Anda di halaman 1dari 6

Pencegahan HIV tersier

(kelompok 3 Tersier)

1. Definisi Pencegahan HIV tersier

Meningkatkan aksesibilitas ART (Antiretroviral treatment), dan profilaksis untuk


melakukan pencegahan pada terjadinya Opportunistic Infections Melakukan perawatan bagi
penderita HIVAIDS, untuk menangani komplikasi penyakit yang sudah terjadi guna mencegah
kematian penderita Arwindha (2014).
Menurut Kenneth Mayer yang dikolaborasi dengan teori dari beberapa ahli. Pencegahan
tersier untuk mencegah orang dengan positif infeksi HIV, untuk mengurangi kematian, dan
disabilitas, dengan menggunakan antiretroviral therapy, dan memulihkan kekebalan tubuh
penderita yang dilakukan untuk menyembuhkan komplikasi penyakit yang sudah terjadi serta
aktifitas yang dapat dilakukan yakni meningkatkan aksesibilitas ART dan untuk melakukan
pencegahan pada terjadinya IO bagi penderita (ODHA), dan melakukan perawatan bagi
penderita HIV-AIDS untuk menangani komplikasi penyakit yang sudah terjadi guna mencegah
kematian penderita.
Sulistomo, 2013 mengatakan “bahwa pencegahan tersier adalah pemulihan dan
rehabilitasi : terapi tertentu di rumah sakit, penggunaan alat bantu tertentu dan PKMRS
(Promosi Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit)

2. Kapan Dilakukan Pencegahan HIV tersier

Pencegahan tersier dilakukan setelah seseorang telah terdiagnosa positif HIV yang
dibuktikan melalui pemeriksaan laboratorium. Pencegahan tersier dilakukan setelah penyakit
berada di dalam tubuh, bermaksud untuk mengurangi dampak rasa sakit, menghentikan
perkembangan penyakit, dan membatasi kecacatan yang timbul dari penyakit. Menurut Kenneth
Mayer yang dielaborasi dengan teori dari beberapa ahli, Pencegahan tersier untuk mencegah
orang dengan positif infeksi HIV untuk mengurangi kematian dan disabilitas dengan
menggunakan antiretroviral therapy (ART) (Mayer, K. H, 2009).
3. Siapa yang Melakukkan Pencegahan HIV Tersier

Gambar 1. stratifikasi pelayanan kesehatan di Indonesia, (Sulistomo, 2013)

Tidak semua instansi pelayanan kesehatan melakukan aktifitas pencegahan tersier


penyakit HIV-AIDS, karena aktifitas pengobatan dan perawatan hanya dilakukan oleh jaringan
pelayanan kesehatan (Dinkes dan RSUD). pengobatan hanya dilakukan oleh dinas kesehatan
melalui seluruh puskesmas dan juga RSUD. Berdasarkan kewenangan, tupoksi, program dan
kegiatan (termasuk anggaran dan ketersediaan keahlian). Serta perawatan yang hanya
dilakukan oleh RSUD. Peran instansi lain (SKPD dan LSM) hanya sebagai pendukung. Dalam
hal ini, peran LSM sangat penting dan cukup intens dalam berkoordinasi dengan pihak layanan
kesehatan dan LSM hanya menjadi perantara yang merupakan kesatuan dari peran
pendampingan oleh LSM (pasca diagnosa).

4. Dimana dilakukan pencegahan

Pencegahan tersier dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yakni


Faskes Primer dan Faskes Primer Rujukan (Puskesmas), Dinas Kesehatan, dan RS yang
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan, serta upaya pencegahan di masyarakat, yakni
membantu agar orang yang telah terinfeksi tidak menularkan kepada orang lain atau
pasangannya.
Perawatan dan dukungan HIV dan AIDS harus dilaksanakan dengan pilihan pendekatan sesuai
dengan kebutuhan:
A. Perawatan berbasis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a merupakan perawatan yang ditujukan kepada orang terinfeksi HIV dengan
infeksi oportunistik sehingga memerlukan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
sesuai dengan sistem rujukan.
B. Perawatan rumah berbasis masyarakat (Community Home Based Care) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada
orang terinfeksi HIV tanpa infeksi oportunistik, yang memilih perawatan di rumah.
Perawatan dirumah sebagaimana dimaksud bertujuan untuk mencegah infeksi, mengurangi
komplikasi, mengurangi rasa sakit/tidak nyaman, meningkatkan penerimaan diri menghadapi
situasi dan memahami diagnosis, prognosis dan pengobatan, serta meningkatkan kemandirian
untuk mencapai hidup yang berkualitas.
(Permenkes No. 43 Tahun 2016).

5. Apa saja yang dilakukan


Kegiatan pencegahan tersier yang dilakukan di FKTP antara lain penemuan Infeksi
Oportunistik dan penentuan stadium klinis, profilaksis Kotrimoksasol, penanganan ko-infeksi
TB-HIV, perawatan kronis yang baik, pemberian obat ARV, pencegahan penularan HIV dari Ibu
ke anak (PPIA), pengendalian dan pengobatan IMS, Pengurangan Dampak Buruk
Penyalahgunaan Napza Suntik (PDBN), Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM).
Pencegahan di masyarakat:
- Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak
- Pencegahan penularan HIV kepada pasangannya
- Pencegahan penularan HIV kepada orang lain (Kemenkes, 2016)

6. Bagaimana cara melakukannnya


Prinsip dasar perawatan kronik yang baik di dalam perawatan pasien dengan HIV,
pasien diajarkan untuk memahami keadaan dan mengatasi masalah kronisnya. Infeksi HIV
membutuhkan edukasi dan dukungan agar pasien dapat mandiri untuk mengurusi kondisi
kesehatan sendiri. Meskipun tim PDP di klinik dan masyarakat dapat membantu, pasien tetap
harus belajar mengatasi penyakit mereka sendiri, mengungkapkan status mereka kepada orang
yang mereka percaya agar mereka mendapatkan dukungan dan pertolongan yang dibutuhkan,
melakukan pencegahan dan hidup positif, mengerti tentang profilaksis, obat ARV dan obat-obat
lainnya yang mereka minum. Hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan karena hasil yang
diperoleh penting untuk pasien. (Permenkes No. 43 Tahun 2016).
Penentuan adanya infeksi oportunistik dan penentuan stadium klinis dilakukan pada
pasien yang telah didiagnosis terinfeksi HIV melalui pemeriksaan laboratorium. Kemudian
dilakukan pemeriksaan dari kepala hingga kaki untuk menemukan adanya IO termasuk TB dan
menentukan stadium klinis, serta penyakit lain yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Penanganan IO pada stadium klinis lanjut lebih sulit dan membutuhkan rawat inap yang
membutuhkan biaya mahal. IO yang tersering di Indonesia adalah TB, kandidiasis oral, diare,
Pneumocystis Pneumonia (PCP), Pruritic Popular Eruption (PPE).
Pemberian profilaksis Kotrimoksasol bertujuan untuk melindungi ODHA dari beberapa
IO seperti PCP, Toksoplasmosis, infeksi bakterial dan diare kronis. Ada 2 jenis profilaksis yang
diberikan, yaitu Profilaksis primer diberikan untuk mencegah infeksi yang belum pernah
didapatkan, dan profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan dari infeksi yang sama.
Profilaksis sekunder diberikan segera setelah seseorang selesai mendapatkan pengobatan IO.
Misalnya, seseorang (ODHA) menderita PCP, maka setelah selesai mendapatkan pengobatan
PCP dan sembuh maka kotrimoksasol diberikan sebagai profilaksis sekunder.
Penanganan kolaborasi infeksi TB-HIV bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat HIV dan TB di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara kolaborasi
program TB dan HIV dalam satu atap, dengan melakukan kerjasama antara tim HIV, tim DOTS
dan manajemen layanan, melalui pembentukan Kelompaok Kerja (Pokja) TB-HIV dibawah
Kemenkes dan di bawah Dinkes tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tim tersebet terdiri dari
Wadir Pelayanan/Komite Medik (RS)/Kepala Puskesmas/FKTP, Dokter, Perawat, Petugas
Laboratorium, Petugas Farmasi, Konselor, Manajer Kasus, Kelompok dikungan, dan Petugas
pencatatan dan pelaporan.
Perawatan Kronis yang baik bertujuan untuk mendukung ODHA untuk mendapat
perawatan yang cocok untuk perjalanan penyakitnya dan untuk dapat minum obat ARV seumur
hidup. Selain itu pasien ODHA harus dapat belajar mengatasi penyakit mereka sendiri,
melakukan pencegahan dan hidup positif, mengerti tentang profilaksis, obat ARV dan obat-obat
lainnya yang mereka minum. Untuk itu dibutuhkan edukasi, supporting system dan konseling
kepatuhan bagi mereka.
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) sejak dari kehamilan, persalinan
maupun menyusui. Upaya ini dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif dan
berkesinambungan meliputi 4 komponen (prong) yaitu:
 Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
 Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV
 Prong 3: Pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil dengan HIV dan sifilis
ke bayi yang dikandungnya
 Prong 4: dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya.
Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM) bertjuan menurunkan penularan HIV, IMS,
dan hepatitis di kalangan penasun dan pasangannya. Peserta PTRM adalah penasun yang
menggunakan heroin dan opiate. Metadona digunakan secara oral dan diminum sekali sehari,
dengan prinsip terapi Start Low, Go Slow, dan Aim High (Kemenkes, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes, 2016. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Petunjuk Teknis 2016. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit.

Mayer, K.H. and French, M.A., 2009. Immune reconstitution inflammatory syndrome: a
reappraisal. Clinical Infectious Diseases, 48(1), pp.101-107.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.

Putranto, D.W., 2017. Proses Kolaborasi Antara Pemerintah Daerah Dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Hiv-Aids Di Kota
Surabaya (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Sulistomo B, 2013. Penyusunan Rencana Strategis untuk Program Pencegahan dan


Promosi. Staf khusus Menteri Bidang Kebijakan kesehatan. Kementerian Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai