Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN MASALAH DIFTERI


Dosen Pengampu: Dr Tri Ratna N. S.Kep,Ns. M.Kes

Disusun Oleh:

Kelompok 6

1. Faizzah Dwi Aristiani (201701143)


2. Riska Ramadhani (201701164)
3. Dhiaulhaq Helmi (201701172)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat allah swt. Yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Masalah Difteri” ini
dengan baik.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak
II oleh Dr Tri Ratna N.,S.Kep, Ns., M. Kes. Ucapan terima kasih tidak lupa kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini, diantaranya:
1. Dr Tri Ratna N.,S.Kep, Ns., M. Kes., selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Anak II.
2. Teman-teman yang telah membantu dan bekerjasama sehingga tersusun
makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam
pembuatan makalah ini yang namanya kami tidak dapat sebutkan satu persatu.
Kami menyadari atas kekurangan kemampuan penulis dalam pembuatan
makaah ini, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi kami apabila
mendapatkan kritikan dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
makalah ini.
Demikian akhir kata dari kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak dan menambah wawasan bagi pembaca.

Penyusun,

Mojokerto, 01 oktober 2019


DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………….1

Daftar Isi………………………………………………………………………...2

Bab I Tinjauan Teori……………….…………………………………………...3

Bab II Konsep ASKEP………………………………………………………….15

Bab III Kesimpulan…………………………………………………………….20

Daftar Pustaka…………………………………………………………………..21

2
BAB I

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Difteri adalah penyakit yang diakibatkan oleh serangan bakteri yang
bersumber dari Corynebacterium Diphtheriae. Difteri merupakan
penyakit yang mengerikan dimana telah menyebabkan ribuan kematian, dan
masih mewabah di daerah-daerah dunia yang belum berkembang. Orang yang
selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan
kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu
sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini (Jurnal Pediatri,
2017).
Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai suatu penyakit infeksi yang
sangat menular yang terjadi secara lokal pada mukosa saluran pernapasan
atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium
Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran
pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan
oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil. Ciri yang khusus pada difteri
ialah terbentuknya lapisan yang khas selaput lendir pada saluran nafas, serta
adanya kerusakan otot jantung dan saraf.
Dari beberapa definisi di atas dapat diartikan bahwa difteri adalah penyakit
infeksi menular berbahaya pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium Diphtheriae

B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama
Cornyebacterium Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak bergerak dan
tidak membentuk spora, aerobik dan dapat memproduksi eksotoksin (Sudoyo,
2009). Uji schick merupakan pemeriksaan untuk mengetahui apakah

3
seseorang telah memiliki antitoksin (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, &
Setiowulan, 2007).
Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius. Basil
dapat membentuk (Mansjoer et al., 2007) :
1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna putih
keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik, dan basil
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Minimum Lethal Dose
(MLD) toksin ini adalah 0,02 ml.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):
1. Difteri nasal anterior
2. Difteri nasal posterior
3. Difteri fausial (farinks)
4. Difteri laryngeal
5. Difteri konjungtiva
6. Difteri kulit
7. Difteri vulva/vagina

Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):


1. Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan.
2. Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan
nefritis.

4
D. MENIFESTASI KLINIS
Gejala diphtheria (Sudoyo, 2009):
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38o Celcius
2. Batuk dan pilek yang ringan
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu
abuan kotor
6. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah

Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria


(Sudoyo, 2009) :
1. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous
dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
2. Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil
dan dinding faring, meluas ke uvula danpalatum molle atau ke distal ke
laring dan trachea.

3. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di
kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung
menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra.

5
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

E. PATOFISIOLOGI

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada


permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Setelah melalui masa inkubasi selama 2-
4 hari kuman difteri membentuk racun atau toksin yang mengakibatkan
timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut dengan
terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas,
kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan
kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan
otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).

F. PATHWAY

6
7
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul:
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain Infeksi ini dapat disebabkan oleh
kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama didapatkan
pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman
streptokokus.
2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas Obstruksi
ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan
nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3. Sistemik Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat
terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak
diperkirakan 10-20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis
adalah virulensi kuman.Virulensi makin tinggi komplikasi jantung.
Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada
minggu keenam. NeuritisTerjadi 5-10% pada penderita difteri yang
biasanya merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik
ditandai dengan: Timbul setelah masa laten.Lesi biasanya bilateral dimana
motorik kena lebih dominan dari pada sensorik.Biasanya sembuh
sempurna.
4. Susunan saraf Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi
yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini
dapat berupa:
o Paralysis palatum : Manifestasi saraf yang paling sering timbul pada
minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung,
tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2 Kelainan ini
biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
o Ocular palsy : Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai
oleh paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan
menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus. Paralysis
diafragma. Dapat terjadi pada minus 5-7 Paralisis ini disebabkan neuritis
n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.

8
o Paralysis anggota gerak :
1. Dapat terjadi pada minggu 6-10
2. Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang,
cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip
dengan sindrom guillian barre.
Prognosa: Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka
kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin
maka kematian menurun menjadi 5-10%.
Prognosa tergantung pada:
1. Usia Makin rendah makin jelek prognosa.
2. Waktu pengobatan antitoksin Sangat dipengaruhi oleh cepatnya
pemberian antitoksin. Nelson (1959) menyebutkan bahwa
pemberian antitoksin pada hari pertama sakit mortalitasnya 0,3%;
pada hari ketiga 4%; pada hari keempat 12%; dan hari kelima dan
seterusnya mortalitasnya 25%.Pada saluran pernafasan terjadi
obstruktif jalan nafas dengan segala
akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis.
3. Kardiovaskuler Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin
yang dibentuk kuman diftera. Kelainan pada ginjal (nefritis).
4. Kelainan saraf Kira-kira 10% pasien difteri mengalami
komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama motorik.
a) Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara
sengau ),tersedak/ sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II.
b) Paralisis/ paresis otot-otot mata dapat menyebabkan
strabismus,gangguan akomodasi, dilatasi pupil, timbul pada
minggu III.
c) Paralisis umum yang dapat terjdi setelah minggu IV. Kelainan
dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling
berbahaya bila mengenai otot pernapasan

9
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman


Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar
albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
c. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan
di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood (
Rampengan, 1993 ).
d. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena
hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
e. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit
peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
f. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu
pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin.

I. CARA PENULARAN
Difteri dapat menular dengan cara kontak langsung maupun tidak
langsung. Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau
bersin membawa serta kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman
masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit
difteri dari seorang penderita kepada orang orang disekitarnya (Rusmil et al.,
2011).
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis
bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jantung dan otak (Pasarpolis, 2017).

10
J. PENCEGAHAN DAN PROGNOSIS PENYAKIT
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani atau mencegah
penyebaran maupun penularan difteri (Mansjoer et al., 2007):
1. Isolasi pasien. Isolasi dihentikan jika hasil pemeriksaan terhadap bakteri
Cornyebacterium Diphteriae dinyatakan negatif setelah melewati dua
hari pemeriksaan.
2. Pemberian imunisasi. Biasanya imunisasi ini bersamaan dengan
imunisasi polio, hepatitis B, sedangkan imunisasi Difteri tergabung
dalam Imunisasi DPT atau Difteri, Pertusis dan Tetanus. Untuk bayi
umur sembilan bulan dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili).
Imunisasi pada bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang
satu bulan.
3. Pencarian dan pengobatan pasien. Dilakukan dengan uji schick. Bila
hasil negatif, dilakukan apusan tenggorokan. Jika ditemukan bakteri
Cornyebacterium Diphteriae maka harus diobati.
4. Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan
(Kartono, 2007).
Prognosis lebih buruk pada pasien dengan usia yang lebih muda,
perjalanan penyakit yang lama, letak lesi yang dalam, gizi kurang, dan
pemberian antitoksin yang terlambat.

K. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan
EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan
minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan
pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS : ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.

11
Diberikan 0,05 CC  intracutan Tunggu 15 menit  indurasi dengan
garis tengah 1 cm  (+)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif  BESREDKA
Test Negatif  secara DRIP/IV
c. Drip/IV : 200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai
kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6 jam  observasi gejala
cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3
hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi
ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari
selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat
dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri
terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼
mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap
pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai
malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek
tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan.
Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap,
atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran
juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit
karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang
disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh
basil difteri tersebut.

12
a. Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea
serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan
stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis,
tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya
yang dapat terjadi miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh
janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya
kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk
mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS
sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu
observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3
minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama
dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam
perawatan khusus.
Bila tidak ada alat EKG : Pemantauan nadi sangat penting dan
harus dilakukan setiap jam dan dicatat secara teratur. Bila terdapat
perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera
menghubungi dokter.
Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :

a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus


sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya
komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).

13
b. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi
dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh
bangun).

Komplikasi yang mengenai saraf.

 Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu


pertama dan kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan)
dengan gejala bila pasien minum air/susu akan keluar melalui
hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil
didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan
sedikit demi sedikit.
 Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu
pertama dan kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan)
dengan gejala bila pasien minum air/susu akan keluar melalui
hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil
didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan
sedikit demi sedikit.
 Gangguan masukan nutrisi. Gangguan masukan nutrisi pada pasien
difteri selain disebabkan karena sakit menelan juga karena
anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia mau
makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur
encer dan berikan susu lebih banyak. Setelah 2-3 hari kemudian
sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba
makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan.
Berikan minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut
dan membantu kelancaran eliminasi.

14
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas
15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat- tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higien dan sanitasi jelek dan fasilitas
kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme : Jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia
b. Pola aktivitas : Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan
demam
c. Pola istirahat dan tidur : Klien mengalami sesak nafas sehingga
mengganggu istirahat dan tidur

15
d. Pola eliminasi : Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses
karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat Suhu : ≤ 38°C
b. Inspeksi : Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi : Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif
3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita
diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
d. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ketidak efektifan pola napas b.d edema laring
2. Gangguan menelan b.d abnormalitas jalan napas atas, laring, orofaring,
gangguan neuromaskular
3. Kelebihan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi

16
I. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Dx Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1. Ketidak  Tujuan : Setelah 1x24 Manajemen Jalan Nafas
efektifan pola jam diharapkan Aktivitas-aktivitas :
napas b.d edema bersihan jalan napas  Posisikan klien untuk
laring pasien efektif memaksimalkan ventilasi
 Kriteria hasil :  Lakukan fisioterapi dada, sebag
 Ajari klien untuk bernapas pelan,
1. Mendemonstrasikan
dalam, berputar dan batuk
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak  Intruksikan bagaimana agar bisa
ada syanosis dan melakukan batuk efektif
dispneu (mampu Monitor Tanda-tanda vital
mengeluarkan sputum, Aktivitas-aktivitas :
mampu bernapas  Monitor tekanan darah, nadi,
dengan mudah, tidak suhu, dan status pernafasan

ada purse lips) dengan tepat

2. Menunjukkan jalan  Catat gaya dan fluktuasi yang


napas yang paten ( luas pada tekanan darah
klien tidak merasa  Monitor dan laporkan
tercekik, irama nafas, tanda dan gejala
frekuensi nafas dalam hipotermia serta hipertermia
rentang normal, tidak  Monitor keberadaan dan kualitas
ada nafas abnormal) nadi
3. Tanda-tanda vital  Identifikasi kemungkinan
dalam rentang normal penyebab perubahan vital sign
(TD, Nadi, RR)

17
2. Gangguan  Tujuan : Setelah 3x24 Pemberian Makan
menelan b.d jam diharapkan klien Aktivitas-aktivitas :
abnormalitas tidak mengalami  Identifikasi diet yang
jalan napas atas, gangguan menelan disarankan
laring, orofaring, makanan  Ciptakan lingkungan yang menyen
gangguan  Kriteria hasil :  Identifikasi adanya refleks menelan
neuromaskular  Catat asupan dengan tepat
1. Klien dapat
mempertahankan  Dorong orangtua/keluarga

makanan dalam mulut untuk menyuapi klien

2. Kemampuan menelan Manajemen Obat

yang adekuat Aktivitas-aktivitas :

3. Kemampuan untuk  Monitor efektifitas cara

mengosongkan rongga pemberian obat yang sesuai

mulut  Monitor pasien mengenai efek


4. Hidrasi tidak ditemukan terapeutik obat
 Monitor tanda dan gejala
toksisitas obat
 Monitor efek samping obat
 Ajarkan klien dan / atau
anggota keluarga mengenai
metode pemberian obat yang
sesuai
Manaejemen Nutrisi
Aktivitas-aktivitas :
 Identifikasi adanya alergi
atau intoleransi
makanan yang dimiliki klien
 Monitor kalori dan asupan
makanan
3. Kelebihan  Tujuan : Setelah 3x24 Terapi Intravena

18
volume cairan jam diharapkan odem Aktivitas-aktivitas :
b.d gangguan terratasi  Jaga teknik aseptik dengan
mekanisme  Kriteria hasil : ketat
regulasi  Berikan pengobatan IV,
1. Terbebas dari edema,
sesuai yang diresepkan, dan
efusi
monitor untuk hasilnya
2. Bunyi nafas bersih,
 Monitor kecepatan aliran
tidak ada dyspneu
intravena dan area intravena
3. Terbebas dari distensi
selama pemberian infus
vena jugularis dan vital
 Monitor tanda-tanda vital
sign normal
4. Terbebas dari kelelahan  Monitor tanda dan gejala

5. Menjelaskan indikator plebitis dan infeksi lokal


kelebihan cairan  Dokumentasikan terapi yang
diberikan, sesuai prosedur di
institusi
Manaejemen Berat Badan
Aktivitas-aktivitas :
 Hitung berat badan klien
 Hitung persentase lemak ideal
 Bantu klien/ keluarga
membuat perencanaan makanan
yang seimbang dan konsisten
dengan jumlah energi yang
dibutuhkan setiap harinya
Monitor Cairan
Aktivitas-aktivitas :
Cek grafik asupan dan pengeluaran
berkala

19
BAB III
KESIMPULAN

Difteri merupakan salah satu penyakit toksik yang berbahaya dan


menular (Contagious Disease). Penyakit ini diakibatkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium Diphtheriae, yakni kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/tenggorokan) dan laring.
Difteri dapat menular melaui beberapa hal seperti kontak hubungan
dekat, melalui udara yang tercemar oleh penderita yang akan sembuh, serta
melalui batuk dan bersin dari si penderita. Kebanyakan penderita difteri adalah
anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dengan usia rentan yakni 2-10 tahun,
dan dalam beberapa kejadian kasus difteri berakibat fatal hingga menimbulkan
kematian. Selain menjaga kebersihan lingkungan pemberian vaksin defteri saat
imunisasi merupakan salah satu upaya dari menghindari serangan virus ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).


Nursing Interventions Classification (NIC). (I. Nurjannah & R.D.
Tumanggor, Penerj.) (6 ed.). Jakarta: Moco Media.

NANDA Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klasifikasi 2015-2017. (T. H. Herdman & S.Kamitsuru, Ed., B. A. Keliat,
H. D. Windarwati, A. Pawirowiyono, & A. Subu, Penerj.) (10 ed.).
Jakarta: EGC.

Sudoyo, A. W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 (5 ed.). Internal
Publishing.

Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan
Penerbit IDAI, Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai