PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Page | 1
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau
sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan
kualitas hidup (WHO,2016). Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri
dan gejala; dukungan psikososial, emosional, dukungan spiritual, dan kondisi
hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau
tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal
perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan
pendekatan timmultidisiplin untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga
mereka (Canadian Cancer Society, 2016).
Selain itu Matzo & Sherman (2015) juga menyatakan bahwa kebutuhan
pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala fisik, namun
juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi, sosial dan spiritual
yang dilakukan dengan pendekatan yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
Spiritual bertujuan untuk memberikan pertanyaan mengenai tujuan akhir
tentang keyakinan dan kepercayaan pasien (Margaret & Sanchia, 2016).
Spiritual merupakan bagian penting dalam perawatan, ruang lingkup dari
pemberian dukungan spiritual adalah meliputi kejiwaan, kerohanian dan juga
keagamaan. Kebutuhan spiritual tidak hanya dapat diberikan oleh perawat,
melainkan dapat juga diberikan oleh kelompok agama ataupun keluarga.
Page | 2
terpenuhi pasien akan merasa kesepian, tidak berharga dan merasa tidak
dicintai maka dari itu peran dari keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien
sehingga pasien merasa diperhatikan, nyaman dan damai. Harrop dkk (2014)
mengatakan pasien paliatif lebih nyaman mendapatkan perawatan ataupun
bantuan dari keluarganya. Dimana bantuan ataupun dukungan yang
didapatkan dari keluarga dapat mengurangi beban psikososial dan spiritual
pada pasien dengan perawatan paliatif (Hudson dkk, 2014).
Page | 3
6) Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dasar perawatan paliatif
7) Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam elemen perawatan
paliatif
8) Mahasiswa dapat mengetahui masalah keperawatan pada pasien
paliatif
9) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana dukungan keluarga
10) Mahasiswa dapat mengetahui langkah-langkah perawatan paliatif
11) Mahasiswa dapat mengetahui tim dan tempat perawatan paliatif
12) Mahasiswa dapat mengetahui indikasi pelayanan paliatif
13) Mahasiswa dapat mengetahui dukungan pelayanan perawatan paliatif
14) Mahasiswa dapat mengetahui sasaran kebijakan perawatan paliatif
15) Mahasiswa dapat mengetahui aspek medikolegal dalam perawatan
paliatif
16) Mahasiswa dapat mengetahui tempat dan organisasi perawatan paliatif
17) Mahasiswa dapat mengetahui kompetensi perawat yang bekerja di area
perawatan paliatif
Page | 4
BAB II
PEMBAHASAN
Page | 5
rumah perawatan maupun di fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah
sakit.
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai
martabat serta harga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2015).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES,2013)
prinsip perawatan paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah
timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri,
menghargai kehidupan dan mengaggap kematian sebagai proses normal,
tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan
dukungan psikologis, sosial dan spiritual., memberikan dukungan agar
pasien dapat hidup seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada
keluarga sampai masa dukacita, serta menggunakan pendekatan tim untuk
mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya.
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan
psikososial, emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman
dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain
sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan
penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim
multidisiplin untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka
(Canadian Cancer Society, 2016). Selain itu juga menyatakan bahwa
kebutuhan pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi,
sosial dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan yang dikenal
sebagai perawatan paliatif. (Matzo & Sherman, 2015)
Usilawati (2015) mengatakan anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi pertolongan dan
bantuan yang diperlukan (Susilawati, 2015). Adanya dukungan keluarga
mempermudah penderita dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang dihadapinya juga merasa dicintai dan bisa
berbagi beban, mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu
dalam menghadapi permasalahan yang sedang terjadi serta adanya
dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percayadiri
Page | 6
pada penderita dalam menghadapi proses penyakitnya (Misgiyanto &
Susilawati, 2014). Morris dkk (2015) menyatakan lebih dari 200.000 orang
setiap tahun tidak mati di tempat yang mereka inginkan. Selain itu terdapat
63% pasien paliatif menyatakan ingin di rawat oleh keluarganya.
Di Amerika Serikat beberapa rumah sakit telah melakukan
kerjasama dan kesepahaman terhadap kolaborasi pasien rumah sakit yang
membutuhkan pelayanan hospis disaat kondisi pasien membutuhkan
penanganan intervensi secara agresif, atau di saat pasien dinyatakan dalan
kondisi sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat sejenak dari
rutinitas mengurus anggota keluarganya. Selain itu, supportive care juga
sering di gunakan sebagai kata alternative untuk menggantikan kata
perawatan paliatif. Istilah tersebut awal digunakan untuk menjelaskan
kondisi penanganan pasien dengan efek samping yang berat akibat proses
terapi, terutama proses terapi penyakit kanker. Dimana efek samping yang
dapat ditimbulkan akibat proses terapi penyakit kanker tersebut dapat
berupa anemia, trombositopenia, dan neutropenic septicaemia. Namun saat
ini, istilah supportive care digunakan lebih luas lagi, termasuk untuk
rehabilitasi dan dukungan psikososial. Jadi supportive care memiliki
makna yang serupa dengan perawatan paliatif dalam arti yang lebih luas
dan umum.
Page | 7
mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, tenaga professional kesehatan,
para pembuat kebijakan dan masyarakat luas, memahami perawatan
paliatif sama dengan perawatan di akhir kehidupan (end-of-life care).
Perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup;
Pelayanan berfokus pada kebutuhan pasien bukan pelayanan
berfokus pada penyakit.
Menerima kematian namun juga tetap berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup.
Pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas
kesehatan serta keluarga pasien.
Berfokus pada proses penyembuhan bukan pada pengobatan.
Page | 8
2.3 Perkembangan Perawatan Peliatif
Masa Lalu
Gerakan hospis berkembang secara massif sekitar tahun 1960an,
dimana era pelayanan hospis modern dimulai. Seseorang yang menggagas
gerakan perubahan tersebut adalah Dame Cicely Saunders (yang
selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Dame). Dame mengkreasikan
sebuah konsep tentang caring, terutama untuk pasien yang dengan stadium
akhir dan menjelang ajal/kematian. Konsep tersebut merupakan sebuah
cara pandangan atau perspektif untuk melihat sebuah fenomena secara
holistic, termasuk pasien. Sehingga pasien tidak hanya di lihat sebagai
individu yang memiliki masalah fisik saja, tetapi melihat pasien sebagai
mahluk yang kompleks. Dame menyakini bahwa gejala fisik yang di alami
oleh pasien juga dapat mempengaruhi psikologis, emotional, social dan
spiritual pasien, maupun sebaliknya. sejak awal di saat Dame menggagas
dan mendirikan rumah hospis, Dame telah mengintegrasikan pendidikan
dan penelitian dalam pelayanan di rumah hospis. Rumah hospis pertama
yang di dirikan oleh Dame yaitu rumah hospis yang terletak di kota
London pada tahun 1967.
Seiring dengan perkembangan gerakan rumah hospis, pelayanan
perawatan paliatif mulai menekankan pada aspek “Care” bukan pada aspek
“Cure’” atau pengobatan. Sehingga pada saat itu prioritas intervensi yang
dilakukan adalah bagaimana pasien dapat mengontrol keluhannya, seperti
nyeri. pada tahun 1982, dokter spesialis paliatif mulai diperkenalkan
secara formal. pada saat itu dokter paliatif tidak hanya memberikan
pelayanan pada pasien yang membutuhkan perawatan paliatif, namun juga
penelitian mengenai praktis klinis pada pasien yang mendapatkan
perawatan paliatif, dan melakukan pengajaran ataupun pendidikan
berkelanjutan dalam perspektif multidisiplin.
Sekalipun konsep hospis modern dan ‘perawatan paliatif’ merupakan
hal yang baru, namun pelayanan yang diberikan di perawatan paliatif
mampu memberikan perubahan yang sangat signifikan terhadap
peningkatan kualitas hidup pasien, mempersiapkan pasien meninggal
Page | 9
dengan damai dan bermartabat, dan memberikan dukungan pada anggota
keluarga setelah pasien meninggal.
Sejak awal pergerakan hospis modern dimana pada saat itu layanan
yang diberikan hanya berfokus pada pasien penderita kanker. Namun
beberapa praktisi lalu mengembangkan layanan pada pasien dengan
penyakit tahap lanjut seperti gagal jantung kongestif, penyakit paru
obstruksi menahun, stroke, motor neuron disease, gagal ginjal kronis dan
lain sebagainya.
Di awal abad 20, kebanyakan pasien meninggal di rumah setelah
mendapat perawatan dari pihak keluarga. namun kondisi tersebut berubah
seiring dengan perkembangan dunia kedokteran dan kesehatan, dan
penerapan beberapa metode baru dalam pengobatan yang mengharus
proses perawatan di rumah pasien harus berpindah ke rumah sakit.
Dampak dari hal tersebut, angka kematian pasien yang meninggal di
rumah menurun drastic. Akan tetapi, kebanyakan pasien kanker akan
menghabiskan sisa hidupnya lebih banyak di rumah. hal ini berdasarkan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sekitar 90% pasien kanker
mendapatkan perawatan di rumah dari pihak keluarganya.
Page | 10
tersebut, kordinasi dengan anggota tim, dan memberikan pelayanan yang
berkualitas menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Saat ini telah banyak
panduan atau guideline diterbitkan oleh lembaga bereputasi yang
memberikan penjelasan bagaimana memberikan pelayanan perawatan
paliatif yang berkualitas baik secara umum maupun untuk kelompok
pasien dengan penyakit tertentu seperti panduan perawatan paliatif untuk
pasien kanker paru. Di panduan tersebut, dijelaskan secara detail mengenai
peran masing-masing anggota tim interprofesional, komunikasi secara
efektif pada pasien, keluarga dan sesama anggota tim.
Secara global, WHO (2014) melaporkan bahwa pendidikan dan
pengetahuan para petugas kesehatan masih sangat minim mengenai
perawatan pasien di area paliatif. WHO memperkirakan sekitar 19 juta
orang di dunia saat ini membutuhkan pelayanan perawatan paliatif, dimana
69% dari mereka adalah pasien usia lanjut yaitu usia diatas 65 tahun.
Sehingga hal ini menjadi tantangan para petugas kesehatan terutama
tenaga professional yang bekerja di area paliatif untuk dapat memahami
dengan baik cara memberikan pelayanan yang berkualitas pada kelompok
lanjut usia tersebut dengan mengacu pada pilosofi dan standart pelayanan
perawatan paliatif.
Page | 11
Sehingga pada tahun 2011 pemetaan Negara berdasarkan tingkat
ketersediaan pelayanan dan fasilitas perawatan paliatif di perbaharui. dari
mapping tersebut di ketahui Negara dengan fasilitas dan penyediaan
layanan yang telah terintegrasi dengan seluruh system kesehatan, layanan
dan fasilitas yang masih terbatas, dan Negara yang fasilitas dan
pelayanannya belum tersedia. Namun beberapa Negara dengan kategori
Negara berkembang telah berhasil mengimplemtasikan pelayanan
perawatan paliatif yang terintegrasi dengan system pelayanan kesehatan
seperti Uganda dan India. kedua Negara tersebut berhasil mengembangkan
pelayanan perawatan paliatif komuniti dengan melibatkan masyarakat
sebagai relawan paliatif.
Konsep hospis diperkenalkan di Asia oleh para perawat katolik
dengan membuka klinik di kota Seoul, Korea Selatan pada awal 1965.
Pada tahun 1996 di perkirakan sekitar 90 % sekolah keperawatan telah
mengajarkan perawatan paliatif, hingga 2003 sebuah program inisiasi
model pelayanan perawatan paliatif di lakukan dan sekaligus menjadi dasr
kebijakan nasional. Namun dalam konteks regional Asia, Jepang
merupakan Negara yang telah menyediakan dan mengintegrasikan
pelayanan perawatan paliatif secara nasional. berdasarkan laporan akhir
tahun 2013, jumlah perawatan paliatif di rumah sakit sekitar 250 unit, 409
klinik paliatif rawat jalan, dan jumlah tim paliatif rumah sakit sebanyak
541. Namun bila membandingkan jumlah tempat tidur perawatan paliatif
dengan populasi per satu juta penduduk, Hong Kong merupakan Negara
yang menyediakan fasilitas pelayanan perawatan paliatif terbanyak di
banding Negara lainnya di regional Asia, yaitu 59 tempat tidur/ 1 juta
penduduk.
Page | 12
sekitar 33 pelayanan perawatan paliatif merupakan layanan yang di
sediakan oleh lembaga swadaya nonpemerintah, 20 layanan merupakan
program perawatan paliatif di rumah dan selebihnya di sediakan oleh
lembaga pemerintah. Sekitar 20 rumah sakit milik pemerintah telah
membuka layanan perawatan paliatif rawat inap dengan jumlah tempat
tidur yang tersedia sekitar 6-12 tempat tidur pada setiap rumah sakit
tersebut. Hingga tahun 2001, sekitar 48 rumah sakit milik pemerintah
membentuk tim perawatan paliatif dan menyediakan layanan perawatan
paliatif rawat inap dengan kapasitas tempat tidur sekitar 2 sampai 4. Selain
itu, beberapa organisasi juga membentuk layanan hospis khusus untuk
penderita HIV/AIDS. pelayanan perawatan paliatif di Malaysia dimulai
pada tahun 1990an, sekitar 1992. namun dengan dukungan dari pemerintah
sehingga sehingga dalam sau decade beberapa rumah sakit telah
menyediakan layanan perawatan paliatif rawat inap. Pada tahun 2006,
paliatif medicine telah dinyatakan sebagai spesialisasi dalam bidang
kedokteran oleh kementerian kesehatan Malaysia.
Saat ini, sekitar 13 organissi yang menyediakan 40 layanan
perawatan paliatif dan hospis, kebayakan dari layanan tersebut merupakan
layanan rawat inap. Sekitar 8 dari organisasi tersebut merupakan lembaga
pemerintah berupa rumah sakit rujukan dan pusat layanan kanker. Satu
rumah sakit swastan dan 2 lainnya merupakan institusi milik lembaga
keagamaan. perkembangan awal perawatn paliatif di Thailand telah
dimulai sejak tahun 1980an, dimana saat itu fokus utama layanan adalah
penanganan nyeri dan mayoritas tenaga professional saat itu adalah ahi
anaestesi. Lalu pada tahun 1990an pemerintah menyediakan fasilitas untuk
pengembangan dan pelayanan paliatif serta di bentuknya grup komunitas
untuk membantu mendukung program tersebut. dimana pada saat itu
kebutuhan akan layanan perawatan paliatif menjadi urgen akibat
menigkatnya kasus HIV/AIDS. Selain itu salah satu organisasi yang
berbasis keagamaan juga menyediakan layanan hospis di Pura Wat Phrabat
Nampu dengan kapasitas 400 tempat tidur.
Page | 13
Layanan tersebut merupakan layanan rawat inap yang didukung oleh
tenaga kesehatan profesional, dan fokus layanan pada pasien dengan
HIV/AIDS baik dewasa maupun anak-anak. di Filipina sekitar 34
organisasi yang menyediakan 108 layanan perawatan paliatif dan hospis.
Gerakan pelayanan perawatan paliatif dan hospis dimulai pada tahuan
1980an, dan layanan tersebut semakin berkembang saat program
manajemen nyeri menjadi bagian integral dari program layanan dan
pengontrolan penyakit kanker yang di tetapkan oleh pemerintah pada
tahun 1990 sehingga morpin tersedia di berbagai rumah sakit yang
terakreditasi. Setahun kemudian Perhimpunan Kanker Filipina mendirikan
program rumah perawatan dan memberikan dukungan terhadap grup atau
kelompok yang tertarik dalam perawatan paliatif. Selain itu, perawatan
paliatif dan hospis telah diajarkan sebagai bagian dari kedokteran keluarga
di tingkat universitas. Pada tahun 1998 sekitar 30 organisasi perawatn
paliatif dan hospis yang menyediakan layanan pada pasien kanker dengan
kondisi terminal dan menjelang ajal. dimana layanan tersebut didukung
oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat dan pekerja social
medic.
Pelayanan perawatan paliatif dan hospis dimulai sejak tahun 1986
dimana rumah hospis St Joseph menyediakan 16 tempat tidur. Rumah
hospis tersebut awalnya di peruntukkan untuk pasien lanjut usia yang
dikelola oleh para biarawati katolik sekte kanosian. Pada tahun 1987
terbentuk grup relawan yang dikenal dengan nama “Hospice Care group”
yang menyediakan layanan hospis di bawah pengelolaan himpunan kanker
Singapura. Pada tahun 1988 Rumah Asisi merupakan rumah hospis
didirikan dengan kapasitas 50 tempat tidur, hospis tersebut melayani
pasien dengan penyakit kronis dan 12 tempat tidur di antaranya di
peruntukkan pada pasien kondisi terminal dan menjelang ajal. Saat ini
layanan perawatan paliatif dan hospis tersedia di berbagai fasilitas seperti
perawatan rumah hospis, rumah hospis rawat inap,rumah hospis day care,
perawatan paliatif di rumah sakit. awal pelayanan perawatan paliatif
berupa layanan swadaya oleh beberapa relawan yang kemudian
Page | 14
berkembangan menjadi layanan professional. lebih lanjut, pendidikan
mengenai perawatan paliatif telah dimulai sejak tahun 1987, dimana saat
itu kegiatannya diadakan dalam bentuk kursus untuk dokter dan perawat.
Page | 15
tenaga kesehatan, dan juga jumlah tenaga kesehatan yang belajar secara
formal mengenai perawatan paliatif juga masih sangat sedikit.
Karena saat ini, pendidikan untuk level pascasarjana di bidang
perawatan paliatif hanya tersedia di universitas di Negara maju seperti
Australia, Amerika serika, Inggris. Sejarah perkembangan perawatan
paliatif di Indonesia bermula saat sekelompok dokter di Rumah sakit Dr
Sutomo, Surabaya, membentuk kelompok perawatan paliatif dan
pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990 yang selanjutnya kelompok
tersebut menjadi “Tim perawatan paliatif’ pertama di Indonesia. Saat ini
kelompok tersebut dikenal dengan nama “Pusat pengembangan paliatif dan
bebas nyeri”, Pada bulan Februari 1992, secara resmi pelayanan perawatan
paliatif di mulai di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya. Pelayanan tersebut
didukung 11 orang dokter dan seorang apoteker yang telah menempuh
pendidikan perawatan paliatif untuk level PostGraduate Diploma melalui
pendidikan jarak jauh dari salah satu universitas yang berada di Negara
bagian Australia barat, kota Perth. Atas kepemimpinan Dr. R. Soenarjadi
Tedjawinata yang kemudian dikenal sebagai Bapak Paliatif Indonesia
menginisiasi sebuah kegiatan seminar nasional dan workshop yang
bertema “manajemen nyeri kanker”.
Tujuan dari kegiatan tersebut untuk memperkenalkan pelayanan
perawatan paliatif kepada peserta seminar dan workshop. kegiatan tersebut
dilakukan pada bulan Oktober 1992 yang pada saat di itu dihadiri oleh
sekitar 14 perwakilan rumah sakit pendidikan di Indoensia. Pada tahun
2006, sebuah organisasi nirlaba membentuk “Rumah Rachel” yang
menyediakan layanan perawatan paliatif khusus untuk anak yang
menderita kanker dan HIV/AIDS. Rumah Rachel merupakan fasilitas
perawatan paliatif yang pertama di Indonesia yang fokus pada anak-anak
berlokasi di Jakarta. Pada tahun 2007, atas bimbingan dan arahan tim
paliatif RS Dr Sutomo, pelayanan paliatif di tingkat puskesmas di buka,
yaitu Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas
mengadakan pelatihan perawatan paliatif untuk relawan dengan
mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Surabaya.
Page | 16
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, minat para tenaga kesehatan di
bidang perawatan paliatif semakin meningkat, dimana secara rutin seminar
maupun workshop yang bertema perawatan paliatif di selenggarakan
secara rutin seperti di Yogyakarta, Bandung dan di beberapa kota lainnya.
Pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan melalui Direktorat jenderal
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan mengeluarkan panduan
teknis pelayanan paliatif kanker. hal ini menunjukkan bahwa pihak
pemerintah semakin serius untuk memberikan pelayanan perawatan
paliaatif bagi masyarakat Indonesia terkhusus yang menderita kanker.
Page | 17
Ilustrasi di atas menggambarkan perubahan kualitas hidup dari T0 ke
T1 dapat disebabkan oleh haranpan, pengalaman, atau kedua secara
bersamaan. Contoh kasus A dan B diatas menunjukkan kualitas hidup
kedua pasien tersebut pada T0 berada pada level yang hamper sama, akan
tetapi terjadi perubahan kondisi penyakit dari masing-masing pasien yang
boleh jadi mereka memiliki stadium dan komplesitas penyakit yang
berbeda sehingga pada pemeriksaan di T1 menunjukkan kualitas hidup
yang berbeda. Ada beberapa dimensi dari kualitas hidup yang di
kemukanan oleh Clinch, Dudgeon & Schipper (1998) yaitu gejala fisik,
kemampuan fungsional, kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi social,
kepuasan terhadap pengobatan, orientasi masa depan, kehidupan seksual,
dan fungsi dalam bekerja. Pada tahun 1948, Karnofsky mengemukakan
dimensi kualitas hidup dalam perawatan paliatif yaitu; perubahan atau
peningkat secara subjektif, perubahan atau peningkatan secara obyektif,
status performance. Status performance pasien dapat di ukur dengan
menggunakan the Karnofsky Performance Status Scale.
Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk
prognosis masa bertahan hidup pasien, terutama pada pasien kanker
dengan metastasis. Namun, nilai kualitas hidup yang di ukur dengan
menggunakan berbagai macam alat ukur (kuesioner, atau lembar
observasi) cenderung memiliki kekurangan atau kelemahan, karena alat
ukur tersebut hanya menilai aspek-aspek tertentu saja yang di tetapkan
sehingga hasil akhir dari pengukuran tersebut tidak menggambarkan
kepuasaan subjektif pasien secara menyeluruh. Beberapa panduan yang
Page | 18
sering di gunakan untuk menilai kualitas hidup pasien, secara umum di
kelompok menjadi Kualitas hidup secara umum atau kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan, kualitas hidup yang fokus pada penyakit
tertentu, atau kualitas hidup yang pada domain.
Karena makna kualitas hidup dapat berbeda pada setiap orang, Maka
kualitas hidup hanya dapat di definisikan atau di maknai hanya oleh pasien
berdasarkan pengalaman hidupnya. Sehingga seorang perawat harus dapat
memahami factor-faktor yang berkontribus terhadap kualitas hidup, baik
positif maupun negative.
Page | 19
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi ini mencakup pasien dengan
semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam
kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien
dan keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif
berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga
sembuh atau meninggal sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi
yang bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang
termasuk dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Dimana tim ini termasuk profesional dari
kedokteran, perawat, farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator
pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog, asisten perawat, ahli
diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan. Tujuan perawatan
paliatif adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang
disebabkan oleh penyakit maupun pengobatan
7. Kemampuan berkomunikasi . Komunikasi efektif diperlukan dalam
memberikan informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan,
membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap
individu yang membantu pasien dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluruh sistem pelayanan
kesehatan yang ada dapat menjalani koordinasi, komunikasi, serta
kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang
tidak diperlukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana tim
harus bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupan usia,
populasi, kategori diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik,
jenis kelamin, serta kemampuan instrumental pasien.
Page | 20
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup
pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang
dapat mewujudkan lingkungan klinis yang optimal
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas
membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.
Page | 21
Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya
mengalami banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa
seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada
pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak
mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
3) Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak
normalan kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada
disekitar pasien baik itu keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto &
Susilawati, 2014). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Kelliat, 2006).
4) Masalah Spiritual
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam
mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang
dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan
yang lebih besar dari dirinya . Distress spiritual adalah gangguan
dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan
diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2014).
Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai serta menjalin hubungan penuh rasa
percaya dengan Tuhan (Ummah, 2016)
Page | 22
keluarga lain baik berupa barang, jasa, informasi, dan nasihat sehingga
anggota keluarga merasa di sayangi, di hormati dan dihargai. Dukungan
keluarga adalah dukungan yang didapatkan dari keluarga ke anggota
keluarga yang dimana dukungan ini sangat bermanfaat bagi anggota
keluarga yang mendapatkan dukungan dan merasa diperhatikan, dihargai
dan dicintaioleh keluarganya. (Friedman, 2015).
Page | 23
2. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi
kekhawatiran dari orang yang dicintai (Asuhan keperawatan
keluarga)
3. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga
Page | 24
Ketiga, program tingkat tersier dapat melibatkan organisasi
tersier, seperti rumah sakit pendidikan dan pusat-pusat pendidikan
dengan tim ahli perawatan paliatif.
2. Hospice
Hospice merupakan tempat pasien dengan penyakit stadium
terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak
melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit.
Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi
dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala
yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.
3. Rumah
Peran keluarga lebih menonjol karena sebagian perawatan
dilakukan oleh keluarga. Keluarga atau orang tua sebagai
caregiver diberikan latihan pendidikan keperawatan dasar.
Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan bila pasien tidak
memerlukan alat khusus atau ketrampilan perawatan yang
mungkin dilakukan oleh keluarga.
Page | 25
kebutuhan nutrisi, kebutuhan tidur dan kenyamanan tempat tidur dan
memfasilitasi lingkungan ruang rawat yang kondusif. Kebutuhan saat-saat
terminal adalah memberi dukungan pada keluarga (memberikan
kesempatan bertanya, memberikan informasi, memberikan saran cara
memberi dukungan pada penderita, menyediakan barang-barang yang
memberi rasa nyaman, menyediakan dukungan interdisiplin.
Selain mengurangi gejala-gejala yang muncul, perawatan paliatif
juga memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial. Perawatan
paliatif setelah penderita meninggal dilakukan dengan memberikan
dukungan moral kepada keluarga yang berduka. Bagi tenaga kesehatan
dibutuhkan empati yang besar dan kemampuan khusus dalam melakukan
perawatan paliatif. Salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif
adalah kasih, kepedulian, ketulusan dan rasa syukur. Aspek ini sangat
penting hingga melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak harus
dilakukan dalam perawatan paliatif.
Tim perawatan paliatif harus berupaya untuk membuat penderita
menerima keadaannya sehingga masih bisa menjalani hidupnya meskipun
umurnya tak lama lagi. Kebanyakan kualitas hidup penderita dengan
penyakit tak bisa bisa disembuhkan akan terus memburuk atau menurun,
jika harapan penderita tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tim
paliatif harus dapat memodifikasi ekspektasi penderita, sehingga jarak
antara harapan dan kenyataannya menjadi lebih dekat. Bisa dengan
membangkitkan spirit untuk hidup, orientasi masa depan, keimanan
bahkan tentang seksualitasnya. Harapan selalu ada, tapi sebaiknya tidak
memberikan harapan yang palsu karena harapan juga harus disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan dan kondisi penderita. Untuk itu keluarga
merupakan kunci makna hidup dalam perawatan paliatif.
Perawatan paliatif dapat memenuhi kebutuhan perbaikan kualitas
hidup penderita dan keluarganya melalui perawatan yang tidak hanya
menekankan pada gejala fisik seperti nyeri, tetapi juga terhadap aspek-
aspek emosional, psikososial dan spiritual (Sugiaman, S, 2016).
Page | 26
2.14 Sasaran Kebijakan Perawatan Paliatif
Tujuan umum kebijakan perawatan paliatif yaitu sebagai
perlindungan hukum dan petunjuk bagi perawatan paliatif di Indonesia.
Sedangkan tujuan khususnya adalah terlaksananya perawatan paliatif yang
bermutu sesuai standar yang berlaku diseluruh Indonesia, tersusunnya
pedoman-pedoman pelaksanaan perawatan paliatif, tersedianya tenaga
medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan.
Sasaran kebijakan perawatan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa
dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan
paliatif dimana pun pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana
perawatan paliatif yaitu dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang
terkait. Sedangkan institusi terkait yaitu dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten/kota, rumah sakit pemerintaj dan swasta, rumah
perawatan/hospis, fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta.
Page | 27
Tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat melakukan
perawatan dirumah pasien. Pada dasarnya, tindakan yang bersifat
kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien, tindakan-tindakan
tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang
terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus
dijaga.
Page | 28
Keterampilan komunikasi
Keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang terpenting dalam
pelayanan perawatan paliatif. Perawat mengembangkan kemampuan
berkomunikasinya untuk dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik
dengan pasien dan keluarga. Sehingga perawat dapat memberikan
informasi yang penting dengan cara yang lebih baik saat pasien
membutuhkannya, atau menjadi pendengar yang baik saat pasien
mengungkap keluhannya tanpa memberikan penilaian atau stigma yang
bersifat individual. Komunikasi menjadi keterampilan yang sangat dasar
pada perawat paliatif, dimana dengan keterampilan tersebut perawat akan
mampu menggali lebih dalam mengenai perasaan pasien, keluhan pasien
tentang apa yang dirasakannya.
Selain itu dengan keterampilan berkomunikasi tersebut maka
perawat dapat mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, kapan
saja, atau bahkan di saat pasien mengajukan pertanyaan yang rumit seperti
tentang kehidupan dan kematian. Kemampuan berkomunikasi juga akan
membantu membangun kepercayaan diri perawat, tahu kapan mengatakan
tidak terhadap pasien, dan dengan komunikasi yang disertai dengan
sentuhan, maka hal tersebut dapat menjadi terapi bagi pasien. Untuk lebih
detail, keterampilan komunikasi serta model komukasi di area perawatan
paliatif akan di jelaskan pada bab 4. prinsip komunikasi dalam perawatan
paliatif.
Keterampilan psikososial
Untuk dapat bekerja sama dengan keluarga pasien dan
mengantisipasi kebutuhannya selama proses perawatan pasien, maka
pelibatan keluarga dalam setiap kegiatan akan dapat membantu dan
mendukung keluarga untuk mandiri. Elemen psikososial merupakan
bagian dari proses perawatan yang biasanya di delegasikan ke pekerja
social medic. Karena pekerja social medic memiliki wawasan dan akses
yang lebih luas ke berbagai macam organisasi atau instansi yang dapat
diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada pasien. karena
mengingat peran perawat dalam tim paliatif begitu banyak sehingga tidak
Page | 29
memungkin untuk melakukannya. Akan tetapi bila, dalam tim
interprofesional tidak ada tenaga pekerja social medic, maka perawatlah
yang akan melakukannya. Membangun rasa percaya dan percaya diri
selama berinteraksi dengan pasien dan dengan menggunakan diri sendiri
sebagai bentuk terapeutik melalui proses komunikasi terapeutik maka hal
tersebut merupakan inti dari pendekatan psikososial dalam perawatan
paliatif.
Keterampilan bekerja tim
Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim interprofesional
merupakan hal yang sangat vital untuk dapat melakukan praktik atau
intervensi yang baik terhadap pasien. Mengingat layanan perawatan
paliatif saat ini tidak hanya tersedia di fasilitas rumah sakit, namun juga
tersedia di rumah hospis, rumah perawatan maupun di rumah pasien.
Seiring dengan meningkat peran perawata di area paliatif sehingga
keterampilan untuk dapat bekerja dalam tim menjadi suatu keharusan dan
keniscayaan.
Keterampilan dalam perawatan fisik
Untuk area ini, perawat di tuntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang baik untuk dapat melakukan asuhan keperawatan secara
langsung pasien dalam kondisi apapun dan kapanpun, sehingga perawat
dapat bertindak dan mengambil keputusan yang tepat sesuai kondisi
pasien. Pengkajian nyeri secara akurat dan holistic dengan menggunakan
berbagai macam bentuk metode menjadi hal yang dasar. Pemilihan metode
yang tepat untuk mengkaji pasien seperti nyeri, menjadi hal yang penting,
mengingat kondisi pasien yang kadang berubah dan tidak memungkin
merespon beberapa pertanyaan yang di ajukan. Sehingga keterampilan
observasi dan kemampuan intuisi perawat yang dapat digunakan untuk
mengenali tanda atau gejala yang mana boleh jadi pasien tidak dapat atau
mampu untuk melaporkannya. Dengan pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki perawat maka perawat dapat memberikan masukan kepada
anggota tim untuk tidak lebih fokus pada pemberian obat-obatan
berdasarkan perkembangan kondisi pasien.
Page | 30
Keterampilan intrapersonal
Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk dapat bekerja
dengan baik dan sukses dalam area perawatan paliatif adalah keterampila
intrapersonal. karena kematangan secara pribadi dan professional akan
dapat membantu perawat dalam mengatasi masalah yang terkait dengan
isu intrapersonal yang bersifat intrinsic terutama saat melayani atau
melakukan asuhan keperawatan pasien yang menjelang ajal dan
keluarganya. Perawat harus dapat mengenali dan memahami reaksi dan
perasaan pasien yang merupakan konsekuensi alamiah dari bekerja dengan
pasien sekarat atau keluarga yang mengalami kedukaan, sehingga perawat
mampu menentukan sikap dan menyesuaikan diri dengan kondisi atau
situasi yang sarat dengan emosi dan perasaan sensitive. Jika dibandingkan
dengan keterampilan kompetensi lainnya, maka keterampilan intrapersonal
merupakan hal yang sangat menantang. Dan hal ini juga memiliki andil
yang besar untuk membantu membangun keribadian yang lebih baik. Akan
tetapi, kondisi tersebut juga mambawa perawat dalam posisi dilematis,
karena terkadang perawat terlalu terbawa emosi dengan perasaan yang di
alami pasien.
Page | 31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial
atau spiritual. (World Health Organization(WHO)2016).
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan
keluarga mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian sebagai
proses normal, tidak menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan
lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual,
mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan mmbantu
mengatasi suasana duka cita pada keluarga.
3.2 Saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan.
Page | 32
DAFTAR PUSTAKA
Page | 33
Effendy, C. (2015). The quality of palliative care for patients with cancer in
Indonesia. PhD Thesis, Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherland.
Goh, C. R. (1996). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of
Pain and Symptom Management, 12(2), 130-132.
Goh, C. R. (1993). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of
Pain and Symptom Management, 8(6), 431-433.
Guido, G. W. (2010). Nursing care at the end of life. Pearson. New Jearsey.USA.
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2015). Quality of life in palliative care: principles and
practice. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow,
D. C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition.
Oxford University Press, USA.
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2003). Quality of life in palliative care: principles and
practice. Palliative Medicine, 17(1), 11-20.
Kemenkes RI. (2013). Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker. Diakses pada
tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2c4YwnM
Kemenkes RI. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
812/MENKES/SK/VII/2007 tentang Kebijakan perawatan paliatif.
Di akses pada tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2blgRsJ
Lickiss, J. N. (1993). Indonesia: Status of cancer pain and palliative care. Journal
of Pain and Symptom Management, 8(6), 423-424.
Payne, S., & Lynch, T. (2015). International progress in creating palliative
medicine as a specialized discipline and the development of palliative care.
In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D. C.
(Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford
University Press, USA.
Rajagopal, M. R., & George, R. (2015). Providing palliative care in economically
disadvantaged countries. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S.,
Portenoy, R. K., & Currow, D. C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of
palliative medicine 5th edition. Oxford University Press, USA.
Rochmawati, E., Wiechula, R., & Cameron, K. (2016). Current status of palliative
care services in Indonesia: a literature review. International Nursing
Page | 34
Review. Rumah Rachel. Tentang Rumah Rachel. diakses pada tanggal 23
Agustus 2016. http://rachel-house.org/about-us/who-we-are/
Saleh, M. S., Danantosa, T., & Kusumawardhani, C. (2008). Perawatan Paliatif di
Puskesmas Balongsari Surabaya: Upaya Mendekatkan Layanan Rawat
Jalan Kepada Pasien Kanker Stadium Lanjut. Indonesian Journal of
Cancer, 2(1).
Soebadi, R. D., & Tejawinata, S. (1996). Indonesia: status of cancer pain and
palliative care. Journal of Pain and Symptom Management, 12(2), 112-
115.
Twycross, R. G. (2003). Introducing palliative care, fourth edition. Radcliffe
Publishing. Universitas Narotama. (2016). Pemberian Santunan pada
Pusat Pengembangan Paliatif RSUD dr Sutomo. Di akses pada tanggal
26 Agustus 2016. http://bit.ly/2bkaEf9
Yamaguchi, T., Kuriya, M., Morita, T., Agar, M., Choi, Y. S., Goh, C., ... &
Ocampo, R. (2014). Palliative care development in the Asia-Pacific
region: an international survey from the Asia Pacific Hospice
Palliative Care Network (APHN). BMJ Supportive & Palliative Care,
bmjspcare-2013.
Wright, M., Hamzah, E., Phungrassami, T., & Bausa-Claudio, A. (2010). Hospice
and palliative care in southeast Asia: a review of developments and
challenges in Malaysia, Thailand and the Philippines. Oxford University
Press.
Wright, M., Wood, J., Lynch, T., & Clark, D. (2008). Mapping levels of palliative
care development: a global view. Journal of Pain and Symptom
Management, 35(5), 469-485.
Page | 35