support Treatment)”

 BAB II
 PEMBAHASAN
o Pengertian
 Perawatan Paliatif
 Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebag
ai"perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap peng
obatan kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah
psikologis, sangat penting.Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas ter
baik hidup bagi pasien dan keluarga mereka.
 Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan me
nyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk men
gurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidu
pnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien
meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis da
n spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. (wikipedia.org)
 Kualitas hidup pasien
 Adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai kontek
s budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan nia
tnya. Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon da
n Harvey Schipper(1999), adalah : gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), k
esejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan (ter
masuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk ga
mbaran terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja. (Tejawinata, 2006)
 Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif
 Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis, perawata
n, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar perawat
an paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
 Prinsip dasar perawatan paliatif : (Rasjidi, 2010)
 Sikap peduli terhadap pasien
 Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderi
taan pasien, bukan hanya masalah kesehatan.
 Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik, k
epandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi
perawatan.
 Menganggap pasien sebagai seorang individu
 Setiap pasien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-
gejala yang sama, namun tidak ada satu pasienpun yang sama persis dengan pasien
lainnya. Keunikan inilah yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan peraw
atan paliatif untuk tiap individu.
 Pertimbangan kebudayaan
 Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi pender
itaan pasien. Perbedaan-
perbedaan ini harus ciperhatikan dalam perencanaan perawatan.
 Persetujuan
 Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau
diakhiri. Mayoritas pasien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun
dokter cenderung untuk meremehkan hal ini. Pasien yang telah diberi informasi m
emadai clan setuju dengan perawatan yang akan diberikan akan lebih patuh mengi
kuti segala usaha perawatan.
 Memilih tempat dilakukannya perawatan
 Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien can keluarganya harus ikut sert
a dalam diskusi ini. Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawat
an di rumah.
 Komunikasi
 Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga adalah h
al yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
 Aspek klinis : perawatan yang sesuai
 Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit
yang diderita pasien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesu
ai, baik itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah penderitaan pasien. Pem
berian perawatan yang berlebihan berisiko untuk memberikan harapan palsu kepa
da pasien. Demikian jugs perawatan yang dibawah standard akan mengakibatkan k
ondisi pasien memburuk.
 Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawata
n yang diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun i
tu sia-sia adalah tidak etis.
 Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang pr
ofesi
 Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik clan integratif, seh
ingga dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien sert
a koordinasi yang baik dari masing-
masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil Yang maksimal kepada pasie
n dan keluarga.
 Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
 Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan m
edis yang konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi y
ang tidak terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu baik pasien maupun kel
uarga.
 Perawatan yang berkelanjutan
 Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan d
asar tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien dipin
dahkan dari satu tempat ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kon
tinuitas perawatan.
 Mencegah terjadinya kegawatan
 Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadi
nya kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyaki
t. Pasien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-
masalah yang sering terjadi, dan membentuk rencana untuk meminimalisasi stres fi
sik dan emosional.
 Bantuan kepada sang perawat
 Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan e
mosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perh
atian khusus kepada mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga t
ergantung dari sang pemberi perawatan itu sendiri.
 Pemeriksaan ulang
 Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien den
gan penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif
 ( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
 Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliati
f.
 Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif. P
elaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarny
a dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang me
mbutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tind
akan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun p
emberi persetujuan diutamakan pasien sendiriapabila ia masih kompeten, dengan
saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yangcukup agar diberikan kepada pasie
n untuk berkomunikasi dengan keluargaterdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak k
ompeten, maka keluarga terdekatnyamelakukannya atas nama pasien.
 Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pe
rnyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh
atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menuru
n(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bol
ehatau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nan
tinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.P
ernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi timpera
watan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim peraw
atan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi
dapatdiberikan pada kesempatan pertama.
 Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif.
 Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh
pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini s
ebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasukiatau memulai perawata
n paliatif.Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan tela
h dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advance
d directive) atau dalam bentuk informed consent menjelang ia kehilangan kompet
ensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tid
ak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun d
emikian, dalamkeadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan p
atut, permintaantertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
penetapanpengadilan untuk pengesahannya.
 Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitas
i sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tah
ap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau me
mperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
 Perawatan pasien paliatif di ICU.
 Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.Dalam menghadapi
tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kema
tian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.
 Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif.
 Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimp
inan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.Pad
a dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenagamedis,
tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-
tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medisyang te
rlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.
 Medikolegal Euthanasia
 Sejarah Eutanasia
 Rasjidi, (2010) Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and "t
hanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada sumpah Hippok
rates yang ditulis pada masa 400-
300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memb
erikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu
". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "b
unuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
 Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
 Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup
atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien s
endiri.
 Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
 Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tan
pa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan
di bibir.
 Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si s
akit dengan memberi obat penenang.
 Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan s
engaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
 Pseudo-Euthanasia
o Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-
euthanasia ialah :
 Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak a
tau batang otak.
 Pasien menolak perawtan atau bantuan medik terhadap
dirinya.
 Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena k
uasa tidak terlawan (force majure).
 Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik ya
ng diketahui tidak ada gunanya.
 Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya
 Eutanasia pasif :Menghentikan/mencabut segala tindaka
n atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan h
idup manusia menyadari. Eutanasia ini dikategorikan se
bagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunaka
n alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan pasien. Tinda
kan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara senga
ja tidak memberikan bantuan medis untuk memperpanj
ang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam per
napasan atau tidak memberikan obat-
obat baik antibioti, vasopressor, vasoaktif, atau analgeti
k. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilaku
kan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan euta
nasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun k
eputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan mena
nggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.
 Eutanasia aktif Menurut Sutarno (2012) Eutanasia aktif t
idak langsung : Tindakan medik untuk meringankan pen
deritaan pasien, namun mengetahui adanya resiko dapa
t memperpendek atau mengakhiri hidup pasien pelaku
menyadari.Eutanasia aktif langsung (mercy killing) : Tind
akan medis secara terarah yg akan mengakhiri hidup pas
ien, atau memperpendek hidup pasien, pelaku menyada
ri.
 Penerapan Hukum Positif Pada Kasus Eutanasia di Indonesia
o Sutarno (2012) Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perb
uatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyaw
a orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata da
n sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Belum ada Peraturan perudangan yang khusus, dilihat dari sisi hukum: pembunuhan
/ pembiaran / kelalaian atau malpraktik medik ? Yang berkaitan adalah : a) Perbuata
n pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ?; b) Asas legalitas, penghil
angan nyawa; c) Kesalahan ( dolus, culpa); d) Delicta Commissionis, Delicta Omission
is, Delicta Commissionis per Omissionem Commissa.
 Berkaitan dengan Tindakan Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang di
ketahui tidak ada gunanya. ( Withdrawing or Withholding Life-
support Treatment) bagaimanapun juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan ha
l yang erat kaitannya dengan kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan paliatif. S
esuatu yang berada diluar batas ilmu kedokteran sudah tidak merupakan wewenang dok
ter dalam tim perawatan untuk menganinya karena bukan merupakan kompetensinya. B
ilamana tim perawatan paliatif bekerja diluar kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasi
en, maka dapat dikatakan telah melakukan penganiayaan terhadap pasiennya. Yang terp
enting kriteria medik harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah p
engobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua berdasarkan pengetahu
an, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dan tim peraw
atan. (Achadiat, 2007)
 Prinsip-Prinsip Etik
 Autonomy (otonomi )
 Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis d
an mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan me
miliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pi
lihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respe
k terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan ber
tindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan indivi
du yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saa
t tim perawatan paliatif menghargai hak-
hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
 Non maleficience (tidak merugikan)
 Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan bahw
a kita berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan
orang lain. Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates,
yaitu Premium non nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan samp
ai merugikan. (Achadiat, 2007)
 Veracity (kejujuran)
 Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan k
emampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar me
njadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan pen
erimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tenta
ng segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani per
awatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya bat
asan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk
pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi pe
nuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan sal
ing percaya
 Beneficienec (berbuat baik)
 Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan p
encegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelaya
nan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
 Justice (keadilan)
 Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain ya
ng menjunjung prinsip-
prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesio
nal ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, sta
ndar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kese
hatan.
 Kerahasiaan (confidentiality)
o Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang Pasien
harus dijaga privasi-
nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan Pasien hanya bol
eh dibaca dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada satu orangpun dapat m
emperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh Pasien dengan bukti
persetujuannya. Diskusi tentang Pasien diluar area pelayanan, menyampaik
annya pada teman atau keluarga tentang Pasien dengan tenaga kesehatan la
in harus dicegah. Komunikasi yang terjaga adalah informasi yang diberikan ol
eh tim perawatan kepada Pasien dengan kepercayaan dan keyakinan inform
asi tersebut tidak akan bocor. ( Perry & Potter, 1997 )
 Akuntabilitas (accountability)
o Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung ja
wab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang la
in. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali
. Tim Perawatan seringkali mengandalkan pertimbangan mereka denagn me
nggunakan (Teori Moral Mandle, 1994, dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu Te
ori Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang untuk mempertimbangk
an kebenaran dan kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau kewajiba
n tersebut. Teori Teleologis : umumnya mempertimbangkan konsekwensi s
uatu tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu yang baik dengan
melihat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasara
n konsekwensi apa yang akan dialami orang yang terlibat jika tindakan terse
but dilakukan.
 Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan), me
merlukan adanya kesdaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap o
rang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan mengu
tamakan kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan a
gar menghargai setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha
meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi
dalam tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu denga
n mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab. (Komalawati, 1989).
 Tinjauan menurut Ajaran Agama (Rasjidi, 2010)
 Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingg
a tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau m
emperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau ta
mpak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemili
k penuh atas dirinya. Ada aturan-
aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh memb
unuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindaka
n euthanasia, apapun alasannya.
 Dalam Ajaran Islam
o Seperti dalam agama-
agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang
untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepa
da manusia.Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dal
am hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yan
g secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat ya
ng menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, da
n janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan ber
buat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Jang
anlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungn
ya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang
Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarak
an dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut
qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang de
ngan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihsayang, dengan tujuan me
ringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pad
a konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinya
takan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutan
asia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam a
lasan apapun juga.
 Eutanasia Positif
o Yang dimaksud taisir al-maut al-
fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian sisakit—
karena kasih sayang—
yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen(alat).Memu
dahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperke
nankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan sua
tu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kemat
iannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunu
han yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasak
an.Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan m
eskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meri
ngankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pen
gasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanla
h urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-
lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabil
a telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
 Eutanasia Negatif
o Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-
munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi iahanya dibiarkan t
anpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan
pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada guna
nya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatull
ah (hukum Allah terhadap alamsemesta) dan hukum sebab-
akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menur
ut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya
berkisar pada hukum mubah. Dalamhal ini hanya segolongan kecil yang mew
ajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-
sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syek
hul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab
(sunnah).
 Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
o Sejak pertengahan abad ke-
20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelasmungki
n mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersemb
uhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sist
em penunjang hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengut
uk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas di
mulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara j
elas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang e
utanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih l
anjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-
sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana ya
ng sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Ev
angelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala
yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-
orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang m
engganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia mer
upakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama.
Belas kasihan itutidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat k
ita tanggung" (Evangelium Vitae,nomor 66)
 Dalam Ajaran Agama Hindu
o Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajara
n tentang karma,moksa dan ahimsa.Karma adalah merupakan suatu konsek
wensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik m
aupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-
kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang bur
uk adalah menjadi penghalang"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari sikl
us reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam aj
aran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suat
u factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "
karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan ya
ng sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan k
embali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan
bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan
tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hin
gga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Ca
tatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditak
dirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa
arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman
lebih berat dan akhirnya ia akan kembali kedunia dalam kehidupan kembali (
reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai
dijalaninya kembali lagi dari awal.
 Dalam Ajaran Protestan
o Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pend
ekatan yang berbeda-
beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu p
elaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi terseb
ut misalnya :Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajaran
nya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk memper
panjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang da
pat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankahperalatan penyokong
kehidupan tersebut benar-
benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhi
r kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan
nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan meru
pakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis
tersebut menjadi sia-
sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan
atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.Seorang kristiani percaya
bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pem
berian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih b
aik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pe
maaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi
dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobat
an.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menan
ggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (m
ercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pember
ian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentanga
n dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
 Dalam Ajaran Agama Buddha
o Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan di
mana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal ters
ebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada ha
l tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") M
empercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pel
anggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dap
at menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambila
n keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
 Dalam Ajaran Gereja Ortodoks
o Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-
orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, p
engajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kem
atian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gereja
wi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentang
an dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendi
rian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-
kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
 Dalam Ajaran Agama Yahudi
 Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongka
nnya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan mi
lik dari Tuhanyang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari ke
hidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pem
bunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa ca
mpur tangan terhadap kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan
pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi m
engenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala bi
natang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa s
esama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini
adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
o Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativit
as manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yan
g dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak d
an merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia me
miliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran
mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuha
n. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara r
elatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lai
n berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan
kemanusiaan dan ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
o Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan seb
againya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepe
rtinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euth
anasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, s
ecara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipaka
i untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
 BAB III
 SIMPULAN
 Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupa
n pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan
meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lai
n-
fisik, psikososial, dan spiritual.Tampaknya terasa suatu kebutuhan yang sangat mendesak ak
an suatu pedoman yang mengatur hak-
hak pasien yang kompeten dan tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberi
an bantuan kehidupan.
 Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia yan
g belum ada tanda-
tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman tersebut harus memuat ga
ris-garis besar untuk melindungi hak-
hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan me
ninggal secara alami dan memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota kel
uarga dan wali menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa kha
watir akan tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dila
kukan di belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, buda
yadan melalui kajian keagamaa kita sendiri yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tert
entu.
 Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan do
kter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup
milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui
pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia d
iperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia i
ni tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan mas
alah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-
nilai etis dan moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
 Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawab
kan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat nilai-
nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral telah ba
nyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-
nilai moral di dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat pe
nting dan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
 Keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-
hati dan saling memuaskan dan tidak merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang
terpenting adalah rambu-
rambu etika, moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan.
Kemajuan ilmu teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi sejak di
ni dengan rumusan-rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan euthanasia.

 DAFTAR PUSTAKA
 Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah Konstit
usi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universita
s Indonesia.
 Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Z
aman, ECG, Jakarta
 Guwandi, 2000, Bioethics & Biolaw, Faultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
 Komalawati. D. Veronica, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Hara
pan, Jakarta
 Kozier, 2000, Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia. A
ddison Wesley.
 Mendri. Ni Ketut, 2009, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawa
t Dengan Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis Tidak
Dipublikasikan. Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
 Perry & Potter, 1997, Fundamental Keperawaran, Buku Ajar Konsep, Proses dan Prakti
k, ( Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk) Ed. 4, EGC, Jakarta.
 Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV Sagun
g Seto, Jakarta
 Sutarno, Eutanasia Yang Tidak Disadari Di Rumah Sakit, disampaikan dalam Kongres
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia di Yogyakarta 10 Juni 2012
 Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap Manusia, dis
ampiakan pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober 2008, Surabaya. (
Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-
2006)
 WHO. 2009. WHO Definition of Palliative Care. http://www.WHO.Int/ can cerlpallia tiv
eldefinitionlenl. Diakses tanggal 4 Mei 2011.
 Sutrisno, Eutanasia, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item
 Http\\www.wikipedia.org/w iki/Palliative_care
 Http://www.hukumonline.com/klinik/.../pengaturan-euthanasia-di-indonesia
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

 Keputusan Menkes Nomor : 812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan P


aliatifMEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN
PALIATIF
 (Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan
 Withdrawing or Withholding Life-Support Treatment)

 BAB I
 PENDAHULUAN
 Latar Belakang
 Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah memb
awa dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara lain :
transplantasi organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi, abortus
provokatus (aborsi) dan euthanasia. Selain menyangkut bidang edokteran sendiri, perke
mbangan dan kemajuan tersebut justru harus lebih banyak berhadapan dengan hak asa
si manusia, etika dan hukum.(Achadiat, 2007).
 Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan mutu individual, ma
ka peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus dilakukan, agar tidak tertinggal de
ngan rotasi zaman. Begitu pula dalam bidang pelayanan keperawatan, peningkatan pela
yanan haruslah dilandasi dengan nilai-
nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan yang profesional harus dilandasi oleh nila
i-
nilai intelektual, komitmen moral terhadap diri sendiri, tanggungjawab terhadap masyar
akat, otonomi, serta pengendalian. Oleh karena itu tenaga kesehatan diharapkan mam
pu memberikan kontribusi yang optimal sesuai dengan pengetahuan, teknologi serta es
tetika perawatan pasien. (Mendri, 2009)
 Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pad
a dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruk
tif kronis, cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit geneti
ka dan penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disampin
g kegiatan promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan kes
ehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit dis
embuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak ha
nya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terba
ik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak
hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat ba
dan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada st
adium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun ju
ga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilaku
kan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Perawata
n paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang mengontrol int
ensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak ada harapan
untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat dan juga tid
ak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian penting da
lam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana sering kali
prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Pasi
en cenderung untuk memilih hidup singkat namun bahagia daripada hidup yang panjan
g tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas pasien yang berada dalam stadium lanjut
ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang realistis hanyalah penghalang nyeri
dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang efektif dapat meningkatkan
kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010) Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya
untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar
masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasidengan baik. Perawatan paliatif adal
ah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik danterintegrasi dengan melibatkan berba
gai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan
terbaik sampai akhir hayatnya.Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang mengem
bangkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dari masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam hidup, pada berbagai kelainan bersifat kronis atau pada pen
yakit terminal. Perawatan paliatif berfokus pada aspek yang multidimensi termasuk psik
ologis, social, spiritual, fisik, interpersonal dan komponen perawatan. Menurut Tejawin
ata (2006), salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian,
ketulusan, dan rasa syukur. Begitu pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya pe
nanganan nyeri yang mutlak harusdilakukan dalam perawatan paliatif. Beliau juga meny
atakan, pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliat
if pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yan
g berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang
calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan ke
sehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahiran
dengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si ba
yi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat p
erawatan paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari da
n penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini ta
mpaknya memiliki sedikit hubungannya dengan perawatan akut disampaikandalam pen
gaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meni
nggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati diru
mah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat. Mere
ka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan penyakit akut
ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol gejala, terutama
rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw adalah menyangkut
“kehidupan dan kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan minum, kadang-
kadang dalam keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus d
iberikan nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara u
mum seorang rata-
rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari tanpa makan. Seorang yang gem
uk malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena sel-sel lemak secara perlahan-
perlahan akan hancur dan memberikan daya-
tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih cepat. Dalam waktu 3
(tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan tenaganya.Dengan kema
juan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa di
perpanjang dengan memberikan makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan p
ernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema a
pakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang sud
ah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk menolong jiwa pasi
en, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh "merelakan pasien itu mening
gal" (allowing the patient to die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak mungkin lagi
untuk menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan diperpanjang d
an kadang-
kadang pasien sudah tidak tahan lagi penderitaannya. Memang persoalannya bersifat k
asuistis, sehingga suatu pedoman yang pasti dan baku tak mungkin diberikan. Tergantu
ng kepada hati- nurani sang dokter dan kepercayaan dan agama yang dianutriya. Juga t
ergantung kepada hukum dari negara yang berlaku. ( Guwandi, 2000). Dua pengacara,
David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah memberikan suatu contoh kasus dari Rhode
Island yang menghebohkan. Kasusnya sebagai berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serik
at, di Rhode Island, telah menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adala
h seorang pasien Rhode Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan vegeta
tif (persistent vegetative state). Mengingat Gray tidak mempunyai harapan lagi untuk si
uman kembali, maka suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial dihentikan s
aja agar Gray direlakan untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan meng
atakan hal ini tidak bisa mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanas
ia. Tindakan itu tidak selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana
atau perdata karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pe
ngadilan. Pengadilan federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan
hidrasi kepada Gray dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya, p
engadilan berpendapat bahwa ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak pember
ian bantuan kehidupan, termasuk makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan
hak ini adalah hak yang paling utama di atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray
telah merupakan suatu preseden penting di Rhode Island, tetapi ini masih belum meme
cahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi para dokter dalam memutuskan :
apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan. ( Guwandi, 2
000).Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit. Di satu pihak
dokter harus menghormati hak-
hak pasien (termasuk hak untuk mati? ), namun dilain pihak faktor-
faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidk
, pada masa sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus-
kasus euthanasia atau mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di
merika Serikat setuju dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperol
eh kesempatan. (Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih belum menda
patkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum
Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kas
us pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta P
usat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan gan
guan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebe
lum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyataka nsehat oleh d
okter. Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang
sama pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian dan telaah dari sudut medis, e
tika moral maupun hukum oleh masing-
masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan
yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profes
or Leenen kasus-kasus demikian ini disebut sebagai Pseudo-
Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia. Dalam bahasa I
ndonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-
semu. Salah satu bentuk Pseudo-
Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui
tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007) Menghentikan atau tidak
memulai memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or Withholding Life-
Support Treatment). Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euth
anasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertim
bangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial, etika, maupun moral. Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adala
h, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati, individual right; dalam keadaan khusus membun
uh orang legal; dilihat dari Pancasila: Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manf
aat, Pengobatan paliatif mulai berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Me
mberikan rasa aman kepada para tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, w
alau kehidupan semu tunggu mu’jizat; Sleepery Slope. (Sutarno, 2012)
 Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu lan
gkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan
pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dal
am perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau meneru
skan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat dihar
apkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien. Pen
ghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek hi
dup pasien, melainkan untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensi
nya. Dapat pula dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya penganiayaan t
erhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan diancam pidana ......
.)
 Permasalahan
 Berdasar Pemaparan contoh kasus tersebut diatas dilema etik yang sering ditemukan
dalam praktek keperawatan paliatif dapat bersifat personal ataupun profesional. Dile
ma menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua
atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tim perawatan paliatif kadang sulit
karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-
sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema etis jug
a terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses peng
ambilan keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan intera
ksi dan komunikasi yang baik dari tim perawatan paliatif. ” Bagaimana Aspek Medikol
egal Dalam Perawatan Paliatif (Studi Kasus Pseudo-
Euthanasia : pada Tindakan Withdrawing or Withholding Life-support Treatment)”

 BAB II
 PEMBAHASAN
o Pengertian
 Perawatan Paliatif
 Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebag
ai"perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap peng
obatan kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah
psikologis, sangat penting.Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas ter
baik hidup bagi pasien dan keluarga mereka.
 Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan me
nyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk men
gurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidu
pnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien
meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis da
n spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. (wikipedia.org)
 Kualitas hidup pasien
 Adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai kontek
s budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan nia
tnya. Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon da
n Harvey Schipper(1999), adalah : gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), k
esejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan (ter
masuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk ga
mbaran terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja. (Tejawinata, 2006)
 Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif
 Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis, perawata
n, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar perawat
an paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
 Prinsip dasar perawatan paliatif : (Rasjidi, 2010)
 Sikap peduli terhadap pasien
 Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderi
taan pasien, bukan hanya masalah kesehatan.
 Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik, k
epandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi
perawatan.
 Menganggap pasien sebagai seorang individu
 Setiap pasien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-
gejala yang sama, namun tidak ada satu pasienpun yang sama persis dengan pasien
lainnya. Keunikan inilah yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan peraw
atan paliatif untuk tiap individu.
 Pertimbangan kebudayaan
 Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi pender
itaan pasien. Perbedaan-
perbedaan ini harus ciperhatikan dalam perencanaan perawatan.
 Persetujuan
 Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau
diakhiri. Mayoritas pasien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun
dokter cenderung untuk meremehkan hal ini. Pasien yang telah diberi informasi m
emadai clan setuju dengan perawatan yang akan diberikan akan lebih patuh mengi
kuti segala usaha perawatan.
 Memilih tempat dilakukannya perawatan
 Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien can keluarganya harus ikut sert
a dalam diskusi ini. Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawat
an di rumah.
 Komunikasi
 Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga adalah h
al yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
 Aspek klinis : perawatan yang sesuai
 Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit
yang diderita pasien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesu
ai, baik itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah penderitaan pasien. Pem
berian perawatan yang berlebihan berisiko untuk memberikan harapan palsu kepa
da pasien. Demikian jugs perawatan yang dibawah standard akan mengakibatkan k
ondisi pasien memburuk.
 Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawata
n yang diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun i
tu sia-sia adalah tidak etis.
 Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang pr
ofesi
 Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik clan integratif, seh
ingga dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien sert
a koordinasi yang baik dari masing-
masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil Yang maksimal kepada pasie
n dan keluarga.
 Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
 Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan m
edis yang konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi y
ang tidak terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu baik pasien maupun kel
uarga.
 Perawatan yang berkelanjutan
 Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan d
asar tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien dipin
dahkan dari satu tempat ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kon
tinuitas perawatan.
 Mencegah terjadinya kegawatan
 Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadi
nya kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyaki
t. Pasien dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-
masalah yang sering terjadi, dan membentuk rencana untuk meminimalisasi stres fi
sik dan emosional.
 Bantuan kepada sang perawat
 Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan e
mosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perh
atian khusus kepada mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga t
ergantung dari sang pemberi perawatan itu sendiri.
 Pemeriksaan ulang
 Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien den
gan penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif
 ( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
 Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliati
f.
 Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif. P
elaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarny
a dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang me
mbutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tind
akan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun p
emberi persetujuan diutamakan pasien sendiriapabila ia masih kompeten, dengan
saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yangcukup agar diberikan kepada pasie
n untuk berkomunikasi dengan keluargaterdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak k
ompeten, maka keluarga terdekatnyamelakukannya atas nama pasien.
 Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pe
rnyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh
atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menuru
n(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bol
ehatau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nan
tinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.P
ernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi timpera
watan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim peraw
atan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi
dapatdiberikan pada kesempatan pertama.
 Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif.
 Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh
pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini s
ebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien memasukiatau memulai perawata
n paliatif.Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi,
sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan tela
h dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advance
d directive) atau dalam bentuk informed consent menjelang ia kehilangan kompet
ensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tid
ak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun d
emikian, dalamkeadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan p
atut, permintaantertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
penetapanpengadilan untuk pengesahannya.
 Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitas
i sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tah
ap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau me
mperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
 Perawatan pasien paliatif di ICU.
 Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-
ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.Dalam menghadapi
tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kema
tian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.
 Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif.
 Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimp
inan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.Pad
a dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenagamedis,
tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-
tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medisyang te
rlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.
 Medikolegal Euthanasia
 Sejarah Eutanasia
 Rasjidi, (2010) Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and "t
hanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada sumpah Hippok
rates yang ditulis pada masa 400-
300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memb
erikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu
". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "b
unuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
 Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
 Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup
atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien s
endiri.
 Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
 Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tan
pa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan
di bibir.
 Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si s
akit dengan memberi obat penenang.
 Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan s
engaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.
 Pseudo-Euthanasia
o Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-
euthanasia ialah :
 Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak a
tau batang otak.
 Pasien menolak perawtan atau bantuan medik terhadap
dirinya.
 Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena k
uasa tidak terlawan (force majure).
 Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik ya
ng diketahui tidak ada gunanya.
 Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya
 Eutanasia pasif :Menghentikan/mencabut segala tindaka
n atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan h
idup manusia menyadari. Eutanasia ini dikategorikan se
bagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunaka
n alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan pasien. Tinda
kan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara senga
ja tidak memberikan bantuan medis untuk memperpanj
ang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam per
napasan atau tidak memberikan obat-
obat baik antibioti, vasopressor, vasoaktif, atau analgeti
k. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilaku
kan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan euta
nasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun k
eputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan mena
nggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.
 Eutanasia aktif Menurut Sutarno (2012) Eutanasia aktif t
idak langsung : Tindakan medik untuk meringankan pen
deritaan pasien, namun mengetahui adanya resiko dapa
t memperpendek atau mengakhiri hidup pasien pelaku
menyadari.Eutanasia aktif langsung (mercy killing) : Tind
akan medis secara terarah yg akan mengakhiri hidup pas
ien, atau memperpendek hidup pasien, pelaku menyada
ri.
 Penerapan Hukum Positif Pada Kasus Eutanasia di Indonesia
o Sutarno (2012) Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perb
uatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyaw
a orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata da
n sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Belum ada Peraturan perudangan yang khusus, dilihat dari sisi hukum: pembunuhan
/ pembiaran / kelalaian atau malpraktik medik ? Yang berkaitan adalah : a) Perbuata
n pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ?; b) Asas legalitas, penghil
angan nyawa; c) Kesalahan ( dolus, culpa); d) Delicta Commissionis, Delicta Omission
is, Delicta Commissionis per Omissionem Commissa.
 Berkaitan dengan Tindakan Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang di
ketahui tidak ada gunanya. ( Withdrawing or Withholding Life-
support Treatment) bagaimanapun juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan ha
l yang erat kaitannya dengan kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan paliatif. S
esuatu yang berada diluar batas ilmu kedokteran sudah tidak merupakan wewenang dok
ter dalam tim perawatan untuk menganinya karena bukan merupakan kompetensinya. B
ilamana tim perawatan paliatif bekerja diluar kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasi
en, maka dapat dikatakan telah melakukan penganiayaan terhadap pasiennya. Yang terp
enting kriteria medik harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah p
engobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua berdasarkan pengetahu
an, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dan tim peraw
atan. (Achadiat, 2007)
 Prinsip-Prinsip Etik
 Autonomy (otonomi )
 Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis d
an mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan me
miliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pi
lihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respe
k terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan ber
tindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan indivi
du yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saa
t tim perawatan paliatif menghargai hak-
hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
 Non maleficience (tidak merugikan)
 Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan bahw
a kita berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan
orang lain. Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates,
yaitu Premium non nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan samp
ai merugikan. (Achadiat, 2007)
 Veracity (kejujuran)
 Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan k
emampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar me
njadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan pen
erimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tenta
ng segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani per
awatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya bat
asan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk
pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi pe
nuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan sal
ing percaya
 Beneficienec (berbuat baik)
 Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan p
encegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelaya
nan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
 Justice (keadilan)
 Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain ya
ng menjunjung prinsip-
prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesio
nal ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, sta
ndar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kese
hatan.
 Kerahasiaan (confidentiality)
o Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang Pasien
harus dijaga privasi-
nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan Pasien hanya bol
eh dibaca dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada satu orangpun dapat m
emperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh Pasien dengan bukti
persetujuannya. Diskusi tentang Pasien diluar area pelayanan, menyampaik
annya pada teman atau keluarga tentang Pasien dengan tenaga kesehatan la
in harus dicegah. Komunikasi yang terjaga adalah informasi yang diberikan ol
eh tim perawatan kepada Pasien dengan kepercayaan dan keyakinan inform
asi tersebut tidak akan bocor. ( Perry & Potter, 1997 )
 Akuntabilitas (accountability)
o Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung ja
wab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang la
in. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali
. Tim Perawatan seringkali mengandalkan pertimbangan mereka denagn me
nggunakan (Teori Moral Mandle, 1994, dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu Te
ori Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang untuk mempertimbangk
an kebenaran dan kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau kewajiba
n tersebut. Teori Teleologis : umumnya mempertimbangkan konsekwensi s
uatu tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu yang baik dengan
melihat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasara
n konsekwensi apa yang akan dialami orang yang terlibat jika tindakan terse
but dilakukan.
 Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan), me
merlukan adanya kesdaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap o
rang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan mengu
tamakan kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan a
gar menghargai setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha
meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi
dalam tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu denga
n mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab. (Komalawati, 1989).
 Tinjauan menurut Ajaran Agama (Rasjidi, 2010)
 Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingg
a tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau m
emperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau ta
mpak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemili
k penuh atas dirinya. Ada aturan-
aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh memb
unuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindaka
n euthanasia, apapun alasannya.
 Dalam Ajaran Islam
o Seperti dalam agama-
agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang
untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepa
da manusia.Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243).Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dal
am hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yan
g secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat ya
ng menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, da
n janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan ber
buat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Jang
anlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungn
ya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang
Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarak
an dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut
qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang de
ngan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihsayang, dengan tujuan me
ringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pad
a konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinya
takan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutan
asia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam a
lasan apapun juga.
 Eutanasia Positif
o Yang dimaksud taisir al-maut al-
fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian sisakit—
karena kasih sayang—
yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen(alat).Memu
dahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperke
nankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan sua
tu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kemat
iannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunu
han yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasak
an.Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan m
eskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meri
ngankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pen
gasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanla
h urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-
lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabil
a telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
 Eutanasia Negatif
o Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-
munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-
langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi iahanya dibiarkan t
anpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan
pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada guna
nya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatull
ah (hukum Allah terhadap alamsemesta) dan hukum sebab-
akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menur
ut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya
berkisar pada hukum mubah. Dalamhal ini hanya segolongan kecil yang mew
ajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-
sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syek
hul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab
(sunnah).
 Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
o Sejak pertengahan abad ke-
20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelasmungki
n mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersemb
uhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sist
em penunjang hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengut
uk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas di
mulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara j
elas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang e
utanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih l
anjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-
sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana ya
ng sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Ev
angelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala
yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-
orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang m
engganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia mer
upakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama.
Belas kasihan itutidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat k
ita tanggung" (Evangelium Vitae,nomor 66)
 Dalam Ajaran Agama Hindu
o Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajara
n tentang karma,moksa dan ahimsa.Karma adalah merupakan suatu konsek
wensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik m
aupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-
kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang bur
uk adalah menjadi penghalang"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari sikl
us reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam aj
aran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suat
u factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "
karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan ya
ng sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan k
embali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan
bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan
tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hin
gga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Ca
tatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditak
dirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa
arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman
lebih berat dan akhirnya ia akan kembali kedunia dalam kehidupan kembali (
reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai
dijalaninya kembali lagi dari awal.
 Dalam Ajaran Protestan
o Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pend
ekatan yang berbeda-
beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu p
elaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi terseb
ut misalnya :Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajaran
nya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk memper
panjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang da
pat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankahperalatan penyokong
kehidupan tersebut benar-
benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhi
r kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan
nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan meru
pakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis
tersebut menjadi sia-
sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan
atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.Seorang kristiani percaya
bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pem
berian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih b
aik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pe
maaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi
dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobat
an.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menan
ggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (m
ercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pember
ian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentanga
n dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
 Dalam Ajaran Agama Buddha
o Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan di
mana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal ters
ebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada ha
l tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") M
empercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pel
anggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dap
at menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambila
n keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
 Dalam Ajaran Gereja Ortodoks
o Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-
orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, p
engajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kem
atian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gereja
wi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentang
an dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendi
rian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-
kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
 Dalam Ajaran Agama Yahudi
 Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongka
nnya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan mi
lik dari Tuhanyang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari ke
hidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pem
bunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa ca
mpur tangan terhadap kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan
pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi m
engenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala bi
natang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa s
esama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini
adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
o Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativit
as manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yan
g dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak d
an merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia me
miliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran
mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuha
n. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara r
elatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lai
n berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan
kemanusiaan dan ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
o Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan seb
againya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepe
rtinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euth
anasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, s
ecara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipaka
i untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.

 BAB III
 SIMPULAN
 Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupa
n pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan
meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lai
n-
fisik, psikososial, dan spiritual.Tampaknya terasa suatu kebutuhan yang sangat mendesak ak
an suatu pedoman yang mengatur hak-
hak pasien yang kompeten dan tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberi
an bantuan kehidupan.
 Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia yan
g belum ada tanda-
tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman tersebut harus memuat ga
ris-garis besar untuk melindungi hak-
hak pasien untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan me
ninggal secara alami dan memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota kel
uarga dan wali menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa kha
watir akan tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dila
kukan di belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, buda
yadan melalui kajian keagamaa kita sendiri yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tert
entu.
 Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan do
kter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup
milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui
pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia d
iperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia i
ni tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan mas
alah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-
nilai etis dan moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
 Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung jawab
kan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat nilai-
nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral telah ba
nyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-
nilai moral di dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat pe
nting dan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
 Keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-
hati dan saling memuaskan dan tidak merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang
terpenting adalah rambu-
rambu etika, moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan.
Kemajuan ilmu teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi sejak di
ni dengan rumusan-rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan euthanasia.

 DAFTAR PUSTAKA
 Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah Konstit
usi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universita
s Indonesia.
 Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan Z
aman, ECG, Jakarta
 Guwandi, 2000, Bioethics & Biolaw, Faultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
 Komalawati. D. Veronica, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Hara
pan, Jakarta
 Kozier, 2000, Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia. A
ddison Wesley.
 Mendri. Ni Ketut, 2009, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawa
t Dengan Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis Tidak
Dipublikasikan. Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
 Perry & Potter, 1997, Fundamental Keperawaran, Buku Ajar Konsep, Proses dan Prakti
k, ( Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk) Ed. 4, EGC, Jakarta.
 Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV Sagun
g Seto, Jakarta
 Sutarno, Eutanasia Yang Tidak Disadari Di Rumah Sakit, disampaikan dalam Kongres
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia di Yogyakarta 10 Juni 2012
 Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap Manusia, dis
ampiakan pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober 2008, Surabaya. (
Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-
2006)
 WHO. 2009. WHO Definition of Palliative Care. http://www.WHO.Int/ can cerlpallia tiv
eldefinitionlenl. Diakses tanggal 4 Mei 2011.
 Sutrisno, Eutanasia, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item
 Http\\www.wikipedia.org/w iki/Palliative_care
 Http://www.hukumonline.com/klinik/.../pengaturan-euthanasia-di-indonesia
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
 Keputusan Menkes Nomor : 812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif

Anda mungkin juga menyukai