1. Pendahuluan
TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu
Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Penyakit TORCH ini dikenal karena
menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak
sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat
menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka
ragam. Beberapa jenis infeksi yang umum dialami oleh wanita yang akan ataupun sedang hamil
dan infeksi ini biasanya ditularkan ke calon bayi sehingga menyebabkan cacat. Oleh sebab itu,
sangat penting dilakukan diagnosis dini agar dapat dilakukan pencegahan atau pengobatan lebih
awal. Proses diagnosis dapat dilakukan langsung kepada dokter atau bidan, namun sering terjadi
hambatan-hambatan seperti: keterbatasan waktu, keadaan fisik yang tidak memungkinkan untuk
meninggalkan rumah, masalah keuangan, keterbatasan tenaga dokter atau bidan, dan lain-lain.
(Evaliata, 2016)
a. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah suatu infeksi protozoa yang timbul akibat mengonsumsi daging mentah
atau terinfeksi kotoran kucing. Ibu hamil dengan antibodi HIV beresiko karena taksoplasmosis
adalah salah satu infeksi oportunistik yang sering menyertai infeksi HIV. Keberadaan
taksoplasmosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah dan titer taksoplasmosis wanita
kelompok risiko harus diperiksa. Infeksi akut pada masa hamil menimbulkan gejala yang
menyerupai influenza dan limfadenopati. Pengobatan alternatif untuk toksoplasmosis adalah
spiramisin, sulfa (dan klindamisin untuk wanita yang alergi terhadap sulfa) juga dipakai.
(Bobak.2005)
b. Rubela
Rubela yang dikenal juga dengan sebutan campak jerman adalah suatu infeksi virus yang di
transmisi melalui droplet. Demam, ruam, dan limfedema ringan biasanya terlihat pada ibu
terinfeksi. Akibat pada janin lebih serius dan meliputi abortus spontan, anomali konginetal
(disebut juga sindrom rubela konginetal), dan kematian. Pencegahan infeksi rubela maternal dan
efek pada janin adalah fokus utama program imunisasi rubela. Vaksinasi ibu hamil di
kontraindikasikan karena infeksi rubela bisa terjadi setelah vaksin diberikan. Sebagai bagian dari
konseling prakonsepsi atau masa nifas, vaksin rubela diberikan kepada ibu yang tidak imun
terhadap rubela dan mereka dianjurkan memakai kontrasepsi selama minimal 3 bulan setelah
vaksinasi. (Bobak, 2005)
d. Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks tipe I (HSV-1) merupakan infeksi yang paling banyak ditemukan pada
masa kanak-kanak. Virus ini terutama ditransmisi melalui kontak dengan sekresi oral dan
menyebabkan coldsores dan fever blisters. Infeksi HSV-2 biasanya terjadi setelah puber seiring
aktivitas seksual meningkat. HSV-2 ditransmisikan terutama melalui kontak dengan sekresi
genetalia. Ahli kesehatan masyarakat percaya bahwa di Amerika Serikat 10-40 juta orang
mengidap HSV-2. Banyak infeksi genital menunjukkan suatu campuran HSV-1 dengan HSV-2
(Bobak, 2005)
a. Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraselular obligat yang tergolong dalam filum
Apicomplexa dan secara taksonomi mempunyai kekerabatan dengan Plasmodium, penyebab
malaria dan Pneumocystis, penyebab pneumonia. Hospes definitif Toxoplasma gondii adalah
kucing dan hospes sementara adalah burung dan mamalia, termasuk manusia. (Saiful, 2017)
b. Rubella
Rubela disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, family togaviridae. Secara
fisikokimiawi, virus ini sama dengan anggota virus lain dari famili tersebut. Tetapi secara
serologi, virus rubela berbeda. Sindrom rubela konginetal merupakan penyakit yang sangat
menular yang penularannya melalui oral droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan dan
selanjutnya memasuki aliran darah. Namun, terjadi erupsi di kulit dan belum diketahui
patogenesisnya. Virus rubela hanya menjangkiti manusia saja dan penularan dapat terjadi
biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi, daya tular tertinggi terjadi
pada akhir masa erupsi, kemudian menurun hingga cepat dan berlangsung hingga hilangnya
erupsi. ( Amin Huda.2015 )
a. Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraselular obligat yang tergolong dalam filum
Apicomplexa dan secara taksonomi mempunyai kekerabatan dengan Plasmodium, penyebab
malaria dan Pneumocystis, penyebab pneumonia. Hospes definitif Toxoplasma gondii adalah
kucing dan hospes sementara adalah burung dan mamalia, termasuk manusia. Toksoplasma
gondii mempunyai 3 bentuk, (1) Ookista, yang dibentuk dalam mukosa usus kucing (2) Takizoit
(tropozoit yang membelah dengan cepat), merupakan bentuk yang ditemukan pada infeksi akut
dalam tubuh hospes perantara. (3) Kista (mengandung bradizoit, tropozoit yang membelah lebih
lambat), yang terdapat dalam jaringan hospes perantara, terutama di otak, otot rangka dan otot
jantung. Kista dapat bertahan lama dan menyebabkan infeksi menahun. Siklus hidup
Toksoplasma gondii memiliki 2 fase, yaitu seksual dan aseksual. Fase seksual terjadi dalam
tubuh hospes definitif. Pada fase ini terjadi pembentukan ookista dalam mukosa usus halus
kucing yang akan dikeluarkan lewat tinja. Ookista sangat stabil pada lingkungan yang lembab
dan hangat, tetapi tidak mampu bertahan terhadap iklim dingin dan kering. Ookista juga resisten
terhadap banyak desinfektan. Ookista dapat menyebar ke lingkungan dan mengkontaminasi air,
tanah, buah-buahan, dan sayur-sayuran, sehingga dapat tertelan oleh binatang lain dan manusia.
Babi, sapi, atau kambing yang terinfeksi dapat menyebabkan infeksi sekunder pada manusia
yang memakan daging yang tidak dimasak. Fase aseksual terjadi dalam tubuh hospes perantara.
Pada fase ini terbentuk takizoit yang masuk dalam peredaran darah dan menyebar ke seluruh
tubuh sehingga menyebabkan infeksi akut. Daya tahan tubuh akan menghambat proses infeksi
dan takizoit berubah menjadi bentuk kista yang mengandung bradizoit, yang dapat bertahan
seumur hidup. Toksoplasmosis umumnya ditularkan melalui 3 cara: menelan bentuk ookista
Toksoplasma dari kotoran kucing yang melekat di tangan, memakan makanan mentah seperti
sayuran atau buah yang tidak dicuci atau daging yang kurang matang, dan dari ibu kepada janin
melalui plasenta. Penularan juga bisa terjadi melalui tranfusi darah dan transplantasi organ
Ookista atau kista yang ditelan akan pecah dalam usus dan mengeluarkan tropozoit yang akan
menyerang sel tubuh dan berkembang biak dalamnya. Sel yang telah penuh dengan tropozoit
akan pecah dan menyerang sel lain disekitarnya. Parasit dapat menyerang semua sel tubuh
kecuali sel darah merah20,23 serta mampu melewati dinding usus, blood brain barrier dan
plasenta. Parasit tidak menghasilkan toxin, tetapi pertumbuhan kista intraselular akan
menyebabkan sel tubuh menjadi nekrosis. (Saiful, 2017)
b. Rubella
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute pernafasan. Selanjutnya virus
rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi dikulit belum diketahui patogenesisnya.
Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada
sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan
sekret nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjer getah bening, urin, cairan
serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.
Penularan dapat terjadi biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi.
Daya tular tertinggi terjadi pada akhir inkubasi, kemudian menurun dengan cepat. Dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Rubella dapat ditularkan melalui kontak pernafasan dan memiliki masa inkubasi antara 2-3
minggu. Penderita dapat menularkan penyakit ini selama seminggu sebelum dan sesudah
timbulnya rash (bercak - bercak merah) pada kulit. Rash pada Rubella berwarna merah jambu,
mengjilang dalam waktu 2-3 hari dan tidak selalu muncul untuk semua kasus infeksi.
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan
orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai
timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil
konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia
maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas.
Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi
viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat
menyebabkan kelainan organ secara luas. Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital
90 % dapat menularkan virus yang infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam
6 bulan sebanyak 30 – 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian
bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang
rentan dan berhubungan dengan bayi. (Amin Huda, 2015)
a. Toxoplasma Gondii
Manifestasi klinis yang timbul pada penderita toksoplasmosis kongenital berupa
retinokoroiditis, hepatoslenomegali, kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, mikrosefali, dan
retardasi mental. Derajat kelainan yang timbul tergantung pada saat terjadinya infeksi selama
masa kehamilan dan daya tahan tubuh penderita. Infeksi yang terjadi pada awal kehamilan
bahkan dapat menyebabkan abortus atau bayi lahir mati.
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah retinokoroiditis, yang kadang-kadang
dapat timbul bersamaan dengan manifestasi okular lain seperti iritis dan uveitis anterior.
Sebagian besar kasus penyakit ini menimbulkan kelainan pada kedua mata (bilateral).
(Saiful, 2017 )
b. Rubella
1) Masa inkubasi 14-21 hari. Pada anak erupsi timbul tanpa keluhan jarang disertai gejala
dan tanda pada masa prodromal.
2) Pada remaja masa prodromal berlangsung 1-5 hari dan terdiri dari demam ringan, sakit
kepala, nyeri tenggorokan, kemerahan pada konjungtiva, rhinitis, batuk dan
limfadenopatik.
3) Hari pertama erupsi timbul suatu enantema, forschheimer sport, yaitu makula atau pteki
pada pallatum molle, bisa saling merengkuh sampai seluruh permukaan faucia.
4) Pembesaran kelenjar limfe timbul 5-7 hari sebelum timbul eksantema, khas mengenai
kelenjar suboksipital, postaurikular dan servikal dan disertai nyeri tekan.
5) Gejala prodromal menghilang saat erupsi timbul.
6) Bayi yang lahir dari ibu hamil yang menderita rubela pada trimester 1 bisa terkena
sindrom rubela konginetal, yaitu trias anomali konginetal pada mata, telinga, dan defek
jantung. Kerusakan jantung dan mata terjadi karena infeksi embrio yang berumur 6
minggu, sedangkan ketulian dan defek jantung terjadi pada semua embrio yang berumur
sampai kira-kira 16 minggu. ( Amin Huda.2015 )
c. Cyto Megalo Virus
1) Pteki dan ekimosis
2) Hepatosplenomegali
3) Ikterus neonatorum, hiperbilirubinemia
4) Retardasi pertumbuhan intrauterin
5) Prematuritas (ukuran kecil menurut usia kehamilan)
6) Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang lebih besar : purpura ,
hilang pendengaran, korioretinitas : buta, demam, kerusakan otak (Bayu Fajar, 2018)
d. Herpes
a. Infeksi primer
· Tipe I : di daerah pinggang ke atas, terutama daerah mulut dan hidung
· Tipe II : di daerah pinggang ke bawah terutama di daerah genital
· Infeksi primer berlangsung 3 minggu
· Menular melalui kontak kulit
· Demam, malaise, anoreksia
· Pembengkakan kelenjar getah bening regional
( Amin Huda.2015 )
b. Fase laten
Fase ini tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif
pada ganglion dorsalis
c. Infeksi rekurens
· Trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, berhubungan seksual)
· Trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi)
· Berlangsung 7-10 hari
· Rasa panas, gatal, dan nyeri
· Dapat timbul pada tempat yang sama
a. Toxoplasma Gondii
Wanita hamil dan bayi yang terinfeksi, baik yang menunjukkan gejala atau tidak,
mempunyai indikasi untuk mendapat pengobatan spesifik Toksoplasma gondii secepatnya
setelah diagnosis ditegakkan. Beberapa obat terbukti efektif terhadap bentuk takizoit
Toxoplasma gondii, tetapi belum ada obat yang efektif terhadap bentuk bradizoit.Pengobatan
terpilih toksoplasmosis kongenital adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
WHO dan CDC merekomendasikan protokol terapi terhadap wanita hamil yang terinfeksi
Toksoplasma berupa kombinasi pirimetamin (dosis dewasa 25-100 mg/hari, selama 3-4 minggu),
sulfadiazin (dosis dewasa 1-1,5 gr 4x sehari selama 3-4 minggu), dan asam folat (leucovorin, 10-
25 mg/hari selama 3-4 minggu) untuk mencegah depresi sumsum tulang.Pirimetamin tidak dapat
diberikan pada trimester pertama dan kedua kehamilan karena efek teratogeniknya. Obat yang
dapat diberikan untuk wanita pada kehamilan trimester pertama dan kedua adalah sulfadiazin.
Spiramisin juga digunakan untuk mengobati wanita yang mendapat infeksi selama kehamilan.
Obat ini dapat mengurangi resiko terjadinya toksoplasmosis kongenital bila diberikan pada fase
awal penyakit. Spiramisin memiliki konsentrasi yang tinggi dalam jaringan, terutama plasenta.
Dosis yang diberikan pada infeksi maternal akut adalah 3-4 gr/hari per oral yang dibagi dalam 4
dosis selama 3-4 minggu. Belum ada laporan efek teratogenik obat ini pada hewan dan manusia.
Derouin dkk. menyampaikan bahwa kotrimoksazol merupakan obat yang lebih baik
dibandingkan spiramisin untuk mengobati toksoplasmosis selama kehamilan, tetapi kurang
efektif dibandingkan kombinasi pirimetamin-sulfadiazin. Obat ini tidak boleh diberikan pada
trimester I kehamilan. Pengobatan pada bayi penderita toksoplasmosis kongenital dapat
berlangsung selama 1 tahun. Pada 6 bulan pertama dapat diberikan sulfadiazin (80-100
mg/kgbb/hari) dan pirimetamin (1-2 mg/kgbb/hari) ditambah kalsium leukovorin (5 mg/3 hari),
untuk mengatasi efek samping depresi sumsum tulang. Jika terdapat gejala korioretinitis aktif,
dapat diberikan terapi streoid (1 mg/kgbb/hari). Setelah 6 bulan terapi, kombinasi terapi diatas
dapat diberikan bergantian setiap bulan dengan spiramisin (100 mg/kgbb/hari). (Saiful Basri
2017 )
b. Rubella
Untuk tahap penyembuhan sebenarnya tidak ada obat yang spesifik. Berikut beberapa
penanganan yang dilakukan jika terinfeksi :
1) Farmakologi : Acetaminopen atau ibuprofen dapat mengurangi demam dan nyeri
2) Pengobatan rawat jalan
Dikarenakan penyakit rubela merupakan penyakit yang ringan (jika menyerang anak-anak dan
orang dewasa). Seseorang yang menderita rubela bisa dijaga di rumah, tetapi tetap menjaga suhu
tubuh pasien
d. Herpes
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salep atau krim yang mengandung
preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklofir (zofirax).
Pengobatan oral preparat asiklofir dengan dosis 5 x 200 mg perhari selama 5 hari mempersingkat
kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren. Pemberian parenteral asiklofir atau
preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang lebih berat atau terjadi
komplikasi pada organ dalam.
Untuk terapi sistemik digunakan asilofir, falasiklofir atau farmsiklofir. Jika pasien mengalami
rekuren 6 kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan asiklofir 400 mg atau
falasiklofir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc
oxide atau calamine. Pada wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi
HSV disuntikkan asiklofir intravena. ( Amin Huda.2015 )
b. Rubella
1) Tes darah serologi antigen rubela
2) Pemeriksaan ELISA
3.1 Pengkajian
a. Keluhan utama :
Merasakan nyeri di ekstermitas, demam
b. Riwayat kesehatan:
· Suhu tubuh meningkat
· Malaise
· Sakit tenggorokan
· Mual dan muntah
· Nyeri otot
c. Riwayat kesehatan dahulu:
1. Pasien sering berkontak langsung dengan binatang
2. Pasien sering mengkonsumsi daging setengah matang
3. Pasien pernah mendapatkan tranfusi darah
d. Pemeriksaan fisik
· Mata : Nyeri
· Perut : Diare, mula dan muntah
· Integument: suka berkeringat malam, suhu tubuh meningkat, timbulnya rash pada kulit
· Muskuloskletal: Nyeri dan kelemahan
3.2 Diagnosa
3.3 Intervensi
Intervensi :
§ Monitor suhu sesering mungkin
§ Monitor tekanan darah, nadi dan RR
§ Monitor penurunan tingkat kesadaran
§ Berikan anti piretik.
§ Berikan pengobatan untuk mengatasi demam
§ Berikan pengobatan untuk menggigil.
§ Monitor suhu minimal setiap 2 jam.
§ Rencanakan pemantauan.
§ Pantau warna dan suhu kulit.
§ Pantau tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
§ Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi.
§ Selimuti pasien untuk mencegah pemulihan kehangatan tubuh
3.4 Implementasi
3.5 Evaluasi
Intervensi dan kriteria hasil yang ditetapkan oleh perawat dapat tercapai.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA