Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DAN REMAJA DENGAN HIV/ AIDS

Untuk Memenuhi Salah Satu tugas Mata Kuliah

Keperawatan HIV/AIDS

Dosen Pembimbing : Andri Nurmansyah, S.Kep, Ners, M.Kep

Disusun Oleh :

Ananda Ega M (191FK03006)Revita Puspa S (191FK03084)


Ariani Sukmadiwanti (191FK03030)Rijan Apriana (191FK03145)
Muhammad Ramdani (191FK03001)Sri Dewi Mey A (191FK03037)
Nurwilitinisa (191FK03014)Sinta Anggraeni (191FK03022)
3A - Keperawatan (Kelompok 1)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
NOVEMBER 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatNya sehingga
makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak dan Remaja Dengan
Hiv/ Aids” dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk


menambah pengetahuan dan wawasan terhadap materi ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah
yang telah penulis buat.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Allah senantiasa
meridhoi segala usaha kita.

Bandung, 20 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
1.3 Tujuan.......................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................4
2.1 Definisi.....................................................................................................................4
2.2 Etiologi.....................................................................................................................4
2.3 Tahapan perubahan HIV/AIDS................................................................................5
2.4 Patofisiologi..............................................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis.....................................................................................................6
2.6 Pencegahan...............................................................................................................8
2.7 Insiden penularan HIV pada Anak dan Remaja.......................................................8
2.8 Dampak HIV pada Anak dan Remaja....................................................................10
2.9 Diagnosis dini Infeksi pada Anak dan Remaja......................................................11
2.10 Penatalaksanaan......................................................................................................11
2.11 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................14
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN................................................................16
3.1 Pengkajian..............................................................................................................16
3.2 Diagnosa.................................................................................................................17
3.3 Intervensi................................................................................................................18
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................24
4.1 Kesimpulan.............................................................................................................24
4.2 Saran.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan
masyarakat, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan,
penyakit ini juga memiliki fase asimptomatik (tanpa gejala) perjalanan
penyakitnya yang menyebabkan orang yang terinfeksi penyakit HIV/AIDS tidak
terlihat gejala penyakitnya pada 5 - 10 tahun pertama. Hal tersebut menyebabkan
pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena) dimana
kasus yang ditemukan sedikit tetapi kenyataannya lebih banyak jumlah yang
menderita (Masriadi, 2014).
Menurut catatan dari UNICEF pada tahun 2017, kematian terkait dengan
AIDS di kalangan remaja telah meningkat selama dekade terakhir (UNICEF, 2017).
Di Indonesia, berbagai upaya penanggulangan HIV/AIDS sudah dilakukan oleh
Pemerintah baik bekerjasama dengan berbagai lembaga di dalam negeri maupun
diluar negeri. Namun, kasus HIV masih memiliki kecenderungan mengalami
peningkatan sejak pertama kali dilaporan (Kemenkes, 2014).
Menurut Kemenkes (2014), Daerah Istimewa Yogyakarta menempati
sepuluh propinsi dengan AIDS Case Rate tertinggi. AIDS Case Rate tertinggi di
Indonesia diduduki oleh propinsi Papua, disusul propinsi Papua Barat, Bali, DKI
Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawei Utara, Maluku, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Barat.
Sekretaris KPA Kulon Progo, Baning Rahayu Djati mengatakan, hingga
triwulan ketiga tahun 2015 jumlah penderita HIV/AIDS di Kulon Progo sebanyak
158 orang. Rincian penderita HIV/AIDS dari 158 laki-laki, sebanyak 118 masuk
fase HIV dan 43 fase AIDS atau 36% dari jumlah kasus yang ada. Jumlah penderita

1
perempuan 40 orang terkena HIV dan 13 orang penderita AIDS atau 32%.
Berdasarkan data, kasus HIV/AIDS paling banyak salah satunya berada di
kecamatan Sentolo (jogja.antaranews.com, diakses 28 Nopember 2018).
Hingga tahun 2017 kasus HIV/AIDS masih terus mengalami peningatan
yaitu sebanyak 30 kasus baru (Badan Pemebrdayaan perempuan dan Masyarakat
Daerah istimewa Yogyakarta, 2018). Proporsi umur penderita HIV/AIDS tahun
2016 terbanyak diduduki oleh kelompok umur 30-39 tahun dan disusul usia 20-29
tahun (Dinas Kesehatan kabupaten Kulon Progo, 2017). Kasus HIV/AIDS banyak
ditemukan pada usia 20-29 menunjukkan bahwa kasus HIV-AIDS ini sudah terjadi
pada mereka saat umur dibawah 20-29 tahun, hanya saja baru terdeteksinya pada
umur tersebut. Data tersebut menunjukan bahwa kasus HIV/AIDS ini sangat rentan
terjadi pada remaja.
Meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS pada remaja terjadi salah satunya
karena perilaku remaja yang sudah mengindikasi kearah perilaku berisiko. Hal
tersebut terlihat berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi remaja (SKRR) tahun
2012 yang dilakukan oleh BKKBN. Beberapa perilaku berpacaran remaja yang
belum menikah sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 34,7% remaja putri dan 30,9%
remaja putra usia 14-19 tahun pernah melakukan hubungan seks pranikah
(Kemenkes, 2014).
Seks pra nikah pada remaja berisiko terhadap penularan penyakit menular
seksual, salah satunya HIV/AIDS, penyimpangan perilaku seksual, dan kehamilan
di luar nikah (Magdalena, 2010). Survei yang dilakukan oleh SDKI dan BPS
menunjukkan bahwa alasan hubungan seksual pranikah tersebut sebagian besar
karena remaja penasaran atau ingin tahu (57,5% pria), seks pra nikah terjadi
begitu saja pada remaja (38% perempuan), dan seks pra nikah dilakukan karena
dipaksa oleh pasangan (12,6% perempuan). Hal ini mencerminkan kurangnya
pengetahuan remaja tentang hal-hal yang berisiko terhadap penyakit HIV/AIDS
seperti keterampilan hidup sehat, risiko hubungan seks, dan kemampuan
menolak hubungan yang tidak mereka inginkan (Kemenkes, 2017).

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Konsep HIV/AIDS ?


2. Apa saja Etiologi HIV/AIDS pada Remaja ?
3. Bagaimana Tahapan Perubahan HIV/AIDS pada Remaja ?
4. Bagaimana Patofisiologi HIV/AIDS pada Remaja ?
5. Bagaimana Manifestasi klinis HIV/AIDS pada Remaja ?
6. Apa saja Pencegahan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?
7. Bagaimana Insiden penularan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?
8. Bagaimana Dampak HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?
9. Apa saja Diagnosis HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?
10. Apa saja Penatalaksanaan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?
11. Apa saja Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDS pada Anak dan Remaja ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa definisi dari konsep HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
2. Untuk mengetahui apa etiologi HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
3. Untuk mengetahui apa saja Tahapan Perubahan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
4. Untuk mengetahui apa patofisiologi HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
5. Untuk mengetahui apa saja Manifestasi klinis HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
6. Untuk mengetahui bagaimana Pencegahan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
7. Untuk mengetahui apa saja Insiden penularan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
8. Untuk mengetahui apa saja Dampak HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
9. Untuk mengetahui Diagnosis HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
10. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan HIV/AIDS pada Anak dan Remaja
11. Untuk Mengetahui Penunjang HIV/AIDS pada Anak dan Remaja

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV. AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang dimana
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar(sel T berjumlah 200 atau kurang) dan
memiliki antibodi positif terhadap HIV.(Anwar Hafis,2014) AIDS adalah suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.
(Anwar Hafis,2014)

2.2 Etiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan
sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit
CD 4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan
mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi
genetik dari sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid)
menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA
pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus
membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.
Cepat lamanya waktu seseorang yang terinfeksi HIV mengembangkan AIDS dapat
bervariasi antar individu. Dibiarkan tanpa pengobatan, mayoritas orang yang terinfeksi
HIV akan mengembangkan tanda-tanda penyakit terkait HIV dalam 5-10 tahun,
meskipun ini bisa lebih pendek. Waktu antara mendapatkan HIV dan diagnosis AIDS
biasanya antara 10–15 tahun, tetapi terkadang lebih lama. Terapi antiretroviral (ART)

4
dapat memperlambat perkembangan penyakit dengan mencegah virus bereplikasi dan
oleh karena itu mengurangi jumlah virus dalam darah orang yang terinfeksi (dikenal
sebagai 'viral load').

2.3 Tahapan perubahan HIV/AIDS


1. Fase 1
Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah t erpapar dan
terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah.
Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
2. Fase 2
Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu
sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan
pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).
3. Fase 3
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS.
Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu
malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat
badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai
berkurang.
4. Fase 4
Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan
tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang
disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang
menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya
sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare

5
parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental
dan sakit kepala.

2.4 Patofisiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan etiologi dari infeksi HIV/AIDS.
Penderita AIDS adalah individu yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 < 200μL
meskipun tanpa ada gejala yang terlihat atau tanpa infeksi oportunistik. HIV ditularkan
melalui kontak seksual, paparan darah yang terinfeksi atau sekret dari kulit yang
terluka, dan oleh ibu yang terinfeksi kepada janinnya atau melalui laktasi.12 Molekul
reseptor membran CD4 pada sel sasaran akan diikat oleh HIV dalam tahap infeksi. HIV
terutama akan menyerang limfosit CD4. Limfosit CD4 berikatan kuat dengan gp120
HIV sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membrane virus ke membran sel. Dua ko-
reseptor permukaan sel, CCR5 dan CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan
gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4. Koreseptor menyebabkan perubahan
konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran.13 Selain limfosit,
monosit dan makrofag juga rentan terhadap infeksi HIV. Monosit dan makrofag yang
terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh
virus. HIV bersifat politronik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia, seperti sel
Natural Killer (NK), limfosit B, selendotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel
mikroglia dan berbagai jaringan tubuh. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4,
maka berlangsung serangkaian proses kompleks kemudian terbentuk partikel-partikel
virus baru dari yang terinfeksi.13 Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten
dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga
menghasikan banyak virus. Infeksi pada limfosit CD4 juga dapat menimbulkan
sitopatogenitas melalui beragam mekanisme termasuk apoptosis (kematian sel
terprogram) anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi
sel).

2.5 Manifestasi Klinis

6
Gejala penyakit AIDS sangat bervariasi. Berikut ini gejala yang ditemui pada
penderitaan AIDS :
1. Panas lebih dari 1 bulan
2. Batuk-batuk
3. Sariawan dan nyeri menelan
4. Badan menjadi kurus sekali
5. Diare
6. Sesak napas
7. Pembesaran kelenjar getah bening
8. Kesadaran menurun
9. Penurunan ketajaman penglihatan
10. Bercak ungu kehitaman di kulit.
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri (sindrom retroviral
akut, demensia HIV), infeksi opurtunistik, atau kanker yang terkait AIDS. Perjalanan
penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4.
(Anwar Hafis, 2014).
1. Infeksi retroviral akut
Frekuensi gejala infeksi netroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis
menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatosplenomegali, nyeri
tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili,ulkus pada mukokutan, diare, leukopenia,
dan limfosit atipik, sindrom Gillian Barre, atau psikosis akut. Sindrom ini biasanya
sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2. Masa Asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati
umum. Penurunan jumlah CD4 terjadi bertahap, disebut juga masa jendela (window
period).
3. Masa gejala dini
Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antar 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat
infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herpez zoster,

7
leukoplakia, ITP, dan tuberkulosis paru. Masa ini dulu disebut AIDS Related
Complex(ARC). (Anwar Hafis, 2014)
4. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD4, di bawah 200. Penurunan daya tahan ini menyebabkan
resiko tinggi rendahnya infeksi opurtunistik berat atau keganasan
2.6 Pencegahan
Beberapa pencegahan HIV AIDS menurut (Koes Irianto, 2012) yaitu:
1. Usaha-usaha yang dapat dilakukan terhadap AIDS adalah tindakan pencegahan agar
tidak terjangkit penyakit AIDS. Sebenarnya HIV mudah mati bila dipanaskan atau
bila terkena antiseptik seperti alkohol, fenol. Oleh karena itu semua cairan tubuh
dan darah penderita AIDS yang tercecer harus didisinfeksi secara sempurna.
2. Jarum atau jarum suntik sebaiknya satu kali pakai saja atau bila akan digunakan
kembali harus betul-betul dipanaskan hingga steril. Hindari hubungan seks dengan
partner bila partner tersebut sering berganti pasangan.hindari hubungan
homoseksual atau anak seks (melalui anus) karena resiko lecet atau terluka lebih
besar sehngga memudahkan terinfeksi HIV. Gunakanlah kondom bila ragu-ragu.
3. Wanita yang terken HIV sebaiknya jangan mengandung karena HIV dapat
ditularkan ke janin melalui plasenta. Orang-orang yang di duga terkena HIV tidak
diperkenankan menyumbang darah dan organ-organ tubuhnya untuk transplantasi.
4. Telah diupayakan pembuatan vaksin tetapi masih dalam taraf penelitian dan
percobaan yang belum selesai.

2.7 Insiden penularan HIV pada Anak dan Remaja


Salah satu faktor risko penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama kehamilan, persalinan
maupun selama menyusui. Hingga saat ini kejadian penularan dari ibu ke anak sudah
mencapai 2,6 persen dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan di Indonesia. Ada
tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.

8
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau
saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya
sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan
HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
c. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan
mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi
yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular
seksual,infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain,
seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan
sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke
bayi akan semakin besar.
c. Adanya luka di mulut bayi Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular
HIV ketika diberikan ASI.
3. Faktor obstetrik Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan
lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke
anak selama persalinan adalah:

9
a. Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.

Penyebaran HIV pada usia muda makin memprihatinkan. Fakta ini menunjukkan
bahwa penderita AIDS paling banyak menyerang para remaja yang masih berusia
produktif. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dri 13 tahun sampai 16 tahun, dan
akhir usia remaja bermula dari usia 16 tahun sampai 18 tahun. Artinya, pada usia-usia
tersebut, remaja sangat rentan terkena penaruh-pengaruh dari luar, seperti penyalah
gunaan narkoba, salah memilih teman dalam pergaulan yang berujung pada ergaulan
bebas. Masih banyak remaja zaman sekarang yang belum mengetahui bahaya-bahaya
yang ditimbulkan akibat melakukan seks diluar nikah atau melakukan seks secara tidak
sehat. HIV/AIDS dapat menular kepada siapa saja. Maka dari itu, banyak orang yang
salah persepsi atau menganggap bahwa seseorang yang terkena penyakit HIV/AIDS
sangat berbahaya. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk mencaci maki, mengolok-
olok, menghina bahkan mengusir penderita HIV/AIDS dari tempat tinggalnya.

2.8 Dampak HIV pada Anak dan Remaja


1. Menurunnya fungsi kekebalan tubuh manusia.
2. Mudah terkena tumor.
3. Pemberlakuan hokum sosial bagi penderita HIV/AIDS ,seperti tindakan
penghindaran, pengasingan, penolakan, dan dikriminasi.
4. Banyak penderita HIV/AIDS pada usia produktif yang meninggal pada usia muda.

10
5. Kehilangan teman (Nursalam, 2016 & Fallis, 2013)

2.9 Diagnosis dini Infeksi pada Anak dan Remaja


Diagnosis infeksi HIV virologis secara dini pada anak dan remaja:
1. Memungkinkan ditentukan secara dini mereka yang terinfeksi HIV, sebagai langkah
pertama dalam menyediakan pengobatan dan perawatan untuk mereka.
2. Memungkinkan ditentukan mereka yang terpajan HIV tetapi tidak terinfeksi, untuk
memudahkan tindak lanjut dengan perawatan dan langkah pencegahan untuk
membantu memastikan mereka tetap tidak tertular.
3. Membantu penggunaan sumber daya esensial secara efektif dengan mengutamakan
ketersediaan ART pada anak yang membutuhkannya.
4. Memperbaiki kesejahteraan psiko-sosial keluarga dan anak, mengurangi
kemungkinan timbulnya stigma, diskriminasi dan kesukaran psikologis untuk anak
yang tidak terinfeksi HIV dan meningkatan kemungkinan mereka diasuh sebagai
anak yatim-piatu;
5. Memudahkan perencanaan kehidupan untuk orang tua dan/atau anak yang terinfeksi
(Talita, 2017)

2.10 Penatalaksanaan
1. Terapi Antiretroviral (ARV)
 Paduan terapi ARV lini pertama pada remaja (10-19 tahun)
Pemilihan paduan terapi ARV pada remaja berperan penting untuk membina
kepatuhan terapi. Penggunaan paduan terapi ARV dalam bentuk kombinasi
dosis tetap yang diberikan satu kali sehari diharapkan dapat menurunkan
resistensi dan loss to follow up. Paduan terapi ARV lini pertama pada remaja
terinfeksi HIV yang direkomendasikan oleh WHO tahun 2013 Abdallah
TDF+3TC(atau FTC)+EFV. Efavirenz dengan dosis standar memiliki efek

11
samping pada sistem saraf pusat yang dapat menurunkan kualitas hidup serta
kepatuhan
terapi. Studi tentang paduan terapi ARV pada remaja masih terbatas. Dua
telaah sistematis yang bertujuan untuk mencari pilihan paduan terapi ARV
pada remaja hanya menemukan
satu uji klinis yang populasinya termasuk remaja. Uji klinis acak PENPACT-1
membandingkan paduan terapi ARV berbasis PI dan NNRTI sebagai paduan
terapi ARV lini pertama pada negara dengan pendapatan tinggi dan
menengah. Pada akhir pengamatan tidak terdapat perbedaan luaran keamanan
maupun keefektifan dari kedua paduan terapi ARV tersebut. Uji klinis acak
tersebut memiliki beberapa bias, di antaranya sub populasi remaja hanya
diwakili oleh sebagian kecil subjek dalam studi. Paduan terapi ARV yang
digunakan dari kelompok NNRTI pada uji klinis PENPACT-1 lebih banyak
menggunakan NVP atau nelvinafir, tidak sesuai dengan rekomendasi paduan
NNRTI saat ini. Penggunaan paduan terapi ARV berbasis PI akan
mempersulit pelaksanaan operasional di lapangan karena banyaknya
diversifikasi paduan terapi ARV menurut usia.Dilatarbelakangi oleh
terbatasnya studi terapi ARV pada remaja, maka pilihan paduan terapi ARV
pada remaja ,diekstrapolasi dari studi pada populasi dewasa. Hal tersebut juga
mempermudah sinkronisasi paduan terapi ARV remaja dengan dewasa.
 Paduan terapi ARV lini pertama pada anak berusia 3-10 tahun.
Kelompok anak merupakan kelompok populasi terinfeksi HIV yang cakupan
pengobatannya dengan ARV masih rendah bila dibandingkan dengan dewasa.
Salah satu upaya untuk meningkatkan cakupan terapi ARV tersebut adalah
dengan menyelaraskan terapi ARV dengan populasi dewasa. Uji klinis acak
pemilihan jenis paduan NRTI sebagai “tulang punggung” pada anak terinfeksi
HIV dilakukan di Afrika Selatan. Uji klinis tersebut membuktikan
penggunaan ABC dibandingkan dengan AZT dikombinasikan dengan 3TC
sama efektifnya untuk mencapai respons klinis, imunologis, dan virologis.

12
Sama dengan alasan pemilihan paduan NRTI pada kelompok anak berusia <3
tahun, pemilihan paduan terapi ARV lini pertama akan memengaruhi
pemilihan paduan pada lini kedua. Kegagalan terapi menggunaan paduan AZT
dikhawatirkan menimbulkan akumulasi resistensi terhadan analog timidin
sehingga mengurangi efektifitas ABC atau TDF sebagai paduan terapi ARV
lini kedua. Alasan tersebut membuat paduan dengan ABC+3TC lebih
diutamakan dibandingkan dengan paduan AZT+3TC.Sampai saat ini belum
ada telaah sistematis maupun uji klinis acak yang membandingkan
kefektivitasan paduan terapi ARV berbasis TDF, ABC, atau AZT pada
kelompok remaja terinfeksi HIV. Food and Drug Administration (FDA)
mengeluarkan rekomendasi keamanan TDF untuk anak mulai di atas usia 2
tahun sejak tahun 2011. Penggunaan paduan TDF memberikan keuntungan
penyelarasan dengan paduan dewasa serta apabila dikombinasi dengan 3TC
dan EFV hanya membutuhkan waktu satu kali minum obat per hari. Paduan
TDF memiliki efek samping toksisitas ginjal dan menurunkan densitas
mineral tulang. Belum banyak studi yang meneliti efek samping TDF pada
anak terutama kaitannya dengan gangguan pertumbuhan. Paduan ABC
memiliki profil kefektivitasan yang sama baiknya dengan TDF. Abacavir
memiliki keunggulan yaitu telah terbukti keamanannya digunakan pada
populasi anak terinfeksi HIV. Hal tersebut membuat paduan dengan ABC
masih digunakan sebagai pilihan paduan kelompok NRTI pada anak.Telaah
sistematis yang membandingkan EFV dan NVP sebagai pilihan paduan
kelompok NNRTI mendapatkan EFV memiliki profil toksisitas jangka pendek
dan respons virologis Yang lebih baik dibandingkan dengan NVP. Anak
terinfeksi HIV yang sudah mencapai supresi virus persisten menggunakan
paduan terapi ARV yang mengandung paduan NVP tidak perlu berganti
menggunakan EFV. Pemilihan paduan EFV dapat dipertimbangkan apabila
akan menyederhanakan paduan terapi ARV menjadi sekali sehari. Seperti
pada kelompok anak terinfeksi HIV kurang dari 3 tahun, penggunaan paduan

13
ABC di Indonesia masih digunakan sebagai terapi ARV lini kedua. Abacavir
belum tersedia di fasilitas kesehatan primer yang melayani pasien terinfeksi
HIV, juga belum tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap yang
memudahkan pemberian. Keterbatasan tersebut menyebabkan paduan terapi
ARV berbasis AZT+3TC masih digunakan sebagai paduan terapi ARV lini
pertama untuk anak terinfeksi HIV

2.11 Pemeriksaan Penunjang


a. Tes antibodi
Tes antibodi adalah metode pemeriksaan HIV dan AIDS yang paling
umum.Antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh
sebagai respon terhadap kehadiran zat asing, seperti virus. Cek HIV ini tujuannya
bukan untuk mencari penyakit atau virus HIV, tetapi menemukan protein untuk
menangkal penyakit (antibodi).Protein ini dapat ditemukan di dalam darah, urin,
atau air liur.
b. Tes antibodi-antigen (Ab-Ag)
Pemeriksaan HIV Ab-Ag adalah pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi yang
ditujukan terhadap HIV-1 atau HIV-2.Pemeriksaan HIV ini juga bertujuan untuk
menemukan protein p24 yang merupakan bagian dari inti virus (antigen dari
virus) Pemeriksaan Ab-Ag penting karena biasanya butuh waktu beberapa
minggu sampai antibodi terbentuk setelah infeksi awal meski virus (dan protein
p24) sudah ada dalam darah.Dengan demikian, pemeriksaan Ab-Ag
memungkinkan untuk menjadi deteksi dini infeksi HIV.
c. Tes serologi
Ada tiga jenis tes serologi yang umum direkomendasikan sebagai pemeriksaan
HIV dan AIDS, yaitu:
d. Tes darah

14
HIV/AIDS cepat dengan reagen (bahan kimia aktif) sudah dievaluasi dan
direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi antibodi HIV-1 maupun HIV-2.
Tes darah HIV ini dapat dijalankan meskipun hanya menggunakan jumlah
sampel yang sedikit.
Selain itu, tes darah cepat sebagai pemeriksaan HIV hanya butuh sekitar 20 menit
untuk mengetahui hasilnya. Prosedur tes darah HIV ini hanya dapat dilakukan
oleh tenaga medis yang sudah terlatih.
e. Tes Elisa
Pemeriksaan HIV ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2 yang
dilakukan dengan ELISA (enzyme-linked immunisorbent assay) atau dikenal
juga dengan EIA (enzyme immunoassay).Untuk melakukan tes ELISA, sampel
darah akan diambil dari permukaan kulit Anda kemudian dimasukkan ke dalam
tabung khusus.Sampel darah kemudian dikirim ke laboratorium untuk dianalisis.
Di laboratorium, sampel darah dimasukkan ke cawan petri yang berisi antigen
HIV.
f. Tes Western blot
Tes Western blot hanya dilakukan untuk menindaklanjuti tes skrining awal yang
menunjukkan hasil positif HIV. Biasanya, tes ini disarankan jika tes ELISA
menunjukkan hasil positif HIV.Terkadang, tes ELISA dapat menunjukkan hasil
positif (false positive).Pemeriksaan ini juga diperlukan jika Anda memiliki hasil
positif HIV dari tes sebelumnya, tetapi diketahui memiliki kondisi lain.
g. Tes virologis dengan PCR
Tes virologis adalah salah satu jenis pemeriksaan HIV dan AIDS yang dilakukan
dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Tes virologis penting bagi ibu
hamil yang positif memiliki HIV.Bayi yang baru lahir dari ibu positif HIV juga
wajib melakukan pemeriksaan ini minimal saat ia berusia 6 minggu.Selain bayi,
tes ini juga direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18
bulan apabila dicurigai mengalami HIV. Tes ini mungkin juga membantu dalam

15
mendeteksi infeksi HIV dalam 4 minggu pertama setelah terpapar virus. Jika
pada pemeriksaan pertama hasil tes virologis bayi dilaporkan positif HIV,
pengobatan HIV harus segera dimulai.
(Aucla, 2019)

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1) Data Subjektif
a) Pengetahuan klien tentang AIDS
b) Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c) Dispneu (serangan)
d) Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)

2) Data Objektif
a) Kulit, lesi, integritas terganggu
b) Bunyi nafas
c) Kondisi mulut dan genetalia
d) BAB (frekuensi dan karakternya)
e) Gejala cemas

3) Pemeriksaan Fisik
a) Pengukuran TTV
b) Pengkajian Kardiovaskuler
c) Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal jantung
kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d) Pengkajian Respiratori

16
e) Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia, nyeri
dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f) Pengkajian Neurologik
g) Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot,
kejangkejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran,
delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h) Pengkajian Gastrointestinal
i) Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan, bercak
putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus,
candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah,
colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j) Pengkajain Renal
k) Pengkajaian Muskuloskeletal
l) Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m) Pengkajian Hematologik
n) Pengkajian Endokrin

4) Status Nutrisi
a) Kaji adanya infeksi oportunistik
b) Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

3.2 Diagnosa

Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak
dengan HIV antara lain:

a. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder


terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
b. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder
terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)

17
c. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
d. Perubahan eliminasi (diare) berhubungan dengan peningkatan motilitas usus
sekunder proses inflamasi system pencernaan.
e. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitisseboroik
dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
f. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya
organisme infeksius dan imobilisasi
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral

3.3 Intervensi
a. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret sekunder
terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
Intervensi :
1. Auskultasi areaparu, catat areapenurunan/tidak ada aliranudara danbunyi
napasadventisius, Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area
konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada
area konsolidasi.
2. Mengkaji ulangtanda-tandavital (irama danfrekuensi, sertagerakan
dindingdada Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada
tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau
cairan paru- paru
3. Bantu pasienlatihan napassering.Tunjukkan/bantu
pasienmempelajarimelakukanbatuk, misalnyamenekan dadadan
batukefektifsementara posisi duduktinggi. Rasional : Napas dalam
memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk
adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk
mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan

18
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napaslebih
dalam danlebih kuat.
4. Penghisapansesuai indikasi Rasional : merangsang batuk atau pembersihan
jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan
karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
5. Berikan cairansedikitnya 2500ml/hari (kecualikontraindikasi). Tawarkan
airhangat daripada dingin. Rasional : Cairan (khususnya yang hangat)
memobilisasi dan mengeluarkan sekret
6. Memberikanobat yang dapatmeningkatkanefektifnya jalannafas
(sepertibronchodilator) Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus
dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan.

b. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder


terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
Intervensi :
1. Pertahankanlingkungansejuk, denganmenggunakanpiyama dan selimut
yangtidak tebal sertapertahankansuhu ruanganantara 22o dan24 o C
Rasional : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh
dengan cara radiasi.
2. Beri antipiretiksesuai petunju Rasional : Antipiretik seperti asetaminofen
(Tylenol), efektif menurunkan demam.
3. Pantau suhutubuh anaksetiap 1-2 jam,bila terjadipeningkatansecara tiba-
tiba. Rasional : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan mengakibatkan
kejang
4. Beriantimikroba/antibiotik jiradisarankan Rasional : Antimikroba mungkin
disarankan untuk mengobati organismo penyebab.

19
5. Berikankompresdengan suhu 37oC pada anakuntukmenurunkandemam
Rasional : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara
konduksi.

c. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan


pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
Intervensi :
1. Ukur dan catatnpemasukan danpengeluaran.Tinjau ulangcatatan intraoperasi.
Rasional : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi
pengeluaran cairan/ kebutuhan penggantian dan pilihan- pilihan yang
mempengaruhi intervensi.
2. Pantau tanda-tanda vital. Rasional : hipotensi, takikardia, peningkatan
pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan.
3. Letakkanpasien padaposisi yangsesuai,tergantungpada kekuatanpernapasan.
Rasional : elevasikepala danposisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi
dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru
bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
4. Pantau suhukulit, palpasidenyut perifer
5. Rasional : kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan
penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan
tambahan.
6. Kolaborasi,berikan cairanparenteral,produksi darahdan
atauplasmaekspandersesuai petunjuk.Tingkatkankecepatan
IVjikadiperluakan. Rasional : gantikan kehilangan cairan yang telah
didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang
potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidakseimbangan.

d. Perubahan eliminasi (diare) berhubungan dengan peningkatan motilitas usus


sekunder proses inflamasi system pencernaan.

20
Intervensi :
i. Observasi dancatat frekuensidefekasi,karakteristik,jumlah dan faktor
pencetus Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji
beratnya episode.
2. Tingkat tirahbaring, berikanalat-alatdisampingtempat tidur. Rasional :
Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila
infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.
3. Buang fesesdengan cepatdan berikanpengharumruangan Rasional :
menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien
4. Identifikasimakanan dancairan yangmencetuskandiare (misalnya sayuran
segar,buah, sereal,bumbu,minumankarnonat,produks susu). Rasional :
Menghindarkanirirtan meningkatkan istirahat usus
5. Mulai lagipemasukancairan per oralsecara bertahapdan hindariminuman
dingin. Rasional : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan/ cairan. Makan kembali secara bertahap
cairan mencegah kram dan diare berulang, namun cairan yang dingin dapat
meningkatkan motilitas usus
6. Berikankolaburasiantibiotik
Rasional : Mengobati infeksi supuratif fokal

e. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitisseboroik


dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
Intervensi :
1. Pasang alatpelembabdalam rumahuntukmenghindarikulit terlalukering
Rasional : Kulit yangkering dapatmempermudahterjadinyakerusakan
kulitsehingga perlu dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak mudah
lecet.
2. Bersihkandaerah yangtidak infeksi Rasional : membersighan daerah yang
tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit.

21
3. Sarankan klienuntuk tidakmenggaruk Rasional : Menggaruk dapat
mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika
dilakukan dengan keras/ kuat.
4. Kulit yangmengeras danbersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendiri.
Rasional : berusaha mengelupas/ melepas kulit yang bersisik dapat memicu
terjadinya luka pada kulit yang bersisik 5. Pemberianantibiotiksistemik
Rasional : pemberian antibiotik dapat membantu membasmi bakteri
sehingga infeksi kulit tidak meluas.

f. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh, adanya


organisme infeksius dan imobilisasi
Intervensi :
1. Gunakanteknik mencucitangan yangcermat Raional : Untuk meminimalkan
pemajanan pada organisme infeksius
2. Beri tahupengunjunguntukmenggunakanteknik mencucitangan yangbaik
Rasional : Untuk meminimalkan pemajanan organisme infeksius.
3. Tempatkananak diruanganbersama anakyang tidakmengalamiinfeksi
ataudiruangan pribadi. Rasional : pemahaman yang baik tentang cuci
tangan dapat mempengaruhi perliku orang tua untuk cuci tangan sebelum
dan sesudah memegang atau menyentuh anak
4. Batasi kontakdengan individuyangmengalamiinfeksi,termasuk keluarga,
anaklain, teman dananggota staf,jelaskan bahwaanak sangatrentanterhadap
infeksi Rasional : Untukmendorongkerja sama danpemahaman
5. Observasiasepsis medisdengan tepat Rasional : Untuk menurunkan risiko
infeksi
6. Dorong nutrisiyang baik danistirahat yangcukup Rasional : Untuk
meningkatkan pertahan alamiah tubuh yang masih ada
7. Jelaskan padakeluarga dananak yang lebihbesar
tentangpentingnyamenghubungiprofesionalkesehatan bilaterpajanpenyakit

22
masa kecil (misalnya.Cacar air,gondongan) Rasional : Penjelasan yang baik
akan memungkinkan orang tua memberikan imunisasi yang tepat pada
bayinya
8. Berikanimunisasi yangtepat sesuaiketentuan Rasional : Untuk mencegah
infeksi
9. Berikanantibiotik sesuaiketentuan Rasional : Dapat untuk mencegah infeksi
bakteri/ sebagai profilaksi
10. Implementasikan dan lakukankewaspadaanuniversal,khususnya isolasi
bahantubuh Rasional : Untuk mencegah penyebaran virus
11. Instruksikanorang lain(misalnyakeluarga,anggota
staf)untukmenggunakankewaspadaantepat,jelaskan adanyakesalahankonsep
tentangpenularan virus Rasional : Hal ini merupakan masalah yang sering
terjadi dan dapat mempengaruhi penggunaan kewaspadaan yang tepat

g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Intervensi :
1. Berikanmakanan dankudapan tinggikalori dantinggi protein Rasional :
Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
2. Beri makanan yang disukai anak Rasional : Untuk mendorong agar anak
mau makan
3. Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau
suplemen yang dijual bebas Rasional : Untuk memaksimalkan kualitas
asupan makanan.
(Fahrida et al., 2012)

23
BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
akibat infeksi virus HIV. AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang
seseorang dimana mengalami penurunan sistem imun yang mendasar(sel T
berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.(Anwar
Hafis,2014) AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan
hasil akhir dari infeksi oleh HIV. (Anwar Hafis,2014)
4.2 Saran
Dampak HIV pada Anak dan Remaja Menurunnya fungsi kekebalan tubuh manusia.
Mudah terkena tumor. Pemberlakuan hokum sosial bagi penderita HIV/AIDS
,seperti tindakan penghindaran, pengasingan, penolakan, dan dikriminasi. Banyak
penderita HIV/AIDS pada usia produktif yang meninggal pada usia muda
Kehilangan teman.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aucla. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.


Fahrida, D., Sari, L. P., Ariana, D., Tinggi, S., Kesehatan, I., & Pengantar, K. (2012).
Asuhan Keperawatan Ibu Hamil Dengan Penyakit Hiv / Aids. 1–25.
Nursalam, 2016, metode penelitian, & Fallis, A. . (2013). HIV dan AIDS. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Talita. (2017). Tentang pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera. Jurnal
Kesehatan, 7–15.

25

Anda mungkin juga menyukai