OLEH
NIM : 182402721
KELAS :D
SEMESTER : V
PRODI S1 KEPERAWATAN
KUPANG
2024
1. Perkembangan Keperawatan Paliatif
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan fisik,
psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir
kehidupan pasien (World Health Organization, 2014).
Pada tahun 2011, 29.063.194 orang di dunia meninggal karena penyakit yang
membutuhkan perawatan paliatif dan 6% dari jumlah tersebut merupakan anak-anak.
Setiap tahunnya diperkirakan 63 anak dari 100.000 anak dibawah usia 15 tahun
membutuhkan perawatan paliatif pada akhir kehidupannya. Penyebab kematian
terbanyak pada anak dengan kebutuhan perawatan paliatif adalah kelainan
konginetal 25,06%, kondisi neonatal 14,64%, penyakit KEP 14,12%, meningitis
12,62%, HIV/AIDS 10,23% dan penyakit kardiovaskuler 6,18%. Wilayah Asia
Tenggara merupakan wilayah tertinggi kedua dengan anak yang membutuhkan
perawatan paliatif (24%) termasuk Indonesia (WHO, 2014).
Perkembangan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata. Rumah
sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih
terbatas di 5 (lima) ibu kota provinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar
dan Makassar. Sedangkan pasien membutuhkan pelayanan perawatan paliatif yang
bermutu, komprehensif dan holistik. Sehingga Departemen Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang perawatan paliatif agar dapat
memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
perawatan paliatif (SK Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 812/ Menkes/ SK/ VII/
2007).
Tiap fase yang di alami oleh pasien kritis mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sehingga
perawat juga memberikan respon yang berbeda pula. Dalam berkomonikasi perawat ju
ga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase mana, sehingga mudah bagi per
awat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di alami pasien.
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau
berbicara, kadang –kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut
atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga.
Gejala fisik yang sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libugo menurun
a. Pengkajian nyeri
Tidak Nyeri
Nyeri Sangat
Hebat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 Tidak nyeri
1 Nyeri ringan
2 Nyeri sedang
3 Nyeri berat
o Body Chart
Penggunaan body chart memberikan kesempatan pada pasien untuk
menetapkan dan menunjukkan tempat kejadian nyeri yang dialaminya.
Berikut contoh body chart yang digunakan untuk pengkajian nyeri.
-Akut Pneumonia,emifisema,pneumothoraks
Fibrosis
Cardiac/Jantung
Anemia
Kakeksia
c. Pengkajian fatik
Memperhatikan aspek atau dimensi fisik, kognitif dan spirit merupakan hal
yang sangat dasar dalam pengkajian fatik. Beberapa istilah yang digunakan
oleh pasien untuk menggambarkan kondisi fatik yang dialaminya seperti
hilang energy atau tenaga untuk melakukan aktifitas ringan, kelemahan, dan
kelelahan.
Pada pasien kanker stadium lanjut, fatik menjadi gejala yang sering dikeluhkan
dan sebagai penyebab terjadi kelemahan dan ketidakberdayaan pada pasien,
dimana dalam studi yang dilakukan ditemukan sekitar 60-90%. Beberapa
kriteria yang digunakan untuk menetapkan diagnosis fatik yang berhubungan
dengan kanker yaitu:
Gejala fatik yang dirasakan hamper setiap hari dalam kurun 2 minggu
terakhir.
Menyatakan akan adanya kelemahan yang bersifat umum atau tungkai
terasa berat.
Kemampuan berkonsentrasi ataupun perhatian semakin berkurang.
Menurunnya motivasi atau keinginan untuk melakukan kegiatan rutin.
Insomnia atau hypersomnia.
Pasien merasa tidak segar saat terbangun dari tidur.
Mengalami kesulitan untuk mengatasi kondisi ketidakaktifan.
Ditandai dengan reaktif emosional yang mengakibatkan pasien merasa fatik
seperti kesedihan, frustasi dan iritabilitas.
Mengalami kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas rutin rumah tangga.
Mengalami masalah terkait memori jangka pendek.
Merasakan ketidaknyamanan dalam beberapa jam setelah melakukan
latihan fisik atau aktifitas.
Beberapa metode yang digunakan untuk mengkaji dan mendiagnosis fatik
dengan instrument pengukuran fatik seperti The Multidimensional Assesment
of Fatigue, the Symptom Distress Scale, the Fatigue Observation Checklist,
dan Visual Analog Scale. Dalam tatanan klinik, penggunaan skala rating secara
verbal merupakan metode yang sangat efisien. Dimana tingkat atau derajat
fisik fatik akan dengan mudah dan cepat untuk dikaji dengan menggunakan
kriteria 0 yang berarti tidak fatik dan kriteria 10 yang berarti fatik berat.
Tidak Fatik
Fatik Berat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
d. Pengkajian delirium
Delirium merupakan salah satu masalah yang terkait dengan gangguan mental
yang sering ditemukan pada pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit.
Kejadian delirium sangat tinggi pada kelompok kasus seperti cancer dan AIDS
stadium lanjut terutama pada kondisi sakit terminal dan minggu-minggu
terakhir kehidupan. Prevalensi kejadian delirium berkisar sekitar 20% sampai
88% (Bruera, Higginson, Von Gunten, & Morita, 2015).
Kejadian delirium diruang perawatan intensif masih menjadi kondisi yang sulit
dikenal ataau dideteksi (Boot, 2012). Prevalensi kejadian delirium di ICU
berkisar 70% sampai 87%. Lebih lanjut (Close & Long, 2012) menjelaskan
bahwa delirium merupakan komplikasi yang paling lazim ditemukan pada
pasien dengan penyakit stadium lanjut atau tahap terminal. Gambaran klinis
delirium yaitu:
Adanya perubahan tingkat kesadaran dan kewaspadaan
Adanya perubahan tingkat perhatian
Secara klinis kejadiannya dapat berlangsung secara cepat ddan berfluktuasi
Disorientasi
Perubahan kognitif
Terjadinya peningkatan atau penurunan aktifitas motoric
Terjadi perubahan siklus tidur
Gangguan persepsi seperti halusinasi
Proses pikir yang tidak terstruktur dan terorganisir dengan baik
Berbicara dengan tidak koheren.
Inouye menjelaskan bahwa diagnosis delirium harus didasarkan pada
monitoring pasien ditempat tidur yang dilakukan secara cermat dan teliti yang
mengacu pada 4 gambaran umum delirium yaitu kejadian yang sifatnya akut
dan berfluktuasi, menurunnya perhatian, proses pikir yang tidak terorganisir,
dan perubahan tingkat kesadaran (Close & Long, 2012).
Instrument yang sering digunakan untuk mengidentifikasi adanya gangguan
kognitif pada pasien, namun skrining tersebut tidak bertujuan untuk
mendiagnosis delirium, akan tetapi untuk mengidentifikasi adanya kondisi lain
yang menyerupai delirium seperti demensia yaitu The NEECHAM Confusion
Scale dam The Nursing Delirium Screening Scale (Close & Long, 2012).
Ketersediaan instrument pengkajian yang valid merupakan komponen kunci
dan strategi untuk mendeteksi delirium pada pasien yang dirawat baik di
rumah perawatan atau panti maupun diruang ICU. The Confusion Assessment
Method (CAM) merupakan instrument yang didesain untuk tenaga kesehatan
profesional non-psikiatri (Close & Long, 2012).
3. Pengkajian Psikologis
Pengkajian Kecemasan Dan Depresi
Kecemasan merupakan gejala yang lazim ditemukan pada pasien terutama
mereka yang menderita penyakit yang mengancam kehidupan dan jiwa, dimana
ditemukan 25% pada pasien kanker dan 50% pada pasien COPD dan CHF.
Sedangkan kejadian depresi ditemukan sekitar 20-30% pada pasien disetting
paliatif (Rosser & Walsh, 2014).
The Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) merupakan istrument yang
cukup singkat dan mudah digunakan untuk mengukur tingkat distress psikologis
pasien (Yenurajalingam & Bruera, 2016). Selain the HADS, Distress Termometer
juga dapat digunakan untuk menilai tingkat distress pasien (Zeppetella, 2012).
4. Pengkajian Spiritual
Perawatan holistik tidak hanya melibatkan pengkajian akan kebutuhan fisik,
emosional dan sosial, akan tetapi juga mengenai kebutuhan spiritual dan harapan-
harapan yang ingin dicapai oleh pasien (Matzo & Sherman, 2010). Riwayat
spiritual merupakan suatu riwayat mengenai nilai dan kepercayaan yang dianut
oleh seseorang yang secara tidak langsung menggambarkan peran spiritualitas dan
agama terhadap kehidupan pasien. Sekalipun isu terkait spiritual bukanlah
tanggung jawab seorang perawat untuk mengatasi masalah terkait isu spiritual
pasien namun perawat harus tahu dan dapat melakukan pengkajian terkait
spiritual pasien untuk mengidentifikasi ketika pasien atau keluarga pasien
mengalami distress spiritual. Pengkajian terkait riwayat spiritual pasien dapat
menggunakan metode FICA yang diperkenalkan oleh Puchalski (Matzo &
Sherman, 2010).
F merujuk pada Faith yaitu keyakinan.
I merujuk pada Influence yaitu pengaruh.
C merujuk pada Community yaitu komunitas.
A merujuk pada Addressing spiritual concerns yaitu cara mengatasi isu-isu
spiritual yang di alami oleh pasien.
Riwayat spiritual merupakan hal yang penting, bukan hanya untuk
mengidentifikasi bagaimana cara seseorang mengatasi berbagai hal dalam
kehidupan terutama pada saat mengalami banyak masalah atau musibah, akan
tetapi juga untuk menilai potensi efek negatif yang mana spiritual dapat menjadi
sumber distress dan masalah emosional.
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengkaji kebutuhan spiritual
pasien yaitu metode SPIRIT, yang diperkenalkan oleh Highfield (Matzo &
Sherman, 2010).
S, Spiritual belief sistem yang bermakna sistem kepercayaan spiritual yang
dapat merujuk pada afiliasi keagamaan seseorang
P, Personal spirituality yang bermakna spiritualitas individu yang mencakup
kepercayaan dan praktik dari suatu afiliasi keagamaan yang mana pasien dan
keluarga terima dan jalankan
I, Integration with a spiritual community yang bermakna integrasi dengan
sebuah komunitas spiritual yang mencakup peran kelompok agama/spiritual,
peran individu dalam suatu kelompok
R, Ritualised practices and restrictions yang bermakna praktik ritual yang
dijalankan dan pantangan-pantangan yang diyakini
I, Implication for medical care yang dapat berarti dampak terhadap perawatan
dan pengobatan
T, Terminal events planning yang dapat berarti perencanaan mengenai
kejadian yang akan atau kemungkinan terjadi di masa-masa menjelang akhir
kehidupan yang mencakup dampak dari keyakinan pasien mengenai
perencanaan tindak lanjut (Yenurajalingam & Bruera, 2016)
5. Pengkajian Budaya
Untuk dapat mengembang kompetensi mengenai budaya maka perawat
membutuhkan dan harus dapat mendengarkan secara seksama serta
mengumpulkan berbagai informasi mengenai budaya. Latar belakang pasien
memungkinkan untuk memberikan informasi awal mengenai nilai dan
kepercayaan yang dianutnya (Matzo & Sherman, 2010).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian yang
terkait budaya yaitu:
Mengidentifikasi tempat kelahiran pasien.
Menanyakan mengenai pengalaman migrasi pasien.
Determinasi mengenai tingkat identitas budaya atau etnis pasien.
Mengevaluasi tingkat akulturasi pasien terhadap budaya lokal tempat pasien
berdomisili.
Mengidentifikasi kemampuan pasien menggunakan jaringan informal dan
sumber-sumber untuk mendukung dalam kegiatan dikomunitas.
Mengidentifikasi penentu dan pembuat keputusan, apakah pasien, keluarga
atau suatu unit sosial.
Menelusuri bahasa utama dan bahasa kedua yang digunakan oleh pasien dan
keluarga.
Gambaran pola komunikasi pasien baik verbal maupun non-verbal.
Pertimbangkan isu gender dan power dalam suatu hubungan atau relasi yang
terjalin.
Mengevaluasi pandangan pasien mengenai harga diri.
Identifikasi pengaruh agama dan spiritualitas terhadap harapan dan perilaku
pasien dan keluarga.
Telusuri mengenai pandangan pasien tentang isu diskriminasi, rasis atau
SARA.
Identifikasi mengenai tradisi masak-memasak dan perjamuan, seerta makna
makanan.
Gambaran tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien
Kaji perilaku, nilai, dan kepercayaan serta praktik keseharian yang
berhubungan dengan kesehatan, sakit, penderitaan dan kematian.
Kaji tentang nilai dan upaya pasien untuk menggunakan terapi komplementer.
Diskusikan bagaimana pasien menjaga dan mempertahankan harapan-
harapannya (Matzo & Sherman, 2010)
6. Pengkajian Prognosis
Prognosis dapat diartikan sebagai prediksi akan sesuatu yang akan terjadi
kedepannya sebagai hasil dari proses pengobatan atau intervensi atau prediksi
mengenai perkembangan penyakit tertentu yang mana prediksi tersebut
didasarkan pada pengetahuan kedokteran (Chai, Meier, Morris, & Goldhirsch,
2014). Pemahaman mengenai pola perkembangan penyakit, indikator stadium
akhir dari suatu penyakit, dan kebutuhan penanganan pada setiap fase atau
stadium penyakit merupakan hal yang sangat penting untuk dapat memberikan
penanganan, perawatan yang komprehensif terutama pada kondisi akut.
Ada beberapa alasan mengapa prognosis penyakit menjadi penting, yaitu:
Pasien dan keluarga mengambil keputusan mengenai pengobatan dan rencana
perawatan lanjutan didasarkan pada persepsi mereka mengenai prognosis
penyakit pasien itu sendiri.
Prognosis dapat membantu dan memandu perawat dan tenaga kesehatan
lainnya mengembangkan rencana pengobatan dan perawatan yang sesuai
dengan kondisi pasien.
Informasi mengenai prognosis pasien dapat memberikan gambaran pada pasien
dan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
pasien dimasa yang akan datang.