Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN


KEBUTUHAN AKTIVITAS PATOLOGIS DARI SISTEM PERSYARAFAN DAN
MUSKULOSKELETAL (Cerebral Palcy, Hydrochepalus, Scoliosis,
Poliomyelitis, dan CTEV)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
ADINDA LIANADA : 11409719041
AGUS RUDIYANTO : 11409719042
AHMAD RAFIQ BASTIAN : 11409719043
ANDI WIYANA : 11409719048
CICI AFRIDA HASTUTI : 11409719050
HAMISA EMELIA AZZAHRA : 11409719054
INDRA ADI KUSUMA : 11409719057
MAHLIANI MARGATIWI : 11409719059
MARZUKI HASAN : 11409719060
MIRANDA ANGRAINI : 11409719061
MUHAMMAD ARYA RIDHONI : 11409719062
MUHAMMAD RAMDANI : 11409719064
RENITA VITA TRIYANTI : 11409719068
RIO ALDINO : 11409719069
SANIA HIDAYAH : 11409719070
SUTIKNO : 11409719072
WINA AYU ARIANI : 11409719074
YOGI FEBY PEBRIA BAYU. P : 11409719075
ZAENAL FUADI : 11409719077

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA


BANJARMASIN
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas izin, kuasa dan
perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Kebutuhan Aktivitas
Patologis Dari Sistem Persyarafan dan Muskuloskeletal (Cerebral Palcy,
Hydrochepalus, Scoliosis, Poliomyelitis, dan CTEV)”.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas bidang studi


Keperawatan anak yang diberikan kepada kami oleh bapak Yuhansyah, S.Kep ., Ns.,
M.Kep Agar kami dapat mengetahui serta memahami cara menyusun makalah
dengan benar dan agar dapat mengembangkan ilmu yang telah kami peroleh.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun
untuk perbaikan makalah ini .
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen
keperawatan anak yang diberikan kepada kami oleh bapak Yuhansyah, S.Kep ., Ns.,
M.Kep Selaku guru yang memberikan tugas ini juga yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini dan semua bentuk bimbingan
serta pengajarannya yang kami terima dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.

Banjarmasin, 19 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
1.2. RUMUSAN MASALAH .................................................................... 1
1.3. TUJUAN .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2
2.1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Patologis Dari Sistem Persyarafan dan
Muskuloskeletal ............................................................................. 2
2.1.1. Konsep Asuhan Keperawatan Cerebral Palcy……………. 2
2.1.2. Konsep Asuhan Keperawatan Hydrochepalus…………… 13
2.1.3. Konsep Asuhan KeperawatanScoliosis…………………… 24
2.1.4. Konsep Asuhan Keperawatan Poliomylitis……………….. 31
2.1.5. Konsep Asuhan Keperawatan CTEV……………………….. 39

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 56


3.1. Kesimpulan .................................................................................... 56
3.2. Saran ............................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tubuh manusia akan berada dalam kondisi sehat jika mampu berespon
dengan tepat terhadap perubahan-perubahan lingkungan secara
terkoordinasi. Tubuh memerlukan koordinasi yang baik . Salah satu sistem
komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf. Pengkajian system persarafan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk dilakukan dalam
rangka menentukan diagnosa keperawatan tepat dan melakukan tindakan
perawatan yang sesuai.
Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian
yang berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien
yang berhubungan dengan system persarafan seperti riwayat hiopertensi,
stroke, radang otak, atau selaput otak, penggunaan obat-obatan dan alcohol,
dan penggunaan obat yang diminum secara teratur. Tahapan selanjutnya
adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status mental, pemeriksaan
saraf cranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan
reflex. Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan prinsip-prinsip head
to toe, chepalocaudal dan proximodistal. Harus pula diperhatikan keamanan
klien dan privacy klien.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja masalah pada anak gangguan kebutuhan aktivitas patologis sari
sistem persyarafan san muskuloskletal ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak menglami gangguan
kebutuhan aktivitas patologis sari sistem persyarafan san muskuloskletal?

1
1.3. Tujuan
Mengetahui pengertian, prinsip, dan konsep asuhan keperawatan pada anak
menglami gangguan kebutuhan aktivitas patologis sari sistem persyarafan
san muskuloskletal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Kebutuhan


Aktivitas Patologis Dari Sistem Persyarafan dan Muskuloskeletal
2.1.1. Konsep Asuhan Keperawatan Cerebral Palcy
A. Definisi
Cerebral palsy lebih tepat dikatakan suatu gejala yang kompleks
daripada suatu penyakit yang spesifik. (Kuban, 1994) Cerebral palsy
merupakan kelainan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
William Little yang pertamakali mempublikasikan kelainan ini pada tahun
1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai akibat
dari prematuritas atau asfiksia neonatorum. (Soetjiningsih, 1995).
Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan otak
yang menyebabkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi,
psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi belajar mengajar.

B. Etiologi
Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab Cerebral Palsy berbeda–
beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi antara
lain : terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik sakit sejak
dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat badan
lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat rendah,
yang berisiko Cerebral Palsy dan terminologi tentang anak–anak yang
dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko mengalami
Cerebral Palsy setelah masa kanak–kanak. (Swaiman, 1998). Cerebral
Palsydapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila
ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu
keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik.
(Soetjiningsih, 1995) Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis
besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.

3
C. Tanda dan Gejala
1. Spastik
a. Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami
spastik. Umumnya hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas atas.
b. Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas.
Hal ini disebabkan oleh spastik yang menyerang traktus
kortikospinal bilateral atau lengan pada kedua sisi tubuh saja.
Sedangkan sistem–sistem lain normal.
c. Hemiplegia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang
biasanya menyerang ekstremitas atas/lengan atau menyerang
lengan pada salah satu sisi tubuh.
d. Triplegia
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas.
Umumnya menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah
satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.
e. Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga
ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada
tungkai.
2. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya.
Pada CP tipe ini terjadi abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau
disertai dengan abnormalitas gerakan. Otak mengalami kehilangan
koordinasi muskular sehingga gerakan–gerakan yang dihasilkan
mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal.

4
3. Athetosis atau koreoathetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan
yang melebar. Athetosis terbagi menjadi :
a. Distonik
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami
distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak
seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya
menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang
dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan
kepala.

b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan
involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala
melakukan gerakan stereotype.

c. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan
kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun
lengan dapat menghasilkan gerakan yang mendekati kekuatan
dan koordinasi normal.

5
d. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
ektrapiramidal, seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.

Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita

untuk melakukan aktifitas normal (Swaiman, 1998; Rosenbaum, 2003)

a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak
memerlukan pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil,
dapat bersekolah biasa, aktifitas kehidupan sehari–hari 100 %
dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi
ialah brace, tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat
berfungsi sebagai pengontrol gaya berat badan. Sebagian besar
aktifitas kehidupan sehari–hari dapat dilakukan sendiri dan dapat
bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk, merangkak
atau mengesot, dapat bergaul dengan teman–temannya sebaya
dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa keindahan masih ada,
aktifitas kehidupan sehari–hari perlu bantuan, tetapi masih dapat
bersekolah. Alat ambulasi yang tepat ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki,
kebutuhan hidup yang vital (makan dan minum) tergantung pada
orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat ambulasi,
kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.

6
D. Patofisiologi
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron
dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran suci
dan berat otak rendah. Cerebral palsy digambarkan sebagai kekacauan
pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacad non
progresive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi
cerebral palsy dapat diakibatkan dengan suatu dasar kelainan (struktural
otak: awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-luka/kerugian setelah
melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan vaskuler, toksin atau
infeksi). Dalam beberapa kasus manifestasi atau etiologi dapat
berhubungan dengan daerah anatomi. Misal cerebral palsy yang
berhubungan dengan kelahiran prematur yang disebabkan oleh infark
hipoksia atau perdarahan dengan leukomalasia didaerah yang
berdekatan dengan ventrikel lateral dalam antetoid jenis cerebral palsy
yang disebabkan oleh kenikterus dan kelainan genetik metabolisme
seperti gangguan mitokondria. Hemiplegia cerebral palsy sering
dikaitkan dengan serangan sereberal vokal sekunder ke intra uterin atau
trombo emboli perinatal biasanya akibat trombosis ibu atau gangguan
pembekuan herediter (Wilson 2007)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah
diagnosis cerebral palsy ditegakkan.
2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada cerebral palsy CSS
normal.
3. Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada
golongan, hemiparesis baik yang disertai kejang maupun tidak.
4. Foto rontgent kepala.
5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang
dibutuhkan.

7
6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari
retardasi mental.

F. Penatalaksanaan
a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini
perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter
anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT,ahli ortopedi,
psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua pasien.
b. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu
dipehatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien
yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan.
Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.
c. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi
kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien
dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan.
d. Obat-obatan
Tidak ada obat untuk cerebral palsy tetapi pelatihan otot awal dan
latihan khusus dapat bermanfaat dimulai sebelum anak
mengembangkan kebisaan yang salah dan pola otot yang salah.
Pencegahan komplikasi dan membantu individu untk menjalankan
kehidupan sepenuhnya, hanya dibatasi oleh ggn otot dan ggn sensori
(Wilson 2007 ).
e. Keperawatan
Masalah bergantung dari kerusakan otak yang terjadi. Pada umumnya
dijumpai adanya gangguan pergerakan sampai retardasi mental, dan

8
seberapa besarnya gangguan yang terjadi bergantung pada berat
ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Dewasa ini gangguan dari
pertumbuhan atau perkembangan janin dirumah-rumah bersalin yang
telah maju sudah dapat dideteksi sejak dini bila kehamilan dianggap
berisiko. Juga ramalan mengenai ramalan bayi dapat diduga bila
mengetahui keadaan pada saat perinatal (lihat penyebab). Disinilah
peranan perawat dapat ikut mencegah kelainan tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan ialah :
a. Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang berisiko
(baca status bayi secera cermat mengenai riwayat
kehamilan/kelahirannya). Jika dijumpai adanya kejang atau sikap
bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan
dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya.
b. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan
pada otak walaupun selama diruang perawatan tidak terjadi
kelainan agar dipesankan pada orang tua atau ibunya jika melihat
sikap bayi yang tidak normal supaya segera dibawa konsultasi
kedokter.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
A. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan
B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
bergerak
C. Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot
(ataksia)
D. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan diseksi arteri

9
2. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan (00002)

NOC
Domain : II- physiologic Health
Classes : K. Digestion & Nutrition
Outcomes : 1008 Nutritional status : food and fluid intake

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi kurang


teratasi dengan :
1. Asupan cairan IV
2. Asupan nutrisi parenteral

NIC
Domain : 1. Physiological: Basic
Classes : D. Nutrition Support
Interventions : 1030 Eating Disorders Management

Intervensi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien
2. Monitor adanya penurunan berat badan dan gula darah
3. Monitor lingkungan selama makan
4. Monitor intake dan output cairan
5. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan
6. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan cavitas oral

2. Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan


untuk bergerak (00092)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616Body Mechanics Performance

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien


bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil :
1. Pasien mampu berdiri dengan benar
2. Pasien mampu menggunakan teknik mengangkat yang benar
3. Pasien mampu menjaga kekuatan otot
4. Pasien mampu mempertahankan fleksibilitas sendi

10
5. Pasien mampu menggunakan mekanika tubuh yang tepat

NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : O. Behaviour Therapy
Interventions : 4310 Activity Therapy
Intervensi :
1. Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu
2. Berkolaborasi dengan okupasi terapis, fisik, atau rekreasi dalam
perencanaan dan monitoring program kegiatan
3. Membantu pasien untuk memilih kegiatan dan tujuan prestasi bagi
kegiatan sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
4. Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi cacat di tingkat
aktivitas
5. Mendorong keterlibatan dalam kegiatan kelompok atau terapi
6. Memberikan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot
7. Membantu pasien dan keluarga untuk memantau kemajuan sendiri
terhadap pencapaian tujuan

3. Diagnosa : Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot


(ataksia) (00038)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616 Body Mechanics Performance

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien tidak
mengalami trauma dengan kriteria hasil:
1. Tidak ditemukan adanya keseleo
2. Tidak adanya mobilitas gangguan pada otot
3. Pasien terbebas dari trauma fisik

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk management
Interventions : 6486 Environmental Management : Safety

Intervensi :
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu.

11
2. Menghindari lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
3. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
4. Menempatkan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Memindahkan barang – barang yang dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

4. Diagnosa : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan


dengan diseksi arteri (00201)

NOC
Domain : II- Physiologic Health
Classes : E – Cardiopulmonary
Outcomes : 0406 Tissue Perfusion: Cerebral

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan selama 2x24 jam ketidakefektifan perfusi


jaringan cerebral teratasi dengan kriteria hasil:
1. Tekanan intrakranial dalam batas normal
2. Ditemukan Angiogram serebral dalam batas normal
3. Tidak ditemukan penurunan kesadaran
4. Tekanan sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan
5. Menunjukkan konsentrasi dan orientasi
6. Bebas dari aktivitas kejang
7. Tidak mengalami nyeri kepala

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk Management
Interventions : 6680 Vital Signs Monitoring

Intervensi :
1. Pantau tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
2. Pantau tekanan darah setelah pasien telah mengambil obat
3. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum, selama dan setelah
aktivitas
4. Memantau warna kulit, suhu, dan kelembaban
5. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
6. Monitor level kebingungan dan orientasi
7. Monitor tonus otot pergerakan
8. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
9. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus

12
2.1.2. Konsep Asuhan Keperawatan Hydrochepalus
A. Definisi
Hidrocephalus adalah suatu keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau
pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat
pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS.

B. Etiologi
Hidrosefalus disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan di dalam otak. Akibatnya, cairan di dalam otak terlalu
banyak dan membuat tekanan dalam kepala meningkat. Kondisi ini bisa
disebabkan oleh beberapa faktor, yang meliputi: Aliran cairan otak yang
tersumbat.

C. Tanda dan Gejala


1. Pembesaran kepala.
2. Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala: muntah, nyeri
kepala, oedema papil.
3. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekana dan penipisan tulang
supraorbital.
4. Gangguan keasadaran, kejang.
5. Gangguan sensorik.
6. Penurunan dan hilangnya kemampuan akrivitas.
7. Perubahan pupil dilatasi.
8. Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun).
9. Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat,
hipertermi,/ hipotermi).
10. Penurunan kemampuan berpikir.

13
D. Patofisiologi
Produksi CSF terutama tergantung pada transporalselsan, terutama
natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus koroideus ke
dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan
keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam
ventrikel otak. Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel
keempat, masuk ke dalam ruang subarakhnoid melalui foramena
lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula
spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel.
Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelainan kongenital.
a. Stenosis akuaduktus sylvii.
b. Anomali pembuluh darah.
c. Spino bifida dan kranium bifidi.
d. Sindrom Dandy-walker.
2. Infeksi.
Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak)
sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya
meningitis.
Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu :
a. TORCH.
b. Kista-kista parasit.
c. Lues kongenital.
3. Trauma.
Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak
dapat menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal
otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan
terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.

14
4. Neoplasma.
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang
dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara lain:
a. Tumor ventrikel III
b. Tumor fossa posterior.
c. Pailloma pleksus khoroideus.
d. Leukemia, limfoma
5. Degeneratif.
Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe.
6. Gangguan vaskuler.
a. Dilatasi sinus dural.
b. Trombosis sinus venosus.
c. Malformasi V. Galeni.
d. Ekstaksi A. Basilaris.
e. Arterio venosus malformasi.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala
dan tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak
terdiagnosis sampai dewasa, dengan demikian perlu adanya ketelitian
dlam menangani penderita yang diduga menderita hidrosefalus, mulai
dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis.
1. Aloamnanesis/ amnanesis.
Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus
kongenital atau akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm
dan merupakan kelahiran anak yang keberapa adalah penting
sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga
menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid
yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Demikian juga
riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu

15
dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas,
perkembangan mental, kecerdasan serta riwayat nyeri kepala,
muntah-muntah, gangguan visus dan adanya bangkitan kejang.
2. Pemeriksaan fisik.
Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala
terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak seimbang.
Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah, iritable,
gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-muntah.
Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar, fontanela tidak
menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse, dengan tulang
kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked pot, tanda
berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada pemeriksan
auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising daerah posterior
oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan kepala yang cepat
mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan tampak kurus.
3. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat
sebagai petunjuk penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan kadar
protein yang amat sangat terdapat pada papiloma pleksus
khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan
susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan
kadar glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi
meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula blastama dan
dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui
adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid
pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus.
Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya
infeksi yang disebabkan oleh TORCH. Penelitian sitologi kualitatif
pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor.

16
4. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta
pelebaran sutura. Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-
keadaan lain seperti adanya kalsifikasi periventrikuler sebagai tanda
adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi bilateral
menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis. Pemeriksaan
ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya pelebaran
sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi, dan untuk diagnosis
kelainan selama masih dalam kandungan.
Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran
ventrikel. Disamping itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi
cairan serebrospinal yaitu dengan menyuntikkan kontras radio opak
ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras diikuti dengan
CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap cairan
serebrospinal.
Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau
dilatasi ventrikel dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus
kolosum kurang dari 120 menunjukkan hidrosefalus komunikan, bila
lebih dari 120 mungkin hidrosefalus obstruksi.

F. Penatalaksanaan
Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan,
yaitu pemasangan shunting yang berfungsi sebagai drainage. Tindakan
ini bukan untuk menyembuhkan, namun untuk mengontrol gejala akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Pada hydrocephalus kongenital,
pembedahan pada bayi berpotensi komplikasi sehingga ahli bedah saraf
mungkin menunda melakukannya (terutama bayi prematur). Untuk
mengurangi progresifitas kerusakan otak, maka bayi hydrocephalus
dapat diberikan terapi farmakologi dahulu sampai pembedahan aman
dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akut, biasa
terjadi pada hydrocephalus didapat pada pasien anak atau dewasa,

17
diperlukan tindakan pembedahan secepatnya. Beberapa kasus
hydrocephalus didapat, pembedahan tidak diperlukan karena etiologinya
telah membaik, misalnya pada perdarahan intraventrikular yang sudah
reabsorbsi tanpa skar

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian preoperasi: adanya riwayat meningitis, infeksi intrakranial/
hemoragie, anoxia prenatal atau infeksi intrauterine. Pada bayi dan
anak pembesaran lingkar kepala yang progresif, ubun-ubun yang
menonjol dan tegang serta tidak berdenyut, vena-vena kulit kepala
melebar, sunset sign, gelisah dan cengeng, sering mual, muntah dan
nafsu makan menurun, bila diperkusi didapat bunyi seperti pot
kembang pecah. Pada anak yang lebih besar gejala utama yang
menonjol adalah peningkatan TIK, muntah dan mengeluh sakit
kepala, iritabel, pupil edema kejang baik vokal maupun umum,
perubahan pupil, perubahan pola makan, perubahan tanda vital
(tekanan darah, sistol naik, nadi turun, nafas tidak teratur).

2. Diagnosa Keperawatan
A. Perfusi jaringan tidak efektif: serebral b.d peningkatan tekanan
intrakranial, hipervolemia
B. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pusat persepsi sensori.
C. Kerusakan intregritas kulit b.d penurunan mobilitas fisik, defisiensi
sirkulasi.
D. Resiko defisit volume cairan b.d mual, muntah, anoreksia
E. Perubahan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan
anggota keluarga
F. Kurang pengetahuan orang tua tentang penyakit, perawatan,
komplikasi b.d kurang informasi

18
3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1 Perfusi jaringan Setelah dilakukan  Kaji status neurologis
tidak tindakan keperawatan: yang berhubungan
efektif:serebral b.d dengan tanda-tanda
peningkatan  Tekanan intrakranial peningkatan tekana
tekanan 0-15 mmHg. intrakranial, terutama
intrakranial,  Perfusi otak lebih dari GCS.
hipervolemia 50 mmHg.  Monitor tanda-tanda
 Terpeliharanya vital:TD, nadi, respirasi,
status neurologis. suhu, minimal tiap 15
 Tanda vital stabil menit sampai keadaan
pasien stabil.
 Monitor tingkat
kesadaran, sikap reflek,
fungsi motorik, sensorik
tiap 1-2 jam.
 Naikkan kepala dengan
sudut 15-450, tanpa
bantal (tidak
hiperekstensi atau fleksi)
dan posisi netral (posisi
kepala sampai lumbal
ada dalam garis lurus).
 Anjurkan anak dan
orang tua untuk
mengurangi aktivitas

19
yang dapat menaikkan
tekanan intrakranial atau
intraabdominal, misal:
mengejan saat BAB,
menarik nafas,
membalikkan badan,
batuk.
 Monitor tanda kenaikan
tekanan intrakranial,
misalnya: iritabilitas,
tangis, sakit kepala,
mual muntah.
 Monitor intake output
cairan setiap hari.

2 Gangguan persepsi  Kaji tingkat kesadaran


sensori b.d dan respon.
gangguan pusat  Ukur vital sign, status
persepsi sensori neurologis.
Setelah dilakukan
 Monitor tanda-tanda
tindakan keperawatan:
kenaikan tekanan
 Tanda vital normal.
intrakranial seperti
 Orientasi baik.
iritabilitas, tangis
 GCS lebih dari 13.
melengking, sakit
 Tekanan intrakranial kepala, mual muntah.
<10 mmHg.  Ukur lingkar kepala
 Refleks fisiologis (+). dengan meteran/
 Refleks patologis (-). midline.

20
 Lakukan terapi auditori
dan stimuli taktil.
3 Kerusakan  Monitor kondisi
intregritas kulit b.d fontanella mayor tiap 4
penurunan jam.
mobilitas fisik,  Ubah posisi tiap 2 jam,
defisiensi sirkulasi pertimbangkan
perubahan posisi
kepala tiap 1 jam.
 Gunakan lotion atau
minyak dan lindungi
posisi daerah kepala
dari penekanan.
 Letakkan kepala pada
bantal karet atau
gunakan water bed jika
perlu.
 Gunakan penggantian
alat tenun dari bahan
Setelah dilakukan yang lembut.
tindakan keperawatan:  Stimuli daerah kepala
 Eritema (-). setiap perubahan
 Kulit kepala turgor posisi.
baik, utuh.  Pertahankan nutrisi
 Luka (-). sesuai program terapi.
4 Resiko defisit Setelah dilakukan
volume cairan b.d tindakan keperawatan:  Monitor intake output
mual, muntah, makanan dan cairan.
anoreksia  Hidrasi adekuat.  Ukur dan observasi
 Turgor kulit baik. tanda vital.

21
 Membran mukosa  Catat jumlah, frekuensi
lembab. dan karakter muntah.
 Tanda vital normal.  Timbang BB tiap hari.
 Urin output 0,5-1  Kaji tanda-tanda
cc/ kgBB/ jam. dehidrasi.

5 Perubahan proses Setelah dilakukan


keluarga b.d tindakan keperawatan:
perubahan status
kesehatan anggota  Keluarga partisipasi
keluarga dalam perawatan
dan pengobatan.
 Keluarga
memberikan
sentuhan, perasaan
senang dan bicara
pada anaknya.
 Keluarga mampu
mengidentifikasi
perilaku negatif dan
cara mengatasinya.
6 Kurang Setelah dilakukan
pengetahuan orang tindakan keperawatan,
tua tentang keluarga mampu:  Jelaskan semua
penyakit, prosedur dan
perawatan,  Ungkapkan pengobatan, kehadiran
komplikasi b.d pengertian rencana perawat diperlukan bila
kurang informasi perawatan. ada informasi oleh
Menerima team kesehatan lain
kenyataan terhadap untuk memperkuat
anaknya. penjelasan.

22
 Demonstrasikan  Beri dorongan pada
perawatan yang orang tua untuk
diperlukan. mengekspresikan
 Mengetahui tanda perasaan dan harapan
infeksi dan dan partisipasi dalam
peningkatan perawatan anaknya
tekanan dengan perasaan yang
intrakranial. menyenangkan.
 Menjelaskan  Bantu orang tua untuk
pengobatan yang dapat menerima
diberikan, minum kenyataan tentang
obat sesuai perubahan dan
rencana dan perkembangan
mengerti efek anaknya.
samping.  Yakinkan orang tua
bahwa anak
membutuhkan kasih
sayang dan
keamanan.
 Demonstrasikan
perawatan yang
diperlukan (bagaimana
mengecek fungsi
shunt, posisi anak),
berikan kesempatan
untuk mengulang
 Beri penjelasan
tentang pengobatan.
 Berikan dafatar nomor
telepon team

23
kesehatan untuk dapat
digunakan bila muncul
masalah.

2.1.3. Konsep Asuhan KeperawatanScoliosis


A. Definisi
Skoliosis adalah lengkungan atau kurvatura lateral pada tulang belakang
akibat rotasi dan deformitas vertebra. Tiga bentuk skoliosis struktural
yaitu :
1. Skoliosis Idiopatik adalah bentuk yang paling umum terjadi dan
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu infantile, yang muncul
sejak lahir sampai usia 3 tahun; anak-anak, yang muncul dari usia
3 tahun sampai 10 tahun; dan remaja, yang muncul setelah usia
10 tahun (usia yang paling umum).
2. Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan
malformasi satu atau lebih badan vertebra.
3. Skoliosis Neuromuskuler, anak yang menderita penyakit
neuromuskuler (seperti paralisis otak, spina bifida, atau distrofi
muskuler) yang secara langsung menyebabkan deformitas.
(Nettina, Sandra M.)

24
B. Etiologi
Penyebab terjadinya skoliosis diantaranya kondisi osteopatik, seperti
fraktur, penyakit tulang, penyakit arthritis, dan infeksi. Pada skoliosis
berat, perubahan progresif pada rongga toraks dapat menyebabkan
perburukan pernapasan dan kardiovaskuler. (Nettina, Sandra M.)
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis :
1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu
kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk
yang menyatu
2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan
otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut, Cerebral palsy,
Distrofi otot, Polio, Osteoporosis juvenil.
3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.

C. Tanda dan Gejala


Gejalanya berupa:
1. tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
2. bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
3. nyeri punggung
4. kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
5. skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari
60%) bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang


membengkok ke kanan dan pada punggung bagian bawah, tulang
belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi dari
bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kir

25
D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk
ke depan sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang
terjadi. Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai
kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan :
1. Rontgen tulang belakang.
X-Ray Proyeksi Foto polos : Harus diambil dengan posterior dan
lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan
posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb dan
menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Kurva structural
akan memperlihatkan rotasi vertebra ; pada proyeksi posterior-
anterior, vertebra yang mengarah ke puncak prosessus spinosus
menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah kurva
diidentifikasi sewaktu tingkat simetri vertebra diperoleh kembali.
2. Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur
kelengkungan tulang belakang) Skoliometer
Skoliometer adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai.
Cara pengukuran dengan skoliometer dilakukan pada pasien
dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena
posisi ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura,
sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan
membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurva
pada thorakal. Kemudian letakkan skoliometer pada apeks kurva,
biarkan skoliometer tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat
kurva. Pada screening, pengukuran ini signifikan apabila hasil
yang diperoleh lebih besar dari 5 derajat, hal ini biasanya
menunjukkan derajat kurvatura > 200 pada pengukuran cobb’s
angle pada radiologi sehingga memerlukan evaluasi yang lanjut.
3. MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).

26
E. Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat dan
lokasi kelengkungan serta stadium pertumbuhan tulang. Jika
kelengkungan kurang dari 20%, biasanya tidak perlu dilakukan
pengobatan, tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan secara
teratur setiap 6 bulan.
Pada anak-anak yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya
bertambah sampai 25-30%, karena itu biasanya dianjurkan untuk
menggunakan brace (alat penyangga) untuk membantu memperlambat
progresivitas kelengkungan tulang belakang. Brace dari Milwaukee &
Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi harus
dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun
neuromuskuler. Jika kelengkungan mencapai 40% atau lebih, biasanya
dilakukan pembedahan. Pada pembedahan dilakukan perbaikan
kelengkungan dan peleburan tulang-tulang. Tulang dipertahankan pada
tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai
tulang pulih (kurang dari 20 tahun). Sesudah dilakukan pembedahan
mungkin perlu dipasang brace untuk menstabilkan tulang belakang.
Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot tulang
belakang dirangsang dengan arus listrik rendah untuk meluruskan tulang
belakang.

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
A. Pemeriksaan Fisik
a. Mengkaji skelet tubuh : Adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertusmbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang.
Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak
dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang

27
panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya
menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang), Kifosis
(kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada), Lordosis
(membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
berlebihan)
c. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas,
stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
d. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi,
dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk
mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila
salah satu ekstremitas lebih pendek
dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan
dengan caraberjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic
hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah –
penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit
Parkinson).
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas
atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer
dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan
waktu pengisian kapiler.

2. Diagnosa Keperawatan
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru

28
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh yang
tidak seimbang
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan dengan
postur tubuh yang miring kelateral
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya

3. Intervensi Keperawatan
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru
Tujuan: Pola napas efektif
Intervensi :
1) Kaji status pernapasan setiap 4 jam
2) Bantu dan ajarkan pasien melakukan napas dalam setiap 1 jam
3) Atur posisi tidur semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru
4) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi napas setiap 2 jam
5) Pantau tanda vital setiap 4 jam
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
Tujuan: nyeri berkurang/ hilang
Intervensi :
1) Kaji tipe, intensitas, dan lokasi nyeri
2) Atur posisi yang dapat meningkatkan rasa nyaman
3) Pertahankan lingkungan yang tenang untuk meningkatkan
kenyamanan
4) Ajarkan relaksasi dan teknik distraksi untuk mengalihkan
perhatian, sehingga mengurangi nyeri
5) Anjurkan latihan postural secara rutin untuk memperbaiki posisi
tubuh

29
6) Ajarkan dan anjurkan pemakaian brace untuk mengurangi nyeri
saat aktivitas
7) Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk meredakan nyeri
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh yang
tidak seimbang
Tujuan: meningkatkan mobilitas fisik
Intervensi :
1) Kaji tingkat mobilitas fisik
2) Tingkatkan aktivitas jika nyeri berkurang
3) Bantu dan ajarkan latihan rentang gerak sendi aktif
4) Libatkan keluarga dalam melakukan perawatan diri
5) Tingkatkan kembali ke aktivitas normal
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan dengan
postur tubuh yang miring kelateral
Tujuan: meningkatkan citra tubuh
Intervensi :
1) Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan masalahnya
2) Beri lingkungan yang mendukung
3) Bantu pasien untuk mengidentifikasi gaya koping yang positif
4) Beri harapan yang realistik dan buat sasaran jangka pendek
untuk memudahkan pencapaian
5) Beri penghargaan untuk tugas yang dilakukan
6) Beri dorongan untuk melakukan komunikasi dengan orang
terdekat dan memerlukan sosialisasi dengan keluarga serta
teman
7) Beri dorongan untuk merawat diri sesuai toleransi
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya
Tujuan: pemahaman tentang program pengobatan
Intervensi :
1) Jelaskan tentang keadaan penyakitnya

30
2) Tekankan pentingnya dan keuntungan mempertahankan
program latihan yang di anjurkan
3) Jelaskan tentang pengobatan: nama, jadwal, tujuan, dosis, dan
efek sampingnya
4) Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
5) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter

2.1.4. Konsep Asuhan Keperawatan Poliomylitis


A. Definisi
Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus
polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh layuh
akut (AFP=Acute Flaccid Paralysis).
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke
sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralysis).
Poliomyelitis adalah radang akut pada sumsum tulang belakang karena
virus, dengan gejala demam, sakit leher, sakit kepala, muntah, kaku
tengkuk dan punggung, sering kali menyerang tanduk depan zat kelabu
sumsum belakang.

B. Etiologi
Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus virus, dibagi tiga
yaitu :
1. Brunhilde (virus Tipe 1)
2. Lansing (virus Tipe 2)
3. Leon (virus Tipe 3)
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel, infeksi
dapat terjadi oleh satu atau lebih tipe tersebut yang dapat dibuktikan

31
dengan ditemukan 3 macam zat anti dalam serum seorang pasien.
Epidemik yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh virus tipe
1, epidemik yang ringan oleh tipe 3, kadang-kadang menyebabkan
kasus yang sporadik.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-
tahun dalam deep freezer. Dapat tahan terhadap banyak bahan
kimia termasuk sulfonamida, antibiotika, eter, fenol, dan gliserin.
Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida atau kalium
permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia
walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat. Masa inkubasi
biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang terdapat kasus dengan
masa inkubasi 3-35 hari.

C. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari poliomyelitis dapat berupa asimtomatis (silent
infection), poliomyelitis abortif, poliomyelitis non paralitik, dan
poliomyelitis paralitik, Poliomielitis yang terbagi menjadi empat bagian
tersebut :
1. Poliomielitis Asimtomatis, Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak
terdapat gejala karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak
terdapat gejala klinik sama sekali.
2. Poliomielitis Abortif, Timbul mendadak langsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejala berupa infeksi virus seperti malaise,
anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Poliomielitis Non Paralitik, Gejala klinik hampir sama dengan
poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih
hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti
penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini

32
dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior.
4. Poliomielitis Paralitik, Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik
disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau kranial.
Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan paralysis fesika urinaria
dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
a. Bentuk spinal : Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b. Bentuk bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak
dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan
sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal : Didapatkan gejala campuran antara bentuk
spinal dan bentuk bulbar.
d. Kadang ensepalitik, Dapat disertai gejala delirium, kesadaran
menurun, tremor dan kadang kejang.

Masa inkubasi poliomyelitis umumnya berlangsung selama 6-20


hari dengan kisaran 3-35 hari. Respon terhadap infeksi virus polio
sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio
termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis.

D. Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan saraf tertentu. Tidak
semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila
ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4
minggu sesudah timbul gejala. Polio akut disebabkan oleh asam
ribonukleat kecil (RNA) virus dari kelompok enterovirus dari keluarga
picornavirus. Inti RNA beruntai tunggal dikelilingi oleh protein kapsid
tanpa amplop lipid, yang membuat virus polio tahan terhadap pelarut

33
lemak dan stabil pada pH rendah. Tiga antigen strain berbeda diketahui,
dengan tipe I akuntansi untuk 85% dari kasus penyakit lumpuh. Infeksi
dengan satu jenis tidak melindungi dari jenis lain, namun kekebalan
untuk masing-masing 3 strain adalah seumur hidup.
Enterovirus dari polio menginfeksi saluran usus manusia terutama
melalui jalur fecal-oral (tangan ke mulut). Virus-virus berkembang biak di
mukosa saluran pencernaan orofaringeal dan rendah selama 1-3 minggu
pertama masa inkubasi.. Virus dapat dikeluarkan dalam air liur dan
kotoran selama periode ini, menyebabkan sebagian besar host-to-host
transmisi. Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke kelenjar
getah bening leher dan mesenterika dan kemudian ke dalam aliran darah
Hanya 5% dari pasien yang terinfeksi memiliki keterlibatan sistem saraf
selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi di situs
extraneural viremia mempertahankan dan meningkatkan kemungkinan
bahwa virus akan memasuki sistem saraf.
Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang
darah-otak atau dengan transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus
precentral, thalamus, hipothalamus, motor inti batang otak dan
sekitarnya formasi reticular, inti vestibular dan cerebellum, dan neuron
dari kolom anterior dan intermediat sumsum tulang belakang. Sel-sel
saraf mengalami khromatolisis pusat bersama dengan reaksi inflamasi
sedangkan perbanyakan virus mendahului timbulnya kelumpuhan.
Karena proses khromatolisis berlangsung lebih lanjut, kelumpuhan otot
atau bahkan atropi muncul bila kurang dari 10% dari neuron bertahan di
segmen kabel yang sesuai. Gliosis terjadi ketika inflamasi menyusup
telah mereda, tetapi neuron yang masih hidup yang paling menunjukkan
pemulihan penuh.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :

34
a. Pemeriksaan darah :Hitung darah lengkap (CBC), karena
leukositosis mungkin ada.
b. Cairan serebrospinal : Cairan cerebrospinal (CSF) tekanan dapat
ditingkatkan. Pleositosis (neutrofil dalam beberapa hari pertama,
maka limfosit) dapat dicatat dalam CSF selama periode sebelum
timbulnya kelumpuhan pada polio akut. Kandungan protein CSS
mungkin meningkat sedikit dengan glukosa normal, kecuali pada
pasien dengan kelumpuhan berat, yang mungkin menunjukkan
peningkatan protein untuk 100-300 mg / dL selama beberapa
minggu.
c. Isolasi virus polio
Melakukan pemulihan virus dari tenggorokan mencuci, budaya
tinja, biakan darah, dan budaya CSF. Serta studi virus dalam
spesimen tinja sangat penting untuk diagnosis penyakit polio.
Selain itu, juga dapat dengan cara seperti di bawah ini :
1) Recover virus dari tenggorokan mencuci pada minggu
pertama dan budaya tinja dari 2-5 minggu pertama.
2) Dalam kasus yang jarang terjadi, virus dapat diisolasi dari CSF
atau serum, berbeda dengan penyakit lumpuh yang
disebabkan oleh enterovirus lainnya.
3) Tes ini memerlukan tambahan demonstrasi kenaikan 4 kali
lipat titer antibodi virus untuk membuat diagnosis spesifik.
2. Pemeriksaan Radiologi
Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin menunjukkan
lokalisasi peradangan pada tanduk anterior sumsum tulang
belakang.

F. Penatalaksanaan
1. Poliomielitis Abortif :
a. Diberikan analgetik dan sedatif
b. Diet adekuat

35
c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya
dicegah aktifitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian
diperiksa neuroskeletal secara teliti.
2. Poliomielitis Non Paralitik
a. Sama seperti abortif
b. Selain diberi analgetik dan sedatif dapat dikombinasikan dengan
kompres hangat selama 15–30 menit,setiap 2–4 jam.
3. Poliomielitis Paralitik
a. Perawatan dirumah sakit
b. Istirahat total
c. Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
d. Fisioterapi
e. Akupuntur
4. Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan
muntah
b. Hipertermi b/d proses infeksi
c. Resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan
nafas b/d paralysis otot
d. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf
e. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis
f. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

2. Intervensi Keperawatan
A. Dx 1 : Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia,
mual dan muntah
Intervensi :

36
1) Kaji pola makan anak
Rasional : Mengetahui intake dan output anak
2) Berikan makanan secara adekuat
Rasional : Untuk mencakupi masukan sehingga output dan
intake seimbang
3) Berikan nutrisi kalori, protein, vitamin dan mineral.
4) Timbang berat badan
Rasional : Mengetahui perkembangan anak
5) Berikan makanan kesukaan anak
Rasional :Menambah masukan dan merangsang anak untuk
makan lebih banyak
6) Berikan makanan tapi sering
Rasional : Mempermudah proses pencernaan
B. Dx 2 : Hipertermi b/d proses infeksi
1) Pantau suhu tubuh
Rasional : Untuk mencegah kedinginan tubuh yang berlebih
jangan pernah menggunakan usapan alcohol saat
mandi/kompres
2) Kompres mandi hangat durasi 20-30 menit
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam

C. Dx 3 : Resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan


jalan nafas b/d paralysis otot
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman
Rasional : Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi dapat
mencegah komplikasi.
2) Auskultasi bunyi nafas
Rasional : Mengetahui adanya bunyi tambahan
3) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi duduk tinggi
atau semi fowler
Rasional : Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru

37
4) Berikan tambahan oksigen
Rasional : Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru

D. Dx 4 : Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf


1) Lakukan strategi non farmakologis untuk membantu anak
mengatasi nyeri
Rasional : Theknik-theknik seperti relaksasi, pernafasan
berirama, dan distraksi dapat membuat nyeri dan dapat lebih di
toleransi
2) Libatkan orang tua dalam memilih strategi
Rasional : Karena orang tua adalah yang lebih mengetahui anak
3) Ajarkan anak untuk menggunakan strategi non farmakologis
khusus sebelum nyeri.
Rasional : Pendekatan ini tampak paling efektif pada nyeri
ringan
4) Minta orang tua membantu anak dengan menggunakan srtategi
selama nyeri
Rasional : Latihan ini mungkin diperlukan untuk membantu anak
berfokus pada tindakan yang diperlukan

E. Dx 5 : Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis


1) Tentukan aktivitas atau keadaan fisik anak
Rasional : Memberikan informasi untuk mengembangkan
rencana perawatan bagi program rehabilitasi.
2) Catat dan terima keadaan kelemahan (kelelahan yang ada)
Rasional : Kelelahan yang dialami dapat mengindikasikan
keadaan anak
3) Indetifikasi factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk
aktif seperti pemasukan makanan yang tidak adekuat.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memecahkan
masalah untuk mempertahankan atau meningkatkan mobilitas

38
4) Evaluasi kemampuan untuk melakukan mobilisasi secara aman
Rasional : Latihan berjalan dapat meningkatkan keamanan dan
efektifan anak untuk berjalan.

F. Dx 6 : Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.


1) Kaji tingkat realita bahaya bagi anak dan keluarga tingkat
ansietas
Rasional : Respon keluarga bervariasi tergantung pada pola
kultural yang dipelajari.
2) Nyatakan retalita dan situasi seperti apa yang dilihat keluarga
tanpa menayakan apa yang dipercaya.
Rasional : Pasien mugkin perlu menolak realita sampai siap
menghadapinya.
3) Sediakan informasi yang akurat sesuai kebutuhan jika diminta
oleh keluarga.
Rasional : Informasi yang menimbulkan ansietas dapat
diberikan dalam jumlah yang dapat dibatasi setelah periode
yang diperpanjang.
4) Hidari harapan-harapan kosong
Rasional : Harapan-harapan palsu akan diintervesikan sebagai
kurangnya pemahaman atau kejujuran.

2.1.5. Konsep Asuhan Keperawatan CTEV


A. Definisi
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa
disebut Clubfoot merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi
normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas
yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi
dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery,
Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot),

39
menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan
penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari
kata equino (meng.kuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial).

B. Etiologi
Etiologi Congenital Talipes Equino Varus sampai saat ini belum diketahui
pasti tetapi diduga ada hubunganya dengan : Persistence of fetal
positioning, Genetic, Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu sedikit
pada waktu hamil(oligohidramnion), Neuromuscular disorder (Kadang
kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina Bifida
atau displasia dari rongga panggul). Ada beberapa teori yang
kemungkinan berhubungan dengan CTEV :
1. Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang tidak
dibuahi dan muncul sebelum fertilisasi.
2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang
mengimplikasikan defek terjadi antara masa konsepsi dan minggu ke-
12 kehamilan
3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain
hambatan temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau
sekbvitar minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi
suatu deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi
setelah minggu ke-9, terjadilah deformitasclubfoot yang ringan hingga
sedang. Teori hambatan perkembangan ini dihubungkan dengan
perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai
“Cronon”.“Cronon” ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi
progresif setiap struktur tubuh semasa perkembangannya.
Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun
umum) yang menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon)
4. Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan
akibatintrauterine crowding.

40
5. Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
6. Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.
7. Sindrom Edward, yang merupakan kelainan genetic pada kromosom
nomer 18
8. Pengaruh luar seperti penekanan pada saat bayi masih didalam
kandungan dikarenakan sedikitnya cairan ketuban (oligohidramnion)
9. Dapat dijumpai bersamaan dengan kelainan bawaan yang lain seperti
spina bifida
10. Penggunaan ekstasi oleh ibu saat sedang mengandung

C. Tanda dan Gejala


1. Tidak adanya kelainan congenital lain
2. Berbagai kekakuan kaki
3. Hipoplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan
4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki
terlihat relatif memendek.
5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur
atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian
belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat
lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang
sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit
terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan
dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang membedakan dengan kaki
equinovarus paralisis dan postural atau positional karena posisi intra
uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal.
Luas gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat
didorsofleksikan ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan
menyebabkan terjadinya deformitas rocker-bottomdengan posisi
tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus

41
lateralis akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi dan
dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan maleoulus
lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan korpus talus pada
bagian bawahnya.
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami
pergeseran medial, plantar dan terlambat pada maleolus medialis,
tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang
navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85°
menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke medial.
8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot
tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur
sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang. Otot-otot
ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari
kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang
normal.
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan
adanya spina bifida. Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan
bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi atau
dislokasi.

D. Patofisiologi
Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi
abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain
mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embryonic
yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi
pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase
tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh
tekanan intrauterine.

42
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki, dan bilateral pada 50 %
kasus. Kemungkinan terjadinya deformitas secara acak adalah 1 : 1000
kelahiran. Pemeriksaan pada bayi kaki pekuk menunjukkan equinus kaki
belakang, varus kaki belakang dan kaki tengah, adduksi kaki depan dan
berbagai kekakuan. Semua temuan ini adalah akibat dislokasi medial
sendi talonavikuler. Pada anak yang lebih tua, atrofi betisdan kaki lebih
nyata daripada bayi, tanpa memandang seberapa baik kaki terkoreksi
atau fungsionalnya.

E. Pemeriksaan Penunjang
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan
ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran.

F. Penatalaksanaan
Sekitar 90-95% kasus club foot bisa di-treatment dengan tindakan non-
operatif. Penanganan yang dapat dilakukan pada club foot tersebut
dapat berupa :
1. Non-Operative :
Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan
untuk penanganan remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan
didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu : koreksi dari
deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot
normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas.
Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial
“cast” yang dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan
koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan latihan stretching
dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari struktur yang
lemah pada sisi lateral.

43
Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari
beberapa hari sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk
mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika
manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk
memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau
transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast”
sampai tujuan koreksi tercapai. Serial Plastering (manipulasi
pemasangan gibs serial yang diganti tiap minggu, selama 6-12
minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan
sepatu khusus, sampai anak berumur 16 tahun.
Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan
perawatan pada anak dengan anak dengan penggunaan “cast”.
Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga
perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting
pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi
yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan
pentingnya penggantian “cast” secara teratur untuk menunjang
penyembuhan.
Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan
menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang
normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau
therapi yang lama. Perawatan “cast” meliputi : Biarkan cast terbuka
sampai kering, Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi
dengan diganjal bantal pada hari pertama atau sesuai intruksi,
Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan
warna kulit dan laporkan bila ada perubahan yang abnormal, Cek
pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi
adanya rasa nyeri, Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama
tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot secara ringan, gerakkan sendi
diatas dan dibawah cast secara teratur, Istirahat yang lebih banyak

44
pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma, Jangan biarkan
anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda
kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak, Rasa gatal
dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi
cast dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat, Cast
sebaiknya dijauhkan dari dengan air
2. Operatif
Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :
a. Jika terapi dengan gibs gagal
b. Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
c. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang
mengalami kontraktur maupun dengan osteotomy. Osteotomy
biasanya dilakukan pada kasus club foot yang neglected/ tidak
ditangani dengan tepat
d. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu,
tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendo Achiles ; kalau
masih ada equinus, dilakuakan posterior release dengan
memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior,
dan kalau perlu, kapsul talokalkaneus. Varus kemudian
diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis medial
dan pemanjangan tendon tibialis posterior.(Ini Menurut BuKu
Appley).
e. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy.
Diatas umur 10 tahun atau kalau tulang kaki sudah mature,
dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri atas reseksi dan
koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art. talokalkaneus, art.
talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid.

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian

45
A. Biodata klien : Mengkaji identitas klien dan penanggung yang
meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, dan alamat. bayi laki-laki dua kali
lebih banyak menderita kaki bengkok daripada perempuan.
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survei
membuktikan dari 4 orang kasus Club foot, maka hanya satu saja
seorang perempuan. Itu berarti perbandingan penderita
perempuan dengan penderita laki-laki adalah 1:3 dan 35% terjadi
pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot.
B. Keluhan Utama : Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah
sakit karena adanya keadaan yang abnormal pada kaki anak yaitu
adanya berbagai kekakuan kaki, atrofi betis kanan, hipoplasia
tibia, fibula dan tulang-tulang kaki ringan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan sampai saat klien pergi ke
Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti Klien tidak
mengalami keluhan apa-apa selain adanya keadaan yang
abnormal pada kakinya.
D. Riwayat penyakit keluarga : Dapat dikaji melalui genogram dan
dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit
turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
E. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal
a) Antenatal : Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah
diderita serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi
penyakitnya, berapa kali perawatan antenatal , kemana serta
kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang pernah
diminum serat kebiasaan selama hamil.
b) Natal : Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum,
ekstraksi forcep, section secaria dan gamelli), presentasi
kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat
lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa

46
kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak
menangis spontan atau tidak.
c) Postnatal : Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah
yang berhubungan dengan gagguan sistem, masalah nutrisi,
perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi dan respon
lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya ashyksia, trauma
dan infeksi.
F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Berat badan, lingkar
kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat
perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, halus,
social, dan bahasa.
G. Riwayat Kesehatan Keluarga : Sosial , perkawinan orang tua,
kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga yan harmonis dan
pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiaadat,
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan intelektual
dan pengetahuan serta ketrampilan anak. Disamping itu juga
berhubungan dengan persediaan dan pengadaan bahan pangan,
sandang dan papan.
H. Riwayat Imunisasi : Riwayat imunisasi anak sangat penting,
dengan kelengkapan imunisasi pada anak mencegah terjadinya
penyakit yang mungkin timbul. Meliputi imunisai BCG, DPT, Polio,
campak dan hepatitis.
I. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI.
pada umur anak tertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan
jenis, takaran dan frekuensi) pemberiaannya serta makanan
tambahan yang diberikan. Adakah makanan yan disukai,
alergi atau masalah makanan yang lainnya)
b) Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada
anak perlu dikaji BAB atau BAK (Konsistensi, warna, frkuensi

47
dan jumlah serta bau). Bagaimana tingkat toileting trining
sesuai dengan tingkat perkembangan anak
c) Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai
anak pada usia sekelompoknya mengalami kemunduran
atau percepatan.
d) Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah
gangguan tidur, hal-hal yang mengganggu tidur dan yang
mempercepat tidur.
e) Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak
apakah sudah mandiri atau masih ketergantuangan
sekunder pada orang lain atau orang tua.
J. Pemeriksaan Fisik
a) Pantau status kardiovaskuler
b) Pantau nadi perifer
c) Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk
memastikan sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas
tersebut
d) Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi
jari diantara kulit ekstremitasdengan gips setelah gips kering
e) Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:Nyeri, Bengkak,
Rasa dingin, Sianosis atau pucat
f) Kaji sensasi jari kaki : Minta anak untuk menggerakkan jari
kaki, Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang
tidak mampu berespon terhadap perintah, Laporkan dengan
segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan sirkulasi,
Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan
g) Periksa suhu (gips plester) : Reaksi kimia pada proses
pengeringan gips, yang meningkatkan panas, Evaporasi air,
yang menyebabkan kehilangan panas
h) Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan

48
i) Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda yang
terkadang dimasukkan oleh anak yang masih kecil
j) Observasi adanya tanda-tanda infeksi: Periksa adanya
drainase, Cium gips untuk adanya bau menyengat, Periksa
gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan infeksi
dibawah gips, Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi
dan ketidaknyamanan
k) Observasi kerusakan pernapasan (gips spika) : Kaji ekspansi
dada anak, Observasi frekuensi pernafasan, Observasi
warna dan perilaku
l) Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka):
Batasi area perdarahan
m) Kaji kebutuhan terhadap nyeri

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan adanya gips,
pembengkakan jaringan, kemungkinan kerusakan saraf
b. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera
fisik
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
gips

3. Intervensi Keperawatan

No DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL

KEPERAWATAN KRITERIA HASIL

1. Resiko tinggi Tujuan : 1. Tinggikan 1. Untuk

cidera Pasien tidak ekstremitas menurunkan

berhubungan mengalami yang di gips pembengkakan,

49
dengan adanya kerusakan 2. Kaji bagian karena

gips, kerusakan gips yang peninggian

pembengkakan neurologis atau terpajan untuk ekstremitas

jaringan, sirkulasi dan mengetahui meningkatkan

kemungkinan Pasien adanya nyeri, aliran balik vena

kerusakan saraf mempertahankan , nyeri


2. Adanya tanda-

integritas gips bengkak, tanda tersebut

perubahan menandakan
Kriteria Hasil:
warna terjadinya
– Jari kaki
(sianosis atau gangguan
hangat, merah
pucat), sirkulasi
muda, sensitif, dan
pulsasi, 3. Karena
menunjukkan
hangat, dan penekanan dapat
pengisian kapiler
kemampuan menyebabkan
dengan segera
untuk area tekan
– Gips
bergerak 4. Untuk melindungi
mengering dengan
3. Rawat gips tepi gips dan
cepat, tetap bersih
basah dengan mencegah iritasi
dan utuh
telapak kulit

tangan, 5. Untuk

hindari mengeringkanny

penekanan a dari dalam

gips dengan keluar

50
ujung jari
6. Karena dapat

(gips plester) terjadi luka bakar

4. Tutupi tepi dan gips hanya

gips yang akan kering di

kasar dengan bagian luar tetapi

” petal” adesif tidak di bagian

5. Jangan dalam

menutupi gips
7. Untuk sirkulasi

yang masih udara

basah 8. Agar area tetap

6. Jangan bersih dan tidak

mengeringka terjadi abrasi

n gips dengan

kipas

pemanas atau

pengering

7. Gunakan

kipas biasa di

lingkungan

dengan

kelembaban

tinggi

51
8. Bersihkan

area yang

kotor dari gips

dengan kain

basah dan

sedikit

pembersih

putih yang

rendah

abrasif.

2 Gangguan rasa Tujuan : 1. Berikan posisi


1. Mengurangi

nyaman (Nyeri) ketidaknyamanan yang nyaman, ketegangan

berhubungan yang dialami pasien gunakan ekstremitas yang

dengan cidera tidak ada atau bantal untuk di gips

fisik minimal menyokong

52
Kriteria Hasil: area 2. Untuk mencegah

– Anak tidak dependen nyeri

menunjukkan bukti-
2. Bila perlu
3. Udara dingin

bukti batasi dapat

ketidaknyamanan aktivitas yang mengurangi rasa

melelahkan gatal
– ketidaknyaman
3. Hilangkan 4. Karena substansi
an minor dapat
rasa gatal ini mempunyai
ditoleransi
dibawah gips kecenderungan

dengan udara untuk

dingin yang ”menggumpal”

ditiupkan dari dan menimbulkan

spuit asepto, iritasi

fan, atau

pengering

rambut.

4. Hindari

menggunaka

n bedak atau

lotion

dibawah gips

53
3 Resiko tinggi Tujuan : 1. Pastikan 1. Tepi gips yang

kerusakan Pasien tidak bahwa semua tidak halus dapat

integritas kulit mengalami iritasi tepi gips halus mengiritasi kulit

berhubungan kulit dan bebas


2. Untuk mencegah

dengan gips dari proyeksi trauma kulit


Kriteria Hasil :
pengiritasi 3. Untuk
Tidak ditemukannya
2. Jangan mendorong
tanda-tanda
membiarkan kepatuhan
kerusakan integritas
anak 4. Karena kulit yang
kulit
memasukkan tidak bersih dapat

sesuatu ke memicu

dalam gips timbulnya iritasi

3. Waspadai 5. Karena kulit

anak yang dapat teriritasi

lebih besar akibat adanya air

untuk tudak di dalam gips

memasukkan Karena gips akan

benda-benda mengeras

kedalam gips, dengan kulit

jelaskan terdeskuamasi

mengapa ini dan sekresi

penting sebasea

54
4. Jaga agar

kulit yang

terpajan tetap

bersih dan

bebas dari

iritan

5. Lindungi gips

selama

mandi,

kecuali jika

gips sintetik

tahan

terhadap air

6. Selama gips

dilepas,

rendam dan

basuh kulit

dengan

perlahan

BAB III

55
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan otak yang
menyebabkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi, psikologis dan
kognitif sehingga mempengaruhi belajar mengajar
Hidrocephalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau pernah dengan
tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan
tempat mengalirnya CSS.
Skoliosis adalah lengkungan atau kurvatura lateral pada tulang belakang
akibat rotasi dan deformitas vertebra.
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus.
CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi
dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of
Surgery, Schwartz).

56
DAFTAR PUSTAKA

Budiasih, Anggit Trias (2013) Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan Meningitis: Cerebral Palsy Di Ruang Melati II Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Diploma thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

TRILESTARI, TRILESTARI (2018) Asuhan Keperawatan Pada An. M Dengan


Hidrosefalus Post Pasang Shunting Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2018. Diploma thesis, STIKes PERINTIS
PADANG.

Sumarni, Sumarni (2020) HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN


GAMBARAN DIRI PASIEN ADOLESCENT IDIOPATHIC SCOLIOSIS (AIS) DI
RS ORTOPEDI PROF DR SOEHARSO SURAKARTA. Other thesis, STIKES
KUSUMA HUSADA SURAKARTA.

57

Anda mungkin juga menyukai