Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN


KEBUTUHAN AKTIVITAS PATOLOGIS DARI SISTEM PERSYARAFAN DAN
MUSKULOSKELETAL (Cerebral Palcy, Hydrochepalus, Scoliosis,
Poliomyelitis, dan CTEV)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
ADINDA LIANADA : 11409719041
AGUS RUDIYANTO : 11409719042
AHMAD RAFIQ BASTIAN : 11409719043
CICI AFRIDA HASTUTI : 114097190
HAMISA EMELIA AZZAHRA : 114097190
INDRA ADI KUSUMU : 114097190
MAHLIANI MARGATIWI : 11409719059
MARZUKI HASAN : 11409719060
MIRANDA ANGRAINI : 114097190
MUHAMMAD ARYA RIDHONI : 11409719062
MUHAMMAD RAMDANI : 11409719064
RIO ALDINO : 11409719069

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA


BANJARMASIN
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas izin, kuasa dan
perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Kebutuhan Aktivitas
Patologis Dari Sistem Persyarafan dan Muskuloskeletal (Cerebral Palcy,
Hydrochepalus, Scoliosis, Poliomyelitis, dan CTEV)”.

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas bidang studi


Keperawatan anak yang diberikan kepada kami oleh bapak Yuhansyah, S.Kep .,
Ns., M.Kep Agar kami dapat mengetahui serta memahami cara menyusun makalah
dengan benar dan agar dapat mengembangkan ilmu yang telah kami peroleh.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini
masih belum sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan makalah ini .
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen
keperawatan anak yang diberikan kepada kami oleh bapak Yuhansyah, S.Kep ., Ns.,
M.Kep Selaku guru yang memberikan tugas ini juga yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini dan semua bentuk bimbingan
serta pengajarannya yang kami terima dalam menyelesaikan penulisan makalah ini.

Banjarmasin, 19 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG.........................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH.....................................................................1
1.3. TUJUAN...........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
2.1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Patologis Dari Sistem Persyarafan dan
Muskuloskeletal..............................................................................2
2.1.1. Konsep Asuhan Keperawatan Cerebral Palcy…………….
2.1.2. Konsep Asuhan Keperawatan Hydrochepalus……………
2.1.3. Konsep Asuhan KeperawatanScoliosis……………………
2.1.4. Konsep Asuhan Keperawatan Poliomylitis………………..
2.1.5. Konsep Asuhan Keperawatan CTEV………………………..

BAB III PENUTUP.........................................................................................5


3.1. Kesimpulan......................................................................................5
3.2. Saran................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................6

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tubuh manusia akan berada dalam kondisi sehat jika mampu berespon
dengan tepat terhadap perubahan-perubahan lingkungan secara
terkoordinasi. Tubuh memerlukan koordinasi yang baik . Salah satu sistem
komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf. Pengkajian system persarafan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk dilakukan dalam
rangka menentukan diagnosa keperawatan tepat dan melakukan tindakan
perawatan yang sesuai.
Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu
pengkajian yang berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat
kesehatan klien yang berhubungan dengan system persarafan seperti
riwayat hiopertensi, stroke, radang otak, atau selaput otak, penggunaan
obat-obatan dan alcohol, dan penggunaan obat yang diminum secara
teratur. Tahapan selanjutnya adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan
status mental, pemeriksaan saraf cranial, pemeriksaan motorik,
pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan reflex. Dalam melakukan
pemeriksaan fisik diperhatikan prinsip-prinsip head to toe, chepalocaudal
dan proximodistal. Harus pula diperhatikan keamanan klien dan privacy
klien.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja masalah pada anak gangguan kebutuhan aktivitas patologis
sari sistem persyarafan san muskuloskletal ?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak menglami gangguan
kebutuhan aktivitas patologis sari sistem persyarafan san
muskuloskletal?

1
1.3. Tujuan
Mengetahui pengertian, prinsip, dan konsep asuhan keperawatan pada anak
menglami gangguan kebutuhan aktivitas patologis sari sistem persyarafan
san muskuloskletal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Kebutuhan


Aktivitas Patologis Dari Sistem Persyarafan dan Muskuloskeletal
2.1.1. Konsep Asuhan Keperawatan Cerebral Palcy
A. Definisi
Cerebral palsy lebih tepat dikatakan suatu gejala yang kompleks
daripada suatu penyakit yang spesifik. (Kuban, 1994) Cerebral palsy
merupakan kelainan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
William Little yang pertamakali mempublikasikan kelainan ini pada
tahun 1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai
akibat dari prematuritas atau asfiksia neonatorum. (Soetjiningsih,
1995). Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan
otak yang menyebabkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi,
psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi belajar mengajar.

B. Etiologi
Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab Cerebral Palsy berbeda–
beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi antara
lain : terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik sakit sejak
dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan berat
badan lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya sangat
rendah, yang berisiko Cerebral Palsy dan terminologi tentang anak–
anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang berisiko
mengalami Cerebral Palsy setelah masa kanak–kanak. (Swaiman,
1998). Cerebral Palsydapat disebabkan faktor genetik maupun faktor
lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita
kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar

3
disebabkan faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995) Waktu terjadinya
kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal,
perinatal dan postnatal.

C. Tanda dan Gejala


1. Spastik
a. Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami
spastik. Umumnya hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas atas.
b. Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas.
Hal ini disebabkan oleh spastik yang menyerang traktus
kortikospinal bilateral atau lengan pada kedua sisi tubuh saja.
Sedangkan sistem–sistem lain normal.
c. Hemiplegia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang
biasanya menyerang ekstremitas atas/lengan atau menyerang
lengan pada salah satu sisi tubuh.
d. Triplegia
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas.
Umumnya menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah
satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.
e. Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga
ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada
tungkai.
2. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya.
Pada CP tipe ini terjadi abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau
disertai dengan abnormalitas gerakan. Otak mengalami kehilangan

4
koordinasi muskular sehingga gerakan–gerakan yang dihasilkan
mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal.

3. Athetosis atau koreoathetosis


Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan
ayunan yang melebar. Athetosis terbagi menjadi :
a. Distonik
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami
distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak
seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya
menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang
dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan
kepala.

b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan
involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala
melakukan gerakan stereotype.

c. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan
kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun

5
lengan dapat menghasilkan gerakan yang mendekati kekuatan
dan koordinasi normal.
d. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
ektrapiramidal, seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.

Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita

untuk melakukan aktifitas normal (Swaiman, 1998; Rosenbaum,


2003)

a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak
memerlukan pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil,
dapat bersekolah biasa, aktifitas kehidupan sehari–hari 100 %
dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi
ialah brace, tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat
berfungsi sebagai pengontrol gaya berat badan. Sebagian besar
aktifitas kehidupan sehari–hari dapat dilakukan sendiri dan dapat
bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk,
merangkak atau mengesot, dapat bergaul dengan teman–
temannya sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa
keindahan masih ada, aktifitas kehidupan sehari–hari perlu
bantuan, tetapi masih dapat bersekolah. Alat ambulasi yang tepat
ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki,
kebutuhan hidup yang vital (makan dan minum) tergantung pada

6
orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat ambulasi,
kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.

D. Patofisiologi
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron
dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran suci
dan berat otak rendah. Cerebral palsy digambarkan sebagai kekacauan
pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacad non
progresive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi
cerebral palsy dapat diakibatkan dengan suatu dasar kelainan
(struktural otak: awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-
luka/kerugian setelah melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan
vaskuler, toksin atau infeksi). Dalam beberapa kasus manifestasi atau
etiologi dapat berhubungan dengan daerah anatomi. Misal cerebral
palsy yang berhubungan dengan kelahiran prematur yang disebabkan
oleh infark hipoksia atau perdarahan dengan leukomalasia didaerah
yang berdekatan dengan ventrikel lateral dalam antetoid jenis cerebral
palsy yang disebabkan oleh kenikterus dan kelainan genetik
metabolisme seperti gangguan mitokondria. Hemiplegia cerebral palsy
sering dikaitkan dengan serangan sereberal vokal sekunder ke intra
uterin atau trombo emboli perinatal biasanya akibat trombosis ibu atau
gangguan pembekuan herediter (Wilson 2007)

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah
diagnosis cerebral palsy ditegakkan.
2. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada cerebral palsy CSS
normal.

7
3. Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada
golongan, hemiparesis baik yang disertai kejang maupun tidak.
4. Foto rontgent kepala.
5. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang
dibutuhkan.
6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari
retardasi mental.

F. Penatalaksanaan
a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini
perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter
anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT,ahli ortopedi,
psikolog, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru
sekolah luar biasa dan orang tua pasien.
b. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur
perlu dipehatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi
pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan.
Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.
c. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi
kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien
dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan.
d. Obat-obatan
Tidak ada obat untuk cerebral palsy tetapi pelatihan otot awal dan
latihan khusus dapat bermanfaat dimulai sebelum anak
mengembangkan kebisaan yang salah dan pola otot yang salah.
Pencegahan komplikasi dan membantu individu untk menjalankan

8
kehidupan sepenuhnya, hanya dibatasi oleh ggn otot dan ggn sensori
(Wilson 2007 ).
e. Keperawatan
Masalah bergantung dari kerusakan otak yang terjadi. Pada
umumnya dijumpai adanya gangguan pergerakan sampai retardasi
mental, dan seberapa besarnya gangguan yang terjadi bergantung
pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Dewasa ini
gangguan dari pertumbuhan atau perkembangan janin dirumah-
rumah bersalin yang telah maju sudah dapat dideteksi sejak dini bila
kehamilan dianggap berisiko. Juga ramalan mengenai ramalan bayi
dapat diduga bila mengetahui keadaan pada saat perinatal (lihat
penyebab). Disinilah peranan perawat dapat ikut mencegah kelainan
tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan ialah :
a. Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang
berisiko (baca status bayi secera cermat mengenai riwayat
kehamilan/kelahirannya). Jika dijumpai adanya kejang atau
sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera
memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan
semestinya.
b. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan
pada otak walaupun selama diruang perawatan tidak terjadi
kelainan agar dipesankan pada orang tua atau ibunya jika
melihat sikap bayi yang tidak normal supaya segera dibawa
konsultasi kedokter.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
A. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan
B. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan
untuk bergerak

9
C. Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot
(ataksia)
D. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan
dengan diseksi arteri

2. Intervensi Keperawatan

1. Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan untuk menelan makanan (00002)

NOC
Domain : II- physiologic Health
Classes : K. Digestion & Nutrition
Outcomes : 1008 Nutritional status : food and fluid intake

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi kurang


teratasi dengan :
1. Asupan cairan IV
2. Asupan nutrisi parenteral

NIC
Domain : 1. Physiological: Basic
Classes : D. Nutrition Support
Interventions : 1030 Eating Disorders Management

Intervensi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
2. Monitor adanya penurunan berat badan dan gula darah
3. Monitor lingkungan selama makan
4. Monitor intake dan output cairan
5. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan
6. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan cavitas oral

2. Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan


untuk bergerak (00092)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour

10
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616Body Mechanics Performance

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien


bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil :
1. Pasien mampu berdiri dengan benar
2. Pasien mampu menggunakan teknik mengangkat yang benar
3. Pasien mampu menjaga kekuatan otot
4. Pasien mampu mempertahankan fleksibilitas sendi
5. Pasien mampu menggunakan mekanika tubuh yang tepat

NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : O. Behaviour Therapy
Interventions : 4310 Activity Therapy
Intervensi :
1. Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu
2. Berkolaborasi dengan okupasi terapis, fisik, atau rekreasi dalam
perencanaan dan monitoring program kegiatan
3. Membantu pasien untuk memilih kegiatan dan tujuan prestasi bagi
kegiatan sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
4. Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi cacat di tingkat
aktivitas
5. Mendorong keterlibatan dalam kegiatan kelompok atau terapi
6. Memberikan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot
7. Membantu pasien dan keluarga untuk memantau kemajuan sendiri
terhadap pencapaian tujuan

3. Diagnosa : Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi


otot (ataksia) (00038)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616 Body Mechanics Performance

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien tidak
mengalami trauma dengan kriteria hasil:
1. Tidak ditemukan adanya keseleo
2. Tidak adanya mobilitas gangguan pada otot
3. Pasien terbebas dari trauma fisik

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk management

11
Interventions : 6486 Environmental Management : Safety

Intervensi :
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu.
2. Menghindari lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
3. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
4. Menempatkan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Memindahkan barang – barang yang dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

4. Diagnosa : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan


dengan diseksi arteri (00201)

NOC
Domain : II- Physiologic Health
Classes : E – Cardiopulmonary
Outcomes : 0406 Tissue Perfusion: Cerebral

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan selama 2x24 jam ketidakefektifan perfusi


jaringan cerebral teratasi dengan kriteria hasil:
1. Tekanan intrakranial dalam batas normal
2. Ditemukan Angiogram serebral dalam batas normal
3. Tidak ditemukan penurunan kesadaran
4. Tekanan sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan
5. Menunjukkan konsentrasi dan orientasi
6. Bebas dari aktivitas kejang
7. Tidak mengalami nyeri kepala

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk Management
Interventions : 6680 Vital Signs Monitoring

Intervensi :
1. Pantau tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
2. Pantau tekanan darah setelah pasien telah mengambil obat
3. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum, selama dan setelah
aktivitas
4. Memantau warna kulit, suhu, dan kelembaban
5. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala
6. Monitor level kebingungan dan orientasi
7. Monitor tonus otot pergerakan
8. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis

12
9. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus

2.1.2. Konsep Asuhan Keperawatan Hydrochepalus


A. Definisi
Hidrocephalus adalah: suatu keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan cerebrospinal (CSS) dengan atau
pernah dengan tekanan intra kranial yang meninggi sehingga terdapat
pelebaran ruangan tempat mengalirnya CSS.

B. Etiologi
Hidrosefalus disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan di dalam otak. Akibatnya, cairan di dalam otak
terlalu banyak dan membuat tekanan dalam kepala meningkat. Kondisi
ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang meliputi: Aliran cairan
otak yang tersumbat.

C. Tanda dan Gejala


1. Pembesaran kepala.
2. Tekanan intra kranial meningkat dengan gejala: muntah, nyeri
kepala, oedema papil.
3. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekana dan penipisan tulang
supraorbital.
4. Gangguan keasadaran, kejang.
5. Gangguan sensorik.
6. Penurunan dan hilangnya kemampuan akrivitas.
7. Perubahan pupil dilatasi.
8. Gangguan penglihatan (diplobia, kabur, visus menurun).
9. Perubahan tanda-tanda vital (nafas dalam, nadi lambat,
hipertermi,/ hipotermi).
10. Penurunan kemampuan berpikir.

13
D. Patofisiologi
Produksi CSF terutama tergantung pada transporalselsan, terutama
natrium melintasi membran epitel khusus dari pleksus koroideus ke
dalam rongga ventrikel. Air secara pasif mengikuti untuk memudahkan
keseimbangan osmotik. Hasilnya adalah masuknya cairan ke dalam
ventrikel otak. Cairan berselulasi lewat akuaduktus silvi dan ventrikel
keempat, masuk ke dalam ruang subarakhnoid melalui foramena
lusheka dan megendie. Kemudian diabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
dari ruang subarakhnoid yang meliputi otak, sejumlah tertentu medula
spinalis dan lapisan ependim yang melapisi ventrikel.
Proses terjadinya hidrosefalus dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kelainan kongenital.
a. Stenosis akuaduktus sylvii.
b. Anomali pembuluh darah.
c. Spino bifida dan kranium bifidi.
d. Sindrom Dandy-walker.
2. Infeksi.
Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak)
sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid, misalnya
meningitis.
Infeksi lain yang menyebabkan hidrosefalus yaitu :
a. TORCH.
b. Kista-kista parasit.
c. Lues kongenital.
3. Trauma.
Seperti pada pembedahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak
dapat menyebabkan fibrosis epto meningen pada daerah basal
otak, disamping organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan
terjadinya sumbatan yang mengganggu aliran CSS.

14
4. Neoplasma.
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang
dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara
lain:
a. Tumor ventrikel III
b. Tumor fossa posterior.
c. Pailloma pleksus khoroideus.
d. Leukemia, limfoma
5. Degeneratif.
Histositosis X, inkontinentia pigmenti dan penyakit krabbe.
6. Gangguan vaskuler.
a. Dilatasi sinus dural.
b. Trombosis sinus venosus.
c. Malformasi V. Galeni.
d. Ekstaksi A. Basilaris.
e. Arterio venosus malformasi.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nelhaus (1987) hidrosefalus sering mempunyai gejala-gejala
dan tanda-tanda. Namun ada kasus-kasus samar yang tidak
terdiagnosis sampai dewasa, dengan demikian perlu adanya ketelitian
dlam menangani penderita yang diduga menderita hidrosefalus, mulai
dari pengambilan amnanesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan radiologis.
1. Aloamnanesis/ amnanesis.
Amnanesis perlu dilakukan untuk menentukan hidrosefalus
kongenital atau akuisita. Bayi yang lahir prematur atau posterm
dan merupakan kelahiran anak yang keberapa adalah penting
sebagai faktor resiko. Adanya riwayat cedera kepala sehingga

15
menimbulkan hematom, subdural atau perdarahan subarakhnoid
yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus. Demikian juga
riwayat peradangan otak sebelumnya. Riwayat keluarga perlu
dilacak, riwayat gangguan perkembangan, aktivitas,
perkembangan mental, kecerdasan serta riwayat nyeri kepala,
muntah-muntah, gangguan visus dan adanya bangkitan kejang.
2. Pemeriksaan fisik.
Kesan umum penderita terutama bayi dan anak, proporsi kepala
terhadap badan, anggota gerak secara keseluruhan tidak
seimbang. Anak biasanya dalam keadaan tidak tenang, gelisah,
iritable, gangguan kesadaran, rewel, sukar makan atau muntah-
muntah. Pada hidrosefalus kongenital kepala sangat besar,
fontanela tidak menutup, sutura melebar, kepala tampak transluse,
dengan tulang kepala yang tipis, adanya tanda mac ewens cracked
pot, tanda berupa sunset sign dengan dahi yang lebar. Pada
pemeriksan auskultasi kemungkinan akan terdengarnya bising
daerah posterior oleh karena malformasi V. Galeni. Pertumbuhan
kepala yang cepat mengakibatkan muka terlihat lebih kecil dan
tampak kurus.
3. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan terhadap komposisi cairan serebrospinal dapat
sebagai petunjuk penyebab hidrosefalus, seperti peningkatan
kadar protein yang amat sangat terdapat pada papiloma pleksus
khoroideuis, setelah infeksi susunan saraf pusat, atau perdarahan
susunan saraf pusat atau perdarahan saraf sentral. Penurunan
kadar glukosa dalam cairan serebrospinal terdapat pada invasi
meninggal oleh tumor, seperti leukemia, medula blastama dan
dengan pemeriksaan sitologis cairan serebrospinal dapat diketahui
adanya sel-sel tumor. Meningkatnya kadar hidroksi doleaseti kasid
pada cairan serebrospinal didapat pada obstruksi hidrosefalus.
Pemeriksaan serologis darah dalam upaya menemukan adanya

16
infeksi yang disebabkan oleh TORCH. Penelitian sitologi kualitatif
pada cairan serebrospinal neonatus dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengetahui tingkat gangguan psikomotor.

4. Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan foto polos kepala, pelebaran fontanela, serta
pelebaran sutura. Kemungkinan ditemukannya pula keadaan-
keadaan lain seperti adanya kalsifikasi periventrikuler sebagai
tanda adanya infeksi cytomegalo inclusion dioase, kalsifikasi
bilateral menunjukkan adanya infeksi tokso plasmosis.
Pemeriksaan ultrasonografi, dapat memberikan gambaran adanya
pelebaran sistem ventrikel yang lebih jelas lagi pada bayi, dan
untuk diagnosis kelainan selama masih dalam kandungan.
Pemeriksaan CT-Scanning menunjukkan adanya pelebaran
ventrikel. Disamping itu juga dapat untuk mempelajari sirkulasi
cairan serebrospinal yaitu dengan menyuntikkan kontras radio
opak ke dalam sisterna magna kemudian perjalan kontras diikuti
dengan CT-Scan sehingga akan jelas adanya obstruksi terhdap
cairan serebrospinal.
Pemeriksaan pneumoensefalografi, berguna untuk memantau
dilatasi ventrikel dan ruang subarakhnoid. Apabila sudut korpus
kolosum kurang dari 120 menunjukkan hidrosefalus komunikan,
bila lebih dari 120 mungkin hidrosefalus obstruksi.

F. Penatalaksanaan
Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan,
yaitu pemasangan shunting yang berfungsi sebagai drainage. Tindakan
ini bukan untuk menyembuhkan, namun untuk mengontrol gejala akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Pada hydrocephalus kongenital,
pembedahan pada bayi berpotensi komplikasi sehingga ahli bedah
saraf mungkin menunda melakukannya (terutama bayi prematur).

17
Untuk mengurangi progresifitas kerusakan otak, maka bayi
hydrocephalus dapat diberikan terapi farmakologi dahulu sampai
pembedahan aman dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan
intrakranial akut, biasa terjadi pada hydrocephalus didapat pada pasien
anak atau dewasa, diperlukan tindakan pembedahan secepatnya.
Beberapa kasus hydrocephalus didapat, pembedahan tidak diperlukan
karena etiologinya telah membaik, misalnya pada perdarahan
intraventrikular yang sudah reabsorbsi tanpa skar

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian preoperasi: adanya riwayat meningitis, infeksi
intrakranial/ hemoragie, anoxia prenatal atau infeksi intrauterine.
Pada bayi dan anak pembesaran lingkar kepala yang progresif,
ubun-ubun yang menonjol dan tegang serta tidak berdenyut, vena-
vena kulit kepala melebar, sunset sign, gelisah dan cengeng, sering
mual, muntah dan nafsu makan menurun, bila diperkusi didapat
bunyi seperti pot kembang pecah. Pada anak yang lebih besar
gejala utama yang menonjol adalah peningkatan TIK, muntah dan
mengeluh sakit kepala, iritabel, pupil edema kejang baik vokal
maupun umum, perubahan pupil, perubahan pola makan,
perubahan tanda vital (tekanan darah, sistol naik, nadi turun, nafas
tidak teratur).

2. Diagnosa Keperawatan
A. Perfusi jaringan tidak efektif: serebral b.d peningkatan tekanan
intrakranial, hipervolemia
B. Gangguan persepsi sensori b.d gangguan pusat persepsi
sensori.
C. Kerusakan intregritas kulit b.d penurunan mobilitas fisik,
defisiensi sirkulasi.

18
D. Resiko defisit volume cairan b.d mual, muntah, anoreksia
E. Perubahan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan
anggota keluarga
F. Kurang pengetahuan orang tua tentang penyakit, perawatan,
komplikasi b.d kurang informasi

3. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL

1 Perfusi jaringan Setelah dilakukan  Kaji status neurologis


tidak tindakan keperawatan: yang berhubungan
efektif:serebral b.d dengan tanda-tanda
peningkatan  Tekanan intrakranial peningkatan tekana
tekanan 0-15 mmHg. intrakranial, terutama
intrakranial,  Perfusi otak lebih dari GCS.
hipervolemia 50 mmHg.  Monitor tanda-tanda
 Terpeliharanya vital:TD, nadi, respirasi,
status neurologis. suhu, minimal tiap 15
 Tanda vital stabil menit sampai keadaan
pasien stabil.
 Monitor tingkat
kesadaran, sikap reflek,
fungsi motorik, sensorik
tiap 1-2 jam.
 Naikkan kepala dengan
sudut 15-450, tanpa
bantal (tidak

19
hiperekstensi atau fleksi)
dan posisi netral (posisi
kepala sampai lumbal
ada dalam garis lurus).
 Anjurkan anak dan
orang tua untuk
mengurangi aktivitas
yang dapat menaikkan
tekanan intrakranial atau
intraabdominal, misal:
mengejan saat BAB,
menarik nafas,
membalikkan badan,
batuk.
 Monitor tanda kenaikan
tekanan intrakranial,
misalnya: iritabilitas,
tangis, sakit kepala,
mual muntah.
 Monitor intake output
cairan setiap hari.

2 Gangguan Setelah dilakukan


 Kaji tingkat kesadaran
persepsi sensori tindakan keperawatan:
dan respon.
b.d gangguan  Tanda vital normal.  Ukur vital sign, status
pusat persepsi  Orientasi baik. neurologis.
sensori
 GCS lebih dari 13.  Monitor tanda-tanda
 Tekanan intrakranial kenaikan tekanan
<10 mmHg. intrakranial seperti
 Refleks fisiologis (+). iritabilitas, tangis

20
melengking, sakit
kepala, mual muntah.
 Ukur lingkar kepala
dengan meteran/
midline.
 Lakukan terapi auditori
 Refleks patologis (-). dan stimuli taktil.
3 Kerusakan  Monitor kondisi
intregritas kulit b.d fontanella mayor tiap 4
penurunan jam.
mobilitas fisik,  Ubah posisi tiap 2 jam,
defisiensi sirkulasi pertimbangkan
perubahan posisi
kepala tiap 1 jam.
 Gunakan lotion atau
minyak dan lindungi
posisi daerah kepala
dari penekanan.
 Letakkan kepala pada
bantal karet atau
gunakan water bed
jika perlu.
 Gunakan penggantian
alat tenun dari bahan
Setelah dilakukan yang lembut.
tindakan keperawatan:  Stimuli daerah kepala
 Eritema (-). setiap perubahan
 Kulit kepala turgor posisi.
baik, utuh.  Pertahankan nutrisi
 Luka (-). sesuai program terapi.
4 Resiko defisit Setelah dilakukan  Monitor intake output

21
volume cairan b.d tindakan keperawatan:
mual, muntah, makanan dan cairan.
anoreksia  Hidrasi adekuat.  Ukur dan observasi
 Turgor kulit baik. tanda vital.
 Membran mukosa  Catat jumlah, frekuensi
lembab. dan karakter muntah.
 Tanda vital normal.  Timbang BB tiap hari.
 Urin output 0,5-1  Kaji tanda-tanda
cc/ kgBB/ jam. dehidrasi.

5 Perubahan proses Setelah dilakukan


keluarga b.d tindakan keperawatan:
perubahan status
kesehatan anggota  Keluarga partisipasi
keluarga dalam perawatan
dan pengobatan.
 Keluarga
memberikan
sentuhan,
perasaan senang
dan bicara pada
anaknya.
 Keluarga mampu
mengidentifikasi
perilaku negatif dan
cara mengatasinya.

6 Kurang Setelah dilakukan  Jelaskan semua


pengetahuan tindakan keperawatan, prosedur dan
orang tua tentang keluarga mampu: pengobatan, kehadiran
penyakit, perawat diperlukan

22
perawatan,  Ungkapkan bila ada informasi oleh
komplikasi b.d pengertian rencana team kesehatan lain
kurang informasi perawatan. untuk memperkuat
Menerima penjelasan.
kenyataan  Beri dorongan pada
terhadap anaknya. orang tua untuk
 Demonstrasikan mengekspresikan
perawatan yang perasaan dan harapan
diperlukan. dan partisipasi dalam
 Mengetahui tanda perawatan anaknya
infeksi dan dengan perasaan yang
peningkatan menyenangkan.
tekanan  Bantu orang tua untuk
intrakranial. dapat menerima
 Menjelaskan kenyataan tentang
pengobatan yang perubahan dan
diberikan, minum perkembangan
obat sesuai anaknya.
rencana dan  Yakinkan orang tua
mengerti efek bahwa anak
samping. membutuhkan kasih
sayang dan
keamanan.
 Demonstrasikan
perawatan yang
diperlukan (bagaimana
mengecek fungsi
shunt, posisi anak),
berikan kesempatan
untuk mengulang
 Beri penjelasan

23
tentang pengobatan.
 Berikan dafatar nomor
telepon team
kesehatan untuk dapat
digunakan bila muncul
masalah.

2.1.3. Konsep Asuhan KeperawatanScoliosis


A. Definisi
Skoliosis adalah lengkungan atau kurvatura lateral pada tulang
belakang akibat rotasi dan
deformitas vertebra. Tiga bentuk skoliosis struktural yaitu :
1. Skoliosis Idiopatik adalah bentuk yang paling umum terjadi dan
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu infantile, yang muncul
sejak lahir sampai usia 3 tahun; anak-anak, yang muncul dari
usia 3 tahun sampai 10 tahun; dan remaja, yang muncul setelah
usia 10 tahun (usia yang paling umum).
2. Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan
malformasi satu atau lebih badan vertebra.
3. Skoliosis Neuromuskuler, anak yang menderita penyakit
neuromuskuler (seperti paralisis otak, spina bifida, atau distrofi

24
muskuler) yang secara langsung menyebabkan deformitas.
(Nettina, Sandra M.)

B. Etiologi
Penyebab terjadinya skoliosis diantaranya kondisi osteopatik, seperti
fraktur, penyakit tulang, penyakit arthritis, dan infeksi. Pada skoliosis
berat, perubahan progresif pada rongga toraks dapat menyebabkan
perburukan pernapasan dan kardiovaskuler. (Nettina, Sandra M.)
Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis :
1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu
kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk
yang menyatu
2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan
otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut, Cerebral palsy,
Distrofi otot, Polio, Osteoporosis juvenil.
3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.

C. Tanda dan Gejala


Gejalanya berupa:
1. tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping
2. bahu dan/atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya
3. nyeri punggung
4. kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama
5. skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari
60%) bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang


membengkok ke kanan dan pada punggung bagian bawah, tulang
belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi dari
bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kir

25
D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk
ke depan sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang
terjadi. Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai
kekuatan, sensasi atau refleks.
Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan :
1. Rontgen tulang belakang.
X-Ray Proyeksi Foto polos : Harus diambil dengan posterior dan
lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan
posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb
dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Kurva
structural akan memperlihatkan rotasi vertebra ; pada proyeksi
posterior-anterior, vertebra yang mengarah ke puncak prosessus
spinosus menyimpang kegaris tengah; ujung atas dan bawah
kurva diidentifikasi sewaktu tingkat simetri vertebra diperoleh
kembali.
2. Pengukuran dengan skoliometer (alat untuk mengukur
kelengkungan tulang belakang) Skoliometer
Skoliometer adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai.
Cara pengukuran dengan skoliometer dilakukan pada pasien
dengan posisi membungkuk, kemudian atur posisi pasien karena
posisi ini akan berubah-ubah tergantung pada lokasi kurvatura,
sebagai contoh kurva dibawah vertebra lumbal akan
membutuhkan posisi membungkuk lebih jauh dibanding kurva
pada thorakal. Kemudian letakkan skoliometer pada apeks kurva,
biarkan skoliometer tanpa ditekan, kemudian baca angka derajat
kurva. Pada screening, pengukuran ini signifikan apabila hasil
yang diperoleh lebih besar dari 5 derajat, hal ini biasanya
menunjukkan derajat kurvatura > 200 pada pengukuran cobb’s
angle pada radiologi sehingga memerlukan evaluasi yang lanjut.

26
3. MRI (jika ditemukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen).

E. Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan tergantung kepada penyebab, derajat dan
lokasi kelengkungan serta stadium pertumbuhan tulang. Jika
kelengkungan kurang dari 20%, biasanya tidak perlu dilakukan
pengobatan, tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan secara
teratur setiap 6 bulan.
Pada anak-anak yang masih tumbuh, kelengkungan biasanya
bertambah sampai 25-30%, karena itu biasanya dianjurkan untuk
menggunakan brace (alat penyangga) untuk membantu memperlambat
progresivitas kelengkungan tulang belakang. Brace dari Milwaukee &
Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi
harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak
berhenti.
Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun
neuromuskuler. Jika kelengkungan mencapai 40% atau lebih, biasanya
dilakukan pembedahan. Pada pembedahan dilakukan perbaikan
kelengkungan dan peleburan tulang-tulang. Tulang dipertahankan pada
tempatnya dengan bantuan 1-2 alat logam yang terpasang sampai
tulang pulih (kurang dari 20 tahun). Sesudah dilakukan pembedahan
mungkin perlu dipasang brace untuk menstabilkan tulang belakang.
Kadang diberikan perangsangan elektrospinal, dimana otot tulang
belakang dirangsang dengan arus listrik rendah untuk meluruskan
tulang belakang.

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
A. Pemeriksaan Fisik
a. Mengkaji skelet tubuh : Adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertusmbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang.

27
Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang
tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada
tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya
menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang
Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang), Kifosis
(kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada), Lordosis
(membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
berlebihan)
c. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas,
stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
d. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi,
dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk
mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan
Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila
salah satu ekstremitas lebih pendek
dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan
dengan caraberjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic
hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah –
penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit
Parkinson).
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas
atau lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi
perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu
dan waktu pengisian kapiler.

2. Diagnosa Keperawatan

28
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh
yang tidak seimbang
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan
dengan postur tubuh yang miring kelateral
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya

3. Intervensi Keperawatan
A. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penekanan
paru
Tujuan: Pola napas efektif
Intervensi :
1) Kaji status pernapasan setiap 4 jam
2) Bantu dan ajarkan pasien melakukan napas dalam setiap 1
jam
3) Atur posisi tidur semi fowler untuk meningkatkan ekspansi
paru
4) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi napas setiap 2
jam
5) Pantau tanda vital setiap 4 jam
B. Nyeri punggung berhubungan dengan posisi tubuh miring ke
lateral
Tujuan: nyeri berkurang/ hilang
Intervensi :
1) Kaji tipe, intensitas, dan lokasi nyeri
2) Atur posisi yang dapat meningkatkan rasa nyaman

29
3) Pertahankan lingkungan yang tenang untuk meningkatkan
kenyamanan
4) Ajarkan relaksasi dan teknik distraksi untuk mengalihkan
perhatian, sehingga mengurangi nyeri
5) Anjurkan latihan postural secara rutin untuk memperbaiki
posisi tubuh
6) Ajarkan dan anjurkan pemakaian brace untuk mengurangi
nyeri saat aktivitas
7) Kolaborasi dalam pemberian analgetik untuk meredakan nyeri
C. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan postur tubuh
yang tidak seimbang
Tujuan: meningkatkan mobilitas fisik
Intervensi :
1) Kaji tingkat mobilitas fisik
2) Tingkatkan aktivitas jika nyeri berkurang
3) Bantu dan ajarkan latihan rentang gerak sendi aktif
4) Libatkan keluarga dalam melakukan perawatan diri
5) Tingkatkan kembali ke aktivitas normal
D. Gangguan citra tubuh atau konsep diri yang berhubungan
dengan postur tubuh yang miring kelateral
Tujuan: meningkatkan citra tubuh
Intervensi :
1) Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan masalahnya
2) Beri lingkungan yang mendukung
3) Bantu pasien untuk mengidentifikasi gaya koping yang positif
4) Beri harapan yang realistik dan buat sasaran jangka pendek
untuk memudahkan pencapaian
5) Beri penghargaan untuk tugas yang dilakukan
6) Beri dorongan untuk melakukan komunikasi dengan orang
terdekat dan memerlukan sosialisasi dengan keluarga serta
teman

30
7) Beri dorongan untuk merawat diri sesuai toleransi
E. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakitnya
Tujuan: pemahaman tentang program pengobatan
Intervensi :
1) Jelaskan tentang keadaan penyakitnya
2) Tekankan pentingnya dan keuntungan mempertahankan
program latihan yang di anjurkan
3) Jelaskan tentang pengobatan: nama, jadwal, tujuan, dosis,
dan efek sampingnya
4) Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
5) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter

2.1.4. Konsep Asuhan Keperawatan Poliomylitis


A. Definisi
Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
virus polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh
layuh akut (AFP=Acute Flaccid Paralysis).
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke
sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralysis).
Poliomyelitis adalah radang akut pada sumsum tulang belakang karena
virus, dengan gejala demam, sakit leher, sakit kepala, muntah, kaku
tengkuk dan punggung, sering kali menyerang tanduk depan zat kelabu
sumsum belakang.

B. Etiologi

31
Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus virus, dibagi
tiga yaitu :
1. Brunhilde (virus Tipe 1)
2. Lansing (virus Tipe 2)
3. Leon (virus Tipe 3)
Virus poliomyelitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel,
infeksi dapat terjadi oleh satu atau lebih tipe tersebut yang dapat
dibuktikan dengan ditemukan 3 macam zat anti dalam serum
seorang pasien. Epidemik yang luas dan ganas biasanya
disebabkan oleh virus tipe 1, epidemik yang ringan oleh tipe 3,
kadang-kadang menyebabkan kasus yang sporadik.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-
tahun dalam deep freezer. Dapat tahan terhadap banyak bahan
kimia termasuk sulfonamida, antibiotika, eter, fenol, dan gliserin.
Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida atau kalium
permanganat. Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia
walaupun virus juga terdapat pada sampah atau lalat. Masa
inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang terdapat kasus
dengan masa inkubasi 3-35 hari.

C. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari poliomyelitis dapat berupa asimtomatis (silent
infection), poliomyelitis abortif, poliomyelitis non paralitik, dan
poliomyelitis paralitik, Poliomielitis yang terbagi menjadi empat bagian
tersebut :
1. Poliomielitis Asimtomatis, Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak
terdapat gejala karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak
terdapat gejala klinik sama sekali.
2. Poliomielitis Abortif, Timbul mendadak langsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejala berupa infeksi virus seperti malaise,

32
anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi dan nyeri abdomen.
3. Poliomielitis Non Paralitik, Gejala klinik hampir sama dengan
poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih
hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti
penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau
masuk kedalam fase ke-2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit
ini dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang
otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
4. Poliomielitis Paralitik, Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik
disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau
kranial. Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan paralysis fesika
urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara
lain :
a. Bentuk spinal : Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b. Bentuk bulbar : Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak
dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan
dan sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal : Didapatkan gejala campuran antara
bentuk spinal dan bentuk bulbar.
d. Kadang ensepalitik, Dapat disertai gejala delirium, kesadaran
menurun, tremor dan kadang kejang.

Masa inkubasi poliomyelitis umumnya berlangsung selama 6-20


hari dengan kisaran 3-35 hari. Respon terhadap infeksi virus polio
sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk
manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio
termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis.

33
D. Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan saraf tertentu.
Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama
dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam
3-4 minggu sesudah timbul gejala. Polio akut disebabkan oleh asam
ribonukleat kecil (RNA) virus dari kelompok enterovirus dari keluarga
picornavirus. Inti RNA beruntai tunggal dikelilingi oleh protein kapsid
tanpa amplop lipid, yang membuat virus polio tahan terhadap pelarut
lemak dan stabil pada pH rendah. Tiga antigen strain berbeda
diketahui, dengan tipe I akuntansi untuk 85% dari kasus penyakit
lumpuh. Infeksi dengan satu jenis tidak melindungi dari jenis lain,
namun kekebalan untuk masing-masing 3 strain adalah seumur hidup.
Enterovirus dari polio menginfeksi saluran usus manusia terutama
melalui jalur fecal-oral (tangan ke mulut). Virus-virus berkembang biak
di mukosa saluran pencernaan orofaringeal dan rendah selama 1-3
minggu pertama masa inkubasi.. Virus dapat dikeluarkan dalam air liur
dan kotoran selama periode ini, menyebabkan sebagian besar host-to-
host transmisi. Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke
kelenjar getah bening leher dan mesenterika dan kemudian ke dalam
aliran darah Hanya 5% dari pasien yang terinfeksi memiliki keterlibatan
sistem saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi di
situs extraneural viremia mempertahankan dan meningkatkan
kemungkinan bahwa virus akan memasuki sistem saraf.
Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang
darah-otak atau dengan transportasi aksonal dari saraf perifer. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus
precentral, thalamus, hipothalamus, motor inti batang otak dan
sekitarnya formasi reticular, inti vestibular dan cerebellum, dan neuron
dari kolom anterior dan intermediat sumsum tulang belakang. Sel-sel
saraf mengalami khromatolisis pusat bersama dengan reaksi inflamasi
sedangkan perbanyakan virus mendahului timbulnya kelumpuhan.

34
Karena proses khromatolisis berlangsung lebih lanjut, kelumpuhan otot
atau bahkan atropi muncul bila kurang dari 10% dari neuron bertahan
di segmen kabel yang sesuai. Gliosis terjadi ketika inflamasi menyusup
telah mereda, tetapi neuron yang masih hidup yang paling
menunjukkan pemulihan penuh.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Pemeriksaan darah :Hitung darah lengkap (CBC), karena
leukositosis mungkin ada.
b. Cairan serebrospinal : Cairan cerebrospinal (CSF) tekanan dapat
ditingkatkan. Pleositosis (neutrofil dalam beberapa hari pertama,
maka limfosit) dapat dicatat dalam CSF selama periode sebelum
timbulnya kelumpuhan pada polio akut. Kandungan protein CSS
mungkin meningkat sedikit dengan glukosa normal, kecuali pada
pasien dengan kelumpuhan berat, yang mungkin menunjukkan
peningkatan protein untuk 100-300 mg / dL selama beberapa
minggu.
c. Isolasi virus polio
Melakukan pemulihan virus dari tenggorokan mencuci, budaya
tinja, biakan darah, dan budaya CSF. Serta studi virus dalam
spesimen tinja sangat penting untuk diagnosis penyakit polio.
Selain itu, juga dapat dengan cara seperti di bawah ini :
1) Recover virus dari tenggorokan mencuci pada minggu
pertama dan budaya tinja dari 2-5 minggu pertama.
2) Dalam kasus yang jarang terjadi, virus dapat diisolasi dari
CSF atau serum, berbeda dengan penyakit lumpuh yang
disebabkan oleh enterovirus lainnya.
3) Tes ini memerlukan tambahan demonstrasi kenaikan 4 kali
lipat titer antibodi virus untuk membuat diagnosis spesifik.
2. Pemeriksaan Radiologi

35
Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin menunjukkan
lokalisasi peradangan pada tanduk anterior sumsum tulang
belakang.

F. Penatalaksanaan
1. Poliomielitis Abortif :
a. Diberikan analgetik dan sedatif
b. Diet adekuat
c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya
dicegah aktifitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian
diperiksa neuroskeletal secara teliti.
2. Poliomielitis Non Paralitik
a. Sama seperti abortif
b. Selain diberi analgetik dan sedatif dapat dikombinasikan dengan
kompres hangat selama 15–30 menit,setiap 2–4 jam.
3. Poliomielitis Paralitik
a. Perawatan dirumah sakit
b. Istirahat total
c. Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
d. Fisioterapi
e. Akupuntur
4. Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
2.1.5. Konsep Asuhan Keperawatan CTEV
A. Definisi

36
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa
disebut Clubfoot merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi
normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas
yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi
dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery,
Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot),
menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan
penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal
dari kata equino (meng.kuda) dan varus (bengkok ke arah
dalam/medial).

B. Etiologi
Etiologi Congenital Talipes Equino Varus sampai saat ini belum
diketahui pasti tetapi diduga ada hubunganya dengan : Persistence of
fetal positioning, Genetic, Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu
sedikit pada waktu hamil(oligohidramnion), Neuromuscular disorder
(Kadang kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina
Bifida atau displasia dari rongga panggul). Ada beberapa teori yang
kemungkinan berhubungan dengan CTEV :
1. Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang
tidak dibuahi dan muncul sebelum fertilisasi.
2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang
mengimplikasikan defek terjadi antara masa konsepsi dan minggu
ke-12 kehamilan
3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara
lain hambatan temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau
sekbvitar minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi
suatu deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi
setelah minggu ke-9, terjadilah deformitasclubfoot yang ringan

37
hingga sedang. Teori hambatan perkembangan ini dihubungkan
dengan perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai
“Cronon”.“Cronon” ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi
progresif setiap struktur tubuh semasa perkembangannya.
Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun
umum) yang menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon)
4. Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan
akibatintrauterine crowding.
5. Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
6. Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.
7. Sindrom Edward, yang merupakan kelainan genetic pada kromosom
nomer 18
8. Pengaruh luar seperti penekanan pada saat bayi masih didalam
kandungan dikarenakan sedikitnya cairan ketuban (oligohidramnion)
9. Dapat dijumpai bersamaan dengan kelainan bawaan yang lain
seperti spina bifida
10. Penggunaan ekstasi oleh ibu saat sedang mengandung

C. Tanda dan Gejala


1. Tidak adanya kelainan congenital lain
2. Berbagai kekakuan kaki
3. Hipoplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan
4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki
terlihat relatif memendek.
5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan
alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian
belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat
lipatan kulit transversal yang dalam pada bagian atas belakang
sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit
terlihat kecil dan sulit dipalpasi.

38
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat
dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural atau
positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan mudah
dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi pergelangan kaki
terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan ke posisi netral, bila
disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya deformitas rocker-
bottomdengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi pada sendi
tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada kalkaneus,
pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi
pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat
penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami
pergeseran medial, plantar dan terlambat pada maleolus medialis,
tidak terdapat celah antara maleolus medialis dengan tulang
navikularis. Sudut aksis bimaleolar menurun dari normal yaitu 85°
menjadi 55° karena adanya perputaran subtalar ke medial.
8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-
otot tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami
kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang.
Otot-otot ekstensor jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot
fleksor jari kaki memendek. Otot triceps surae mempunyai
kekuatan yang normal.
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan
adanya spina bifida. Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku
dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya subluksasi atau
dislokasi.

D. Patofisiologi

39
Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi
abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain
mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embryonic
yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi dan eversi
pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase
tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh
tekanan intrauterine.
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki, dan bilateral pada 50 %
kasus. Kemungkinan terjadinya deformitas secara acak adalah 1 : 1000
kelahiran. Pemeriksaan pada bayi kaki pekuk menunjukkan equinus
kaki belakang, varus kaki belakang dan kaki tengah, adduksi kaki
depan dan berbagai kekakuan. Semua temuan ini adalah akibat
dislokasi medial sendi talonavikuler. Pada anak yang lebih tua, atrofi
betisdan kaki lebih nyata daripada bayi, tanpa memandang seberapa
baik kaki terkoreksi atau fungsionalnya.

E. Pemeriksaan Penunjang
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan
ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran.

F. Penatalaksanaan
Sekitar 90-95% kasus club foot bisa di-treatment dengan tindakan non-
operatif. Penanganan yang dapat dilakukan pada club foot tersebut
dapat berupa :
1. Non-Operative :
Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan
untuk penanganan remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan
didapatkan dan terdiri dari tiga tahapan yaitu : koreksi dari

40
deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot
normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas.
Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari
serial “cast” yang dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai
tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini ditunjang juga dengan latihan
stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan kontraksi dari
struktur yang lemah pada sisi lateral.
Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari
beberapa hari sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk
mengakomodir pertumbuhan yang cepat pada periode ini. Jika
manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah untuk
memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau
transplant tendon. Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast”
sampai tujuan koreksi tercapai. Serial Plastering (manipulasi
pemasangan gibs serial yang diganti tiap minggu, selama 6-12
minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan
sepatu khusus, sampai anak berumur 16 tahun.
Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan
perawatan pada anak dengan anak dengan penggunaan “cast”.
Anak memerlukan waktu yang lama pada koreksi ini, sehingga
perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting
pada pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi
yang cukup tentang diagnosis, penanganan yang lama dan
pentingnya penggantian “cast” secara teratur untuk menunjang
penyembuhan.
Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan
menganjurkan orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang
normal pada anak walaupun ada batasan karena deformitas atau
therapi yang lama. Perawatan “cast” meliputi : Biarkan cast terbuka

41
sampai kering, Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi
dengan diganjal bantal pada hari pertama atau sesuai  intruksi,
Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan
warna kulit dan laporkan bila ada perubahan yang abnormal, Cek
pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi
adanya rasa nyeri, Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama
tetapi anjurkan untuk melatih otot-otot secara ringan, gerakkan
sendi diatas dan dibawah cast secara teratur, Istirahat yang lebih
banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma, Jangan
biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-
benda kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak, Rasa
gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada
tepi cast dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat, Cast
sebaiknya dijauhkan dari dengan air
2. Operatif
Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :
a. Jika terapi dengan gibs gagal
b. Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
c. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang
mengalami kontraktur maupun dengan osteotomy. Osteotomy
biasanya dilakukan pada kasus club foot yang neglected/ tidak
ditangani dengan tepat
d. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8
minggu, tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendo
Achiles ; kalau masih ada equinus, dilakuakan posterior
release dengan memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan
kaki posterior, dan kalau perlu, kapsul talokalkaneus. Varus
kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis
medial dan pemanjangan tendon tibialis posterior.(Ini Menurut
BuKu Appley).

42
e. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy.
Diatas umur 10 tahun atau kalau tulang kaki sudah mature,
dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri atas reseksi
dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art.
talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid.

G. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
A. Biodata klien : Mengkaji identitas klien dan penanggung yang
meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, dan alamat. bayi laki-laki dua kali
lebih banyak menderita kaki bengkok daripada perempuan.
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survei
membuktikan dari 4 orang kasus Club foot, maka hanya satu
saja seorang perempuan. Itu berarti perbandingan penderita
perempuan dengan penderita laki-laki adalah 1:3 dan 35%
terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar
dizigot.
B. Keluhan Utama : Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah
sakit karena adanya keadaan yang abnormal pada kaki anak
yaitu adanya berbagai kekakuan kaki, atrofi betis kanan,
hipoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang kaki ringan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan sampai saat klien pergi ke
Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti Klien tidak
mengalami keluhan apa-apa selain adanya keadaan yang
abnormal pada kakinya.
D. Riwayat penyakit keluarga : Dapat dikaji melalui genogram dan
dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit
turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
E. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal

43
a) Antenatal : Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang
pernah diderita serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi
penyakitnya, berapa kali perawatan antenatal , kemana serta
kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang pernah
diminum serat kebiasaan selama hamil.
b) Natal : Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa
yang menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum,
ekstraksi forcep, section secaria dan gamelli), presentasi
kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan
saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir,
masa kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir
anak menangis spontan atau tidak.
c) Postnatal : Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah
yang berhubungan dengan gagguan sistem, masalah nutrisi,
perubahan berat badan, warna kulit,pola eliminasi dan
respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya
ashyksia, trauma dan infeksi.
F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Berat badan, lingkar
kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada terakhir. Tingkat
perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar, halus,
social, dan bahasa.
G. Riwayat Kesehatan Keluarga : Sosial , perkawinan orang tua,
kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga yan harmonis
dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiaadat,
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan  internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan intelektual
dan pengetahuan serta ketrampilan anak. Disamping itu juga
berhubungan dengan persediaan dan pengadaan bahan
pangan, sandang dan papan.
H. Riwayat Imunisasi : Riwayat imunisasi anak sangat penting,
dengan kelengkapan imunisasi pada anak mencegah terjadinya

44
penyakit yang mungkin timbul. Meliputi imunisai BCG, DPT,
Polio, campak dan hepatitis.
I. Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI.
pada umur anak tertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan
jenis, takaran dan frekuensi) pemberiaannya serta makanan
tambahan yang diberikan. Adakah makanan yan disukai,
alergi atau masalah makanan yang lainnya)
b) Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada
anak perlu dikaji BAB atau BAK (Konsistensi, warna,
frkuensi dan jumlah serta bau). Bagaimana tingkat toileting
trining sesuai dengan tingkat perkembangan anak
c) Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai
anak pada usia sekelompoknya mengalami kemunduran
atau percepatan.
d) Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah
gangguan tidur, hal-hal yang mengganggu tidur dan yang
mempercepat tidur.
e) Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak
apakah sudah mandiri atau masih ketergantuangan
sekunder pada orang lain atau orang tua.
J. Pemeriksaan Fisik
a) Pantau status kardiovaskuler
b) Pantau nadi perifer
c) Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk
memastikan sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas
tersebut
d) Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan
insersi jari diantara kulit ekstremitasdengan gips setelah
gips kering

45
e) Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:Nyeri, Bengkak,
Rasa dingin, Sianosis atau pucat
f) Kaji sensasi jari kaki : Minta anak untuk menggerakkan jari
kaki, Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang
tidak mampu berespon terhadap perintah, Laporkan dengan
segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan sirkulasi,
Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan
g) Periksa suhu (gips plester) : Reaksi kimia pada proses
pengeringan gips, yang meningkatkan panas, Evaporasi air,
yang menyebabkan kehilangan panas
h) Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan
i) Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda
yang terkadang dimasukkan oleh anak yang masih kecil
j) Observasi adanya tanda-tanda infeksi: Periksa adanya
drainase, Cium gips untuk adanya bau menyengat, Periksa
gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan
infeksi dibawah gips, Waspadai adanya peningkatan suhu,
letargi dan ketidaknyamanan
k) Observasi kerusakan pernapasan (gips spika) : Kaji
ekspansi dada anak, Observasi frekuensi pernafasan,
Observasi warna dan perilaku
l) Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka):
Batasi area perdarahan
m) Kaji kebutuhan terhadap nyeri

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan adanya gips,
pembengkakan jaringan, kemungkinan kerusakan saraf
b. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera
fisik

46
c. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
gips

3. Intervensi Keperawatan

No DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL

KEPERAWATAN KRITERIA HASIL


1. Resiko tinggi Tujuan : 1. Tinggi1. Untuk

cidera Pasien tidak kan menurunkan

berhubungan mengalami ekstremitas pembengkakan,

dengan adanya kerusakan yang di gips karena

gips, kerusakan 2. Kaji peninggian

pembengkakan neurologis atau bagian gips ekstremitas

jaringan, sirkulasi  dan yang terpajan meningkatkan

kemungkinan Pasien untuk aliran balik vena

kerusakan saraf mempertahankan mengetahui 2. Adanya

integritas gips adanya nyeri, tanda-tanda

, nyeri tersebut
Kriteria Hasil:
bengkak, menandakan
–       Jari kaki
perubahan terjadinya
hangat, merah
warna gangguan
muda, sensitif, dan
(sianosis atau sirkulasi
menunjukkan
pucat), 3. Karena
pengisian kapiler
pulsasi, penekanan dapat
dengan segera
hangat, dan menyebabkan
–       Gips

47
mengering dengan kemampuan area tekan

cepat, tetap bersih untuk 4. Untuk

dan utuh bergerak melindungi tepi

3. Rawat gips dan

gips basah mencegah iritasi

dengan kulit

telapak 5. Untuk

tangan, mengeringkanny

hindari a dari dalam

penekanan keluar

gips dengan
6. Karena

ujung jari dapat terjadi luka

(gips plester) bakar dan gips

4. Tutupi hanya akan

tepi gips yang kering di bagian

kasar dengan luar tetapi tidak di

” petal” adesif bagian dalam

5. Janga7. Untuk

n menutupi sirkulasi udara

gips yang
8. Agar area

masih basah tetap bersih dan

6. Janga tidak terjadi

n abrasi

48
mengeringka

n gips

dengan kipas

pemanas

atau

pengering

7. Gunak

an kipas

biasa di

lingkungan

dengan

kelembaban

tinggi

8. Bersih

kan area

yang kotor

dari gips

dengan kain

basah dan

sedikit

pembersih

putih yang

rendah

49
abrasif.

2 Gangguan rasa Tujuan : 1. Berika1. Menguran

nyaman (Nyeri) ketidaknyamanan n posisi yang gi ketegangan

berhubungan yang dialami pasien nyaman, ekstremitas yang

dengan cidera tidak ada atau gunakan di gips

fisik minimal bantal untuk


2. Untuk

Kriteria Hasil: menyokong mencegah nyeri

–    Anak tidak area 3. Udara

menunjukkan bukti- dependen dingin dapat

bukti 2. Bila mengurangi rasa

ketidaknyamanan perlu batasi gatal

aktivitas yang
4. Karena
–   
melelahkan substansi ini
ketidaknyamanan
3. Hilang mempunyai
minor dapat
kan rasa kecenderungan
ditoleransi
gatal dibawah untuk

50
gips dengan ”menggumpal”

udara dingin dan

yang menimbulkan

ditiupkan dari iritasi

spuit asepto,

fan, atau

pengering

rambut.

4. Hindar

menggunaka

n bedak atau

lotion

dibawah gips

3 Resiko tinggi Tujuan : 1. Pastik1. Tepi gips

kerusakan Pasien tidak an bahwa yang tidak halus

integritas kulit mengalami iritasi semua tepi dapat mengiritasi

berhubungan kulit gips halus kulit

dengan gips dan bebas


2. Untuk
Kriteria Hasil :
dari proyeksi mencegah
Tidak
pengiritasi trauma kulit
ditemukannya
2. Janga3. Untuk
tanda-tanda
n mendorong

51
kerusakan membiarkan kepatuhan

integritas kulit anak 4. Karena

memasukkan kulit yang tidak

sesuatu ke bersih dapat

dalam gips memicu

3. Wasp timbulnya iritasi

adai anak
5. Karena

yang lebih kulit dapat

besar untuk teriritasi akibat

tudak adanya air di

memasukkan dalam gips

benda-benda Karena gips akan

kedalam gips, mengeras

jelaskan dengan kulit

mengapa ini terdeskuamasi

penting dan sekresi

4. Jaga sebasea

agar kulit

yang terpajan

tetap bersih

dan bebas

dari iritan

5. Lindun

52
gi gips

selama

mandi,

kecuali jika

gips sintetik

tahan

terhadap air

6. Selam

a gips

dilepas,

rendam dan

basuh kulit

dengan

perlahan

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

53
54

Anda mungkin juga menyukai