Anda di halaman 1dari 5

A.

PENCEGAHAN PRIMER
Pencegahan primer merupakan pencegahan garda terdepan dimana
pencegahan ini bertujuan untuk mengurangi insiden dari suatu penyakit.
Pencegahan ini lebih mensasar pada pendekatan perseorangan dan komunitas
seperti promosi kesehatan dan upaya proteksi spesifik (Porta 2008).
Pencegahan ini hanya dapat efektif apabila dilakukan dan dipatuhi dengan
komitmen masyarakat dan dukungan politik yang tinggi.
Dalam permasalahan HIV/AIDS , pencegahan primer sangatlah
diharapkan untuk menjadi upaya terbaik dalam menekan peningkatan kejadian
kasus HIV/AIDS. Biasanya pencegahan primer lebih menitikberatkan pada
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku seseorang dan komunitas
terhadap penyakit HIV/AIDS dan metode penularannya. Berikut contoh upaya
pencegahan primer untuk penyakit HIV/AIDS yang dapat dilakukan :
1) PROMOSI KESEHATAN
a) Penyuluhan Kesehatan menjadi upaya yang sering dilaksanakan
dalam pencegahan HIV/AIDS. Upaya ini sebagai upaya pencerdasan
bagi sasaran komunitas untuk memperbaiki pengetahuan dan persepsi
tentang penyakit,Faktor risiko,metode penularan dan pencegahan dari
Penyakit HIV/AIDS (Chin & Editor 2000). Kegiatan penyuluhan ini
dilakukan pada kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV
yaitu anak-anak, remaja, kelompok Penasun ( pengguna Narkoba dan
suntik ), Kelompok pekerja seks, berganti-ganti pasangan seks dan
lain lain. Hampir seluruh kelompok umur berisiko untuk penyakit ini.
Akan tetapi sekitar 40% kelompok yang berisiko adalah kelompok
remaja usia 20 – 29 tahun (K et al. 2010).
b) Beberapa survei menyebutkan adanya pemahaman masyarakat yang
masih minim terkait penyakit HIV/AIDS, sehingga upaya
penyuluhan ini menjadi langkah awal dalam pengendalian penyakit
HIV/AIDS. Metode penyuluhan sangat bervariasi diantaranya
melalui ceramah dengan media poster dan leaflet, diskusi, Forum
Group Discussion dan membentuk KSPAN ( Kelompok Siswa Peduli
HIV/AIDS ) pada tiap sekolah yang dilatih dan dibina untuk menjadi
edukator untuk melakukan penyuluhan kepada temanteman sekolah
(S et al. 2012).
c) Pada negara afrika tepatnya di morogoro, ada sebuah program sosial
yang bersinergi dengan puskesmas setempat untuk memberikan
penyuluhan terkait penyakit HIV/AIDS kepada kelompok ibu-ibu
khususnya ibu hamil pada program Integrated maternal and newborn
health care. Program ini diimplementasikan oleh kementerian
kesehatan dan keadilan sosial negara melalui Jhpiego, dan seluruh 18
departemen kesehatan di 4 wilayah rural dan peri-urban. Jadi
program ini dilakukan pada daerah rural dan periurban. Jadi program
ini diintegrasikan dengan dilakukannya tes HIV dan dilanjutkan pada
upaya edukasi (An et al. 2015).
2) PROTEKSI SPESIFIK

Penularan virus HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual


dengan orang yang berisiko, penggunaan jarum suntik yang tidak steril
dan bebarengan, dan penularan dari ibu hamil ke janinnya. Adapun upaya
proteksi spesifik yang sudah direkomendasikan untuk pengendalian
penyakit HIV/AIDS sebagai berikut :

a. Menurut permenkes nomor 21 tahun 2013 telah dijelaskan


penanggulangan HIV/AIDS pada pasal 14 tentang pencegahan
HIV/AIDS melalui hubungan seksual dilakukan melalui :
 Tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
berisiko. - Setia dengan pasangan
 Menggunakan kondom secara konsisten pada saat
berhubungan Menghindari penyalahgunaan obat atau zat
adiktif narkoba
 Melakukan pencegahan lain seperti melakukan sirkumsisi.

Dalam melakukan hubungan seksual, proteksi penularan HIV/AIDS


dapat efektif dilakukan untuk mengurangi risiko melalui (Men &
Estimate 2015) :

 Mempunyai satu pasangan seks yang berisiko rendah


 Pasangan seks sesama ODHA ( Orang dengan HIV/AIDS )
 Dan tidak melakukan hubungan seks.
b. Adapun proteksi penularan HIV/AIDS yang tidak melalui hubungan
seksual diantaranya pembuatan program layanan alat suntik steril
dan tes darah sebelum melakukan transfusi darah.
B. PENCEGAHAN SEKUNDER
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan lini kedua dari teori
pencegahan penyakit. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi dan
meminimalisir prevalensi penyakit dengan durasi waktu yang cukup singkat.
Pencegahan sekunder terdiri dari deteksi dini dan pengobatan tepat (Porta
2008). Berikut salah satu contoh upaya pencegahan sekunder sebagai berikut :
1) DETEKSI DINI
Salah satu deteksi dini yang dapat diupayakan adalah
perlindungan buruh migran Indonesia khususnya BMI ( Buruh Migran
Indonesia ) melalui upaya deteksi dini di bandara dan pelabuhan.
Deteksi dini yang dilakukan berupa mencermati aktivitas oleh BMI
ketika proses pemberangkatan dan kedatangan di bandara dan
pelabuhan di Surabaya Jawa timur. Pengamatan dilakukan dengan
pemberian pertanyaan terkait permasalahan kesehatan dan cek
kesehatan berdasarkan risiko HIV/AIDS yang ada. Selanjutnya hasil
dari pengamatan tersebut di laporkan oleh petugas di Gedung
Pendataan Kepulangan Khusus Tenaga Kerja Indonesia ( GPKTKI ).
Harapannya hasil dari pengamatan tersebut bisa menjadi dasa ran
utama untuk intervensi dini dan pengaturan langkah selanjutnya untuk
pengobatan lebih dini (Kinasih et al. 2015).
Contoh dalam upaya deteksi dini HIV/AIDS adalah pada
sasaran kelompok berisiko tinggi yaitu kelompok pekerja seks. Upaya
yang dilakukan hampir sama pada penjelasan sebelumnya. Beda nya
dalam pemantauan ini , pihak dari puskesmas setempat yang
berwewenang untuk melakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan
dengan mendata tempat-tempat yang digunakan sebagai lokalisasi
masyarakat (Kakaire et al. 2015).
2) PENGOBATAN TEPAT
Pengobatan yang spesifik merupakan upaya tepat setelah
mendapatkan pelaporan dari deteksi dini. Walaupun HIV/AIDS
sampai saat ini belum ditemukan obat paten untuk menyembuhkan
HIV/AIDS, namun peranan obat ini dapat menjadi penghambat dan
memperpanjang perkembangan virus HIV di dalam tubuh.
Sebelum ditemukan pengobatan ARV ( Anti Retrovirus ) yang
ada saat ini, pengobatan yang ada hanya disasarkan pada penyakit
opportunistik yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Berikut macam-
macam pengobatan yang digunakan :
 Penggunaan TMP-SMX oral untuk profilaktif
 Pentamidin aerosol untuk mencegah pneumonia P.
Carinii.
 Tes tuberkulin pada penderita TBC aktif.
Pada tahun 1999, telah ditemukan satu-satunya obat yang dapat
mengurangi risiko penularan HIV/AIDS perinatal dengan penggunaan
AZT. Obat ini diberikan sesuai dengan panduan yang sesuai.

Akhirnya WHO merekomendasikan untuk penggunaan Anti retroviral


bagi para penderita HIV/AIDS. Keputusan untuk memulai dan merubah
terapi ARV harus dipantau dengan memonitor hasil pemeriksaan lab baik
plasma HIV RNA ( Viral load ) maupun jumlah sel CD4 + T (Rumah &
Sanglah 2011).

C. PENCEGAHAN TERSIER
Pencegahan tersier merupakan lini terakhir dari tahap pencegahan
penyakit. Pencegahan tersier bertujuan untuk membatasi akibat dari penyakit
yang dapat terjadi pada jangka waktu yang relatif lama dan juga memperbaiki
kualitas hidup seseorang untuk bisa lebih membaik (Porta 2008).
Dalam topik penyakit HIV/AIDS hampir dipastikan orang yang
terinfeksi HIV/AIDS akan berujung pada kematian. Beberapa contoh yang
bisa diterapkan adalah penggunaan terapi ARV. Hingga sampai saat ini, hanya
ARV yang masih menjadi terapi efektif untuk menghambat perkembangan
virus HIV dalam menyerang CD4+T. Keterlambatan dalam penggunaan terapi
ARV akan meningkatkan mortalitas (Rumah & Sanglah 2011).

Anda mungkin juga menyukai