DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
ADINDA LIANADA : 11409719041
AGUS RUDIYANTO : 11409719042
AHMAD RAFIQ BASTIAN : 11409719043
CICI AFRIDA HASTUTI : 114097190
HAMISA EMELIA AZZAHRA : 114097190
INDRA ADI KUSUMU : 114097190
MAHLIANI MARGATIWI : 11409719059
MARZUKI HASAN : 11409719060
MIRANDA ANGRAINI : 114097190
MUHAMMAD ARYA RIDHONI : 11409719062
MUHAMMAD RAMDANI : 11409719064
RIO ALDINO : 11409719069
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas izin, kuasa dan
perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Kebutuhan Aktivitas
Patologis Dari Sistem Persyarafan dan Muskuloskeletal (Cerebral Palcy,
Hydrochepalus, Scoliosis, Poliomyelitis, dan CTEV)”.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG.........................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................1
1.3. TUJUAN...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
2.1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Patologis Dari Sistem Persyarafan dan
Muskuloskeletal..............................................................................2
2.1.1. Konsep Asuhan Keperawatan Cerebral Palcy…………….
2.1.2. Konsep Asuhan Keperawatan Hydrochepalus……………
2.1.3. Konsep Asuhan KeperawatanScoliosis……………………
2.1.4. Konsep Asuhan Keperawatan Poliomylitis………………..
2.1.5. Konsep Asuhan Keperawatan CTEV………………………..
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
Mengetahui pengertian, prinsip, dan konsep asuhan keperawatan pada anak
menglami gangguan kebutuhan aktivitas patologis sari sistem persyarafan
san muskuloskletal
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Etiologi
Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab Cerebral Palsy berbeda–
beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi antara
lain : terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik sakit sejak
dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat
badan lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat
rendah, yang berisiko Cerebral Palsy dan terminologi tentang anak–
anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko
mengalami Cerebral Palsy setelah masa kanak–kanak. (Swaiman,
1998). Cerebral Palsydapat disebabkan faktor genetik maupun faktor
lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita
kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar
3
disebabkan faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995) Waktu terjadinya
kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal,
perinatal dan postnatal.
4
koordinasi muskular sehingga gerakan–gerakan yang dihasilkan
mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal.
b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan
involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala
melakukan gerakan stereotype.
c. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan
kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun
5
lengan dapat menghasilkan gerakan yang mendekati kekuatan
dan koordinasi normal.
d. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
ektrapiramidal, seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.
a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak
memerlukan pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil,
dapat bersekolah biasa, aktifitas kehidupan sehari–hari 100 %
dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi
ialah brace, tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat
berfungsi sebagai pengontrol gaya berat badan. Sebagian besar
aktifitas kehidupan sehari–hari dapat dilakukan sendiri dan dapat
bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk,
merangkak atau mengesot, dapat bergaul dengan teman–
temannya sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa
keindahan masih ada, aktifitas kehidupan sehari–hari perlu
bantuan, tetapi masih dapat bersekolah. Alat ambulasi yang tepat
ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki,
kebutuhan hidup yang vital (makan dan minum) tergantung pada
6
orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat ambulasi,
kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.
D. Patofisiologi
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron
dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran suci
dan berat otak rendah. Cerebral palsy digambarkan sebagai kekacauan
pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacad non
progresive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi
cerebral palsy dapat diakibatkan dengan suatu dasar kelainan
(struktural otak: awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-
luka/kerugian setelah melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan
vaskuler, toksin atau infeksi). Dalam beberapa kasus manifestasi atau
etiologi dapat berhubungan dengan daerah anatomi. Misal cerebral
palsy yang berhubungan dengan kelahiran prematur yang disebabkan
oleh infark hipoksia atau perdarahan dengan leukomalasia didaerah
yang berdekatan dengan ventrikel lateral dalam antetoid jenis cerebral
palsy yang disebabkan oleh kenikterus dan kelainan genetik
metabolisme seperti gangguan mitokondria. Hemiplegia cerebral palsy
sering dikaitkan dengan serangan sereberal vokal sekunder ke intra
uterin atau trombo emboli perinatal biasanya akibat trombosis ibu atau
gangguan pembekuan herediter (Wilson 2007)
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah
diagnosis cerebral palsy ditegakkan.
2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada cerebral palsy CSS
normal.
7
3. Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada
golongan, hemiparesis baik yang disertai kejang maupun tidak.
4. Foto rontgent kepala.
5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang
dibutuhkan.
6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari
retardasi mental.
F. Penatalaksanaan
a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini
perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter
anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT,ahli ortopedi,
psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua pasien.
b. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur
perlu dipehatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi
pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan.
Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.
c. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi
kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien
dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan.
d. Obat-obatan
Tidak ada obat untuk cerebral palsy tetapi pelatihan otot awal dan
latihan khusus dapat bermanfaat dimulai sebelum anak
mengembangkan kebisaan yang salah dan pola otot yang salah.
Pencegahan komplikasi dan membantu individu untk menjalankan
8
kehidupan sepenuhnya, hanya dibatasi oleh ggn otot dan ggn sensori
(Wilson 2007 ).
e. Keperawatan
Masalah bergantung dari kerusakan otak yang terjadi. Pada
umumnya dijumpai adanya gangguan pergerakan sampai retardasi
mental, dan seberapa besarnya gangguan yang terjadi bergantung
pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Dewasa ini
gangguan dari pertumbuhan atau perkembangan janin dirumah-
rumah bersalin yang telah maju sudah dapat dideteksi sejak dini bila
kehamilan dianggap berisiko. Juga ramalan mengenai ramalan bayi
dapat diduga bila mengetahui keadaan pada saat perinatal (lihat
penyebab). Disinilah peranan perawat dapat ikut mencegah kelainan
tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan ialah :
a. Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang
berisiko (baca status bayi secera cermat mengenai riwayat
kehamilan/kelahirannya). Jika dijumpai adanya kejang atau
sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera
memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan
semestinya.
b. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan
pada otak walaupun selama diruang perawatan tidak terjadi
kelainan agar dipesankan pada orang tua atau ibunya jika
melihat sikap bayi yang tidak normal supaya segera dibawa
konsultasi kedokter.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
A. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan
B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk bergerak
9
C. Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot
(ataksia)
D. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan diseksi arteri
2. Intervensi Keperawatan
NOC
Domain : II- physiologic Health
Classes : K. Digestion & Nutrition
Outcomes : 1008 Nutritional status : food and fluid intake
NIC
Domain : 1. Physiological: Basic
Classes : D. Nutrition Support
Interventions : 1030 Eating Disorders Management
Intervensi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
2. Monitor adanya penurunan berat badan dan gula darah
3. Monitor lingkungan selama makan
4. Monitor intake dan output cairan
5. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan
6. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan cavitas oral
NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
10
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616Body Mechanics Performance
NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : O. Behaviour Therapy
Interventions : 4310 Activity Therapy
Intervensi :
1. Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu
2. Berkolaborasi dengan okupasi terapis, fisik, atau rekreasi dalam
perencanaan dan monitoring program kegiatan
3. Membantu pasien untuk memilih kegiatan dan tujuan prestasi bagi
kegiatan sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
4. Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi cacat di tingkat
aktivitas
5. Mendorong keterlibatan dalam kegiatan kelompok atau terapi
6. Memberikan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot
7. Membantu pasien dan keluarga untuk memantau kemajuan sendiri
terhadap pencapaian tujuan
NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616 Body Mechanics Performance
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien tidak
mengalami trauma dengan kriteria hasil:
1. Tidak ditemukan adanya keseleo
2. Tidak adanya mobilitas gangguan pada otot
3. Pasien terbebas dari trauma fisik
NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk management
11
Interventions : 6486 Environmental Management : Safety
Intervensi :
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu.
2. Menghindari lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
3. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
4. Menempatkan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Memindahkan barang – barang yang dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit
NOC
Domain : II- Physiologic Health
Classes : E – Cardiopulmonary
Outcomes : 0406 Tissue Perfusion: Cerebral
NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk Management
Interventions : 6680 Vital Signs Monitoring
Intervensi :
1. Pantau tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
2. Pantau tekanan darah setelah pasien telah mengambil obat
3. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum, selama dan setelah
aktivitas
4. Memantau warna kulit, suhu, dan kelembaban
5. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
6. Monitor level kebingungan dan orientasi
7. Monitor tonus otot pergerakan
8. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
12
9. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
B. Etiologi
Hidrosefalus disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan di dalam otak. Akibatnya, cairan di dalam otak
terlalu banyak dan membuat tekanan dalam kepala meningkat. Kondisi
ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang meliputi: Aliran cairan
otak yang tersumbat.
13
D. Patofisiologi
Produksi CSF terutama tergantung pada transporalselsan, terutama
natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus koroideus ke
dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan
keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam
ventrikel otak. Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel
keempat, masuk ke dalam ruang subarakhnoid melalui foramena
lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula
spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel.
Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelainan kongenital.
a. Stenosis akuaduktus sylvii.
b. Anomali pembuluh darah.
c. Spino bifida dan kranium bifidi.
d. Sindrom Dandy-walker.
2. Infeksi.
Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak)
sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya
meningitis.
Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu :
a. TORCH.
b. Kista-kista parasit.
c. Lues kongenital.
3. Trauma.
Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak
dapat menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal
otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan
terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.
14
4. Neoplasma.
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang
dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara
lain:
a. Tumor ventrikel III
b. Tumor fossa posterior.
c. Pailloma pleksus khoroideus.
d. Leukemia, limfoma
5. Degeneratif.
Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe.
6. Gangguan vaskuler.
a. Dilatasi sinus dural.
b. Trombosis sinus venosus.
c. Malformasi V. Galeni.
d. Ekstaksi A. Basilaris.
e. Arterio venosus malformasi.
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala
dan tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak
terdiagnosis sampai dewasa, dengan demikian perlu adanya ketelitian
dlam menangani penderita yang diduga menderita hidrosefalus, mulai
dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis.
1. Aloamnanesis/ amnanesis.
Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus
kongenital atau akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm
dan merupakan kelahiran anak yang keberapa adalah penting
sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga
15
menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid
yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Demikian juga
riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu
dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas,
perkembangan mental, kecerdasan serta riwayat nyeri kepala,
muntah-muntah, gangguan visus dan adanya bangkitan kejang.
2. Pemeriksaan fisik.
Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala
terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak
seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah,
iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-
muntah. Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar,
fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse,
dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked
pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada
pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising
daerah posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan
kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan
tampak kurus.
3. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat
sebagai petunjuk penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan
kadar protein yang amat sangat terdapat pada papiloma pleksus
khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan
susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan
kadar glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi
meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula blastama dan
dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui
adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid
pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus.
Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya
16
infeksi yang disebabkan oleh TORCH. Penelitian sitologi kualitatif
pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor.
4. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta
pelebaran sutura. Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-
keadaan lain seperti adanya kalsifikasi periventrikuler sebagai
tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi
bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis.
Pemeriksaan ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya
pelebaran sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi, dan
untuk diagnosis kelainan selama masih dalam kandungan.
Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran
ventrikel. Disamping itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi
cairan serebrospinal yaitu dengan menyuntikkan kontras radio
opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras diikuti
dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap
cairan serebrospinal.
Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau
dilatasi ventrikel dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus
kolosum kurang dari 120 menunjukkan hidrosefalus komunikan,
bila lebih dari 120 mungkin hidrosefalus obstruksi.
F. Penatalaksanaan
Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan,
yaitu pemasangan shunting yang berfungsi sebagai drainage. Tindakan
ini bukan untuk menyembuhkan, namun untuk mengontrol gejala akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Pada hydrocephalus kongenital,
pembedahan pada bayi berpotensi komplikasi sehingga ahli bedah
saraf mungkin menunda melakukannya (terutama bayi prematur).
17
Untuk mengurangi progresifitas kerusakan otak, maka bayi
hydrocephalus dapat diberikan terapi farmakologi dahulu sampai
pembedahan aman dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan
intrakranial akut, biasa terjadi pada hydrocephalus didapat pada pasien
anak atau dewasa, diperlukan tindakan pembedahan secepatnya.
Beberapa kasus hydrocephalus didapat, pembedahan tidak diperlukan
karena etiologinya telah membaik, misalnya pada perdarahan
intraventrikular yang sudah reabsorbsi tanpa skar
2. Diagnosa Keperawatan
A. Perfusi jaringan tidak efektif: serebral b.d peningkatan tekanan
intrakranial, hipervolemia
B. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pusat persepsi
sensori.
C. Kerusakan intregritas kulit b.d penurunan mobilitas fisik,
defisiensi sirkulasi.
18
D. Resiko defisit volume cairan b.d mual, muntah, anoreksia
E. Perubahan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan
anggota keluarga
F. Kurang pengetahuan orang tua tentang penyakit, perawatan,
komplikasi b.d kurang informasi
3. Intervensi Keperawatan
19
hiperekstensi atau fleksi)
dan posisi netral (posisi
kepala sampai lumbal
ada dalam garis lurus).
Anjurkan anak dan
orang tua untuk
mengurangi aktivitas
yang dapat menaikkan
tekanan intrakranial atau
intraabdominal, misal:
mengejan saat BAB,
menarik nafas,
membalikkan badan,
batuk.
Monitor tanda kenaikan
tekanan intrakranial,
misalnya: iritabilitas,
tangis, sakit kepala,
mual muntah.
Monitor intake output
cairan setiap hari.
20
melengking, sakit
kepala, mual muntah.
Ukur lingkar kepala
dengan meteran/
midline.
Lakukan terapi auditori
Refleks patologis (-). dan stimuli taktil.
3 Kerusakan Monitor kondisi
intregritas kulit b.d fontanella mayor tiap 4
penurunan jam.
mobilitas fisik, Ubah posisi tiap 2 jam,
defisiensi sirkulasi pertimbangkan
perubahan posisi
kepala tiap 1 jam.
Gunakan lotion atau
minyak dan lindungi
posisi daerah kepala
dari penekanan.
Letakkan kepala pada
bantal karet atau
gunakan water bed
jika perlu.
Gunakan penggantian
alat tenun dari bahan
Setelah dilakukan yang lembut.
tindakan keperawatan: Stimuli daerah kepala
Eritema (-). setiap perubahan
Kulit kepala turgor posisi.
baik, utuh. Pertahankan nutrisi
Luka (-). sesuai program terapi.
4 Resiko defisit Setelah dilakukan Monitor intake output
21
volume cairan b.d tindakan keperawatan:
mual, muntah, makanan dan cairan.
anoreksia Hidrasi adekuat. Ukur dan observasi
Turgor kulit baik. tanda vital.
Membran mukosa Catat jumlah, frekuensi
lembab. dan karakter muntah.
Tanda vital normal. Timbang BB tiap hari.
Urin output 0,5-1 Kaji tanda-tanda
cc/ kgBB/ jam. dehidrasi.
22
perawatan, Ungkapkan bila ada informasi oleh
komplikasi b.d pengertian rencana team kesehatan lain
kurang informasi perawatan. untuk memperkuat
Menerima penjelasan.
kenyataan Beri dorongan pada
terhadap anaknya. orang tua untuk
Demonstrasikan mengekspresikan
perawatan yang perasaan dan harapan
diperlukan. dan partisipasi dalam
Mengetahui tanda perawatan anaknya
infeksi dan dengan perasaan yang
peningkatan menyenangkan.
tekanan Bantu orang tua untuk
intrakranial. dapat menerima
Menjelaskan kenyataan tentang
pengobatan yang perubahan dan
diberikan, minum perkembangan
obat sesuai anaknya.
rencana dan Yakinkan orang tua
mengerti efek bahwa anak
samping. membutuhkan kasih
sayang dan
keamanan.
Demonstrasikan
perawatan yang
diperlukan (bagaimana
mengecek fungsi
shunt, posisi anak),
berikan kesempatan
untuk mengulang
Beri penjelasan
23
tentang pengobatan.
Berikan dafatar nomor
telepon team
kesehatan untuk dapat
digunakan bila muncul
masalah.
24
muskuler) yang secara langsung menyebabkan deformitas.
(Nettina, Sandra M.)
B. Etiologi
Penyebab terjadinya skoliosis diantaranya kondisi osteopatik, seperti
fraktur, penyakit tulang, penyakit arthritis, dan infeksi. Pada skoliosis
berat, perubahan progresif pada rongga toraks dapat menyebabkan
perburukan pernapasan dan kardiovaskuler. (Nettina, Sandra M.)
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis :
1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu
kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk
yang menyatu
2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan
otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut, Cerebral palsy,
Distrofi otot, Polio, Osteoporosis juvenil.
3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.
25
D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk
ke depan sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang
terjadi. Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai
kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan :
1. Rontgen tulang belakang.
X-Ray Proyeksi Foto polos : Harus diambil dengan posterior dan
lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan
posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb
dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Kurva
structural akan memperlihatkan rotasi vertebra ; pada proyeksi
posterior-anterior, vertebra yang mengarah ke puncak prosessus
spinosus menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah
kurva diidentifikasi sewaktu tingkat simetri vertebra diperoleh
kembali.
2. Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur
kelengkungan tulang belakang) Skoliometer
Skoliometer adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai.
Cara pengukuran dengan skoliometer dilakukan pada pasien
dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena
posisi ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura,
sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan
membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurva
pada thorakal. Kemudian letakkan skoliometer pada apeks kurva,
biarkan skoliometer tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat
kurva. Pada screening, pengukuran ini signifikan apabila hasil
yang diperoleh lebih besar dari 5 derajat, hal ini biasanya
menunjukkan derajat kurvatura > 200 pada pengukuran cobb’s
angle pada radiologi sehingga memerlukan evaluasi yang lanjut.
26
3. MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).
E. Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat dan
lokasi kelengkungan serta stadium pertumbuhan tulang. Jika
kelengkungan kurang dari 20%, biasanya tidak perlu dilakukan
pengobatan, tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan secara
teratur setiap 6 bulan.
Pada anak-anak yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya
bertambah sampai 25-30%, karena itu biasanya dianjurkan untuk
menggunakan brace (alat penyangga) untuk membantu memperlambat
progresivitas kelengkungan tulang belakang. Brace dari Milwaukee &
Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi
harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak
berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun
neuromuskuler. Jika kelengkungan mencapai 40% atau lebih, biasanya
dilakukan pembedahan. Pada pembedahan dilakukan perbaikan
kelengkungan dan peleburan tulang-tulang. Tulang dipertahankan pada
tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai
tulang pulih (kurang dari 20 tahun). Sesudah dilakukan pembedahan
mungkin perlu dipasang brace untuk menstabilkan tulang belakang.
Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot tulang
belakang dirangsang dengan arus listrik rendah untuk meluruskan
tulang belakang.
27
Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang
tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada
tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya
menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang), Kifosis
(kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada), Lordosis
(membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
berlebihan)
c. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas,
stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
d. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi,
dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk
mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila
salah satu ekstremitas lebih pendek
dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan
dengan caraberjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic
hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah –
penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit
Parkinson).
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas
atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi
perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu
dan waktu pengisian kapiler.
2. Diagnosa Keperawatan
28
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh
yang tidak seimbang
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan
dengan postur tubuh yang miring kelateral
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya
3. Intervensi Keperawatan
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru
Tujuan: Pola napas efektif
Intervensi :
1) Kaji status pernapasan setiap 4 jam
2) Bantu dan ajarkan pasien melakukan napas dalam setiap 1
jam
3) Atur posisi tidur semi fowler untuk meningkatkan ekspansi
paru
4) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi napas setiap 2
jam
5) Pantau tanda vital setiap 4 jam
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
Tujuan: nyeri berkurang/ hilang
Intervensi :
1) Kaji tipe, intensitas, dan lokasi nyeri
2) Atur posisi yang dapat meningkatkan rasa nyaman
29
3) Pertahankan lingkungan yang tenang untuk meningkatkan
kenyamanan
4) Ajarkan relaksasi dan teknik distraksi untuk mengalihkan
perhatian, sehingga mengurangi nyeri
5) Anjurkan latihan postural secara rutin untuk memperbaiki
posisi tubuh
6) Ajarkan dan anjurkan pemakaian brace untuk mengurangi
nyeri saat aktivitas
7) Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk meredakan nyeri
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh
yang tidak seimbang
Tujuan: meningkatkan mobilitas fisik
Intervensi :
1) Kaji tingkat mobilitas fisik
2) Tingkatkan aktivitas jika nyeri berkurang
3) Bantu dan ajarkan latihan rentang gerak sendi aktif
4) Libatkan keluarga dalam melakukan perawatan diri
5) Tingkatkan kembali ke aktivitas normal
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan
dengan postur tubuh yang miring kelateral
Tujuan: meningkatkan citra tubuh
Intervensi :
1) Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan masalahnya
2) Beri lingkungan yang mendukung
3) Bantu pasien untuk mengidentifikasi gaya koping yang positif
4) Beri harapan yang realistik dan buat sasaran jangka pendek
untuk memudahkan pencapaian
5) Beri penghargaan untuk tugas yang dilakukan
6) Beri dorongan untuk melakukan komunikasi dengan orang
terdekat dan memerlukan sosialisasi dengan keluarga serta
teman
30
7) Beri dorongan untuk merawat diri sesuai toleransi
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya
Tujuan: pemahaman tentang program pengobatan
Intervensi :
1) Jelaskan tentang keadaan penyakitnya
2) Tekankan pentingnya dan keuntungan mempertahankan
program latihan yang di anjurkan
3) Jelaskan tentang pengobatan: nama, jadwal, tujuan, dosis,
dan efek sampingnya
4) Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
5) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter
B. Etiologi
31
Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus virus, dibagi
tiga yaitu :
1. Brunhilde (virus Tipe 1)
2. Lansing (virus Tipe 2)
3. Leon (virus Tipe 3)
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel,
infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih tipe tersebut yang dapat
dibuktikan dengan ditemukan 3 macam zat anti dalam serum
seorang pasien. Epidemik yang luas dan ganas biasanya
disebabkan oleh virus tipe 1, epidemik yang ringan oleh tipe 3,
kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadik.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-
tahun dalam deep freezer. Dapat tahan terhadap banyak bahan
kimia termasuk sulfonamida, antibiotika, eter, fenol, dan gliserin.
Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida atau kalium
permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia
walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat. Masa
inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang terdapat kasus
dengan masa inkubasi 3-35 hari.
32
anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Poliomielitis Non Paralitik, Gejala klinik hampir sama dengan
poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih
hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti
penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit
ini dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang
otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
4. Poliomielitis Paralitik, Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik
disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau
kranial. Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan paralysis fesika
urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara
lain :
a. Bentuk spinal : Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b. Bentuk bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak
dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan
dan sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal : Didapatkan gejala campuran antara
bentuk spinal dan bentuk bulbar.
d. Kadang ensepalitik, Dapat disertai gejala delirium, kesadaran
menurun, tremor dan kadang kejang.
33
D. Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan saraf tertentu.
Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama
dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam
3-4 minggu sesudah timbul gejala. Polio akut disebabkan oleh asam
ribonukleat kecil (RNA) virus dari kelompok enterovirus dari keluarga
picornavirus. Inti RNA beruntai tunggal dikelilingi oleh protein kapsid
tanpa amplop lipid, yang membuat virus polio tahan terhadap pelarut
lemak dan stabil pada pH rendah. Tiga antigen strain berbeda
diketahui, dengan tipe I akuntansi untuk 85% dari kasus penyakit
lumpuh. Infeksi dengan satu jenis tidak melindungi dari jenis lain,
namun kekebalan untuk masing-masing 3 strain adalah seumur hidup.
Enterovirus dari polio menginfeksi saluran usus manusia terutama
melalui jalur fecal-oral (tangan ke mulut). Virus-virus berkembang biak
di mukosa saluran pencernaan orofaringeal dan rendah selama 1-3
minggu pertama masa inkubasi.. Virus dapat dikeluarkan dalam air liur
dan kotoran selama periode ini, menyebabkan sebagian besar host-to-
host transmisi. Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke
kelenjar getah bening leher dan mesenterika dan kemudian ke dalam
aliran darah Hanya 5% dari pasien yang terinfeksi memiliki keterlibatan
sistem saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi di
situs extraneural viremia mempertahankan dan meningkatkan
kemungkinan bahwa virus akan memasuki sistem saraf.
Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang
darah-otak atau dengan transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus
precentral, thalamus, hipothalamus, motor inti batang otak dan
sekitarnya formasi reticular, inti vestibular dan cerebellum, dan neuron
dari kolom anterior dan intermediat sumsum tulang belakang. Sel-sel
saraf mengalami khromatolisis pusat bersama dengan reaksi inflamasi
sedangkan perbanyakan virus mendahului timbulnya kelumpuhan.
34
Karena proses khromatolisis berlangsung lebih lanjut, kelumpuhan otot
atau bahkan atropi muncul bila kurang dari 10% dari neuron bertahan
di segmen kabel yang sesuai. Gliosis terjadi ketika inflamasi menyusup
telah mereda, tetapi neuron yang masih hidup yang paling
menunjukkan pemulihan penuh.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Pemeriksaan darah :Hitung darah lengkap (CBC), karena
leukositosis mungkin ada.
b. Cairan serebrospinal : Cairan cerebrospinal (CSF) tekanan dapat
ditingkatkan. Pleositosis (neutrofil dalam beberapa hari pertama,
maka limfosit) dapat dicatat dalam CSF selama periode sebelum
timbulnya kelumpuhan pada polio akut. Kandungan protein CSS
mungkin meningkat sedikit dengan glukosa normal, kecuali pada
pasien dengan kelumpuhan berat, yang mungkin menunjukkan
peningkatan protein untuk 100-300 mg / dL selama beberapa
minggu.
c. Isolasi virus polio
Melakukan pemulihan virus dari tenggorokan mencuci, budaya
tinja, biakan darah, dan budaya CSF. Serta studi virus dalam
spesimen tinja sangat penting untuk diagnosis penyakit polio.
Selain itu, juga dapat dengan cara seperti di bawah ini :
1) Recover virus dari tenggorokan mencuci pada minggu
pertama dan budaya tinja dari 2-5 minggu pertama.
2) Dalam kasus yang jarang terjadi, virus dapat diisolasi dari
CSF atau serum, berbeda dengan penyakit lumpuh yang
disebabkan oleh enterovirus lainnya.
3) Tes ini memerlukan tambahan demonstrasi kenaikan 4 kali
lipat titer antibodi virus untuk membuat diagnosis spesifik.
2. Pemeriksaan Radiologi
35
Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin menunjukkan
lokalisasi peradangan pada tanduk anterior sumsum tulang
belakang.
F. Penatalaksanaan
1. Poliomielitis Abortif :
a. Diberikan analgetik dan sedatif
b. Diet adekuat
c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya
dicegah aktifitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian
diperiksa neuroskeletal secara teliti.
2. Poliomielitis Non Paralitik
a. Sama seperti abortif
b. Selain diberi analgetik dan sedatif dapat dikombinasikan dengan
kompres hangat selama 15–30 menit,setiap 2–4 jam.
3. Poliomielitis Paralitik
a. Perawatan dirumah sakit
b. Istirahat total
c. Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
d. Fisioterapi
e. Akupuntur
4. Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.
36
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa
disebut Clubfoot merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi
normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas
yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi
dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery,
Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot),
menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan
penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal
dari kata equino (meng.kuda) dan varus (bengkok ke arah
dalam/medial).
B. Etiologi
Etiologi Congenital Talipes Equino Varus sampai saat ini belum
diketahui pasti tetapi diduga ada hubunganya dengan : Persistence of
fetal positioning, Genetic, Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu
sedikit pada waktu hamil(oligohidramnion), Neuromuscular disorder
(Kadang kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina
Bifida atau displasia dari rongga panggul). Ada beberapa teori yang
kemungkinan berhubungan dengan CTEV :
1. Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang
tidak dibuahi dan muncul sebelum fertilisasi.
2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang
mengimplikasikan defek terjadi antara masa konsepsi dan minggu
ke-12 kehamilan
3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara
lain hambatan temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau
sekbvitar minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi
suatu deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi
setelah minggu ke-9, terjadilah deformitasclubfoot yang ringan
37
hingga sedang. Teori hambatan perkembangan ini dihubungkan
dengan perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai
“Cronon”.“Cronon” ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi
progresif setiap struktur tubuh semasa perkembangannya.
Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun
umum) yang menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon)
4. Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan
akibatintrauterine crowding.
5. Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
6. Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.
7. Sindrom Edward, yang merupakan kelainan genetic pada kromosom
nomer 18
8. Pengaruh luar seperti penekanan pada saat bayi masih didalam
kandungan dikarenakan sedikitnya cairan ketuban (oligohidramnion)
9. Dapat dijumpai bersamaan dengan kelainan bawaan yang lain
seperti spina bifida
10. Penggunaan ekstasi oleh ibu saat sedang mengandung
38
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat
dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau
positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah
dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan kaki
terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila
disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-
bottomdengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi
tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus,
pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi
pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat
penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami
pergeseran medial, plantar dan terlambat pada maleolus medialis,
tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang
navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85°
menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke medial.
8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-
otot tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami
kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang.
Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot
fleksor jari kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai
kekuatan yang normal.
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan
adanya spina bifida. Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku
dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi atau
dislokasi.
D. Patofisiologi
39
Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi
abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain
mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embryonic
yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi
pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase
tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh
tekanan intrauterine.
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki, dan bilateral pada 50 %
kasus. Kemungkinan terjadinya deformitas secara acak adalah 1 : 1000
kelahiran. Pemeriksaan pada bayi kaki pekuk menunjukkan equinus
kaki belakang, varus kaki belakang dan kaki tengah, adduksi kaki
depan dan berbagai kekakuan. Semua temuan ini adalah akibat
dislokasi medial sendi talonavikuler. Pada anak yang lebih tua, atrofi
betisdan kaki lebih nyata daripada bayi, tanpa memandang seberapa
baik kaki terkoreksi atau fungsionalnya.
E. Pemeriksaan Penunjang
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan
ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran.
F. Penatalaksanaan
Sekitar 90-95% kasus club foot bisa di-treatment dengan tindakan non-
operatif. Penanganan yang dapat dilakukan pada club foot tersebut
dapat berupa :
1. Non-Operative :
Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan
untuk penanganan remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan
didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu : koreksi dari
40
deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot
normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas.
Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari
serial “cast” yang dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai
tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan latihan
stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari
struktur yang lemah pada sisi lateral.
Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari
beberapa hari sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk
mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika
manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk
memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau
transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast”
sampai tujuan koreksi tercapai. Serial Plastering (manipulasi
pemasangan gibs serial yang diganti tiap minggu, selama 6-12
minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan
sepatu khusus, sampai anak berumur 16 tahun.
Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan
perawatan pada anak dengan anak dengan penggunaan “cast”.
Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga
perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting
pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi
yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan
pentingnya penggantian “cast” secara teratur untuk menunjang
penyembuhan.
Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan
menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang
normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau
therapi yang lama. Perawatan “cast” meliputi : Biarkan cast terbuka
41
sampai kering, Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi
dengan diganjal bantal pada hari pertama atau sesuai intruksi,
Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan
warna kulit dan laporkan bila ada perubahan yang abnormal, Cek
pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi
adanya rasa nyeri, Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama
tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot secara ringan, gerakkan
sendi diatas dan dibawah cast secara teratur, Istirahat yang lebih
banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma, Jangan
biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-
benda kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak, Rasa
gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada
tepi cast dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat, Cast
sebaiknya dijauhkan dari dengan air
2. Operatif
Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :
a. Jika terapi dengan gibs gagal
b. Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
c. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang
mengalami kontraktur maupun dengan osteotomy. Osteotomy
biasanya dilakukan pada kasus club foot yang neglected/ tidak
ditangani dengan tepat
d. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8
minggu, tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendo
Achiles ; kalau masih ada equinus, dilakuakan posterior
release dengan memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan
kaki posterior, dan kalau perlu, kapsul talokalkaneus. Varus
kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis
medial dan pemanjangan tendon tibialis posterior.(Ini Menurut
BuKu Appley).
42
e. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy.
Diatas umur 10 tahun atau kalau tulang kaki sudah mature,
dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri atas reseksi
dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art.
talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid.
43
a) Antenatal : Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang
pernah diderita serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi
penyakitnya, berapa kali perawatan antenatal , kemana serta
kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang pernah
diminum serat kebiasaan selama hamil.
b) Natal : Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum,
ekstraksi forcep, section secaria dan gamelli), presentasi
kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan
saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir,
masa kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir
anak menangis spontan atau tidak.
c) Postnatal : Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah
yang berhubungan dengan gagguan sistem, masalah nutrisi,
perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi dan
respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya
ashyksia, trauma dan infeksi.
F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Berat badan, lingkar
kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat
perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, halus,
social, dan bahasa.
G. Riwayat Kesehatan Keluarga : Sosial , perkawinan orang tua,
kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga yan harmonis
dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiaadat,
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan intelektual
dan pengetahuan serta ketrampilan anak. Disamping itu juga
berhubungan dengan persediaan dan pengadaan bahan
pangan, sandang dan papan.
H. Riwayat Imunisasi : Riwayat imunisasi anak sangat penting,
dengan kelengkapan imunisasi pada anak mencegah terjadinya
44
penyakit yang mungkin timbul. Meliputi imunisai BCG, DPT,
Polio, campak dan hepatitis.
I. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI.
pada umur anak tertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan
jenis, takaran dan frekuensi) pemberiaannya serta makanan
tambahan yang diberikan. Adakah makanan yan disukai,
alergi atau masalah makanan yang lainnya)
b) Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada
anak perlu dikaji BAB atau BAK (Konsistensi, warna,
frkuensi dan jumlah serta bau). Bagaimana tingkat toileting
trining sesuai dengan tingkat perkembangan anak
c) Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai
anak pada usia sekelompoknya mengalami kemunduran
atau percepatan.
d) Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah
gangguan tidur, hal-hal yang mengganggu tidur dan yang
mempercepat tidur.
e) Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak
apakah sudah mandiri atau masih ketergantuangan
sekunder pada orang lain atau orang tua.
J. Pemeriksaan Fisik
a) Pantau status kardiovaskuler
b) Pantau nadi perifer
c) Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk
memastikan sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas
tersebut
d) Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan
insersi jari diantara kulit ekstremitasdengan gips setelah
gips kering
45
e) Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:Nyeri, Bengkak,
Rasa dingin, Sianosis atau pucat
f) Kaji sensasi jari kaki : Minta anak untuk menggerakkan jari
kaki, Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang
tidak mampu berespon terhadap perintah, Laporkan dengan
segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan sirkulasi,
Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan
g) Periksa suhu (gips plester) : Reaksi kimia pada proses
pengeringan gips, yang meningkatkan panas, Evaporasi air,
yang menyebabkan kehilangan panas
h) Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan
i) Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda
yang terkadang dimasukkan oleh anak yang masih kecil
j) Observasi adanya tanda-tanda infeksi: Periksa adanya
drainase, Cium gips untuk adanya bau menyengat, Periksa
gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan
infeksi dibawah gips, Waspadai adanya peningkatan suhu,
letargi dan ketidaknyamanan
k) Observasi kerusakan pernapasan (gips spika) : Kaji
ekspansi dada anak, Observasi frekuensi pernafasan,
Observasi warna dan perilaku
l) Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka):
Batasi area perdarahan
m) Kaji kebutuhan terhadap nyeri
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan adanya gips,
pembengkakan jaringan, kemungkinan kerusakan saraf
b. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera
fisik
46
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
gips
3. Intervensi Keperawatan
, nyeri tersebut
Kriteria Hasil:
bengkak, menandakan
– Jari kaki
perubahan terjadinya
hangat, merah
warna gangguan
muda, sensitif, dan
(sianosis atau sirkulasi
menunjukkan
pucat), 3. Karena
pengisian kapiler
pulsasi, penekanan dapat
dengan segera
hangat, dan menyebabkan
– Gips
47
mengering dengan kemampuan area tekan
dengan kulit
telapak 5. Untuk
tangan, mengeringkanny
penekanan keluar
gips dengan
6. Karena
5. Janga7. Untuk
gips yang
8. Agar area
n abrasi
48
mengeringka
n gips
dengan kipas
pemanas
atau
pengering
7. Gunak
an kipas
biasa di
lingkungan
dengan
kelembaban
tinggi
8. Bersih
kan area
yang kotor
dari gips
dengan kain
basah dan
sedikit
pembersih
putih yang
rendah
49
abrasif.
aktivitas yang
4. Karena
–
melelahkan substansi ini
ketidaknyamanan
3. Hilang mempunyai
minor dapat
kan rasa kecenderungan
ditoleransi
gatal dibawah untuk
50
gips dengan ”menggumpal”
yang menimbulkan
spuit asepto,
fan, atau
pengering
rambut.
4. Hindar
menggunaka
n bedak atau
lotion
dibawah gips
51
kerusakan membiarkan kepatuhan
adai anak
5. Karena
4. Jaga sebasea
agar kulit
yang terpajan
tetap bersih
dan bebas
dari iritan
5. Lindun
52
gi gips
selama
mandi,
kecuali jika
gips sintetik
tahan
terhadap air
6. Selam
a gips
dilepas,
rendam dan
basuh kulit
dengan
perlahan
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
53
54