Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

KONSEP KEPERAWATAN PALIATIF

OLEH

NAMA : JORHANS A. BOIMAU

NIM : 182402721

KELAS :D

SEMESTER : V

PRODI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2024
1. Perkembangan Keperawatan Paliatif
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan fisik,
psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir
kehidupan pasien (World Health Organization, 2014).
Pada tahun 2011, 29.063.194 orang di dunia meninggal karena penyakit yang
membutuhkan perawatan paliatif dan 6% dari jumlah tersebut merupakan anak-anak.
Setiap tahunnya diperkirakan 63 anak dari 100.000 anak dibawah usia 15 tahun
membutuhkan perawatan paliatif pada akhir kehidupannya. Penyebab kematian
terbanyak pada anak dengan kebutuhan perawatan paliatif adalah kelainan
konginetal 25,06%, kondisi neonatal 14,64%, penyakit KEP 14,12%, meningitis
12,62%, HIV/AIDS 10,23% dan penyakit kardiovaskuler 6,18%. Wilayah Asia
Tenggara merupakan wilayah tertinggi kedua dengan anak yang membutuhkan
perawatan paliatif (24%) termasuk Indonesia (WHO, 2014).
Perkembangan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata. Rumah
sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih
terbatas di 5 (lima) ibu kota provinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar
dan Makassar. Sedangkan pasien membutuhkan pelayanan perawatan paliatif yang
bermutu, komprehensif dan holistik. Sehingga Departemen Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang perawatan paliatif agar dapat
memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
perawatan paliatif (SK Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 812/ Menkes/ SK/ VII/
2007).

2. Model Pelayanan Keperawatan Paliatif


Secara umum istilah paliatif adalah perawatan yang merujuk kepada
keperawatan untuk meredakan gejala, apakah ada atau tidak ada harapan
penyembuhan dengan cara lain, demikian perawatan paliatif dapat digunakan untuk
meringankan efek samping dari perawatan kuratif, seperti meringankan mual akibat
kemoterapi. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh
kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada
stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga
perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.
Keperawatan paliatif merupakan pelayanan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dengan cara mengurangi gejala
yang dialami pasien sejak didiagnosa penyakit kronis maupun terminal sampai fase
berduka. Kata paliatif mulanya berasal dari bahasa latin kuno yaitu pallium yang
artinya jubah.
3. Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Indonesia dan Dunia
Keperawatan paliatif merupakan pelayanan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dengan cara mengurangi gejala
yang dialami pasien sejak didiagnosa penyakit kronis maupun terminal sampai fase
berduka. Kata paliatif mulanya berasal dari bahasa latin kuno yaitu pallium yang
artinya jubah. Oleh karena itu paliatif diartikan memiliki fungsi yang sama dengan
jubah yaitu melindungi, memberikan kenyamanan, menyembunyikan atau
mengurangi keburukan bagi yang mengenakannya. Menurut WHO, perawatan
paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan fisik,
psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir
kehidupan pasien (World Health Organization, 2014). Pemberian pelayanan
keperawatan paliatif bukan hanya berdasarkan kiat dan ilmu dari perawatan paliatif,
akan tetapi juga berdasarkan aspek legal yang merupakan poin penting. Aspek legal
inilah yang akan melindungi pasien itu sendiri maupun keluarga pasien dan juga
untuk profesi kesehatan yang terlibat dalam tim keperawatan paliatif yang diberikan
kepada pasien.
4. Prinsip Perawatan Paliatif Dan Manajemen Nyeri
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna dan penatalaksanaan nyeri serta masalah
lainnya baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual. Prinsip pelayanan perawatan
paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah gejala serta keluhan fisik lainnya,
penanganan nyeri, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
normal, tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan
dukungan psikologis, sosial dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat
hidup seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa duka
cita, serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya. Masalah fisik yang sering muncul yang merupakan keluhan dari pasien
paliatif yaitu nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara
tibatiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diprediksi. Tenaga kesehatan
yang berorientasi pada perawatan paliatif harus memiliki sikap peduli terhadap
pasien (empati),
5. Peran Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Paliatif dan Menjelang Ajal
Tercapainya pelayanan yang berkualitas kepada pasien, perawat tentunya
punya peran penting dalam melaksanakan fungsinya. Perawat sebagai salah satu
profesi dapat berperan dalam pelayanan kesehatan pada umumnya terutama dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Stewart and DeNisco (2019), dalam
bukunya mengungkapkan bahwa perawat merupakan kelompok professional
kesehatan yang terbesar. Profesi ini berkontribusi sangat besar dalam pelayanan
keperawatan bagi pasien yang membutuhkan, khususnya pada perawatan paliatif dan
menjelang ajal. Sehingga dalam melaksanakan perannya perawat dapat
memaksimalkan kualitas hidup penderita dengan kondisi penyakit yang dialami baik
penyakit kronik maupun situasi disaat seseorang menghadapi kematian.
Perawatan paliatif pada intinya adalah manajemen gejala yang sangat baik
kapan saja selama penyakit serius untuk meringankan penderitaan dan
mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya. Mirip
dengan perawatan rumah sakit, namun perawatan paliatif yang sangat baik
membutuhkan pendekatan multidisiplin. Perawatan paliatif memainkan peran kunci
dalam pelaksanaan serta penyampaian perawatan atau pelayanan kepada pasien dan
keluarganya.
6. Komunikasi Pada Keperawatan Paliatif dan Teknik Penyampaian Berita
Buruk
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan pada kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi
interpersonal dengan fokus adanya saling pengertian antara perawat dengan
pasien. Dengan adanya komunikasi yang baik akan saling membutuhkan antara
perawat dengan pasien agar bisa dikategorikan dalam komunikasi pribadi antara
perawat dengan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan
(Anjaswarni, 2016). Komunikasi yang efektif sangat penting dan dibutuhkan
dalam semua perawatan klinis. Dalam perawatan paliatif, perawat atau tenaga
kesehatan harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik untuk menyadari
kekhawatiran pasien yang tidak terucap (Yodang, 2018).

Komunikasi pada pasien dengan penyakit kronis Penyakit kronik adalah


suatu penyakit yangperjalanan penyakit berlangsung lama sampai bertahun tahun, berta
mbah berat, menetap dansering kambuh. (Purwaningsih dan Karbina,2019)
Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala tindaka
nnya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu kurang dapat
mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru
dirasakan. (Purwaningsih dan Karbina, 2019).

Tiap fase yang di alami oleh pasien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga
perawat juga memberikan respon yang berbeda pula. Dalam berkomonikasi perawat ju
ga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah bagi per
awat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.

1) Fase Denial ( pengikraran )


Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalahsyok. Tidak percaya at
au menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi dengan mengatakan “ Tidak,
saya tidak percaya bahwa itu terjadi
“. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit kronis, akan terus menerus
mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengikraran adalah
letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah dan tidak tau harus berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat
berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.

Teknik komunikasi yang di gunakan :

a) Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yangkontruktif dalam


menghadapi kehilangan dan kematian
b) Selalu berada di dekat klien, Pertahankan kontak mata
2) Fase anger ( marah )
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataanyang terjadinya kehilanga
n. Individu menunjukkan perasaan yangmeningkat yang sering di proyeksikan kepad
a orang yang ada disekitarnya, orang –orang tertentu atau di tunjukkan pada dirinyas
endiri. Tidak jarang dia menunjukkan
prilaku agresif, bicara kasar,menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun do
kter tidak becus. Respon fisik yang seringterjadi pada fase ini antara lain, muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepai.

Teknik komunikasi yang di gunakanadalah:

a) Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya, h


earing.. hearing.. dan hearing..dan menggunakan teknik respek
3)Fase bargening ( tawarmenawar )

Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,


maka ia akan maju pada fase tawar
menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering di nyatakan
dengan kata kata “kalau saja kejadian ini bisa di tunda, maka saya akan selalu
berdoa“ . apabila proses berduka ini di alami keluarga, maka pernyataan seperti
ini sering di jumpai “kalau saja yang sakit bukan anak saya

Teknik komunikasi yang di gunakan adalah

a) Memberi kesempatan kepada pasien untuk menawar dan menanyakan kepada


pasien apa yang di inginkan
4)Fase depression

Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau
berbicara, kadang –kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut
atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga.
Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libugo menurun

Teknik komunikasi yang di gunakan adalah

a) Jangan mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dankeluarga mengeks


presikan kesedihannya.
5)Fase acceptance ( penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini
biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh?” apabila individu dapat
memu lai fase fase tersebut dan masuk padafase damai atau penerimaan, maka dia ak
an dapat mengakhiri proses berduka dan
mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. api apabila individu
tetep berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan.

7. Keperawatan Paliatif Dalam Perspektif Agama dan Spiritual, Sosial Budaya


Menurut Woodruff (1999), penderita kanker stadium lanjut bisa mengalami
penderitaan karena masalah fisik, psikologis, sosial dan budaya, serta eksistensial
dan spiritual yang mengganggunya. Berikut ini adalah uraian terkait masalah yang
dihadapi penderita kanker stadium lanjut terkait aspek tersebut, yaitu:
1. Fisiologis Secara fisiologis, keluhan yang paling umum dirasakan oleh penderita
kanker stadium lanjut adalah rasa sakit, di mana sakitnya biasanya dirasakan
pada lebih dari satu tempat (Woodruff, 1999). Ada yang mengalami sesak nafas,
kerja ototnya melemah, kekurangan sel darah merah, dan juga gejala-gejala
lainnya. Selain itu, ada masalah fisiologis lainnya yang terjadi akibat efek
samping obat yang harus dikonsumsi oleh penderita. Masalah tersebut adalah
masalah buang air besar, ada rasa mual dan ingin muntah, tidak bisa tidur, dan
sebagainya.
2. Psikologis Para penderita kanker stadium lanjut bisa mengalami masalah
psikologis selama menghadapi penyakitnya. Penderita bisa mengalami stres
akibat penyakit yang dideritanya. Apabila stres yang dialami penderita berlebih
dan berkelanjutan, hal tersebut bisa menyebabkan penderita mengalami
gangguan penyesuaian diri, kecemasan, dan juga depresi (Woodruff, 1999).

8. Pengkajian Keperawatan Paliatif Secara Holistik

Pendekatan holistik bagian yang mendasari asuhan keperawatan yang


mencangkup biologis, psikologis, sosial, spiritual dan disesuaikan dengan kultural.
Cangkupan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan saling mempengaruhi
untuk mencapai sebuah kesejahteraan (wellness). Jika salah satu terganggu maka
akan mempengaruhi yang lainnya (Salbiah, 2006). Dalam pelaksanaannya
pendekatan holistik dapat digunakan dalam perawatan paliatif, karena
menggabungkan perawatan fisik, psikologis, spiritual, sosial dan budaya yang
membantu pencapaian perawatan paliatif good life, good death, dan good grief
(Sudarsa, 2020).
Sesuai dengan UU Keperawatan no. 38 tahun 2014 pada pasal 30 yg
menjelaskan tentang tugas perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan memiliki
kewenangan dalam melakukan pengkajian keperawatan secara holistik yang meliputi
aspek: biologis (fisik), psikologis, kognitif, sosial, culture, dan spiritual (Setyawan,
2022).Melakukan pengkajian holistik dalam keperawatan paliatif, perawat perlu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam menganamnesis dan
mengkaji untuk membuat keputusan yang aman dan kompeten dengan pasien
mengenai manajemen keperawatan yang akan dilakukan pada pasien (Donnelly dan
Martin, 2016).

Pengkajian holistik adalah melakukan pengkajian secara


komprehensif dan multidimensi pada pasien dengan penyakit pada tahap
lanjut yang disertai berbagai gejala dan keluhan.

1. Instrumen Pengkajian Mengenai Prognosis dan Status Fungsional

Status fungsional merupakan predictor independen terhadap


kemampuan pasien untuk dapat bertahan hidup. The Karnfosky
Performance Scale (KPS) dan the Eastern Cooperative Oncology Group
(ECOG) merupakan instrument yang telah digunakan secara luas untuk
mengkaji fungsi fisik terutama pada pasien kanker.

The Karnfosky Performance Scale status score sangat membantu


untuk dapat menghasilkan pasien berdasarkan kemampuan dan tingkat
status fungsionalnya. Factor-faktor lain yang berkontribusi terhadap
gangguan fungsional pada pasien dengan kanker stadium lanjut seperti
kemampuan komunikasi, status mental, tingkat nyeri dan intensitas
dyspnea. Pada kebanyakan pasien dengan penyakit yang serius, dan
memiliki skor KPS yang rendah maka hal tersebut mengindikasikan
bahwa tingkat harapan hidup pasien juga rendah.

The ECOG score digunakan untuk mengukur intensitas dari suatu


penyakit kanker yang dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-
hari yang dinilai berupa makan/minum, mandi, berpakaian, berdandan,
berkemih dan buang air besar, dan berpindah.Skala yang digunakan mulai
dari rentang nilai 0 yang berarti aktif secara penuh dengan tanpa adanya
keterbatasan, hingga nilai 5 yang berarti kematian.

2. Pengkajian Fungsi Fisik

Penurunan status fungsional memungkinkan adanya hubungan dengan


kondisi seperti nyeri berat yang tiba-tiba, delirium, dyspnea dengan usaha
yang minimal, kerusakan saraf yang ireversibel. Olehnya itu pengkajian
fungsi fisik harus diintegrasikan dengan pemahaman mengenai status
penyakit utama, pengontrolan gejala dan keluhan, dan distress
psikososial. Pengkajian terkait gejala spesifik nyeri, dyspnea, fatik, dan
delirium.

a. Pengkajian nyeri

Model pengkajian nyeri lebih baik dilakukan saat melakukan


wawancara terkait nyeri yang dialami pasien. Riwayat pasien,
melaporkan atau menceritakan sendiri tentang nyeri dialami oleh
pasien merupakan standar yang terbaik dalam mendiagnosis nyeri
terutama pasien yang masih mampu berkomunikasi.

Kuesioner nyeri dengan metode SOCRATES dapat digunakan untuk


mengungkapkan riwayat nyeri pasien paliatif, yakni:

 Site of pain; Di daerah mana nyeri dirasakan? Apakah ada nyeri


otot atau sendi.

 Onset; Kapan nyeri terjadi, bagaimana nyeri tersebut terjadi,


kondisi apa yang dapat memicu munculnya nyeri, apakah nyerinya
berubah dalam kurun waktu selama kejadian

 Character; Bagaimana tipe nyeri dirasaka? Apakah seperti rasa


tertusuk, teriris, gatal, panas atau terbakar, tertekan. Bagaimana
pola nyerinya apakah nyeri terjadi secara terus menerus atau hilang
timbul.

 Radiation; Apakah nyeri menyebar kebagian tubuh lainnya, daerah


apa?

 Associated features; Apakah saat nyeri terjadi terkadang disertai


dengan gejala lain seperti mual, muntah.
 Timing/pattern; Apakah nyeri semakin parah pada waktu tertentu,
apakah nyeri terjadi saat melakukan aktifitas seperti bergerak atau
buang air kecil.

 Exacerbating and relieving factors; apa saja yang membuat nyeri


semakin buruk atau nyeri menjadi lebih berkurang.

 Severity; Apakah derajat ataupun skala nyeri mengalami perubahan


selama kurun waktu kejadian.
Beberapa contoh instrument pengkajian nyeri dengan menggunakan skala
rating, yaitu:
o The Numerical Rating Scale (NRS)

Tidak Nyeri
Nyeri Sangat
Hebat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

o The Visual Analog Scale (VAS)


Pasien akan ditanya mengenai perasaan nyeri yang dialaminya pada suatu
garis lurus dengan panjang sekitar 10 cm, dan tidak ada nyeri hingga pada
sisi ujung lainnya berupa nyeri sangat hebat.
Tidak nyeri ---------------------------------------- Nyeri sangat hebat
o The Verbal Rating Score
Pasien akan ditanya untuk menetapkan tingat atau level nyeri yang
dialaminya dengan menggunakan daftar kata-kata yang menggambarkan
adanya peningkatan intensitas nyeri.

0 Tidak nyeri

1 Nyeri ringan

2 Nyeri sedang

3 Nyeri berat

o Body Chart
Penggunaan body chart memberikan kesempatan pada pasien untuk
menetapkan dan menunjukkan tempat kejadian nyeri yang dialaminya.
Berikut contoh body chart yang digunakan untuk pengkajian nyeri.

Berikut beberapa instrument pengkajian nyeri pada pasien dewasa dengan


kategori khusus yaitu:

Instrument Kelompok Khusus


Assessment of Discomfort in Dementia Demensia
(ADD)
Behavioural Pain Scale (BPS) Intensive care, dewasa yang tidak
sadar
Checklist of Nonverbal Pain Demensia
Indicators (CNPI)
Doloplus 2 Demensia, perawatan paliatif

Nursing Assistant-Administered Demensia


Instrument to Assess Pain in
Demented Individuals (NOPPAIN)
Pain Assessment Scale for Seniors Demensia
with Limited Ability to Communicate
(PACSLAC)

Pain Assessment in Advanced Demensia


Dementia (PAINAD)
Critical Care Pain Observation Tool Intensive care, dewasa yang tidak
(CPOT) sadar
b. Pengkajian dispnea
Berbagai alat ukur yang tervalidasi dapat digunakan untuk menilai dyspnea
baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada pasien paliatif. Instrument
tersebut mulai dari yang menggunakan skala ordinal dengan menggunakan
acuan single-item seperti visual analog scale (VAS), numerical rating scale
(NRS) dimana angka 0 menunjukkan tidak mengalami dyspnea sedangkan
angka 10 menunjukkan dyspnea yang sangat berat atau sangat buruk.
Modified Borg Scale digunakan untuk menilai intensitas dyspnea, sedangkan
untuk menilai status fungsional terkait dyspnea maka dapat digunakan The
Medical Research Council Dyspnea Scale, dan Baseline Dyspnea Index (BDI).
Selain yang menggunakan skala ordinal, skala pengukuran dyspnea ada juga
yang menggunakan skala kategorik seperti The Memorial Symptom Assesment
Scale dan Edmonton Sympton Assesment Scale (ESAS).
The Respiratory Distress Observation Scale (RDOS) merupakan instrument
yang valid dan reliable untuk mengukur dan menilai tanda-tanda yang
konsisten ditemukan pada saat dyspnea terjadi, intensitas dan respon terhadap
pengobatan terutama pada pasien yang tidak mampu melaporkan sendiri
mengenai kondisi dyspnea yang dialaminya.
The RDOS adalah instrument yang menggunakan skala ordinal pada 8 variabel
yang digunakan untuk menilai derajat dyspnea. Setiap variable dinilai dari skor
0 sampai 2, lalu seluruh skor di total untuk menentukan derajat dyspnea.
Semakin tinggi skor dari hasil pengukuran mengindikasikan semakin tinggi
pula intensitas distress pernapasan pasien. The RDOS dapat diaplikasikan pada
semua kasus pasien yang memiliki risiko terjadinya distress pernapasan yang
mana pasien tersebut tidak mampu melaporkan kondisi dispneanya secara
akurat, termasuk pasien yang sedang mendapatkan intensive ventilasi mekanik
baik secara invasive maupun noninvasive. Beberapa tanda fisik yang sering
diobservasi pada instrument RDOS yang mana tanda-tanda tersebut
mengindikasikan adanya distress pernapasan seperti takikardia, takipnoe,
restlessness, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, pola pernapasan paradox,
adanya suara seperti mendengkur pada akhir ekspirasi, dan ekspresi wajah
yang menunjukkan adanya kecemasan.
Dyspnea serupa dengan nyeri, dimana hanya dapat dirasakan oleh pasien.
Beberapa penyebab dyspnea yang diidentifikasi yaitu sebagai berikut:
Respiratory/Pernapasan

-Akut Pneumonia,emifisema,pneumothoraks

-Kronis COPD, asma

Sepsis, Bronkietasis, cystic fibrosis

Kanker; kanker paru, mesothelioma,


intrathoracic metastases.

Fibrosis

Kelemahan otot-otot pernapasan


akibat kaheksia

Penyakit neuromuscular; motor


neurone disease, muscular distropi

Penyakit skeletal, kelainan dinding


atau bentuk dada

Pulmonary Vascular Pulmonary thromboembolism,


hipertensi pulmonal

Cardiac/Jantung

-Akut Penyakit jantung coroner

-Kronis Heart failure, aritmia seperti atrial


fibrilasi

Psikologis Kecemasan, depresi, hiperventilasi

Anemia

Kakeksia

c. Pengkajian fatik
Memperhatikan aspek atau dimensi fisik, kognitif dan spirit merupakan hal
yang sangat dasar dalam pengkajian fatik. Beberapa istilah yang digunakan
oleh pasien untuk menggambarkan kondisi fatik yang dialaminya seperti
hilang energy atau tenaga untuk melakukan aktifitas ringan, kelemahan, dan
kelelahan.
Pada pasien kanker stadium lanjut, fatik menjadi gejala yang sering dikeluhkan
dan sebagai penyebab terjadi kelemahan dan ketidakberdayaan pada pasien,
dimana dalam studi yang dilakukan ditemukan sekitar 60-90%. Beberapa
kriteria yang digunakan untuk menetapkan diagnosis fatik yang berhubungan
dengan kanker yaitu:
 Gejala fatik yang dirasakan hamper setiap hari dalam kurun 2 minggu
terakhir.
 Menyatakan akan adanya kelemahan yang bersifat umum atau tungkai
terasa berat.
 Kemampuan berkonsentrasi ataupun perhatian semakin berkurang.
 Menurunnya motivasi atau keinginan untuk melakukan kegiatan rutin.
 Insomnia atau hypersomnia.
 Pasien merasa tidak segar saat terbangun dari tidur.
 Mengalami kesulitan untuk mengatasi kondisi ketidakaktifan.
 Ditandai dengan reaktif emosional yang mengakibatkan pasien merasa fatik
seperti kesedihan, frustasi dan iritabilitas.
 Mengalami kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas rutin rumah tangga.
 Mengalami masalah terkait memori jangka pendek.
 Merasakan ketidaknyamanan dalam beberapa jam setelah melakukan
latihan fisik atau aktifitas.
Beberapa metode yang digunakan untuk mengkaji dan mendiagnosis fatik
dengan instrument pengukuran fatik seperti The Multidimensional Assesment
of Fatigue, the Symptom Distress Scale, the Fatigue Observation Checklist,
dan Visual Analog Scale. Dalam tatanan klinik, penggunaan skala rating secara
verbal merupakan metode yang sangat efisien. Dimana tingkat atau derajat
fisik fatik akan dengan mudah dan cepat untuk dikaji dengan menggunakan
kriteria 0 yang berarti tidak fatik dan kriteria 10 yang berarti fatik berat.
Tidak Fatik
Fatik Berat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam melakukan pengkajian fatik


yaitu menelusuri karakteristik fatik seperti derrajat fatik yang dialami pasien,
kapan pasien mulai merasakan fatik, bagaimana durasi kejadian fatik,
bagaimana pola harian kondisi fatik, factor-faktor apa saja yang dapat
meningkatkan atau menjadikan fatik semakin parah atau memburuk, factor-
faktor apa saja yang dapat mengurangi dan meringankan kondisi fatik, adakah
distress yang terjadi sebagai akibat kejadian fatik, dan bagaimana dampak fatik
terhadap kehidupan keseharian pasien.
Beberapa factor yang dapat mengakibatkan atau mempengaruhi kejadian fatik
yang harus diketahui yaitu:

Factor personal Usia terutama usia yang semakin


bertambah, status perkawinan,, status
menopause, income dan jaminan
kesehatan.
Factor psikologis Status mental dan emosional seperti
depresi, ketakutan, kecemasan,
distress, dan konflik.
Budaya dan etnik, situasi atau kondisi
kehidupan.
Factor yang berhubungan dengan Jumlah dan kedekatan atau keterikatan
perawatan dengan para pendamping, penjaga
orang sakit.
Perhatian para petugas kesehatan yang
merawat.
Factor yang berhubungan dengan Stadium atau perkembangan penyakit,
penyakit penyakit penyerta, anemia, nyeri,
dyspepnia, kontinensia, pola tidur, dan
hal yang menghambat tidur.
Peubahan status nutrisi seperti
penurunan berat badan, kaheksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Factor yang berhubungan dengan Berbagai efek yang berhubungan
pengobatan dengan pengobatan seperti
pembedahan, kemoterapi, radiasi.
Isu terkait pengobatan seperti efek
samping obat, polifarmasi, perubahan
sensasi pengecapan.
Perubahan fisiologis yang bersifat
permanen.

d. Pengkajian delirium
Delirium merupakan salah satu masalah yang terkait dengan gangguan mental
yang sering ditemukan pada pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit.
Kejadian delirium sangat tinggi pada kelompok kasus seperti cancer dan AIDS
stadium lanjut terutama pada kondisi sakit terminal dan minggu-minggu
terakhir kehidupan. Prevalensi kejadian delirium berkisar sekitar 20% sampai
88% (Bruera, Higginson, Von Gunten, & Morita, 2015).
Kejadian delirium diruang perawatan intensif masih menjadi kondisi yang sulit
dikenal ataau dideteksi (Boot, 2012). Prevalensi kejadian delirium di ICU
berkisar 70% sampai 87%. Lebih lanjut (Close & Long, 2012) menjelaskan
bahwa delirium merupakan komplikasi yang paling lazim ditemukan pada
pasien dengan penyakit stadium lanjut atau tahap terminal. Gambaran klinis
delirium yaitu:
 Adanya perubahan tingkat kesadaran dan kewaspadaan
 Adanya perubahan tingkat perhatian
 Secara klinis kejadiannya dapat berlangsung secara cepat ddan berfluktuasi
 Disorientasi
 Perubahan kognitif
 Terjadinya peningkatan atau penurunan aktifitas motoric
 Terjadi perubahan siklus tidur
 Gangguan persepsi seperti halusinasi
 Proses pikir yang tidak terstruktur dan terorganisir dengan baik
 Berbicara dengan tidak koheren.
Inouye menjelaskan bahwa diagnosis delirium harus didasarkan pada
monitoring pasien ditempat tidur yang dilakukan secara cermat dan teliti yang
mengacu pada 4 gambaran umum delirium yaitu kejadian yang sifatnya akut
dan berfluktuasi, menurunnya perhatian, proses pikir yang tidak terorganisir,
dan perubahan tingkat kesadaran (Close & Long, 2012).
Instrument yang sering digunakan untuk mengidentifikasi adanya gangguan
kognitif pada pasien, namun skrining tersebut tidak bertujuan untuk
mendiagnosis delirium, akan tetapi untuk mengidentifikasi adanya kondisi lain
yang menyerupai delirium seperti demensia yaitu The NEECHAM Confusion
Scale dam The Nursing Delirium Screening Scale (Close & Long, 2012).
Ketersediaan instrument pengkajian yang valid merupakan komponen kunci
dan strategi untuk mendeteksi delirium pada pasien yang dirawat baik di
rumah perawatan atau panti maupun diruang ICU. The Confusion Assessment
Method (CAM) merupakan instrument yang didesain untuk tenaga kesehatan
profesional non-psikiatri (Close & Long, 2012).
3. Pengkajian Psikologis
Pengkajian Kecemasan Dan Depresi
Kecemasan merupakan gejala yang lazim ditemukan pada pasien terutama
mereka yang menderita penyakit yang mengancam kehidupan dan jiwa, dimana
ditemukan 25% pada pasien kanker dan 50% pada pasien COPD dan CHF.
Sedangkan kejadian depresi ditemukan sekitar 20-30% pada pasien disetting
paliatif (Rosser & Walsh, 2014).
The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) merupakan istrument yang
cukup singkat dan mudah digunakan untuk mengukur tingkat distress psikologis
pasien (Yenurajalingam & Bruera, 2016). Selain the HADS, Distress Termometer
juga dapat digunakan untuk menilai tingkat distress pasien (Zeppetella, 2012).
4. Pengkajian Spiritual
Perawatan holistik tidak hanya melibatkan pengkajian akan kebutuhan fisik,
emosional dan sosial, akan tetapi juga mengenai kebutuhan spiritual dan harapan-
harapan yang ingin dicapai oleh pasien (Matzo & Sherman, 2010). Riwayat
spiritual merupakan suatu riwayat mengenai nilai dan kepercayaan yang dianut
oleh seseorang yang secara tidak langsung menggambarkan peran spiritualitas dan
agama terhadap kehidupan pasien. Sekalipun isu terkait spiritual bukanlah
tanggung jawab seorang perawat untuk mengatasi masalah terkait isu spiritual
pasien namun perawat harus tahu dan dapat melakukan pengkajian terkait
spiritual pasien untuk mengidentifikasi ketika pasien atau keluarga pasien
mengalami distress spiritual. Pengkajian terkait riwayat spiritual pasien dapat
menggunakan metode FICA yang diperkenalkan oleh Puchalski (Matzo &
Sherman, 2010).
 F merujuk pada Faith yaitu keyakinan.
 I merujuk pada Influence yaitu pengaruh.
 C merujuk pada Community yaitu komunitas.
 A merujuk pada Addressing spiritual concerns yaitu cara mengatasi isu-isu
spiritual yang di alami oleh pasien.
Riwayat spiritual merupakan hal yang penting, bukan hanya untuk
mengidentifikasi bagaimana cara seseorang mengatasi berbagai hal dalam
kehidupan terutama pada saat mengalami banyak masalah atau musibah, akan
tetapi juga untuk menilai potensi efek negatif yang mana spiritual dapat menjadi
sumber distress dan masalah emosional.
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengkaji kebutuhan spiritual
pasien yaitu metode SPIRIT, yang diperkenalkan oleh Highfield (Matzo &
Sherman, 2010).
 S, Spiritual belief sistem yang bermakna sistem kepercayaan spiritual yang
dapat merujuk pada afiliasi keagamaan seseorang
 P, Personal spirituality yang bermakna spiritualitas individu yang mencakup
kepercayaan dan praktik dari suatu afiliasi keagamaan yang mana pasien dan
keluarga terima dan jalankan
 I, Integration with a spiritual community yang bermakna integrasi dengan
sebuah komunitas spiritual yang mencakup peran kelompok agama/spiritual,
peran individu dalam suatu kelompok
 R, Ritualised practices and restrictions yang bermakna praktik ritual yang
dijalankan dan pantangan-pantangan yang diyakini
 I, Implication for medical care yang dapat berarti dampak terhadap perawatan
dan pengobatan
 T, Terminal events planning yang dapat berarti perencanaan mengenai
kejadian yang akan atau kemungkinan terjadi di masa-masa menjelang akhir
kehidupan yang mencakup dampak dari keyakinan pasien mengenai
perencanaan tindak lanjut (Yenurajalingam & Bruera, 2016)
5. Pengkajian Budaya
Untuk dapat mengembang kompetensi mengenai budaya maka perawat
membutuhkan dan harus dapat mendengarkan secara seksama serta
mengumpulkan berbagai informasi mengenai budaya. Latar belakang pasien
memungkinkan untuk memberikan informasi awal mengenai nilai dan
kepercayaan yang dianutnya (Matzo & Sherman, 2010).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian yang
terkait budaya yaitu:
 Mengidentifikasi tempat kelahiran pasien.
 Menanyakan mengenai pengalaman migrasi pasien.
 Determinasi mengenai tingkat identitas budaya atau etnis pasien.
 Mengevaluasi tingkat akulturasi pasien terhadap budaya lokal tempat pasien
berdomisili.
 Mengidentifikasi kemampuan pasien menggunakan jaringan informal dan
sumber-sumber untuk mendukung dalam kegiatan dikomunitas.
 Mengidentifikasi penentu dan pembuat keputusan, apakah pasien, keluarga
atau suatu unit sosial.
 Menelusuri bahasa utama dan bahasa kedua yang digunakan oleh pasien dan
keluarga.
 Gambaran pola komunikasi pasien baik verbal maupun non-verbal.
 Pertimbangkan isu gender dan power dalam suatu hubungan atau relasi yang
terjalin.
 Mengevaluasi pandangan pasien mengenai harga diri.
 Identifikasi pengaruh agama dan spiritualitas terhadap harapan dan perilaku
pasien dan keluarga.
 Telusuri mengenai pandangan pasien tentang isu diskriminasi, rasis atau
SARA.
 Identifikasi mengenai tradisi masak-memasak dan perjamuan, seerta makna
makanan.
 Gambaran tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien
 Kaji perilaku, nilai, dan kepercayaan serta praktik keseharian yang
berhubungan dengan kesehatan, sakit, penderitaan dan kematian.
 Kaji tentang nilai dan upaya pasien untuk menggunakan terapi komplementer.
 Diskusikan bagaimana pasien menjaga dan mempertahankan harapan-
harapannya (Matzo & Sherman, 2010)
6. Pengkajian Prognosis
Prognosis dapat diartikan sebagai prediksi akan sesuatu yang akan terjadi
kedepannya sebagai hasil dari proses pengobatan atau intervensi atau prediksi
mengenai perkembangan penyakit tertentu yang mana prediksi tersebut
didasarkan pada pengetahuan kedokteran (Chai, Meier, Morris, & Goldhirsch,
2014). Pemahaman mengenai pola perkembangan penyakit, indikator stadium
akhir dari suatu penyakit, dan kebutuhan penanganan pada setiap fase atau
stadium penyakit merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memberikan
penanganan, perawatan yang komprehensif terutama pada kondisi akut.
Ada beberapa alasan mengapa prognosis penyakit menjadi penting, yaitu:
 Pasien dan keluarga mengambil keputusan mengenai pengobatan dan rencana
perawatan lanjutan didasarkan pada persepsi mereka mengenai prognosis
penyakit pasien itu sendiri.
 Prognosis dapat membantu dan memandu perawat dan tenaga kesehatan
lainnya mengembangkan rencana pengobatan dan perawatan yang sesuai
dengan kondisi pasien.
 Informasi mengenai prognosis pasien dapat memberikan gambaran pada pasien
dan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
pasien dimasa yang akan datang.

9. Asuhan Keperawatan Paliatif Care Dengan Kasus AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired (AIDS) merupakan


penyakit menular mematikan yang merusak sistem kekebalan tubuh penderitanya
sehingga mengalami beberapa gejala-gejala dan infeksi yang disebabkan oleh human
immunodeficiency virus (HIV). Prevalensi pasien yang terinfeksi HIV di Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Jumlah
kumulatif orang dengan Hiv Aids (ODHA) yang dilaporkan sampai dengan Maret
2021 sebanyak 427.201(Kemenkes RI, 2021). Sejauh ini, Penyakit HIV AIDS masih
belum dapat disembuhkan sehingga sangat rentan kondisi penderitanya akan
mengalami tekanan psikologis. Ditambah lagi dengan tekanan sosial masyarakat di
sekitarnya yang masih identik dengan stigmatisasi masyarakat yang dianggapnya
sebagai seorang yang hina dan berperilaku negatif (Mitzy Ghema Susanto dan
Lilianny Sigit Arifin, 2020). Dengan kondisi dan jumlah prevalensi yang terus
meningkat. Sehingga dibutuhkan sebuah pelayanan kesehatan yang berfokus pada
peningkatan kualitas hidup pasien agar dapat menerima keadaan dan kooperatif
dalam menjalani perawatan. Perawatan paliatif merupakan sebuah pendekatan yang
terbukti efektif dalam memperbaiki kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS .
Pelaksanaan perawatan paliatif seyogyanya harus dimulai sejak awal diagnosa
sampai menjelang kematian.

10. Trend Keperawatan Paliatif di Indonesia di Masa Depan

Keperawatan paliatif merupakan pendekatan yang diberikan kepada pasien


dan keluarganya yang mengalami keadaaan penyakit yang mengancam jiwa dengan
identifikasi dini, penurunan nyeri dan masalah sosial, spiritual dan psikologi. Saat ini
asuhan keperawatan paliatif sangat dibutuhkan mengingat tingginya angka kematian
yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tidak menular (Non Communicable
diseases) seperti Kanker, Stroke, Hipertensi, penyakit gangguan ginjal, gangguan
hati, AIDS dan dementia. perawatan paliatif menjadi satu hal yang dibutuhkan untuk
memfasilitasi perawatan pada pasien dengan penyakit-penyakit kronis dan
mengancam jiwa. Perawatan paliatif menjadi satu bentuk kebutuhan yang urgensi
mengingat kebutuhan perawatan paliatif yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI), salah satu profil
lulusan mahasiswa keperawatan sarjana adalah menjadi pemberi asuhan keperawatan
(care provider) mampu memberikan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga
dan kelompok dalam keadaan sehat maupun sakit dengan memperhatikan aspek bio,
psiko, sosio dan spiritual (KEMENKES RI, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Anjaswarni, T. (2016). Komunikasi Dalam Keperawatan. Graha Ilmu.


Eti Wati, & Aat Agustini. (2019). Keperawatan Paliatif Dan menjelang Ajal
(aenirahmawati (ed.); 1st ed.). LoveRinz Publishing.
Ika Syamsul Huda MZ, Sp.Pd, MPH, (2009) : Pelayanan Perawatan Paliatif
dan Akhir Kehidupan, RSUD Kariadi Semarang. Imam Rasyidi.
Perawatan Paliatif Suportif dan Bebas Nyeri Pada Kanker, Sagung Seto,
Jakarta, 2010. I Wayan Sudarsa. (2020).
Perawatan Komprehensif Paliatif. Airlangga University press. Jackson, K.
(2015). Palliative
Yodang. (2019). Buku Ajar Keperawatan Paliatif. In buku ajar paliatif.
Yodang, & Care, M. P. (2018).
Buku Ajar Keperawatan Paliatif. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai