Anda di halaman 1dari 4

Perkembangan Perawatan Paliatif di Indonesia

Tanggal 6 Oktober seluruh masyarakat dunia memperingati World Hospice


Palliative Care Day, Hari Perawatan Hospis dan Paliatif Sedunia. Mungkin
peringatan ini tidak banyak yang tahu karena memang peringatannya tidak seheboh
peringatan Hari AIDS Sedunia atau Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Walaupun
demikian, tidak mengecilkan arti dari perjuangan mereka yang bergelut dalam
bidang perawatan paliatif.
Dulu perawatan ini hanya diberikan kepada pasien kanker yang secara medis
sudah tidak dapat disembuhkan lagi, tetapi kini diberikan pada semua stadium
kanker, bahkan juga pada penderita penyakit-penyakit lain yang mengancam
kehidupan seperti HIV/AIDS dan berbagai kelainan yang bersifatkronis.
Di Indonesia perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992
di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS
Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito
(Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar).
Di RS Dr. Soetomo perawatan paliatif dilakukan oleh Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri. Pelayanan yang diberikan meliputi rawat jalan, rawat inap
(konsultatif), rawat rumah, day care, dan respite care.
Daritahun 1992-2010 pelayanan perawatan paliatif baru ada di 6 ibukota
besar yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, JawaTimur, Bali dan Sulawesi
Selatan.
Menteri kesehatan sampai perlu menerbitkan sebuah Kepmenker No.
812/Menkes/SK/VII/2007 yang isinya agar setiap rumah sakit menyediakan
perawatan paliatif di masing masing rumah sakit untuk meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang paripurna tidak hanya yang dilakukan di rumah
sakit, tetapi juga meliputi perawatan pra-rumah sakit, selama di rumah sakit, dan
purna rumah sakit. Tujuannya mencakup aspek promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, yang tujuan utamanya mempertahankan kemampuan individu untuk
mandiri secara optimal selama mungkin.
Pada kasus yang oleh tim dokter dinyatakan sulit sembuh atau tidak ada
harapan lagi, bahkan mungkin hampir meninggal dunia atau yang dikenal pasien
stadium terminal (PST), tentunya dibutuhkan pelayanan yang spesial. Di sinilah
perawatan paliatif menjadi aspek penting pada pengobatan, khususnya bidang
geriatri (masalah kesehatan pada lansia).
Lebih lanjut perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keluarganya menghadapi masalah-
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan
mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta
terapi dan masalah lain-fisik, psikososial, dan spiritual. “Dalam perawatan paliatif ini
membutuhkan tim multidisiplin,” kata dokter dari Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu
Penyakit Dalam, FK UGM/SMF Geriatri RSUP Dr. Sardjito tersebut.
Melihat pentingnya peran perawatan paliatif ini, Probosuseno berharap agar
setiap rumah sakit (misalnya tipe B) memiliki semacam instalasi perawatan paliatif
dan dipakai sebagai salah satu syarat penilaian akreditasi rumah sakit. Sementara itu,
di lingkungan fakultas kedokteran, akper, sekolah tinggi keperawatan, SMK
kesehatan, psikologi, gizi, dan farmasi juga diberikan materi terkait dengan
perawatan paliatif. Dengan demikian, para calon civitas hospitalia mendapatkan
paparan dini tentang perawatan paliatif tersebut.
Senada dengan itu, dr. Ali Agus Fauzi, PGD Pall Med dari Pusat
Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo-FK Unair Surabaya
menjelaskan perawatan paliatif tidak saja untuk menyembuhkan penyakit. Selain
penderita, yang ditangani juga pihak keluarga. Beberapa tempat yang
memungkinkan untuk dilakukan perawatan paliatif adalah rumah sakit, puskesmas,
rumah singgah (panti/hospis), dan rumah pasien.
Aplikasi perawatan paliatif di RSU Dr Soetomo meliputi perawatan paliatif
rawat jalan (poliklinik), rawat inap, rawat rumah (home care), day care, dan respite
care. Tata kerja organisasi perawatan paliatif ini bersifat koodinatif dan melibatkan
semua unsur terkait dengan mengedepankan tim kerja yang kuat, membentuk
jaringan yang luas, berinovasi tinggi, dan layanan sepenuh hati.
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UGM, Christantie Effendy,
S.Kp., M.Kes.pada kesempatan tersebut mengangkat persoalan dan kebutuhan pasien
kanker di Indonesia dan Belanda. Menurut Christantie, meskipun Indonesia dan
Belanda sangat berbeda, pasien kanker pada kedua kelompok ini memiliki masalah
fisik yang nyaris sama, dengan kelelahan dan nyeri di urutan atas.
Dari semua masalah yang dialami pasien, unmeet needs (kebutuhan yang
tidak terpenuhi) di Indonesia lebih tinggi daripada di Belanda. Untuk prevalensi
masalah pskikososial dan sosial di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok penelitian di Belanda. Perbedaan dalam budaya dan juga sistem kesehatan
mungkin telah berkontribusi terhadap kondisi ini.
Trend Penerapan Hospice care pada Penyakit Kanker
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang
kesehatan telah menjadikan penyakit kanker tidak lagi merupakan penyakit fatal dan
terlambat diobati namun telah menjadi penyakit kronis yang memiliki potensi untuk
mengubah pola kehidupan para pengidapnya. Dengan perkembangan ini terjadi
penurunan angka kematian yang merupakan hasil dari keberhasilan terapi kanker
sehingga dapat memperpanjang hidup klien.
Namun demikian, keefektifan terapi ini hanya diukur dari hasil keluaran
secara fisik seperti sembuh dari penyakit, kematian, angka kesakitan, dan angka
kekambuhan. Oleh karena itu, pada dua dekade terakhir, tim kesehatan telah
menyadari bahwa keberhasilan terapi harus dinilai juga dari pengalaman klien baik
secara kualitatif maupun kuantitatif (King, et al, 1997).
Penurunan angka kematian akibat penyakit kanker dan sifat kronik dari
penyakit ini telah menimbulkan kecenderungan banyak klien tidak dirawat di
rumahsakit melainkan pada pelayanan hospis atau home care. Perawatan hospis dan
home care diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat
menjadi koordinatornya.
Para klien pengidap kanker yang dirawat di hospis atau home care masih
tetap menjadi populasi berresiko dimana kebutuhan akan kesehatannya memerlukan
perhatian jangka panjang (Ferrel & Dow, 1997). Ironisnya, tidak banyak yang
perduli dengan tingkat kualitas hidup mereka yang menghabiskan sisa hidupnya di
hospis atau home care ini (Stetz, 1998).

Pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan


paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru
(akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang
dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri
untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat
melewati proses kelahiran dengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan
barunya sebagai manusia sibayi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan
berkualitas.

Sedang bagi penderita kanker stadium dini, perawatan paliatif merupakan


pendamping pengobatan medis. Meningkatnya kualitas kehidupan pasien karena
perawatan paliatif diharapkan akan membantu proses penyembuhan kanker secara
keseluruhan.

Kualitas hidup merupakan masalah yang penting dalam pengalaman para


pengidap penyakit kanker yang telah berhasil mengendalikan penyakitnya dan
memperpanjang masa hidup yang harus dilaluinya (Ersek, Ferrel, Dow, &Melancon,
1997).Masalah kualitas hidup bagi klien dengan penyakit kanker meliputi efek
fisiologis, masalah keluarga dan sosial, pekerjaan atau aktifitas harian serta distres
spiritual (Dow, Ferrel, Haberman, & Eaton, 1999).

Kualitas hidup juga dilihat dari berbagai aspek dalam tujuh kategoriya itu
gejala fisik seperti gejala, dan nyeri; kemampuan fungsional seperti aktifitas;
kesejahteraan keluarga; kesejahteraan emosi; kepuasan akan terapi meliputi masalah
finansial; seksualitas dan keintiman termasuk citra tubuh; dan fungsisosial (Cella,
1998).

Di Indonesia, perawatan di hospis atau home care merupakan hal yang baru
bagi klien pengidap kanker. Di Jakarta khususnya, pelayanan hospis telah diberikan
pada klien pengidap kanker yang sedang menghadapi fase terminal namun masih
menjadi suatu pengalaman yang jauh dari harapan klien itu sendiri. Hal ini terlihat
pada kenyataan dimana klien mengeluh minimnya upaya untuk memenuhi harapan
mereka.

Klien pengidap kanker pada umumnya menaruh harapan yang tinggi terhadap
pelayanan kesehatan yang diterimanya dan akan memberikan dampak positif
terhadap penyakitnya. Namun, ditemukan jumlah klien yang menaruh harapan tinggi
sama besarnya dengan jumlah klien yang menyatakan memiliki harapan yang rendah
terhadap pelayanan yang diterimanya. Hal ini menunjukan bahwa kondisi penyakit
yang diidap klien tidak memiliki kepastian akan hasil pelayanan yang diterimanya.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil riset temuan John (2001) yang
menjelaskan klien penerima terapi radiologik yang bersifat kuratif memiliki harapan
tinggi terhadap dampak pelayanan yang diterimanya.

Ini menunjukan klien yang mengatakan keberadaan keluarga sangat


berpengaruh terhadap kualitas hidupnya memiliki harapan terhadap pelayanan yang
tinggi, sedikit lebih rendah dari pada klien yang memiliki harapan pelayanan yang
rendah (49%:51%). Hasil ini menunjukan harapan pelayanan tidak dapat
mempertimbangkan keberadaan keluarga sebagai aspek yang mempengaruhi harapan
terhadap pelayanan.

Ada sebuah data yang menyampaikan kesimpulan dari penelitianya mengenai


kualiatas hidup pasien kanker dengan perawatan hospice care menunjukan bahwa
persentase kapasitas fungsional responden baik secara fisiologis, psikologis, sosial,
maupun spiritual masih rendah yaitu dibawah 50%.

Dukungan dan keberadaan keluarga memegang peranan penting dan sangat


diperlukan oleh seseorang pengidap kanker dalam menjalani sisa-sisa hidupnya.
Klien pengidap kanker menyatakan harapan yang tinggi terhadap pelayanan
kesehatan sama besarnya dengan yang menyatakan harapan yang rendah. Harapan
klien terhadap model asuhan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada klien
pengidap kanker adalah hospis home care.

Anda mungkin juga menyukai