Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN TN IG DENGAN


TENSION PNEUMOTHORAX
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Disusun oleh :

ADELIA SALAMPESI (204291517027)

KAMALITA ROSYADA (204291517036)

MEILISA FURWANINGSIH (204291517031)

PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NASIONAL
2020/2021

2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Gawat Darurat tentang “TENSION
PNEUMOTHORAX”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Tension Pneumothorax
dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Jakarta, 14 September 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 2
B. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
C. Ruang Lingkup ........................................................................................... 2
D. Metode Penulisan ....................................................................................... 2
E. Sistematika Penulisan ................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI .................................................................................. 4
A. Konsep Dasar ............................................................................................. 4
1. Pengertian/ Defisini .............................................................................. 4
2. Patofisiologi ......................................................................................... 4
3. Etiologi ................................................................................................. 6
4. Gejala Klinis ......................................................................................... 7
5. Proses Penyakit .................................................................................... 8
6. Komplikasi ........................................................................................... 8
7. Penatalaksanaan Medis ........................................................................ 9
B. Asuhan Keperawatan ................................................................................
12
1. Pengkajian .......................................................................................... 12
2. Diagnosa Keperawatan ....................................................................... 19
3. Perencanaan ........................................................................................ 20
4. Implementasi ...................................................................................... 25
5. Evaluasi .............................................................................................. 25
BAB III TINJAUAN KASUS .............................................................................. 26
A. Pengkajian ................................................................................................ 26
B. Diagnosa ................................................................................................... 34
C. Perencanaan .............................................................................................. 35
D. Implementasi ............................................................................................ 37
E. Evaluasi .....................................................................................................37
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 39

ii
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 42
A. Kesimpulan ...............................................................................................
42
B. Saran ......................................................................................................... 42
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 44

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pernafasan merupakan salah satu organ terpenting dari
bagian tubuh manusia setelah kardiovaskuler, sehingga bila terjadi
gangguan sistem pernafasan akan mempengaruhi semua organ yang lain
yang akan mengganggu pada aktivitas manusia.
Seiring dengan kemajuan zaman, semakin banyaknya transportasi
dan pola hidup yang kurang baik dapat menjadi suatu masalah kesehatan
jiwa, salah satunya yaitu gangguan sistem pernafasan yang serius dan
membahayakan jiwa, keadaan ini akan menimbulkan berbagai penyakit
primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif,
pneumothorak ventil status asmatikus dan pneumothorak berat. Sedangkan
gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan organ lain seperti
keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat pernafasan. Di Amerika
didapatkan 180.000 orang meninggal akibat gangguan fungsi paru seperti
trauma thorak, baik karena trauma thorak langsung maupun tidak
langsung. Trauma thorak dapat mengakibatkan terjadinya robekan pada
pleura dimana dengan adanya robekan ini dapat menjadi celah masuknya
udara ke dalam rongga tersebut sehingga menjadi Pneumothoraks. Dari
pneumothoraks ini dapat menjadi tension pneumothoraks jika tidak
ditangani dengan baik.
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intrathoraks mengakibatkan bergesernya organ
mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan. (Alagaff, Hood, 2005)
Insidensi dari tension pneumothoraks di luar rumah sakit tidak
mungkin dapat ditentukan. Revisi oleh Department of Transportation
(DOT) Emergency Medical Treatment (EMT) Paramedic Curriculum
menyarankan tindakan dekompresi jarum segera pada dada pasien yang
menunjukan tanda serta gejala yang non-spesifik. Sekitar 10-30% pasien

1
yang dirujuk ke pusat trauma tingkat 1 di Amerika Serikat menerima
tindakan pra rumah sakit berupa dekompresi jarum thorakostomi,
meskipun pada jumlah tersebut tidak semua pasien menderita kondisi
tension pneumothoraks.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
1.1 Memaparkan asuhan keperawatan apasaja yang bisa diambil dari
pasien tension pneumothorax
2. Tujuan Khusus
1.1 Memaparkan pengkajian pada pasien tension pneumothorax
1.2 Memaparkan diagnosa yang muncul pada pasien tension
pneumothorax
1.3 Memaparkan intervensi atau perencanaan keperawatan pada pasien
tension pneumothorax
1.4 Memaparkan hasil implementasi dan evaluasi dari asuhan
keperawatan yang telah dilakukan
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penulisan asuhan keperawatan pada Tn. IG dengan
Tension Pneumothorax di RS Jakarta
D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan metode naratif dan
deskriptif. Dalam metode deskriptif pendekatan yang digunakan proses
keperawatan, studi kepustakaan yang digunakan adalah dengan cara
memperoleh bahan ilmiah yang bersifat teoritis dengan mengumpulkan
data melalui wawancara dan observasi pada pasien.
E. Sistematika Penulisan
Karya tulis ini tersusun dari 5 BAB yang disusun secara sistematis
yaitu :
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bab 1 Pendahuluan

2
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Ruang Lingkup
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan
Bab II Tinjauan Teori
A. Konsep Dasar
1. Pengertian/definisi
2. Patofisiologi
3. Etiologi
4. Gejala Klinis
5. Proses Penyakit
6. Komplikasi
7. Penatalaksanaan Medis
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan
4. Implementasi
5. Evaluasi
Bab III Tinjauan Kasus
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Perencanaan
D. Implementasi
E. Evaluasi
Bab IV Pembahasan
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Pneumotoraks dikenal sebagai komplikasi ventilasi mekanis
(barotrauma) dan beberapa penyakit kardiopulmoner. Terlepas dari
penyebab ini, merokok, habitus kurus dan tinggi dan trauma dada
merupakan faktor risiko lain untuk pneumotoraks spontan (Chandra et al,
2021).
Tension pneumotoraks adalah bertambahnya udara dalam rongga
pleura secara progresif, biasanya karena laserasi paru-paru yang
memungkinkan udara untuk masuk ke dalam rongga pleura tetapi tidak
dapat keluar atau tertahan di dalam rongga pleura. Hal ini dapat terjadi
secara spontan pada orang tanpa kondisi paru-paru kronis (primer) dan
juga pada mereka dengan penyakit paru-paru (sekunder), dan banyak pula
terjadi setelah trauma fisik ke dada, cedera ledakan, atau sebagai
komplikasi dari perawatan medis (Committee of Trauma ACOS).
Tension pneumothorax adalah keadaan yang mengancam nyawa.
Tension pneumothorax terjadi melalui mekanisme kebocoran udara “katup
satu arah” dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara terperangkap
dalam kavum pleura dan dengan cepat membuat paru-paru kolaps (Malik,
2020).
Tension pneumothorax merupakan kegawatdaruratan dengan
angka kematian tinggi yang dapat ditangani dengan sederhana tindakan.
Selain karena banyak trauma toraks, tension pneumotoraks jarang
disebabkan oleh penyakit menular seperti, sebagai tuberkulosis paru
(Malik, 2020).

2. Patofisiologi
Keseimbangan antara kecenderungan jaringan paru untuk kolaps
dan kecenderungan dinding dada secara alamiah untuk mengembang

4
menghasilkan tekanan negatif dalam rongga pleura. Apabila terdapat udara
pada rongga pleura maka paru akan kolaps. Pada pneumotoraks simpel,
tekanan intrapleura menyamai tekanan atmosfir sehingga jaringan paru
yang kolaps dapat mencapai 30%. Pada kondisi yang lebih berat (tension
pneumotoraks), kebocoran yang terus terjadi akan menyebabkan
peningkatan tekanan positif pada rongga pleura yang lebih jauh dapat
menyebabkan kompresi paru, pendorongan struktur mediastinum ke kontra
lateral, penurunan venous return, dan penurunan cardiac output.
Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya
dapat dipertahankan tetap berkontak karena ada gabungan antara tekanan
intraprgleura yang negative dan tarikan kapiler oleh sejumlah kecil cairan
pleura. Ketika udara masuk ke ruang pleura factor-faktor ini akan hilang
dan paru di sisi cedera mulai kolaps, dan oksigenasi menjadi terganggu.
Jika lebih banyak udara yang memasuki ruang pleura pada saat inspirasi di
bandingkan dengan yang keluar pada saat ekspirasi akan tercipta efek bola
katup dan tekanan pleura terus meningkat sekalipun paru sudah kolaps
total dan akhirnya tekanan ini menjadi demikian tinggi sehingga
mendiastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru sebelah juga
terkompresi dan dapat menyebabkan hipoksia yang berat dapat timbul dan
ketika tekanan pleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang
melalui sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. (Kowalak, 2011).

5
Pathway

3. Etiologi
Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma (Sharma and Jindad,
2008).
a. Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu
pleura visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk
(patah tulang rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya
Tension Pneumotoraks).

6
b. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah arah
kateter subklavia).
c. Komplikasi ventilator, pneumotoraks spontan, pneumotoraks
sederhana ke tension pneumotoraks
d. Ketidakberhasilan mengatasi pneumotoraks terbuka ke
pneumotoraks sederhana dimana fungsi pembalut luka sebagai
katup satu arah.

4. Gejala Klinis
Gejala bergantung pada luasnya jaringan paru yang mengalami
kolaps serta penyakit dasar yang telah ada sebelumnya. Pneumotoraks
dapat menyebabkan gejala nyeri, sesak napas dan sianosis. Pada bayi,
gejala dan tanda klinis mungkin sulit dikenali. Pneumotoraks yang
cukup luas mungkin dapat menyebabkan sedikit pendorongan organ
intratorakal atau mungkin tidak bergejala sama sekali. Derajat rasa
nyeri tidak berhubungan dengan luasnya pneumotoraks. Biasanya
didapatkan distres pernapasan, retraksi dan menurunnya suara napas.
Laring, trakea dan jantung mungkin bergeser ke arah berlawanan.
Menurut Crowin, 2009. tanda dan gejala pasien dengan Tension
pneumothorax yaitu:
1. Terjadi sesak napas yang progresif dan berat.
2. Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai
akibat gangguan pada jantung dan terhalangnya aliran balik vena
ke jantung
3. Tanda-tanda pergesaran mediastinum jelas terlihat.(perkusi
biasanya timpani, mungkin pula redup karena pengur angan
getaran pada dinding toraks.).
4. Apabila pneumotoraks meluas, atau apabila yang terjadi adalah
tension pneumothoraks dan udara menumpuk di ruang pleura,
jantung dan pembuluh darah besar dapat bergeser ke paru yang
sehat sehingga dada tampak asimetris

7
5. Proses penyakit
Apabila pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura
memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru
sebelahnya. Udara memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura
yang bekerja seperti katup satu arah. Kesulitan dalam proses ekspirasi
akan mengarah pada terperangkapnya udara didalam pulmo, yang
dikenal sebagai hiperinflasi. Rongga besarberisi udara yang
terperangkap. Pada foto polos thorax,tampak sebagai lesi yang timbul
di parenkim pulmo yang normal, yang dibatasi oleh membran fibrous
yang tipis dan irreguler. Pada keadaan infeksi, selain terisi udara, juga
akan terisi cairan.
Selain dapat menimbulkan obstruksi pada jaringan pulmo yang
berdekatan, juga dapatmenimbulkan tekanan pada pulmo kontralateral
sehingga menggangu fungsinya.Dapat disimpulkan, bahwa bahkan
jaringan pulmo yang tidak terpengaruh. Langsung, akan menjadi
kurang efektif. Sebagian besar membesar dalam waktu lama. Namun
terdapat kasus dimana membesar dalam waktu singkat, sehingga
secara cepat akan mempengaruhi parenkim pulmo di sekitarnya.
Selain dengan terapi yang bersifat invasif,dapat menghilang atau
mengecil baik secara spontan atau setelah terjadi infeksiatau
perdarahan (Kowalak, 2011).

6. Komplikasi
1. Gagal napas akut (3-5%)
2. Komplikasi tube torakostomi àlesi pada nervus
interkostales
3. Henti jantung-paru
4. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD

8
5. Kematian timbul cairan intra pleura, misalnya Pneumothoraks
disertai efusi pleura : eksudat, pus. Pneumothoraks disertai darah :
hemathotoraks.
6. Syok.
7. Tension pneumothoraks dapat menyebabkan pembuluh darah
kolaps, akibatnya pengisian jantung menurun sehingga tekanan
darah menurun. Paru sehat juga dapat terkena dampaknya.
8. Pneumothoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat.
Kematian dapat terjadi (Corwin, 2009).

7. Penatalaksanaan Medis
1. ABC
1) Airway
Assessment:
a. Perhatikan patensi airway.
b. Auskultasi suara napas.
c. Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakkan
dinding dada.
Management:
a. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeleruh, lakukan chin-
lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan
napas.
b. Re-posisi kepala, pasang collar-neck.
c. Lakukan cricothyroidotomy atau tracheostomi atau intubasi
(oral/nasal)
2) Breathing
Assessment:
a. Periksa frekuensi napas.
b. Perhatikan gerakan respirasi.
c. Palpasi thorak.
d. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas.
Management:

9
a. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu.
b. Lakukan bedah emergency untuk atasi tension pneumothoraks.
3) Circulation:
Assessment:
a. Periksa frekuensi denyut jantung dan nadi
b. Periksa tekanan darah
c. Periksa pulse oxymetri.
d. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management:
a. Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines.
b. Thorakotomi emergency bila diperlukan.
c. Operasi eksplorasi vaskuler emergency.

2. Penatalaksanaan lain:
1) Needle Thoracostomy
Tension pnumothorax membutuhkan dekompresi yang segera.
Dekompresi ini dapa dilakukan dengan memasukkan jarum ke ruang
intercostal ke dua pada garin midclavicular pada sisi dada yang
terkena. Terapi definitifnya biasanya membutuhkan insersi chest tube
ke dalam ruang pleural melalui ruang intercostal ke lima (setinggi
puting susu) dibagian depan di garis midclavicular. Prinsip terapi dari
tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas agar tetap
terbuka, menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan
penyebab traumanya dan menghilangkan udara di ruang pleura, dan
mengontrol ventilasi. Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa
dinilai dari hilangnya udara bebas pada ruang interpleural dan
pencegahan pada kekambuhan atau recurensi.
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-
invasif yang dapat dilakukan untuk menangani kondisi yang
mengancam nyawa ini. Pneumotoraks adalah kondisi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika

10
diagnosis tension pneumotoraks sudah dicurigai, jangan menunda
penanganan meskipun diagnosis belum ditegakkan.
Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan
pernafasan pasien dengan 100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum
tanpa ragu. Hal-hal tersebut seharusnya sudah dilakukan sebelum
pasien mencapai rumah sakit untuk pengobatan lebih lanjut. Setelah
melakukan dekompresi jarum, mulailah persiapan untuk melakukan
torakostomi tube. Kemudian lakukan penilaian ulang pada pasien,
perhatikan ABCs (Airway, breathing, circulation) pasien. Lakukan
penilaian ulang foto toraks untuk menilai ekspansi paru, posisi dari
torakostomi dan untuk memperbaiki adanya deviasi mediastinum.
Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan.
Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumothoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat
hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil:
(1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong
pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang
berada di dalam botol.
(2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan
pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai

11
menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang
keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol.
(3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem
drainage yang menggunakan water seal untuk
mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura (rongga
pleura). Tujuan:
a) Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga
pleura untuk mempertahankan tekanan negatif
rongga tersebut
b) Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki
tekanan negatif dan hanya terisi sedikit cairan pleura
/ lubrican.
3. Tindakan bedah:
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Primary Survey

12
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,
pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat
trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan
segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2013) :
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien
berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka. Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang
leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi
jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2014).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada
pasien antara lain :
(1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien
dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
(2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada
pasien antara lain : adanya snoring atau gurgling,
stridor atau suara napas tidak normal, agitasi
(hipoksia), penggunaan otot bantu pernafasan/
paradoxical chest movements, sianosis
(3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran
napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
muntahan, perdarahan, gigi lepas atau hilang, gigi
palsu, trauma wajah
b. Pengkajian Breathing (Pernafasan)

13
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-
langkah yang harus dipertimbangkan adalah : dekompresi dan
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2014).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain:
(1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien.
(2) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting.
Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis,
penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds,
dan penggunaan otot bantu pernafasan.
(3) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna
untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
(4) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
c. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi
organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan
langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi

14
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2014).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status
sirkulasi pasien, antara lain:
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b.CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
d.Palpasi nadi radial jika diperlukan: menentukan ada atau
tidaknya, menilai kualitas secara umum (kuat/lemah),
identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
e. Regularity : kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda
hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill), lakukan
treatment terhadap hipoperfusi.
d. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan.
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bias dimengerti.
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon).
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
e. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang
belakang, imobilisasi inline penting untuk dilakukan. Lakukan
log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien.

15
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang.
Kuantitas dengan GCS
Mata (eye)
(a) Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
(b) Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
(c) Membuka mata dengan perintah 3
(d) Membuka mata spontan 4
Motorik (M)
(a) Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
(b) Eksitensi dengan rangangan nyeri 2
(c) Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
(d) Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
(e) Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
(f) Bergerak sesuai perintah 6
Verbal (V)
(a) Tidak ada suara 1
(b) Merintih 2
(c) Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
(d) Dapat diajak bicara tapi kacau 4
(e) Dapat berbicara, orientasi baik 5
2) Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap
yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
a. Anamnesis

16
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis
riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian
pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat
masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga,
sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2012).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh
langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,
usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau
orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang
bisa didapat dari pasien dan keluarga :
S : Sign/symptoms (tanda dan gejala)
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obatobatan,
plester, makanan).
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum
seperti sedang menjalani pengobatan hipertensi,
kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa
dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal).
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja
dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian,
selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini).
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab
cedera (kejadian yang menyebabkan adanya keluhan
utama).

17
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji
keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
1) Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa
yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang
menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda 30
lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
2) Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?
apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa
terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
3) Radiates : apakah nyerinya menyebar? Menyebar
kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau
bergerak?
4) Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala
0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5) Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat
atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah
terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama
dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah


berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda
tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.

3) Head to toe
Lakukan pemeriksaan fisik terfokus pada:
(1) Daerah kepala dan leher : mukosa pucat, konjungtiva pucat,
DVJ (Distensi Vena Jugularis)
(2) Daerah dada :

18
a. Inspeksi : penggunaan otot bantu napas, pernapasan
Kussmaul, terdapat jejas, kontusio, penetrasi penyebab
trauma pada daerah dada.
b. Palpasi : adanya ketidak seimbangan traktil fremitus,
adanya nyeri tekan
c. Perkusi : adanya hipersonor
d. Auskultasi : suara napas krekels, suara jantung abnormal.
Terkadang terjadi penurunan bising napas.
e. Daerah abdomen : herniasi organ abdomen
f. Daerah ekstrimitas : pada palpasi ditemukan penurunan
nadi femoralis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif (D.0005)
b. Gangguan mobilitas fisik (D.00540)
c. Resiko infeksi (D.0142)

19
3. Perencanaan
No Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi Keperawatan
Keperawatan Keperawatan Indonesia (SIKI)
Indonesia (SLKI)
1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan  Manajemen jalan napas
efektif (D.0005) tindakan (I.01011) hal 186
keperawatan 3x Observasi :
24 jam diharapkan 1. Monitor pola napas
pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
membaik. Dengan napas)
kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas
(L.01004) hal 95 tambahan (mis. gurgling,
- Ventilasi mengi, wheezing, ronkhi
semenit kering)
meningkat 3. Monitor sputum (jumlah,
- Kapasitas vital warna, aroma)
meningkat Terapeutik :
- Tekanan 1. Pertahankan kepatenan jalan
ekspirasi napas dengan head-tilt dan
meningkat chin-lift (jaw-thrust jika
- Tekanan curiga trauma servikal)
inspirasi 2. Posisikan semi-Fowler atau
meningkat Fowler
- Dispnea 3. Berikan minum hangat
menurun 4. Lakukan fisioterapi dada, jika
- Penggunaan perlu
otot bantu 5. Lakukan penghisapan lendir
napas menurun kurang dari 15 detik
20
- Pemanjangan 6. Lakukan hiperoksigenasi
fase ekspirasi sebelum penghisapan
menurun endotrakeal
- Frekuensi 7. Keluarkan sumbatan benda
napas membaik padat dengan forsep McGill
- Kedalaman 8. Berikan oksigen, jika perlu
napas membaik Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
 Pemantuan respirasi
Observasi :
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti
bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul,
Cheyne-Stokes, Biot, ataksis)
3. Monitor kemampuan batuk
efektif
4. Monitor adanya produksi
sputum
5. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
7. Auskultasi bunyi napas

21
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasilx-ray toraks
Terapeutik :
1. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
2. Gangguan Setelah dilakukan  Dukungan Ambulasi (I.06171) hal
mobilitas fisik tindakan asuhan 22
(D.00540) keperawatan 3x 24 Observasi :
jam diharapkan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
mobilitas fisik keluhan fisik lainnya
meningkat. (L.05042) 2. Identifikasi toleransi fisik
hal 65. Dengan melakukan ambulasi
kriteria hasil: 3. Monitor frekuensi jantung dan
- Pergerakan tekanan darah sebelum memulai
ekstremitas ambulasi
meningkat 4. Monitor kondisi umum selama
- Kekuatan otot melakukan ambulasi
meningkat Terapeutik :
- Rentang gerak 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi
(ROM) dengan alat bantu (mis. tongkat,
meningkat kruk)
- Nyeri menurun 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi
- Kecemasan fisik, jika perlu
menurun 3. Libatkan keluarga untuk
- Kaku sendi membantu pasien dalam
22
menurun meningkatkan ambulasi
- Gerakan tidak Edukasi :
terkoordinasi 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
menurun ambulasi
- Gerakan 2. Anjurkan melakukan ambulasi
terbatas dini
menurun 3. Ajarkan ambulasi sederhana
- Kelemahan yang harus dilakukan (mis.
fisik menurun berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
 Dukungan Mobilisasi (I.05173) hal
30
Observasi :
1. Identifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya
2. Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
3. Monitor frekuensi jantung dan
tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
4. Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu (mis. pagar
tempat tidur)
2. Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam

23
meningkatkan pergerakan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
duduk di tempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi.
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan  Pencegahan Infeksi
(D.0142) Tindakan asuhan Observasi :
keperawatan 3x24 jam 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
diharapkan tingkat lokal dan sistemik
infeksi menurun. Terapeutik :
Dengan kriteria hasil : 1. Batasi jumlah pengunjung
- Kebersihan tangan 2. Berikan perawatan kulit pada
meningkat area edema
- Kebersihan badan 3. Cuci tangan sebelum dan
meningkat sesudah kontak dengan pasien
- Nafsu makan dan lingkungan pasien
meningkat 4. Pertahankan teknik aseptik pada
- Demam menurun pasien berisiko tinggi
- Kemerahan Edukasi :
menurun 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Nyeri menurun 2. Ajarkan cara mencuci tangan
- Cairan berbau dengan benar
busuk menurun 3. Ajarkan etika batuk
- Sputum berwarna 4. Ajarkan cara memeriksa kondisi
hijau menurun luka atau luka operasi
- Kadar sel darah 5. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
24
putih membaik 6. Anjurkan meningkatkan asupan
- Kultur darah cairan
membaik Kolaborasi :
- Kultur sputum 1. Kolaborasi pemberian imunisasi,
membaik jika perlu

4. Implementasi
Menururt Mufidaturrohmah (2017) Implementasi merupakan
tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawatan.
Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan
tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri merupakan aktivitas perawat
yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan
merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain.
5. Evaluasi
Menurut Mufidaturrohmah (2017) evaluasi perkembangan
kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya. Tujuannya adalah untuk
mengetahui perawatan yang diberikan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap perawatan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi
dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil evaluasi terdiri dari
evaluasi formatif adalah hasil dari umpan balik selama proses
keperawatan berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi
yang dilakukan setelah proses keperawatan selesai dilaksanakan dan
memperoleh informasi efektifitas pengambilan keputusan.

25
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
a. Data Pasien
Nama : Tn. IG
No Rekam Medik :-
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 20/04/1989
Usia : 32 Tahun
b. Primary Survey
Waktu Kedatangan : 14 September 2021
Transportasi : Transportasi keluarga
Kondisi saat datang : Klien composmentis dengan nilai GCS 15.
E4 M6 V5. Nyeri dada Dextra, sesak napas.
Tindakan Pre-Hospital : -
TRIAGE
Kesadaran Kategori Triage Klasifikasi Kasus
Allert (+) P1 Trauma
Merah Dx Medis : Tension
Pneumothorax
Keluhan Utama Keluhan Tambahan
Nyeri dada P : Kecelakaan SMRS Sesak Napas
Q: Seperti tertimpa
benda keras
R: Dada Dextra
S: 7 dari 10
T : Menetap
Riwayat Penyakit : Riwayat Alergi : (-) Riwayat
GERD Pengobatan : PPI
Tanda-tanda vital
TD 130/90mmHg
HR 130x/menit
RR 32x/menit

26
S 36,8ºC
AIRWAY CIRCULATION DISABILITY
 Pemasangan WSD Irama jantung Tidak ada fraktur,
(Water Sealed ireguler, akral dingin, tidak ada paralisis.
Drainage) membran mukosa GCS 11. E4 M6 V5
 Nasal Kanul sianosis, CRT <2s, Alert (+)
5lbpm tidak terdapat edema, Respon to Verbal (+)
BREATHING terdapat udara Respon to Pain (+)
Pergerakan dada tambahan pada paru- Unrespon (-)
Asimetris, irama paru dextra (emfisema
napas ireguler, subkutis) EXSPOSURE
perkusi hipersonor, Tidak terjadi
auskultasi wheezing, hipotermia
fremitus raba
berkurang, SpO² 63%
c. Secondary Survey
S : Nyeri dada dextra, sesak nafas.
A : Alergi (-).
M : Medikasi PPI omeprazole, sucralfate.
P : GERD, dengan terapi obat PPI.
L : Last meal (-)
E : Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan nyeri dada
dextra.
P : Kecelakaan SMRS
Q: Seperti tertimpa benda keras
R: Dada Dextra
S: 7 dari 10
T : Menetap

Pemeriksaan fisik
1) Fisik Umum

27
a. Berat badan : 69 kg
b. Tinggi badan :163 cm
c. Tekanan darah :130/90 mmHg
d. Nadi : 130 x/menit
e. Frekuensi nafas : 32 x/menit
f. Suhu tubuh : 36,8 ° C
g. Keadaan umum
() Sakit Ringan
() Sakit Sedang
() Sakit Berat
h. Pembesaran kelenjar getah bening
() Tidak ( ) Ya, Lokasi : -
Tidak terjadi pembesaran kelenjar getah bening.
2) Sistem Penglihatan
a. Posisi mata () Simetris ( ) Asimetris
Posisi mata simestris antara kanan dan kiri, tidak terdapat kelainan pada
posisi mata.
b. Kelopak mata () Normal ( ) Ptosis
Kelopak mata normal antara kanan dan kiri, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan.
c. Pergerakan bola mata () Normal ( ) Abnormal
Pergerakan bola mata normal antara kanan dan kiri, tidak terdapat
kelainan.
d. Konjungtiva ( ) Merah muda () Anemis ( )
Sangat merah
Konjungtiva anemis kanan dan kiri.
e. Kornea () Normal ( ) Terdapat
perdarahan () Keruh / berkabut
Kornea mata terlihat sedikit keruh/berkabut.
f. Sklera ( ) Ikterik () Anikterik
Sklera pada mata anikterik, tidak ada perubahan warna sklera menjadi
kuning.

28
g. Pupil () Isokor ( ) Midriasis
( ) Anisokor ( ) Miosis
Pupil mata isokor antara mata kanan dan kiri, tidak terdapat kelainan pada
pupil mata.
h. Otot – otot mata () Tidak ada kelainan ( ) Juling ke luar
( ) Juling ke dalam ( ) Berada di
atas kabur
Otot-otot mata tidak ada kelainan, tidak terjadi kejulingan.
i. Fungsi penglihatan () Baik ( ) Kabur
( ) Dua bentuk / diplopia
Fungsi penglihatan kurang baik, mengalami kurangnya jarak pandang
jauh.
j. Tanda – tanda radang : tidak ada tanda-tanda radang pada mata.
Mata tidak kemerahan, tidak ada nyeri pada mata, tidak ada rasa gatal pada
mata.
k. Pemakaian kaca mata : tidak memakai kacamata.
l. Pemakaian kontak lensa : tidak memkai kontak lensa.
m. Reaksi terhadap cahaya : reaksi terhadap cahaya tidak sensitif.
3) Sistem Pendengaran
a. Daun telinga () Normal () Tidak, kanan / kiri
Daun telinga normal, tidak terlihat adanya perbedaan yang siggnifikan.
Daun telinga sama besar antara kanan dan kiri.
b. Karakteristik serumen
Warna : serumen pada telinga berwarna coklat
Konsistensi : konsistensi normal, tidak cair.
c. Kondisi telinga tengah () Normal ( ) Bengkak
( ) Kemerahan ( ) Terdapat
lesi
Kondisi telinga tengah normal tidak terdapat bengkak, kemerahan maupun
lesi.

29
d. Cairan dari telinga () Tidak ( ) Nanah
( ) Darah ( ) lain-
lain,.......
Tidak terdapat cairan pada telinga baik nanah maupun darah.
e. Perasaan penuh ditelinga ( ) Ya () Tidak
Tidak ada perasaan penuh ditelinga.
f. Tinitus ( ) Ya () Tidak
Tidak terjadi tinitus atau berdenging pada telinga baik dalam jangka waktu
lama maupun dalam waktu singkat.
g. Fungsi pendengaran () Normal () Kurang
( ) Tuli, kanan / kiri
Fungsi pendengaran normal. Fungsi pendengaran tidak terjadi penurunan
pada fungsi pendengaran.
h. Gangguan keseimbangan ( ) Ya () Tidak
Tidak terjadi gangguan keseimbangan pada telinga, dan tidak ada tanda-
tanda dari gangguan keseimbangan, baik pusing kepala berputar, pingsan,
mual muntah, sulit fokus dll.
i. Pemakaian alat bantu ( ) Ya () Tidak
Tidak memakai alat bantu dengar baik kuping kanan dan kiri.
4) Sistem Wicara () Normal () Tidak : .............
() Aphasia
( ) Aphonia
() Dysartria
( ) Dysphasia
( ) Anarthia
Sistem wicara normal. Tidak terjadi kehilangan kemampuan
berbahasa/aphasia, tidak terjadi kehilangan suara/aphonia, tidak terjadi
kesulitan dalam berbicara/dysartria, tidak terjadi dysphasia maupun
anarthia.
5) Sistem Pernafasan
a. Jalan nafas () Bersih () Ada sumbatan,
Jenis : udara

30
Jalan nafas ada sumbatan udara pada paru-paru dextra, terjadi penyempitan
jalan napas.
b. Pernafasan ( ) Sesak () Tidak sesak
Mengalami sesak nafas, nafas dalam. Penurunan ekspansi dada unilateral.
c. Penggunaan otot bantu () Ya () Tidak
d. Frekuensi : 32x / menit
e. Irama () Teratur () Tidak teratur
f. Jenis pernafasan () Spontan ( ) Kausmaull
( ) Chetnestoke ( ) Biot
( ) lainnya : Dyspnea
Jenis pernafasan dyspnea yaitu adanya sesak
g. Kedalaman () Dalam ( ) Dangkal
h. Batuk ( ) Ya, Produktif / tidak produktif
() Tidak
Tidak terjadi batuk, baik berdahak maupun tidak berdahak.
i. Sputum ( ) Ya, Putih/kuning/hijau
() Tidak
Tidak ada sputum pada pernapafasan
j. Palpasi dada : taktil fremitus berkurang.
k. Suara nafas () Vesikuler () Wheezing
( ) Ronkhi ( ) Rales
l. Nyeri saat bernafas () Ya () Tidak
Terasa nyeri saat bernapas pada dada dextra superior.
m. Penggunaan alat bantu nafas () Ya () Tidak
Menggunakan alat bantu napas nassal kanul 5lbpm, terpasang chesttube
WSD.
6) Sistem Cardiovaskuler
a. Sirkulasi perifer
 Nadi : 130x/menit
 Irama () Teratur () Lemah
 Denyut () Tidak teratur () Kuat
 Tekanan darah : 130/90mmHg

31
 Distensi vena
Jugularis ( ) Ya () Tidak
Kanan ( ) Ya () Tidak
Kiri
 Temperatur kulit () Hangat () Dingin
 Warna kulit : sianosis.
 Pengisian kapiler : 2 detik
 Edema ( ) Ya : () Tidak
( ) Tungkai atas
( ) Periorbital
( ) Skrotalis
( ) Tungkai bawah
( ) Muka
( ) Anasarka
b. Sirkulasi jantung
Irama jantung tidak teratur, terdapat kelainan pada bunyi jantung. Jantung
tidak normal bebunyi lup-dup-dup. Terdengar lemah. Ada nyeri dada.
7) Sistem Hematologi
Tidak terdapat gangguan sistem hematologi. Tidak ada perdarahan.
8) Sistem saraf pusat
 Keluhan sakit kepala : keluhan sakit kepala tidak ada.
 Tingkat kesadaran () Compos mentis ( ) Apatis
( √) Somnolen ( ) Sopor
( ) Koma
 Glasgow Coma Scale ( GCS )
GCS 11. E4 M6 V5
 Tanda-tanda peningkatan TIK : Tanda-tanda TIK pada klien adalah
tekanan darah meningkat.
 Gangguan Sistem Persarafan : Tidak tanda-tanda gangguan sistem
persarafan.
9) Sistem Pencernaan

32
a. Keadaan mulut : terdapat karies gigi pada klien. Karies pada gigi
depan dan geraham. Terdapat gigi berlubang pada geraham belakang.
Terdapat plak pada gigi. Tidak menggunakan gigi palsu. Salifa normal.
b. Muntah : tidak terjadi muntah pada klien.
c. Nyeri daerah perut :-
d. Diare : Tidak terjadi diare.
e. Warna feses : Kuning kecoklatan
f. Konsistensi feses : Tidak ada kelainan. Tidak adanya darah pada
feses.
g. Konstipasi : Tidak sedang konstipasi.
h. Hepar : Tidak teraba.
i. Abdomen : abdomen teraba lembek tidak kembung.
10) Sistem endokrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
11) Sistem Urogenital
a. Balance Cairan
Intake : 1 ml sampai dengan 1,5 ml
Output : 1 ml sampai dengan 1,5 ml
b. BAK : Urin klien berwarna kuning bening dan dapat BAK dengan kira-
kira sebanyak ± ½ gelas sampai dengan 1 gelas setiapkalinya.
12) Sistem Integumen
Turgor kulit baik. Kulit elastis. Tidak terdapat luka. Keadaan kuku normal
bersih.
13) Sistem Muskuloskeletal
Terjadi kesulitan pergerakan pada bagian tubuh sebelah kanan.

33
d. Pemeriksaan Diagnostik

Gambar 1 : Tension Pneumothorax Dextra

B. Diagnosa
1. Nyeri akut b.d Trauma dada
2. Gangguan perukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi

34
C. Perencanaan

Diagnosa SDKI Luaran SLKI Intervensi SIKI


Nyeri akut (D.0077) Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
b.d Trauma dada intervensi keperawatan (I.08238)
selama 3 x 24 jam Observasi
tingkat nyeri menurun, 1. Identifikasi
maka diperoleh kriteria lokasi,
hasil : karakteristik,
Tingkat nyeri durasi,
(L.08066) frekuensi,
1. Keluhan nyeri kualitas,
menurun intensitas nyeri.
2. Gelisah 2. Identifikasi
menurun skala nyeri.
3. Sikap protektif
menurun Terapeutik
1. Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk
mengurangi rasa
nyeri.
Edukasi
1. Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi
meredakan
nyeri.
3. Anjurkan teknik
nonfarmokologi
s untuk
mengurangi rasa
nyeri.
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian
analgetik
Gangguan perukaran Setelah dilakukan Terapi Oksigen
gas (D.0003) b.d intervensi keperawatan (1.01026)
ketidakseimbangan selama 3 x 24 jam Observasi
ventilasi perfusi pertukaran gas 1. Monitor
meningkat, maka kecepatan aliran
diperoleh kriteria hasil : oksigen
Pertukaran gas 2. Monitor posisi

35
(L.01003) alat terapi
1. Dispnea oksigen
menurun 3. Monitor aliran
2. Bunyi napas oksigen secara
tambahan periodik dan
menurun pastikan fraksi
3. Diaforesis yang diberikan
menurun cukup
4. Sianosis 4. Monitor tanda-
membaik tanda
5. pO² membaik hipoventilasi
6. Takikardia 5. Monitor
membaik. integritas
mukosa hidung
akibat
pemasangan
oksigen.
Terapeutik
1. Pertahankan
kepatenan jalan
napas.
2. Siapkan dan atur
peralatan jalan
napas
3. Tetap berikan
oksigen saat
pasien di
transportasi
4. Gunakan
perangkat
oksigen yang
sesuai dengan
tingkat mobilitas
pasien.
Edukasi
1. Ajarkan pasien
dan keluarga
cara
menggunakan
oksigen
dirumah.
Kolaborasi
1. Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
D. Implementasi

Tanggal Kode Jam Implementasi

36
Dx
15 D.0003 16:15 1. Siapkan dan atur peralatan jalan
napas
September
RH : Oksigen Nassal Kanul
2021
2. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
RH : 5lbpm
1. Monitor kecepatan aliran
oksigen
2. Monitor posisi alat terapi
oksigen
RH : 5lbpm, nassal
D.0077 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri.
RH :
P : Kecelakaan SMRS
Q: Seperti tertimpa benda keras
R: Dada Dextra
S: 7 dari 10
T : Menetap

E. Evaluasi

Diagnosa Evaluasi
Nyeri akut (D.0077) S : Klien mengatakan nyeri dada seperti tertekan
b.d Trauma dada
benda keras pada bagian dada kanannya.
O: Klien tampak meringis, klien tampak
memegangi bagian dada.
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan (Manajemen Nyeri)
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Kolaborasi pemberian analgetik
Gangguan perukaran S : Klien mengatakan sesak napas
gas (D.0003) b.d
O: SpO² 63%, Napas tersengal-sengal, napas
ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dalam, frekuensi napas 32x/menit

37
A: Gangguan pola napas belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan (Terapi Oksigen)
1. kecepatan aliran oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan
pastikan fraksi yang diberikan cukup
4. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
5. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen.

38
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis masalah keperawatan


Setelah dilakukan pengkajian asuhan keperawatan terhadap klien
Tn. IG dengan diagnosa medis Tension Pneumothorax pada tanggal 14
september 2021 di ruang instalasi gawat darurat , ditemukan masalah
keperawatan utama klien berdasarkan pengeakkan diagnosis keperawatan
SDKI adalah nyeri akut b.d trauma dada Masalah keperawatan lain yang
muncul adalah Gangguan perukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi
perfusi.
Menurut SDKI (2016) diagnosa keperawatan yang sering muncul
untuk pasien demam tension pneumothorax adalah 1) Nyeri akut ; 2)
Gangguan pertukaran gas ; 3)Gangguan mobilitas fisik ; 4); resiko infeksi
5) ansietas. Artinya bahwa dalam kasus tension pneumothorax yang terjadi
pada klien Tn. IG ditemukan ada kesenjangan pada diagnosa keperawatan
antara teoritis dan kasus. Dari 5 diagnosa keperawatan yang ada pada
tinjauan teoritis sebanyak 3 diagnosa keperawatan tidak ditemukan dalam
kasus yaitu gangguan mobilitas fisik, resiko infeksi, dan ansietas.
Kelompok hanya melakukan analisis terhadap masalah
keperawatan utama yang ditegakan pada klien yaitu nyeri akut dengan
aspek medis tension pneumothorax. Penegakan diagnosis pada klien
dilihat berdasarkan pada hasil pengkajian yang didapatkan bahwa klien
mengatakan nyeri dada dengan skala 7 (1-10).
Nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lamat dan berintensitas ringan
hingga berat yang berlangsung kurang 3 bulan. Faktor penyebab utamanya
adalah agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, lakemia, neoplasma),
agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan), agen
pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat

39
berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2018)
B. Analisis Intervensi dalam Mengatasi Masalah Keperawatan
Berdasarkan pada penegakkan diagnosis keperawatan pada klien
Tn. IG dengan diagnosis medis tension pneumothorax bahwa masalah
keperawatan utama yang ditemukan yaitu nyeri akut berdasarkan
karakteristik standar pada SDKI, kelompok memberikan intervensi sesuai
dengan standar pada SIKI yaitu dengan melakukan manajemen nyeri dan
pemberian analgesik dengan tahap-tahap tindakan keperawatan yaitu
observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi. Implementasi dilakukan
selama 1 hari pertemuan di ruang instalasi gawat darurat yaitu tanggal 14
september tahun 2021. Intervensi utama yang diberikan kelompok pada
klien Tn. IG dengan masalah keperawatan utama nyeri akut b.d trauma
dada adalah manajemen nyeri dengan tujuan mengurangi nyeri yang
dirasakan oleh klien.
C. Alternatif Pemecahan Masalah
Penatalaksanaan pada pasien tension pneumothorax dapat
dilakukan cara penatalaksanan medik dan keperawatan sesuai dengan
diagnosis keperawatan yang muncul. Alternatif untuk pemecahan masalah
keperawatan pada pasien tension pneumothorax yang mengalami masalah
keperawatan nyeri akut dapat dilakukan dengan intervensi manajemen
nyeri yang dalam tahapannya terdapat trapeutik dan edukasi untuk
menganjurkan klien cara menurunkan nyeri secara farmakologis.
Perawat memiliki peran penting dalam pelaksanaan manajemen
nyeri karena nyeri yang terjadi pada klien harus menjadi perhatian
perawat. Membiarkan pasien sakit tanpa upaya dalam memberikan
perawatan yang optimal merupakan hal yang sangat tidak etis. Manajemen
nyeri adalah upaya mengurangi rasa sakit sampai pada tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien. Manajemen nyeri yang efektif
adalah aspek penting asuhan keperawatan untuk proses penyembuhan,
pencegahan komplikasi, mengurangi penderitaan dan mencegah
perkembangan nyeri yang tidak dapat disembuhkan. Pelaksanaan

40
manajemen nyeri saat ini belum dilakukan secara maksimal oleh tenaga
kesehatan terutama perawat.

41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan pengkajian dan tindakan keperawatan selama 1
hari pada klien Tn. A di ruang instalasi gawat drurat, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Hasil analisa data pada klien berdasarkan pengkajian ditemukan
masalah keperawatan utama yaitu nyeri akut. Masalah keperawatan lain
yang muncul adalah gangguan pertukaran gas.
2. Intervensi keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah
keperawatan utama nyeri akut adalah manajemen nyeri dan pemberian
analgesik.
3. Implementasi keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan
utama nyeri akut dilakukan selama 1 hari dengan memberikan intervensi
sesuai dengan rencana tindakan keperawatan.
4. Hasil evaluasi keperawatan pada klien dengan masalah keperawatan
utama nyeri akut berdasarkan pada catatan perkembangan menunjukkan
bahwa, setelah 1 hari pertemuan pada klien Tn. IG didapatkan data pada
hari ke1 tindakan keperawatan yaitu klien mengatakan masih merasakan
nyeri .
B. Saran
a. Bagi Klien dan Keluarga
Diharapkan klien dan keluarga dapat mengaplikasikan manajemen
nyeri pada anggota keluarga yang mengalami masalah keperawatan nyeri
akut dengan tujuan untuk menurunkan intensitas nyeri pada penderita.
2. Bagi Perawat
Diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan serta wawasan
khususnya mengenai asuhan keperawatan dan dapat mengaplikasikan
manajemen nyeri dengan cara edukasi pemberian terapi farmakologis dan
non-farmakaologis terhadap pasien yang menderita nyeri akut dan

42
menambah inovasi strategi lain dalam mengatasi masalah keperawatan
pada klien dengan masalah keperawatan lainnya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat menambah refrensi dan rujukan tambahan bagi
institusi pendidikan yang berperan mengembangankan asuhan
keperawatan yang berkaitan dengan keperawatan gawat darurat dan kritis.

43
DAFTAR PUSTAKA

Alagaff, Hood, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
Chandra Vidhi, Pooja Singh, H Santoshkumar Huligeri, and Maitree. 2021.
Pandey. Bilateral tension pneumothorax: An unusual complication in a
COVID-19 recovered patient. Indian J Anaesth. 2021 Jul; 65(7): 556–
557. Published online Jul 23. doi: 10.4103/ija.ija_325_21 PMCID:
PMC8312396 PMID: 34321689
Committee Of Trauma. Advance Trauma Life Support Chapter 4: Thoracic
Trauma
https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/03/RS19_Pn
eumotoraks-Q.pdf
Corwin, Elizabeth J (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Emergency Nurses Association, 2008. Competencies for Nurse Practitioners in
Emergency Care. Emergency Nurses Association, pp 1-18
Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Malik, Ricat Hinaywan 2020. Penanganan Gawat Darurat Tension Pneumothorax
Dengan Needle Thoracocentesis ICS ke-5 & Pemasangan Mini-WSD: A
Case Report Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume 11
Nomor 2, April 2020 p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778 113 Jurnal
Penelitian Kesehatan Suara Forikes http://forikes-
ejournal.com/index.php/SF DOI:
Mufidaturrohmah. (2017). Dasar-Dasar keperawatan (1st ed.; Turi, ed.).
Yogyakarta: Penerbit Giva Media.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi

dan Indikator Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi

44
dan Tindakan Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan

Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Sharma A, Jindal P. (2008). Principles of Diagnosis and Management of


Traumatic Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock 1 :
1.
Sharma, Anita. Jindad, Parul. 2008. Principles Of Diagnosis And Management Of
Traumatic Pneumothorax. Uttarakhand: Journal Of Emergencies
Wilkinson, D, Skinner, Marcus. W 2014, Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95- 39411-0-8.

45

Anda mungkin juga menyukai