Anda di halaman 1dari 3

Perspektif Perawatan Paliatif

Pernahkah pembaca mendengar seorang pasien di rumah sakit yang dinyatakan usianya
tinggal sekian tahun, bulan, minggu bahkan sekian hari atau menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan atau biasa disebut fase Terminal? Fase terminal diartikan sebagai penyakit yang
aktif dan progresif yang tidak bisa untuk disembuhkan atau tidak memiliki harapan untuk
sembuh(Gonorazky,2011).
Penyakit terminal seperti keganasan, neoplasme, gangguan jantung, dan gangguan
pernapasan menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang paling sering dijumpai di
masyarakat. Pada pasien dengan penyakit terminal, pasien tidak hanya mengalami berbagai
masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun
keluargapasien.
World Health Organization (WHO) menyarankan perawatan paliatif sebagai pendekatan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga. Perawatan paliatif adalah
pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup keluarga yang menghadapi masalah
yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan
peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan
masalah-masalah lain, fisik, psikososial, dan spiritual (KEMENKES, 2007). Pada tahun 2014,
perkiraan pasien perawatan paliatif di Asia Tenggara mencapai kira-kira 234-353 per 100.000
populasi (Rochmawati, 2016). Dengan demikian kebutuhan akan perawatan paliatif tidak
dapat dihindari dan perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga.
    Seiring bertambahnya jumlah pasien yang membutuhkan perawatan paliatif, maka
kebutuhan tenaga kesehatan dalam pelayanan perawatan paliatif juga mengalami peningkatan
termasuk tenaga perawat. Di Indonesia, jumlah perawat paling banyak bila dibandingkan
tenaga kesehatan lainnya yaitu 29,66 persen dari seluruh rekapitulasi tenaga kesehatan di
Indonesia per Desember 2016. Melihat fakta-fakta tersebut di atas perawat sebagai change
agent harus mengubah perspektifnya mengenai prospek perawat yang selama ini hanya
terfokus pada pelayanan dan pendidikan kesehatan saja, namun dikembangkan ke arah
perawatan mandiri perawat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu bentuk
perawatan mandiri yang masih memiliki peluang yang cukup banyak ialah Perawatan Palitaif.
    Pada abad ke-19 dunia kedokteran menolak fakta bahwa pasien yang menjelang ajal dan
meninggal. Karena pada zaman itu pada tahun 1953 telah ditemukan alat defibrillator yang
mampu meresusitasi seekor anjing bernama Knowsy. Sehingga berkembang optimisme
bahwa semua penyakit dapat disembuhkan. Prinsipnya adalah tubuh manusia mirip seperti
sebuah rangkaian mesin yang dapat terus hidup apabila masing-masing bagian dapat
dipertahankan fungsinya. Namun pada kenyataannya hal tersebut terbukti salah.
    Hal ini menyebabkan pasien-pasien yang menjelang ajal seringkali ditelantarkan dan
dibiarkan mati dengan menderita. Maka dibentuklah sebuah institusi khusus untuk menangani
hal tersebut yang dikenal dengan hospice. Secara praktis, hospice merupakan konsep untuk
menerima penderita dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi mereka, sebagaimana
layaknya tamu. Gerakan hospice secara esensial lahir pada tahun 1967 dengan lahirnya “The
first Modern Hospice” yaitu yang bernama “St. Christopher’s Hospice” di Sydenham,
London, oleh Dr. Cycely Saunders (Rasjidi, 2010). Saat ini Perawatan paliatif modern di
Amerika menjadi inti perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit yang serius,
terlepas dari perkembangan prognosisnya. Model pemberian perawatan paliatif dilakukan
melalui rumah sakit maupun di hospice. Terbaru, model pemberian servis perawatan paliatif
juga berfokus pada pasien yang tinggal di komunitas dengan penyakit serius yang tidak
memenuhi syarat untuk perawatan paliatif di rumah sakit maupun di hospice (Morrison,
2013).
    Di Indonesia, terjadi peningktan jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa maupun anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif,
penyakit paru obstruktif  kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart failure,
gagal ginjal, sirosis hati, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang
memerlukan perawatan paliatif. Kementrian Kesehatan mengeluarkan peraturan nasional
yang menetapkan bahwa perawatan paliatif harus tersedia di 5 kota besar di Indonesia yaitu
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.
Data  terakhir menunjukan bahwa di Indonesia sendiri terdapat 10 organisasi yang di bentuk
untuk memberikan perawatan paliatif yang berlokasi di 7 kota besar yang terletak di 3 pulau
besar Indonesia. Perawatan paliatif di Indonesia diberikan oleh rumah sakit maupun
organisasi  non-profit yang menyediakan perawatan untuk manajemen gejala, perawatan
spiritual, dan dukungan emosional untuk pasien dan keluarga.
Salah satunya adalah “Rachel House” Home Care yang dikelola oleh perawat yang
mengembangkan upaya pelayanan paliatif rawat rumah pada anak penderita kanker atau
HIV/AIDS. Bentuk pelayanan yang diberikan oleh rachel house diantaranya perawatan untuk
menangani nyeri pasien dan gejalanya, memberikan edukasi kepeda keluarga dan
pendamping pasien, memberikan pinjaman alat medis seperti kursi roda dan tabung oksigen
bila diperlukan, dan memberikan dukungan emosional, sosial, dan spiritual untuk pasien dan
keluarganya. Pelayanan untuk perawatan paliatif ini juga diperluas dengan memberikan
pelayanan Home Visit dan berkolaborasi dengan organisasi lainnya untuk menyelenggarakan
pelayanan berbasis komunitas.
    Pendekatan perawatan paliatif diperlukan ketika suatu penyakit sudah tidak berespon sama
sekali terhadap penangan medis aktif, mulai saat diagnosis hingga akhir hidupnya hingga
keadaan berkabungnya. Trend untuk merawat pasien adalah secara holistik, dengan
pendekatan bio-psiko-sosio-spiritual religius. Peran pendekatan spiritual-religius dalam
perawatan pasien ternyata mempengaruhi penyembuhan. Banyak penelitian yang telah
membuktikan bahwa doa adalah cognitive analgesic/terapheutic (Sagiran, 2016).
Ketika upaya medis sudah tidak mampu memberikan harapan kesembuhan, yang diperlukan
saat itu adalah terapi spiritual dan religius yang terarah dan dipadukan dengan perawatan
paliatif terhadap gejala-gejala yang menyiksa pasien di akhir hidupnya. Dengan harapan
pasien mendapati “good death”, tanpa derita dan putus asa. Keadaan good death ditambah
dengan kesadaran penuh penghambaannya, penerimaan ats taqdir sakitnya dan kesiapan
menghadapi kematiannya itulah husnul khotimal. Perawatan paliatif inilah yang
dikembangkan oleh salah satu dokter di Indonesia “Husnul Khatimah-Care (Hu-Care)”. Hu-
Care merupakan mekanisme coping dengan modalitas agama (religious coping) dan
merupakan perpanduan konsep dari husnul khotimah dan palliative care. Ciri khas dari Hu-
Care adalah model islamic palliative care dimana terapi religius diberikan sejak sebelum
seseorang menjadi pasien rawatan rumah sakit. Dan akan terus diberikan hingga meninggal,
bahkansetelah meninggal (Sagiran, 2016).
    Perawat sebagai salah satu tim pelayanan paliatif berperan dalam penatalaksanaan pada
perawatan paliatif yang meliputi meningkatkan kualitas hidup, mengatasi penderitaan yang
muncul akibat efek penyakit yang timbul, memberi dukungan psikososial-spiritual-cultural
serta melakukan persiapan menjelang akhir kehidupan. Bahkan penting pula pelaksanaan
perawatan dan dukungan pada saat pasien meninggal dan setelah pasien meninggal
(Kemenkes RI, 2013). Dalam hal ini perlu diingat, bahwasannya kematian itu pasti akan
datang, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.

Menurut anda kenapa perawatan paliatif di indonesia akan semakin berkembang? (share di
GC)

Anda mungkin juga menyukai