Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas


hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam
jiwa, dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan
memberikan dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak
tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien (World Health
Organization, 2014).

Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam


perawatan paliatif seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%,
kanker 34%, penyakit pernapasan kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes
4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-60%. Pada tahun 2011
terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan
perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif
berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa
(usia 15-59 tahun) 25%, pada usia 0-14 tahun yaitu 6% (Baxter, et al., 2014).

Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu


Benua Pasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing
22% (WHO,2014). Benua Asia terdiri dari Asia Barat, Asia Selatan, Asia
Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu
negara yang termasuk dalam benua Asia Tenggara dengan kata lain bahwa
Indonesia termasuk dalam Negara yang membutuhkan perawatan paliatif.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) prevalensi
tumor/kanker di Indonesia adalah 1.4 per 1000 penduduk, atau sekitar
330.000 orang, diabete melitus 2.1%, jantung koroner (PJK) dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3.6%.
Kementrian kesehatan (KEMENKES, 2016) mengatakan kasus HIV sekitar
30.935, kasus TB sekitar330.910. Kasus stroke sekitar 1.236.825 dan 883.447
kasus penyakit jantung dan penyakit diabetes sekitar 1,5% (KEMENKES,
2014).

Page | 1
Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan penyakit yang sulit atau
sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif ini bersifat meningkatkan
kualitas hidup (WHO,2016). Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri
dan gejala; dukungan psikososial, emosional, dukungan spiritual, dan kondisi
hidup nyaman dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau
tempat lain sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal
perjalanan penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan
pendekatan timmultidisiplin untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga
mereka (Canadian Cancer Society, 2016).

Selain itu Matzo & Sherman (2015) juga menyatakan bahwa kebutuhan
pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala fisik, namun
juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi, sosial dan spiritual
yang dilakukan dengan pendekatan yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
Spiritual bertujuan untuk memberikan pertanyaan mengenai tujuan akhir
tentang keyakinan dan kepercayaan pasien (Margaret & Sanchia, 2016).
Spiritual merupakan bagian penting dalam perawatan, ruang lingkup dari
pemberian dukungan spiritual adalah meliputi kejiwaan, kerohanian dan juga
keagamaan. Kebutuhan spiritual tidak hanya dapat diberikan oleh perawat,
melainkan dapat juga diberikan oleh kelompok agama ataupun keluarga.

Susilawati (2015) mengatakan anggota keluarga memandang bahwa


orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi pertolongan dan
bantuan yang diperlukan. Adanya dukungan keluarga mempermudah
penderita dalam melakukan aktivitasnya yang berkaitan dengan persoalan-
persoalan yang dihadapinya, juga merasa dicintai dan bisa berbagi beban,
mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu dalam
menghadapi permasalahan yang sedang terjadi serta adanya dukungan
keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percayadiri pada penderita
dalam menghadapi proses penyakitnya (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Morris dkk (2015) menyatakan lebih dari 200.000 orang setiap tahun tidak
mati di tempat yang mereka inginkan. Selain itu terdapat 63% pasien paliatif
menyatakan ingin di rawat oleh keluarganya. Aoun dkk (2015) mengatakan
jika dukungan yang diberikan keluarga terhadap pasien paliatif tidak

Page | 2
terpenuhi pasien akan merasa kesepian, tidak berharga dan merasa tidak
dicintai maka dari itu peran dari keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien
sehingga pasien merasa diperhatikan, nyaman dan damai. Harrop dkk (2014)
mengatakan pasien paliatif lebih nyaman mendapatkan perawatan ataupun
bantuan dari keluarganya. Dimana bantuan ataupun dukungan yang
didapatkan dari keluarga dapat mengurangi beban psikososial dan spiritual
pada pasien dengan perawatan paliatif (Hudson dkk, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa yang dimaksud dengan perawatan paliatif ?


2) Palsafah perawatan paliatif ?
3) Perkembangan perawatan paliatif ?
4) Kualitas hidup ?
5) Menjelaskan tujuan perawatan paliatif ?
6) Menjelaskan prinsip dasar perawatan paliatif ?
7) Menjelaskan macam-macam elemen perawatan paliatif ?
8) Menjelaskan masalah keperawatan pada pasien paliatif ?
9) Menjelaskan bagaimana dukungan keluarga ?
10) Menjelaskan langkah-langkah perawatan paliatif ?
11) Menjelaskan tim dan tempat perawatan paliatif ?
12) Menjelaskan indikasi pelayanan paliatif ?
13) Menjelaskan dukungan pelayanan perawatan paliatif ?
14) Menjelaskan sasaran kebijakan perawatan paliatif ?
15) Menjelaskan aspek medikolegal dalam perawatan paliatif ?
16) Menjelaskan tempat dan organisasi perawatan paliatif ?
17) Kompetensi perawat yang bekerja di area perawatan paliatif ?

1.3 Tujuan Masalah

1) Mahasiswa dapat mengetahui definisi perawatan paliatif


2) Mahasiswa dapat mengetahui Palsafah perawatan paliatif
3) Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan perawatan paliatif
4) Mahasiswa dapat mengetahui kualitas hidup
5) Mahasiswa dapat mengetahui tujuan perawatan paliatif

Page | 3
6) Mahasiswa dapat mengetahui prinsip dasar perawatan paliatif
7) Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam elemen perawatan
paliatif
8) Mahasiswa dapat mengetahui masalah keperawatan pada pasien
paliatif
9) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana dukungan keluarga
10) Mahasiswa dapat mengetahui langkah-langkah perawatan paliatif
11) Mahasiswa dapat mengetahui tim dan tempat perawatan paliatif
12) Mahasiswa dapat mengetahui indikasi pelayanan paliatif
13) Mahasiswa dapat mengetahui dukungan pelayanan perawatan paliatif
14) Mahasiswa dapat mengetahui sasaran kebijakan perawatan paliatif
15) Mahasiswa dapat mengetahui aspek medikolegal dalam perawatan
paliatif
16) Mahasiswa dapat mengetahui tempat dan organisasi perawatan paliatif
17) Mahasiswa dapat mengetahui kompetensi perawat yang bekerja di area
perawatan paliatif

Page | 4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial atau spiritual. (World Health Organization(WHO)2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan total yang dilakukan secara
aktif terutama pada pasien yang menderita penyakit yang membatasi
hidup,dan keluarga pasien, yang dilakukan oleh tim secara interdisiplin,
dimana penyakit pasien tersebut sudah tidak dapat lagi berespon terhadap
pengobatan atau pasien yang mendapatkan intervensi untuk
memperpanjang masa hidup.
Istilah perawatan hospis sering digunakan sebagai sinonim untuk
perawatan paliatif. Namun, di beberapa Negara perawatan hospis merujuk
pada perawatan paliatif berbasis komuniti. secara pilosofi perawatan
paliatif dan perawatan hospis memiliki makna yang sama. Akan tetapi,
“semua perawatan hospis adalah perawatan paliaitf, namun tidak semua
perawatan paliatif adalah perawatan hospis.” perawatan paliaitf di
sediakan untuk semua pasien yang menderita penyakit kronis dengan
kondisi penyakit yang membatasi masa hidup atau mengancam jiwa
maupun kondisi pasien yang mendapatkan intervensi untuk
memperpanjang masa hidup. Sedangkan perawatan hospis di peruntukkan
kepada pasien dengan kondisi masa harapan hidup yang di perkirakan
kurang dari enam bulan. Sebagaimana perawatan paliatif, perawatan
hospis di fasilitiasi oleh tenaga professional yang bekerja secara tim yang
di kenal dengan istilah tim interprofesional atau tim interdisiplin. Pasien
akan mendapatkan pelayanan perawatan paliatif di rumah sendiri atau di

Page | 5
rumah perawatan maupun di fasilitas kesehatan lainnya seperti rumah
sakit.
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai
martabat serta harga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2015).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES,2013)
prinsip perawatan paliatif yaitu menghilangkan nyeri dan mencegah
timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri,
menghargai kehidupan dan mengaggap kematian sebagai proses normal,
tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan
dukungan psikologis, sosial dan spiritual., memberikan dukungan agar
pasien dapat hidup seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada
keluarga sampai masa dukacita, serta menggunakan pendekatan tim untuk
mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya.
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala; dukungan
psikososial, emosional, dukungan spiritual; dan kondisi hidup nyaman
dengan perawatan yang tepat, baik dirumah, rumah sakit atau tempat lain
sesuai pilihan pasien. Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan
penyakit, bersamaan dengan terapi lain dan menggunakan pendekatan tim
multidisiplin untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarga mereka
(Canadian Cancer Society, 2016). Selain itu juga menyatakan bahwa
kebutuhan pasien paliatif tidak hanya pemenuhan atau pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologi,
sosial dan spiritual yang dilakukandengan pendekatan yang dikenal
sebagai perawatan paliatif. (Matzo & Sherman, 2015)
Usilawati (2015) mengatakan anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung akan selalu siap memberi pertolongan dan
bantuan yang diperlukan (Susilawati, 2015). Adanya dukungan keluarga
mempermudah penderita dalam melakukan aktivitasnya berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang dihadapinya juga merasa dicintai dan bisa
berbagi beban, mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat membantu
dalam menghadapi permasalahan yang sedang terjadi serta adanya
dukungan keluarga akan berdampak pada peningkatan rasa percayadiri

Page | 6
pada penderita dalam menghadapi proses penyakitnya (Misgiyanto &
Susilawati, 2014). Morris dkk (2015) menyatakan lebih dari 200.000 orang
setiap tahun tidak mati di tempat yang mereka inginkan. Selain itu terdapat
63% pasien paliatif menyatakan ingin di rawat oleh keluarganya.
Di Amerika Serikat beberapa rumah sakit telah melakukan
kerjasama dan kesepahaman terhadap kolaborasi pasien rumah sakit yang
membutuhkan pelayanan hospis disaat kondisi pasien membutuhkan
penanganan intervensi secara agresif, atau di saat pasien dinyatakan dalan
kondisi sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat sejenak dari
rutinitas mengurus anggota keluarganya. Selain itu, supportive care juga
sering di gunakan sebagai kata alternative untuk menggantikan kata
perawatan paliatif. Istilah tersebut awal digunakan untuk menjelaskan
kondisi penanganan pasien dengan efek samping yang berat akibat proses
terapi, terutama proses terapi penyakit kanker. Dimana efek samping yang
dapat ditimbulkan akibat proses terapi penyakit kanker tersebut dapat
berupa anemia, trombositopenia, dan neutropenic septicaemia. Namun saat
ini, istilah supportive care digunakan lebih luas lagi, termasuk untuk
rehabilitasi dan dukungan psikososial. Jadi supportive care memiliki
makna yang serupa dengan perawatan paliatif dalam arti yang lebih luas
dan umum.

2.2 Palsafah Perawatan Peliatif


Paliatif berasal dari bahasa latin yaitu “Palium”, yang berarti
menyelimuti atau menyingkapi dengan kain atau selimuti untuk
memberikan kehangatan atau perasaan nyaman. berangkat dari makna kata
tersebut sehingga perawatan paliatif di dimaknai sebagai pelayanan yang
memberikan perasaan nyaman terhadap keluhan yang di rasakan oleh
pasien. Sehingga tujuan utama dari pelayanan perawatan paliatif adalah
memberikan perasaan nyaman pada pasien dan keluarga. Namun,
pelayanan perawatan paliatif tidak hanya mengatasi masalah fisik pasien
akan tetapi juga mencakup masalah dari aspek psikologis, social dan
spiritual. Kesemua aspek tersebut saling berintegrasi sehingga dapat saling

Page | 7
mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, tenaga professional kesehatan,
para pembuat kebijakan dan masyarakat luas, memahami perawatan
paliatif sama dengan perawatan di akhir kehidupan (end-of-life care).
Perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup;
 Pelayanan berfokus pada kebutuhan pasien bukan pelayanan
berfokus pada penyakit.
 Menerima kematian namun juga tetap berupaya untuk
meningkatkan kualitas hidup.
 Pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas
kesehatan serta keluarga pasien.
 Berfokus pada proses penyembuhan bukan pada pengobatan.

Sehingga perawatan paliatif bukan untuk mempercepat proses


kematian namun bukan pula untuk menunda kematian, karena kematian
merupakan proses alamiah mahluk hidup. Sehingga dalam perawatan
paliatif, kematian akan berlangsung secara alamiah pada pasien.
penyembuhan merupakan suatu hubungan antara diri sendiri, orang lain,
lingkungan dan Tuhan. Sehingga seseorang tidak akan dapat meninggal
dengan di obati, namun seseorang dapat meninggal dengan kondisi di
sembuhkan. Jadi meninggal dengan kesembuhan dapat dimaknai suatu
kematian dimana seseorang mampu mengatakan atau menyatakan, berupa;
 I love you
 Forgive me
 Thank you
 Good-bye
Berdasarkan hal tersebut diatas sehingga perawatan paliatif kadang
dikatakan sebagai “pelayanan yang miskin tehnologi namun kaya akan
sentuhan”. Tujuan utama perawatan paliatif adalah untuk mencapai
kualitas hidup sebaik mungkin pada pasien dan keluarganya (World Health
Organization (WHO) 1990).

Page | 8
2.3 Perkembangan Perawatan Peliatif
Masa Lalu
Gerakan hospis berkembang secara massif sekitar tahun 1960an,
dimana era pelayanan hospis modern dimulai. Seseorang yang menggagas
gerakan perubahan tersebut adalah Dame Cicely Saunders (yang
selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Dame). Dame mengkreasikan
sebuah konsep tentang caring, terutama untuk pasien yang dengan stadium
akhir dan menjelang ajal/kematian. Konsep tersebut merupakan sebuah
cara pandangan atau perspektif untuk melihat sebuah fenomena secara
holistic, termasuk pasien. Sehingga pasien tidak hanya di lihat sebagai
individu yang memiliki masalah fisik saja, tetapi melihat pasien sebagai
mahluk yang kompleks. Dame menyakini bahwa gejala fisik yang di alami
oleh pasien juga dapat mempengaruhi psikologis, emotional, social dan
spiritual pasien, maupun sebaliknya. sejak awal di saat Dame menggagas
dan mendirikan rumah hospis, Dame telah mengintegrasikan pendidikan
dan penelitian dalam pelayanan di rumah hospis. Rumah hospis pertama
yang di dirikan oleh Dame yaitu rumah hospis yang terletak di kota
London pada tahun 1967.
Seiring dengan perkembangan gerakan rumah hospis, pelayanan
perawatan paliatif mulai menekankan pada aspek “Care” bukan pada aspek
“Cure’” atau pengobatan. Sehingga pada saat itu prioritas intervensi yang
dilakukan adalah bagaimana pasien dapat mengontrol keluhannya, seperti
nyeri. pada tahun 1982, dokter spesialis paliatif mulai diperkenalkan
secara formal. pada saat itu dokter paliatif tidak hanya memberikan
pelayanan pada pasien yang membutuhkan perawatan paliatif, namun juga
penelitian mengenai praktis klinis pada pasien yang mendapatkan
perawatan paliatif, dan melakukan pengajaran ataupun pendidikan
berkelanjutan dalam perspektif multidisiplin.
Sekalipun konsep hospis modern dan ‘perawatan paliatif’ merupakan
hal yang baru, namun pelayanan yang diberikan di perawatan paliatif
mampu memberikan perubahan yang sangat signifikan terhadap
peningkatan kualitas hidup pasien, mempersiapkan pasien meninggal

Page | 9
dengan damai dan bermartabat, dan memberikan dukungan pada anggota
keluarga setelah pasien meninggal.
Sejak awal pergerakan hospis modern dimana pada saat itu layanan
yang diberikan hanya berfokus pada pasien penderita kanker. Namun
beberapa praktisi lalu mengembangkan layanan pada pasien dengan
penyakit tahap lanjut seperti gagal jantung kongestif, penyakit paru
obstruksi menahun, stroke, motor neuron disease, gagal ginjal kronis dan
lain sebagainya.
Di awal abad 20, kebanyakan pasien meninggal di rumah setelah
mendapat perawatan dari pihak keluarga. namun kondisi tersebut berubah
seiring dengan perkembangan dunia kedokteran dan kesehatan, dan
penerapan beberapa metode baru dalam pengobatan yang mengharus
proses perawatan di rumah pasien harus berpindah ke rumah sakit.
Dampak dari hal tersebut, angka kematian pasien yang meninggal di
rumah menurun drastic. Akan tetapi, kebanyakan pasien kanker akan
menghabiskan sisa hidupnya lebih banyak di rumah. hal ini berdasarkan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sekitar 90% pasien kanker
mendapatkan perawatan di rumah dari pihak keluarganya.

Masa sekarang dan yang akan datang


Telah terjadi perubahan yang dinamis dalam penyediaan perawatan
paliatif terutama di Negara Inggris. Dimana depertemen kesehatan
memperkenalkan program dan panduan baru yang di kenal dengan sebutan
“End of Life Care Strategy” dan “the Gold Standards Framework”.
Program dan panduan tersebut menitik beratkan akan pentingnya
menggunakan standard pelayanan di saat memberikan pelayanan
perawatan paliatif pada pasien dan keluarganya terutama di saat kondisi
pasien menjelang ajal/kematian. lebih lanjut, pasien diberi otonomi untuk
memilih tempat selama menjalani proses perawatan, seperti rumah sendiri,
rumah sakit, rumah perawatan, atau rumah hospis. Sebagai petugas
perawatan paliatif, memaksimal sisa waktu atau umur pasien selama masa
perawatan merupakan hal yang penting. untuk memaksimalkan hal

Page | 10
tersebut, kordinasi dengan anggota tim, dan memberikan pelayanan yang
berkualitas menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Saat ini telah banyak
panduan atau guideline diterbitkan oleh lembaga bereputasi yang
memberikan penjelasan bagaimana memberikan pelayanan perawatan
paliatif yang berkualitas baik secara umum maupun untuk kelompok
pasien dengan penyakit tertentu seperti panduan perawatan paliatif untuk
pasien kanker paru. Di panduan tersebut, dijelaskan secara detail mengenai
peran masing-masing anggota tim interprofesional, komunikasi secara
efektif pada pasien, keluarga dan sesama anggota tim.
Secara global, WHO (2014) melaporkan bahwa pendidikan dan
pengetahuan para petugas kesehatan masih sangat minim mengenai
perawatan pasien di area paliatif. WHO memperkirakan sekitar 19 juta
orang di dunia saat ini membutuhkan pelayanan perawatan paliatif, dimana
69% dari mereka adalah pasien usia lanjut yaitu usia diatas 65 tahun.
Sehingga hal ini menjadi tantangan para petugas kesehatan terutama
tenaga professional yang bekerja di area paliatif untuk dapat memahami
dengan baik cara memberikan pelayanan yang berkualitas pada kelompok
lanjut usia tersebut dengan mengacu pada pilosofi dan standart pelayanan
perawatan paliatif.

Perawatan paliatif dalam konteks global


Secara global pergerakan dan pengembangan perawatan paliatif di
mulai di Inggris dan Irlandia yang pada saat itu lebih dikenal dengan
istilah hospis. Lalu disusul oleh beberapa Negara eropa, Amerika utara,
dan Australia. Kanada merupakan Negara yang pertama
mengimplementasikan perawatan paliatif di rumah sakit yaitu di the Royal
Victoria Hospital, Montreal pada tahun 1976. Setahun kemudian
perawatan paliatif juga di buka di salah satu rumah sakit di Inggris, the St
Thomas Hospital London. Hingga saat ini belum semua Negara
menyediakan pelayanan perawatan paliatif, hal ini terjadi dengan berbagai
macam kendala.

Page | 11
Sehingga pada tahun 2011 pemetaan Negara berdasarkan tingkat
ketersediaan pelayanan dan fasilitas perawatan paliatif di perbaharui. dari
mapping tersebut di ketahui Negara dengan fasilitas dan penyediaan
layanan yang telah terintegrasi dengan seluruh system kesehatan, layanan
dan fasilitas yang masih terbatas, dan Negara yang fasilitas dan
pelayanannya belum tersedia. Namun beberapa Negara dengan kategori
Negara berkembang telah berhasil mengimplemtasikan pelayanan
perawatan paliatif yang terintegrasi dengan system pelayanan kesehatan
seperti Uganda dan India. kedua Negara tersebut berhasil mengembangkan
pelayanan perawatan paliatif komuniti dengan melibatkan masyarakat
sebagai relawan paliatif.
Konsep hospis diperkenalkan di Asia oleh para perawat katolik
dengan membuka klinik di kota Seoul, Korea Selatan pada awal 1965.
Pada tahun 1996 di perkirakan sekitar 90 % sekolah keperawatan telah
mengajarkan perawatan paliatif, hingga 2003 sebuah program inisiasi
model pelayanan perawatan paliatif di lakukan dan sekaligus menjadi dasr
kebijakan nasional. Namun dalam konteks regional Asia, Jepang
merupakan Negara yang telah menyediakan dan mengintegrasikan
pelayanan perawatan paliatif secara nasional. berdasarkan laporan akhir
tahun 2013, jumlah perawatan paliatif di rumah sakit sekitar 250 unit, 409
klinik paliatif rawat jalan, dan jumlah tim paliatif rumah sakit sebanyak
541. Namun bila membandingkan jumlah tempat tidur perawatan paliatif
dengan populasi per satu juta penduduk, Hong Kong merupakan Negara
yang menyediakan fasilitas pelayanan perawatan paliatif terbanyak di
banding Negara lainnya di regional Asia, yaitu 59 tempat tidur/ 1 juta
penduduk.

Perawatan paliatif dalam konteks regional Asia tenggara


Sebelum pelayanan hospis dan perawatan paliatif tersedia di
Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, pelayanan tersebut telah
dimulai di Negara asia timur dan oceania. Di Malaysia setidaknya sekitar
90 organisasi yang telah menyediakan pelayanan perawtan paliatif. dimana

Page | 12
sekitar 33 pelayanan perawatan paliatif merupakan layanan yang di
sediakan oleh lembaga swadaya nonpemerintah, 20 layanan merupakan
program perawatan paliatif di rumah dan selebihnya di sediakan oleh
lembaga pemerintah. Sekitar 20 rumah sakit milik pemerintah telah
membuka layanan perawatan paliatif rawat inap dengan jumlah tempat
tidur yang tersedia sekitar 6-12 tempat tidur pada setiap rumah sakit
tersebut. Hingga tahun 2001, sekitar 48 rumah sakit milik pemerintah
membentuk tim perawatan paliatif dan menyediakan layanan perawatan
paliatif rawat inap dengan kapasitas tempat tidur sekitar 2 sampai 4. Selain
itu, beberapa organisasi juga membentuk layanan hospis khusus untuk
penderita HIV/AIDS. pelayanan perawatan paliatif di Malaysia dimulai
pada tahun 1990an, sekitar 1992. namun dengan dukungan dari pemerintah
sehingga sehingga dalam sau decade beberapa rumah sakit telah
menyediakan layanan perawatan paliatif rawat inap. Pada tahun 2006,
paliatif medicine telah dinyatakan sebagai spesialisasi dalam bidang
kedokteran oleh kementerian kesehatan Malaysia.
Saat ini, sekitar 13 organissi yang menyediakan 40 layanan
perawatan paliatif dan hospis, kebayakan dari layanan tersebut merupakan
layanan rawat inap. Sekitar 8 dari organisasi tersebut merupakan lembaga
pemerintah berupa rumah sakit rujukan dan pusat layanan kanker. Satu
rumah sakit swastan dan 2 lainnya merupakan institusi milik lembaga
keagamaan. perkembangan awal perawatn paliatif di Thailand telah
dimulai sejak tahun 1980an, dimana saat itu fokus utama layanan adalah
penanganan nyeri dan mayoritas tenaga professional saat itu adalah ahi
anaestesi. Lalu pada tahun 1990an pemerintah menyediakan fasilitas untuk
pengembangan dan pelayanan paliatif serta di bentuknya grup komunitas
untuk membantu mendukung program tersebut. dimana pada saat itu
kebutuhan akan layanan perawatan paliatif menjadi urgen akibat
menigkatnya kasus HIV/AIDS. Selain itu salah satu organisasi yang
berbasis keagamaan juga menyediakan layanan hospis di Pura Wat Phrabat
Nampu dengan kapasitas 400 tempat tidur.

Page | 13
Layanan tersebut merupakan layanan rawat inap yang didukung oleh
tenaga kesehatan profesional, dan fokus layanan pada pasien dengan
HIV/AIDS baik dewasa maupun anak-anak. di Filipina sekitar 34
organisasi yang menyediakan 108 layanan perawatan paliatif dan hospis.
Gerakan pelayanan perawatan paliatif dan hospis dimulai pada tahuan
1980an, dan layanan tersebut semakin berkembang saat program
manajemen nyeri menjadi bagian integral dari program layanan dan
pengontrolan penyakit kanker yang di tetapkan oleh pemerintah pada
tahun 1990 sehingga morpin tersedia di berbagai rumah sakit yang
terakreditasi. Setahun kemudian Perhimpunan Kanker Filipina mendirikan
program rumah perawatan dan memberikan dukungan terhadap grup atau
kelompok yang tertarik dalam perawatan paliatif. Selain itu, perawatan
paliatif dan hospis telah diajarkan sebagai bagian dari kedokteran keluarga
di tingkat universitas. Pada tahun 1998 sekitar 30 organisasi perawatn
paliatif dan hospis yang menyediakan layanan pada pasien kanker dengan
kondisi terminal dan menjelang ajal. dimana layanan tersebut didukung
oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat dan pekerja social
medic.
Pelayanan perawatan paliatif dan hospis dimulai sejak tahun 1986
dimana rumah hospis St Joseph menyediakan 16 tempat tidur. Rumah
hospis tersebut awalnya di peruntukkan untuk pasien lanjut usia yang
dikelola oleh para biarawati katolik sekte kanosian. Pada tahun 1987
terbentuk grup relawan yang dikenal dengan nama “Hospice Care group”
yang menyediakan layanan hospis di bawah pengelolaan himpunan kanker
Singapura. Pada tahun 1988 Rumah Asisi merupakan rumah hospis
didirikan dengan kapasitas 50 tempat tidur, hospis tersebut melayani
pasien dengan penyakit kronis dan 12 tempat tidur di antaranya di
peruntukkan pada pasien kondisi terminal dan menjelang ajal. Saat ini
layanan perawatan paliatif dan hospis tersedia di berbagai fasilitas seperti
perawatan rumah hospis, rumah hospis rawat inap,rumah hospis day care,
perawatan paliatif di rumah sakit. awal pelayanan perawatan paliatif
berupa layanan swadaya oleh beberapa relawan yang kemudian

Page | 14
berkembangan menjadi layanan professional. lebih lanjut, pendidikan
mengenai perawatan paliatif telah dimulai sejak tahun 1987, dimana saat
itu kegiatannya diadakan dalam bentuk kursus untuk dokter dan perawat.

Perawatan paliatif dalam konteks Indonesia


Sejak 2007 pemerintah Indonesia, melalui kementerian kesehatan
telah menerbit aturan berupa kebijakan perawatan paliatif (Keputusan
MENKES No.812/Menkes/SK/VII/2007). dimana dasar yang menjadi
acuan di terbitkannya peraturan tersebut yaitu;
 Kasus penyakit yang belum dapat disembuhkan semakin
jumlahnya baik pada pasien dewasa maupun anak
 Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien
dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan
perawatan kuratif dan rehabilitative juga diperlukan perawatan
paliatif bagi pasien dengan stadium terminal.

Pada peraturan tersebut, menjelaskan bahwa kondisi pelayanan


kesehatan yang belum mampu memberikan pelayanan yang dapat
menyentuh dan memenuhi kebutuhan pasien dengan penyakit stadium
terminal yang sulit di sembuhkan. pada stadium tersebut prioritas layanan
tidak hanya berfokus pada penyembuhan, akan tetapi juga berfokus pada
upaya peningkatan kualitas hidup yang terbaik pada pasien dan
keluarganya. pasien dengan penyakit kronis pada stadium lanjut maupun
terminal dapat mengakses layanan kesehatan seperti rumah sakit baik
umum maupun swasta, puskesmas, rumah perawatan, dan rumah hospis.
Saat peraturan ini di terbitkan ada 5 rumah sakit yang menjadi pusat
layanan perawatan paliatif, dimana rumah sakit tersebut berlokasi di
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Akan tetapi,
sekalipun perawatan paliatif telah di perkenalkan dan di terapkan di
beberapa rumah sakit yang tersebut diatas, pelayanan perawatan paliatif
belum menunjukkan signifikansi. Hal ini mungkin di akibatkan oleh
minimnya pendidikan dan pelatihan tentang perawatan paliatif untuk

Page | 15
tenaga kesehatan, dan juga jumlah tenaga kesehatan yang belajar secara
formal mengenai perawatan paliatif juga masih sangat sedikit.
Karena saat ini, pendidikan untuk level pascasarjana di bidang
perawatan paliatif hanya tersedia di universitas di Negara maju seperti
Australia, Amerika serika, Inggris. Sejarah perkembangan perawatan
paliatif di Indonesia bermula saat sekelompok dokter di Rumah sakit Dr
Sutomo, Surabaya, membentuk kelompok perawatan paliatif dan
pengontrolan nyeri kanker pada tahun 1990 yang selanjutnya kelompok
tersebut menjadi “Tim perawatan paliatif’ pertama di Indonesia. Saat ini
kelompok tersebut dikenal dengan nama “Pusat pengembangan paliatif dan
bebas nyeri”, Pada bulan Februari 1992, secara resmi pelayanan perawatan
paliatif di mulai di Rumah sakit Dr Sutomo, Surabaya. Pelayanan tersebut
didukung 11 orang dokter dan seorang apoteker yang telah menempuh
pendidikan perawatan paliatif untuk level PostGraduate Diploma melalui
pendidikan jarak jauh dari salah satu universitas yang berada di Negara
bagian Australia barat, kota Perth. Atas kepemimpinan Dr. R. Soenarjadi
Tedjawinata yang kemudian dikenal sebagai Bapak Paliatif Indonesia
menginisiasi sebuah kegiatan seminar nasional dan workshop yang
bertema “manajemen nyeri kanker”.
Tujuan dari kegiatan tersebut untuk memperkenalkan pelayanan
perawatan paliatif kepada peserta seminar dan workshop. kegiatan tersebut
dilakukan pada bulan Oktober 1992 yang pada saat di itu dihadiri oleh
sekitar 14 perwakilan rumah sakit pendidikan di Indoensia. Pada tahun
2006, sebuah organisasi nirlaba membentuk “Rumah Rachel” yang
menyediakan layanan perawatan paliatif khusus untuk anak yang
menderita kanker dan HIV/AIDS. Rumah Rachel merupakan fasilitas
perawatan paliatif yang pertama di Indonesia yang fokus pada anak-anak
berlokasi di Jakarta. Pada tahun 2007, atas bimbingan dan arahan tim
paliatif RS Dr Sutomo, pelayanan paliatif di tingkat puskesmas di buka,
yaitu Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas
mengadakan pelatihan perawatan paliatif untuk relawan dengan
mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Surabaya.

Page | 16
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, minat para tenaga kesehatan di
bidang perawatan paliatif semakin meningkat, dimana secara rutin seminar
maupun workshop yang bertema perawatan paliatif di selenggarakan
secara rutin seperti di Yogyakarta, Bandung dan di beberapa kota lainnya.
Pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan melalui Direktorat jenderal
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan mengeluarkan panduan
teknis pelayanan paliatif kanker. hal ini menunjukkan bahwa pihak
pemerintah semakin serius untuk memberikan pelayanan perawatan
paliaatif bagi masyarakat Indonesia terkhusus yang menderita kanker.

2.4 Kualitas Hidup


Kualitas hidup merupakan konsep utama sekaligus tujuan dalam
proses perawatan paliatif dan juga di pelayanan kesehatan lainnya. Ide
tentang kualitas hidup bukan hal yang baru, karena di masa Yunani kuno
system pelayanan kesehatan telah menetapkan salah satu tujuan dalam
pelayanan adalah untuk meningktkan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup
memiliki makna yang sangat luas hal ini berdasarkan perspektif seseorang
dalam menilainya. sehingga kualitas hidup dapat di nilai dari konteks
social, psikologis, maupun kedokteran.
Secara umum kualitas hidup merupakan kepuasaan hidup seseorang
mengenai hidupnya yang bersifat subyektif, dan kepuasan tersebut di
pengaruh oleh seluruh aspek dari individu yang mencakup aspek fisik,
psikologis, social dan spiritual. Menurut Kepmenkes RI No.812 tahun
2007 menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan keadaan pasien yang
dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya dan system
nilai yang di anutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dalam
teori Gap, Calman mengemukakan bahwa kualitas hidup merupakan
hubungan yang berlawanan dari perbedaan antara harapan seseorang
dengan persepsi pada situasi saat itu. Sehingga semakin kecil gap atau
celah maka semakin baik kualiats hidup seseorang. Berikut Ilustrasi teori
Gap di kutip dari Kaasa & Loge (2015).

Page | 17
Ilustrasi di atas menggambarkan perubahan kualitas hidup dari T0 ke
T1 dapat disebabkan oleh haranpan, pengalaman, atau kedua secara
bersamaan. Contoh kasus A dan B diatas menunjukkan kualitas hidup
kedua pasien tersebut pada T0 berada pada level yang hamper sama, akan
tetapi terjadi perubahan kondisi penyakit dari masing-masing pasien yang
boleh jadi mereka memiliki stadium dan komplesitas penyakit yang
berbeda sehingga pada pemeriksaan di T1 menunjukkan kualitas hidup
yang berbeda. Ada beberapa dimensi dari kualitas hidup yang di
kemukanan oleh Clinch, Dudgeon & Schipper (1998) yaitu gejala fisik,
kemampuan fungsional, kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi social,
kepuasan terhadap pengobatan, orientasi masa depan, kehidupan seksual,
dan fungsi dalam bekerja. Pada tahun 1948, Karnofsky mengemukakan
dimensi kualitas hidup dalam perawatan paliatif yaitu; perubahan atau
peningkat secara subjektif, perubahan atau peningkatan secara obyektif,
status performance. Status performance pasien dapat di ukur dengan
menggunakan the Karnofsky Performance Status Scale.
Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk
prognosis masa bertahan hidup pasien, terutama pada pasien kanker
dengan metastasis. Namun, nilai kualitas hidup yang di ukur dengan
menggunakan berbagai macam alat ukur (kuesioner, atau lembar
observasi) cenderung memiliki kekurangan atau kelemahan, karena alat
ukur tersebut hanya menilai aspek-aspek tertentu saja yang di tetapkan
sehingga hasil akhir dari pengukuran tersebut tidak menggambarkan
kepuasaan subjektif pasien secara menyeluruh. Beberapa panduan yang

Page | 18
sering di gunakan untuk menilai kualitas hidup pasien, secara umum di
kelompok menjadi Kualitas hidup secara umum atau kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan, kualitas hidup yang fokus pada penyakit
tertentu, atau kualitas hidup yang pada domain.
Karena makna kualitas hidup dapat berbeda pada setiap orang, Maka
kualitas hidup hanya dapat di definisikan atau di maknai hanya oleh pasien
berdasarkan pengalaman hidupnya. Sehingga seorang perawat harus dapat
memahami factor-faktor yang berkontribus terhadap kualitas hidup, baik
positif maupun negative.

2.5 Tujuan Perawatan Paliatif


Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien
dan keluarga mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian
sebagai proses normal, tidak menunda kematian, menghilangkan nyeri dan
keluhan lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan
spiritual, mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya
dan mmbantu mengatasi suasana duka cita pada keluarga.

2.6 Prinsip Dasar Perawatan Paliatif


Prinsip dasar perawatan paliatif menurut Committee on Bioethic and
Committee on Hospital Care (2013) :
1) Menghormati serta menghargai pasien dan keluarganya
2) Kesempatan atau hak mendapatkan kepuasan dan perawatan paliatif
yang pantas
3) Mendukung dan pemberi perawatan (caregiver)
4) Pengembangan prosfesi dan dukungan sosial untuk perawatan
paliatif

2.7 Elemen Perawatan Paliatif


Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Convensus
Project dalam Campbell (2013), meliputi:

Page | 19
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi ini mencakup pasien dengan
semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam
kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien
dan keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif
berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga
sembuh atau meninggal sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi
yang bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang
termasuk dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Dimana tim ini termasuk profesional dari
kedokteran, perawat, farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator
pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog, asisten perawat, ahli
diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan. Tujuan perawatan
paliatif adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang
disebabkan oleh penyakit maupun pengobatan
7. Kemampuan berkomunikasi . Komunikasi efektif diperlukan dalam
memberikan informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan,
membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap
individu yang membantu pasien dan keluarga.
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluruh sistem pelayanan
kesehatan yang ada dapat menjalani koordinasi, komunikasi, serta
kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang
tidak diperlukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana tim
harus bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupan usia,
populasi, kategori diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik,
jenis kelamin, serta kemampuan instrumental pasien.

Page | 20
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup
pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang
dapat mewujudkan lingkungan klinis yang optimal
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas
membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

2.8 Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif


Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien
yaitu kejadian-kejadian yang dapat mengancam diri sendiri eimana
masalah yang seringkali di keluhkan pasien yaitu mengenai masalah
seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta spiritual
(IAHPC, 2016).
1) Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan
dari pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017).Nyeri merupakan
pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang
muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba
dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan
diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan apabiladata subjektif dan
objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria (NANDA,
2015).
2) Masalah Psikologi
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif
adalah kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan
ialah diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga
menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga (Misgiyanto
& Susilawati, 2014).
NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan
tidak nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom,
perasaan takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal
ini merupakan tanda waspada yang member tanda individu akan
adanya bahaya dan mampukah individu tersebut mengatasinya.

Page | 21
Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya
mengalami banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa
seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada
pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak
mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
3) Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak
normalan kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada
disekitar pasien baik itu keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto &
Susilawati, 2014). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain (Kelliat, 2006).
4) Masalah Spiritual
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam
mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang
dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan
yang lebih besar dari dirinya . Distress spiritual adalah gangguan
dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan
diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2014).
Kebutuhan spiritual adalah suatu kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau
pengampunan, mencintai serta menjalin hubungan penuh rasa
percaya dengan Tuhan (Ummah, 2016)

2.9 Dukungan Keluarga


Dukungan keluarga adalah sikap dan tindakan terhadap anggota
keluarga yang sakit dan keluarga memberikan bantuan kepada anggota

Page | 22
keluarga lain baik berupa barang, jasa, informasi, dan nasihat sehingga
anggota keluarga merasa di sayangi, di hormati dan dihargai. Dukungan
keluarga adalah dukungan yang didapatkan dari keluarga ke anggota
keluarga yang dimana dukungan ini sangat bermanfaat bagi anggota
keluarga yang mendapatkan dukungan dan merasa diperhatikan, dihargai
dan dicintaioleh keluarganya. (Friedman, 2015).

2.10 Langkah-langkah Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif berupa dukungan dan motivasi ke penderita.
Perawatan paliatif bisa mengeksplorasi pasien dan keluarganya,
memberikan perhatian khusus terhadap pasien, penanggulangannya serta
kesiapan untuk menghadapi kematian.
Langkah-langkah dalam pelayanan paliatif (Kemenkes, 2013), adalah :
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien
2. Memahami pasien dalam membuat wasiat atau keinginan terakhir
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial
4. Tatalaksana gejala
5. Informasi dan edukasi
6. Dukungan psikologis, kultural dan sosial
7. Respon fase terminal
8. Pelayanan fase terminal

Aktifitas perawatan paliatif pada penderita:


1. Membantu penderita mendapat kekuatan dan rasa damai dalam
menjalani kehidupan sehari-hari
2. Membantu kemampuan penderita untuk mentolerir
penatalaksanaan medis
3. Membantu penderita untuk lebih memahami perawatan perawatan
yang dipilih
Aktifitas perawatan paliatif pada keluarga :
1. Membantu keluarga dalam memahami pilihan yang perawatan
yang tersedia

Page | 23
2. Meningkatkan kehidupan sehari-hari penderita, mengurangi
kekhawatiran dari orang yang dicintai (Asuhan keperawatan
keluarga)
3. Memberi kesempatan sistem pendukung yang berharga

2.11 Tim dan Tempat Perawatan Paliatif


Pendekatan perawatan paliatif melibatkan berbagai prinsip disiplin
yaitu pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter, psikolog, relawan,
apoteker, ahli gizi, fisioterapi, dan okupasi terapi. Masing-masing profesi
terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan
tim perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat
perawatannya. Pasien dapat memilih dimana ingin dirawat, misalnya :
1. Rumah sakit
Tim perawatan paliatif merupakan kolaborasi antara
interdisiplin ilmu dan biasanya terdiri dari seorang dokter dan
atau perawat senior dan pemuka agama/rohaniawan. Sebagai
tambahan, tim tersebut juga dibantu teman sejawat dari ahli gizi
dan rehabilitasi, seperti fisioterapi atau petugas terapi okupasi.
Perawatan paliatif berbasis rumah sakit dapat diselenggarakan
dalam beberapa tingkat atau model, yaitu primer, sekunder dan
tersier.
Pertama, perawatan paliatif primer harus tersedia di semua
rumah sakit. Pada tingkat ini, minimal klinisi harus memiliki
pendidikan tentang dasar-dasar nyeri dan gejala lain. Model
primer berfokus pada peningkatan pelayanan yang sudah ada
danpendidikan bagi klinisi. Karena itu, model ini cocok bagi
institusi yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Kedua, perawaatan paliatif sekunder memerlukan semua
tenaga kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien untuk
memiliki level kompetensi minimum dan memerlukan para
spesialis yang menyediakan perawatan paliatif melalui tim
interdisipliner, unit khusus, maupun keduanya.

Page | 24
Ketiga, program tingkat tersier dapat melibatkan organisasi
tersier, seperti rumah sakit pendidikan dan pusat-pusat pendidikan
dengan tim ahli perawatan paliatif.
2. Hospice
Hospice merupakan tempat pasien dengan penyakit stadium
terminal yang tidak dapat dirawat di rumah namun tidak
melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah sakit.
Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi
dapat memberikan pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala
yang ada, dengan keadaan seperti di rumah pasien sendiri.
3. Rumah
Peran keluarga lebih menonjol karena sebagian perawatan
dilakukan oleh keluarga. Keluarga atau orang tua sebagai
caregiver diberikan latihan pendidikan keperawatan dasar.
Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan bila pasien tidak
memerlukan alat khusus atau ketrampilan perawatan yang
mungkin dilakukan oleh keluarga.

2.12 Indikasi Pelayanan Paliatif


Program paliatif dimulai sejak diagnosis ditegakan serta bila
didapatkan satu atau lebih kondisi di bawah ini:
a) Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang belum dapat diatasi
b) Gangguan psikologis terkait dengan diagnosis atau terapi
c) Penyakit penyerta yang berat dan kondisi sosial yang
diakibatkannya
d) Permasalahan dalam pengambilan keputusan tentang terapi yang
akan atau sedang dilakukan
e) Pasien/keluarga meminta untuk dirujuk ke perawatan paliatif
(sesuai dengan prosedur rujukan)
2.13 Dukungan Pelayanan Perawatan Paliatif
Pelayanan asuhan keperawatan penderita meliputi pemenuhan
kebersihan diri (mandi, berhias, kebersihan mulut, perawatan kuku),

Page | 25
kebutuhan nutrisi, kebutuhan tidur dan kenyamanan tempat tidur dan
memfasilitasi lingkungan ruang rawat yang kondusif. Kebutuhan saat-saat
terminal adalah memberi dukungan pada keluarga (memberikan
kesempatan bertanya, memberikan informasi, memberikan saran cara
memberi dukungan pada penderita, menyediakan barang-barang yang
memberi rasa nyaman, menyediakan dukungan interdisiplin.
Selain mengurangi gejala-gejala yang muncul, perawatan paliatif
juga memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial. Perawatan
paliatif setelah penderita meninggal dilakukan dengan memberikan
dukungan moral kepada keluarga yang berduka. Bagi tenaga kesehatan
dibutuhkan empati yang besar dan kemampuan khusus dalam melakukan
perawatan paliatif. Salah satu aspek penting dalam perawatan paliatif
adalah kasih, kepedulian, ketulusan dan rasa syukur. Aspek ini sangat
penting hingga melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak harus
dilakukan dalam perawatan paliatif.
Tim perawatan paliatif harus berupaya untuk membuat penderita
menerima keadaannya sehingga masih bisa menjalani hidupnya meskipun
umurnya tak lama lagi. Kebanyakan kualitas hidup penderita dengan
penyakit tak bisa bisa disembuhkan akan terus memburuk atau menurun,
jika harapan penderita tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tim
paliatif harus dapat memodifikasi ekspektasi penderita, sehingga jarak
antara harapan dan kenyataannya menjadi lebih dekat. Bisa dengan
membangkitkan spirit untuk hidup, orientasi masa depan, keimanan
bahkan tentang seksualitasnya. Harapan selalu ada, tapi sebaiknya tidak
memberikan harapan yang palsu karena harapan juga harus disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan dan kondisi penderita. Untuk itu keluarga
merupakan kunci makna hidup dalam perawatan paliatif.
Perawatan paliatif dapat memenuhi kebutuhan perbaikan kualitas
hidup penderita dan keluarganya melalui perawatan yang tidak hanya
menekankan pada gejala fisik seperti nyeri, tetapi juga terhadap aspek-
aspek emosional, psikososial dan spiritual (Sugiaman, S, 2016).

Page | 26
2.14 Sasaran Kebijakan Perawatan Paliatif
Tujuan umum kebijakan perawatan paliatif yaitu sebagai
perlindungan hukum dan petunjuk bagi perawatan paliatif di Indonesia.
Sedangkan tujuan khususnya adalah terlaksananya perawatan paliatif yang
bermutu sesuai standar yang berlaku diseluruh Indonesia, tersusunnya
pedoman-pedoman pelaksanaan perawatan paliatif, tersedianya tenaga
medis dan non medis yang terlatih, tersedianya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan.
Sasaran kebijakan perawatan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa
dan anak) dan anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan
paliatif dimana pun pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana
perawatan paliatif yaitu dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang
terkait. Sedangkan institusi terkait yaitu dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten/kota, rumah sakit pemerintaj dan swasta, rumah
perawatan/hospis, fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta.

2.15 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif


Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif
harus diperhatikan terlebih dahulu bahwa pasien memahami pengertian,
tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif melalui komunikasi yang
berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan
keluarga. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan
kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan
kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada
perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang beresiko, dilakukan
informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan
diutamakan pasien sendiri apabila masih mampu, dengan saksi anggota
keluarga terdekatnya. Pasien dan keluarga membutuhkan waktu yang
cukup untuk berkomunikasi. Jika pasien sudah tidak mampu, maka
keluarga terdekat yang melakukan atas nama pasien.

Page | 27
Tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat melakukan
perawatan dirumah pasien. Pada dasarnya, tindakan yang bersifat
kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien, tindakan-tindakan
tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang
terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus
dijaga.

2.16 Tempat dan Organisasi Perawatan Paliatif


Tempat perawatan paliatif yaitu di rumah sakit, untuk pasien yang
harus mendapatkan pengawasan ketat, tindakan khusus atau perawatan
khusus. Puskesmas, untuk pasien yang memerlukan rawat jalan. Rumah
singgah/hospis , untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus, tetapi belum dapat dirawat dirawat di rumah karena
masih memerlukan pengawasan ketat, tindakan khusus atau ketrampilan
perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga.
Organisasi perawatan paliatif, menurut tempat pelayanan/sarana
kesehatan adalah kelompok perawatan paliatif yang dibentuk di tingkat
puskesmas. Unit perawatan paliatif dibentuk di rumah sakit kelas B, C, D
dan non pendidikan. Tata kerja organisasi perawatan paliatif bersifat
koordinatif dan melibatkan semua unsur terkait.

2.17 Kompetensi Perawat Yang Bekerja Di Area Perawatan Paliatif


Begitu banyak definisi untuk menjelaskan makna kata tentang
“Kompetensi.” Namun untuk di area perawatan paliatif definisi
kompetensi di adopsi dari Royal College of Nursing (RCN) tahun 2002.
Dimana kompetensi di definisikan sebagai; “keterampilan, pengetahuan,
pengalaman, kualitas dan karakteristik, serta perilaku yang menjadi syarat
pada seseorang untuk melakukan kerja atau tugasnya secara efektif.”
Berikut ini, akan di jelaskan beberapa komptensi perawat yang bekerja di
area paliatif yang didesain oleh Becker, 2000.

Page | 28
Keterampilan komunikasi
Keterampilan berkomunikasi merupakan hal yang terpenting dalam
pelayanan perawatan paliatif. Perawat mengembangkan kemampuan
berkomunikasinya untuk dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik
dengan pasien dan keluarga. Sehingga perawat dapat memberikan
informasi yang penting dengan cara yang lebih baik saat pasien
membutuhkannya, atau menjadi pendengar yang baik saat pasien
mengungkap keluhannya tanpa memberikan penilaian atau stigma yang
bersifat individual. Komunikasi menjadi keterampilan yang sangat dasar
pada perawat paliatif, dimana dengan keterampilan tersebut perawat akan
mampu menggali lebih dalam mengenai perasaan pasien, keluhan pasien
tentang apa yang dirasakannya.
Selain itu dengan keterampilan berkomunikasi tersebut maka
perawat dapat mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, kapan
saja, atau bahkan di saat pasien mengajukan pertanyaan yang rumit seperti
tentang kehidupan dan kematian. Kemampuan berkomunikasi juga akan
membantu membangun kepercayaan diri perawat, tahu kapan mengatakan
tidak terhadap pasien, dan dengan komunikasi yang disertai dengan
sentuhan, maka hal tersebut dapat menjadi terapi bagi pasien. Untuk lebih
detail, keterampilan komunikasi serta model komukasi di area perawatan
paliatif akan di jelaskan pada bab 4. prinsip komunikasi dalam perawatan
paliatif.
Keterampilan psikososial
Untuk dapat bekerja sama dengan keluarga pasien dan
mengantisipasi kebutuhannya selama proses perawatan pasien, maka
pelibatan keluarga dalam setiap kegiatan akan dapat membantu dan
mendukung keluarga untuk mandiri. Elemen psikososial merupakan
bagian dari proses perawatan yang biasanya di delegasikan ke pekerja
social medic. Karena pekerja social medic memiliki wawasan dan akses
yang lebih luas ke berbagai macam organisasi atau instansi yang dapat
diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada pasien. karena
mengingat peran perawat dalam tim paliatif begitu banyak sehingga tidak

Page | 29
memungkin untuk melakukannya. Akan tetapi bila, dalam tim
interprofesional tidak ada tenaga pekerja social medic, maka perawatlah
yang akan melakukannya. Membangun rasa percaya dan percaya diri
selama berinteraksi dengan pasien dan dengan menggunakan diri sendiri
sebagai bentuk terapeutik melalui proses komunikasi terapeutik maka hal
tersebut merupakan inti dari pendekatan psikososial dalam perawatan
paliatif.
Keterampilan bekerja tim
Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim interprofesional
merupakan hal yang sangat vital untuk dapat melakukan praktik atau
intervensi yang baik terhadap pasien. Mengingat layanan perawatan
paliatif saat ini tidak hanya tersedia di fasilitas rumah sakit, namun juga
tersedia di rumah hospis, rumah perawatan maupun di rumah pasien.
Seiring dengan meningkat peran perawata di area paliatif sehingga
keterampilan untuk dapat bekerja dalam tim menjadi suatu keharusan dan
keniscayaan.
Keterampilan dalam perawatan fisik
Untuk area ini, perawat di tuntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang baik untuk dapat melakukan asuhan keperawatan secara
langsung pasien dalam kondisi apapun dan kapanpun, sehingga perawat
dapat bertindak dan mengambil keputusan yang tepat sesuai kondisi
pasien. Pengkajian nyeri secara akurat dan holistic dengan menggunakan
berbagai macam bentuk metode menjadi hal yang dasar. Pemilihan metode
yang tepat untuk mengkaji pasien seperti nyeri, menjadi hal yang penting,
mengingat kondisi pasien yang kadang berubah dan tidak memungkin
merespon beberapa pertanyaan yang di ajukan. Sehingga keterampilan
observasi dan kemampuan intuisi perawat yang dapat digunakan untuk
mengenali tanda atau gejala yang mana boleh jadi pasien tidak dapat atau
mampu untuk melaporkannya. Dengan pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki perawat maka perawat dapat memberikan masukan kepada
anggota tim untuk tidak lebih fokus pada pemberian obat-obatan
berdasarkan perkembangan kondisi pasien.

Page | 30
Keterampilan intrapersonal
Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk dapat bekerja
dengan baik dan sukses dalam area perawatan paliatif adalah keterampila
intrapersonal. karena kematangan secara pribadi dan professional akan
dapat membantu perawat dalam mengatasi masalah yang terkait dengan
isu intrapersonal yang bersifat intrinsic terutama saat melayani atau
melakukan asuhan keperawatan pasien yang menjelang ajal dan
keluarganya. Perawat harus dapat mengenali dan memahami reaksi dan
perasaan pasien yang merupakan konsekuensi alamiah dari bekerja dengan
pasien sekarat atau keluarga yang mengalami kedukaan, sehingga perawat
mampu menentukan sikap dan menyesuaikan diri dengan kondisi atau
situasi yang sarat dengan emosi dan perasaan sensitive. Jika dibandingkan
dengan keterampilan kompetensi lainnya, maka keterampilan intrapersonal
merupakan hal yang sangat menantang. Dan hal ini juga memiliki andil
yang besar untuk membantu membangun keribadian yang lebih baik. Akan
tetapi, kondisi tersebut juga mambawa perawat dalam posisi dilematis,
karena terkadang perawat terlalu terbawa emosi dengan perasaan yang di
alami pasien.

Page | 31
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial
atau spiritual. (World Health Organization(WHO)2016).
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan
keluarga mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian sebagai
proses normal, tidak menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan
lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual,
mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan mmbantu
mengatasi suasana duka cita pada keluarga.

3.2 Saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
kami akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan
makalah yang telah di jelaskan.

Page | 32
DAFTAR PUSTAKA

Sugiaman, S. 2016. Perawatan paliatif apa sih?


(http://i-care.cpm/perawatan-paliatif-apa-sih.html) diakses 18 april 2019
Anita. Perwatan paliatif dan kualitas hidup penderita kanker. Politekhnik
Kesehatan Tanjungkarang
Lutfia, Pravitakari. 2017. Proposal Perawatan Paliatif.
(https://epirints.undip.ac.id.proposal_lutfia_pravitakari.pdf) diakses 18
april 2019
Roslina. 2013. Keperawatan Dewasa 2. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Cindy, Nova. 2018. Kebijakan nasional perawatan paliatif.
https://www.scribd.com/document/388777208/Kelompok-2-etik-dan-
kebijakan-nasional-perawatan-paliatif-docx) diakses tanggal 18 April
2019
Matoka, FWMZ. 2017. Latar Belakang perawatan paliatif.
(http://Repository.umy.ac.id> bitstream > handle.pdf) diakses 18 april
2019
Aitken, S. (2009). Community palliative care: the role of the clinical nurse
specialist. John Wiley & Sons.
Al-Shahri, M. (2002). The future of palliative care in the Islamic world. Western
Journal of Medicine, 176(1), 60.
Becker, R. (2015). Fundamental Aspects of Palliative Care Nursing: An
Evidence-Based Handbook for Student Nurses 2nd Edition. Andrews UK
Limited.
Breaden, K. (2011). Teaching palliative care across cultures: The singapore
experience. Indian Journal of Palliative Care, 17(4), 23.
Campbell, M. L. (2009). Nurse to nurse: Palliative care, expert interventions.
McGraw-Hill Medical.
Clinch, J. J., Dudgeon, D., & Schipper, H. (1998). Quality of life assessment in
palliative care. In D. Doyle, G.W.C. Hanks, & N. MacDonald (Eds.),
Oxford textbook of palliative medicine (2nd ed). New York: Oxford
University Press.

Page | 33
Effendy, C. (2015). The quality of palliative care for patients with cancer in
Indonesia. PhD Thesis, Radboud Universiteit Nijmegen, the Netherland.
Goh, C. R. (1996). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of
Pain and Symptom Management, 12(2), 130-132.
Goh, C. R. (1993). Singapore: status of cancer pain and palliative care. Journal of
Pain and Symptom Management, 8(6), 431-433.
Guido, G. W. (2010). Nursing care at the end of life. Pearson. New Jearsey.USA.
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2015). Quality of life in palliative care: principles and
practice. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow,
D. C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition.
Oxford University Press, USA.
Kaasa, S., & Loge, J. H. (2003). Quality of life in palliative care: principles and
practice. Palliative Medicine, 17(1), 11-20.
Kemenkes RI. (2013). Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker. Diakses pada
tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2c4YwnM
Kemenkes RI. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
812/MENKES/SK/VII/2007 tentang Kebijakan perawatan paliatif.
Di akses pada tanggal 23 Agustus 2016. http://bit.ly/2blgRsJ
Lickiss, J. N. (1993). Indonesia: Status of cancer pain and palliative care. Journal
of Pain and Symptom Management, 8(6), 423-424.
Payne, S., & Lynch, T. (2015). International progress in creating palliative
medicine as a specialized discipline and the development of palliative care.
In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Portenoy, R. K., & Currow, D. C.
(Eds.). (2015). Oxford textbook of palliative medicine 5th edition. Oxford
University Press, USA.
Rajagopal, M. R., & George, R. (2015). Providing palliative care in economically
disadvantaged countries. In Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S.,
Portenoy, R. K., & Currow, D. C. (Eds.). (2015). Oxford textbook of
palliative medicine 5th edition. Oxford University Press, USA.
Rochmawati, E., Wiechula, R., & Cameron, K. (2016). Current status of palliative
care services in Indonesia: a literature review. International Nursing

Page | 34
Review. Rumah Rachel. Tentang Rumah Rachel. diakses pada tanggal 23
Agustus 2016. http://rachel-house.org/about-us/who-we-are/
Saleh, M. S., Danantosa, T., & Kusumawardhani, C. (2008). Perawatan Paliatif di
Puskesmas Balongsari Surabaya: Upaya Mendekatkan Layanan Rawat
Jalan Kepada Pasien Kanker Stadium Lanjut. Indonesian Journal of
Cancer, 2(1).
Soebadi, R. D., & Tejawinata, S. (1996). Indonesia: status of cancer pain and
palliative care. Journal of Pain and Symptom Management, 12(2), 112-
115.
Twycross, R. G. (2003). Introducing palliative care, fourth edition. Radcliffe
Publishing. Universitas Narotama. (2016). Pemberian Santunan pada
Pusat Pengembangan Paliatif RSUD dr Sutomo. Di akses pada tanggal
26 Agustus 2016. http://bit.ly/2bkaEf9
Yamaguchi, T., Kuriya, M., Morita, T., Agar, M., Choi, Y. S., Goh, C., ... &
Ocampo, R. (2014). Palliative care development in the Asia-Pacific
region: an international survey from the Asia Pacific Hospice
Palliative Care Network (APHN). BMJ Supportive & Palliative Care,
bmjspcare-2013.
Wright, M., Hamzah, E., Phungrassami, T., & Bausa-Claudio, A. (2010). Hospice
and palliative care in southeast Asia: a review of developments and
challenges in Malaysia, Thailand and the Philippines. Oxford University
Press.
Wright, M., Wood, J., Lynch, T., & Clark, D. (2008). Mapping levels of palliative
care development: a global view. Journal of Pain and Symptom
Management, 35(5), 469-485.

Page | 35

Anda mungkin juga menyukai