Anda di halaman 1dari 75

HUBUNGAN TINGKAT STRES DAN POLA MAKAN DENGAN

KEJADIAN GASTRITIS PADA SANTRI DI PESANTREN


MODEREN TERPADU AL-FURQAN BAMBI
KABUPATEN PIDIE
TAHUN 2021

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh


gelar Sarjana Gizi (S.Gz) pada Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas U’Budiyah Indonesia Banda Aceh

Oleh :

NADYA RUMAISHA
NIM : 191010320026

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS U’BUDIYAH INDONESIA
BANDA ACEH
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i
DAFTAR TABEL....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian.........................................................................................5
1.4. Manfaat Penelitian.......................................................................................5
1.5. Keaslian Penelitian.......................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................10
2.1. Gastritis......................................................................................................10
2.2. Stres............................................................................................................22
2.3. Pola Makan.................................................................................................33
2.4. Santri..........................................................................................................42
2.5. Kerangka Teori...........................................................................................48
2.6. Kerangka Konsep.......................................................................................49
2.7. Hipotesis.....................................................................................................50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................52
3.1. Jenis Penelitian...........................................................................................52
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................52
3.3. Populasi dan Sampel..................................................................................53
3.4. Teknik Pengumpulan Data.........................................................................54
3.5. Instrumen Penelitian...................................................................................55
3.6. Definisi Operasional...................................................................................55
3.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data.......................................................56
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60
LAMPIRAN...........................................................................................................64

i
ii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Makanan yang Boleh Diberikan dan Dihindari Penderita Gastritis..........21


Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Usia Remaja.......................................................48
Tabel 3 Definisi Operasional.................................................................................56

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Teori......................................................................................49


Gambar 2 Kerangka Konsep..................................................................................50

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.............................................................................................................65
Lampiran 2.............................................................................................................65
Lampiran 3.............................................................................................................66
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan 2015-2019 merupakan program Indonesia


Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan
(Kementrian kesehatan RI, 2015). Peningkatan usia harapan hidup sejalan
dengan perbaikan sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan yang ada, hal
tersebut sangat berperan penting dalam jumlah prevalensi pengendalian
penyakit menular dan penyakit tidak menular. Pembangunan kesehatan di
Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit
menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum banyak
ditangani, sedangkan di pihak lain telah terjadi peningkatan kasus penyakit
tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya hidup karena urbanisasi,
modernisasi, dan globalisasi (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang (Kementrian Kesehatan, 2018). Salah satu
contoh penyakit tidak menular adalah gastritis. Gastritis atau dikenal dengan
sakit maag adalah peradangan dari mukosa lambung yang disebabkan oleh
faktor iritasi dan infeksi. Penyakit gastritis jika tidak ditangani akan merusak
fungsi lambung, sehingga dapat meningkatkan risiko terkena kanker lambung
hingga menyebabkan kematian.
Gastritis merupakan penyakit dengan jumlah penderita terbesar di
seluruh dunia, diperkirakan penderita gastritis di seluruh dunia lebih dari 1,7
milyar. Menurut data dari World Health Organization (WHO), angka
kejadian gastritis di dunia dari beberapa negara yaitu Inggris dengan angka

1
2

persentase 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, dan Perancis
29,5%. Di dunia, angka kejadian penyakit gastritis sekitar 1,8-2,1 juta
penduduk dari tiap tahunnya (WHO, 2017). Angka kejadian gastritis pada
beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi, dengan prevalensi mencapai
40,8% (WHO, 2017).
Berdasarkan profil kesehatan di Indonesia tahun 2011, gastritis
termasuk kedalam sepuluh penyakit terbanyak di rumah sakit di Indonesia.
Pasien rawat inap gastritis berada di urutan keenam dengan jumlah kasus
sebesar 33.580 kasus, 60,86% terjadi pada perempuan. Pada pasien rawat
jalan, gastritis berada pada urutan ketujuh dengan jumlah kasus 201.083
kasus yang 77,74% terjadi pada perempuan (Kementrian Kesehatan RI,
2011). Kasus gastritis di kota-kota besar di Indonesia cukup tinggi dengan
presentase Pontianak 31,2%, Surabaya 31,5%, Aceh 31,7%, Bandung 32,5%,
Palembang 35,5%, Denpasar 46%, Jakarta 50%, dan Medan 91,6% (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Berdasarkan Data Dinas
Kesehatan Aceh tahun 2015, jumlah penderita gastritis di Provinsi Aceh yang
melakukan rawat jalan yaitu 5.385 dari 4.726.001 jiwa penduduk Aceh,
sedangkan yang melakukan rawat inap yaitu 1.560 orang.
Penyakit gastritis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
ialah stres psikis dan pola makan yang salah. Seseorang dapat mengalami
produksi asam lambung berlebih saat mengalami stres, selain itu pada saat
seseorang mengalami stres maka akan terjadi perubahan hormonal dalam
tubuh. Perubahan itulah yang dapat merangsang sel-sel di dalam lambung
memproduksi asam secara berlebihan. Asam yang berlebih dapat
menimbulkan rasa perih, nyeri, dan kembung. Apabila hal tersebut terjadi
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya luka pada lambung
(Chasanah, 2010).
Pola makan yang buruk juga dapat menyebabkan terjadinya gastritis.
Kebiasaan makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi, jika berlangsung lama produksi asam lambung akan berlebihan
sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut
3

menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual.
Gejala tersebut dapat naik ke kerongkongan dan menimbulkan rasa panas
terbakar (Notoatmodjo, 2011). Penelitian (Wahyuni et al.,2012) menyatakan
terdapat hubungan ketepatan waktu makan dengan kejadian gastritis,
responden dengan waktu makan yang tidak tepat mempunyai risiko 2 kali
lebih besar untuk mengalami gastritis dari pada responden dengan waktu
makan yang tepat. Jenis makanan mempunyai risiko mengalami gastritis 4,7
kali lebih besar dibandingkan dengan yang kurang mengkonsusmsi jenis
makanan pemicu gastritis seperti makanan asam, asin, pedas, gas, serta
berlemak merupakan faktor risiko kejadian gastritis (Sani et al., 2016).
Selain stres dan pola makan, terdapat beberapa faktor yang dapat
menyebabkan seseorang berisiko menderita penyakit gastritis, diantaranya
adalah orang yang terinfeksi bakteri Helicobacter pylori, pengguna obat-
obatan anti nyeri golongan NSAIDs (nonstreroidal anti-inflammatory drugs),
orang tua, adanya gangguan sistem imun, perokok, dan orang yang
mengosumsi minuman beralkohol. Penyakit gastritis dapat diderita oleh
semua golongan, termasuk santri yang tinggal di pondok pesantren. Di
pesantren, santri dituntut untuk mampu hidup mandiri, terutama dalam
memenuhi kebutuhan makanannya. Menurut Mead dalam Ritcie (2007), pola
konsumsi makanan para santri menggambarkan perilaku makan santri di
pesantren. Tempat tinggal yang jauh dari keluarga merupakan salah satu
penyebab santri mengonsumsi makanan jajanan dan jarang mengonsumsi
makanan sehat. Pola makan yang salah pada santri dan dilakukan dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit gastritis.
Santri di dalam pondok pesantren memiliki beberapa permasalahan,
diantaranya adalah aktifitas yang padat dan tuntutan peraturan yang harus
dilaksanakan setiap hari, jauh dari keluarga, dan lingkungan yang berbeda
dari tempat tinggal serta masyarakat yang membuat para santri dituntut untuk
mampu menjalankan aturan dan prosedur yang sudah diatur dan ditetapkan
oleh pondok. Hal berikut merupakan keadaan yang dialami oleh santri, yaitu
keadaan dimana seorang santri harus dapat menyesuaikan dan menjalankan
4

kegiatan yang sudah diatur dalam pondok pesantren. Tekanan-tekanan


tersebut membuat seseorang mudah mengalami stres. Ketidakmampuan
seseorang untuk mengelola tekanan dan tuntutan sehingga membuat fisik dan
pikiran seseorang mudah berubah. Tuntutan dari lingkungan dan keadaan
fisik yang tidak mendukung membuat seseorang mudah mengalami stres,
apalagi remaja yang masih memiliki tingkat emosional yang belum stabil.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
tentang penyakit gastritis pada santri, di Pondok pesantren Al-Mukmin
Sukoharjo santri yang menderita gastritis terus meningkat setiap tahunnya.
Tahun 2013 terdapat 230 santri yang menderita gastritis, tahun 2014 terjadi
peningkatan menjadi 306 santri, dan 2015 meningkat menjadi 320 santri
(Rifqiyatunnasiyah, 2017). Di Pondok pesantren Al-Munjiyah Durisawo yang
terletak di Ponorogo, dari 130 santri putri yang usia 12-23 tahun, 71 santri
(54,6%) memiliki riwayat gastritis, dan 59 santri (45,4%) tidak memiliki
riwayat gastritis (Penelitian Syamsu Dwi Wahyuni, et al., 2017). Di pesantren
Istiqomah Samarinda dari 117 santri, 32,3% santri mengalami gastritis
(penelitian Ghozali, et al., 2020).
Berdasarkan fenomena tersebut, dengan banyaknya angka kejadian
gastritis pada santri di pondok pesantren peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang kejadian gastritis pada santri di salah satu pesantren yang
ada di Provinsi Aceh. Adapun judul yang ingin diteliti adalah Hubungan
Tingkat Stres dan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada Santri di
Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie Tahun 2021.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan


masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Hubungan Tingkat Stres
dan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada Santri di Pesantren
Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi Kabupaten Pidie Tahun 2021?”.
5

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum


Mengetahui hubungan tingkat stres dan pola makan dengan kejadian
gastritis pada santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi
Kabupaten Pidie Tahun 2021.

1.3.2. Tujuan Khusus


a. Mengetahui tingkat stres pada santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-
Furqan Bambi Kabupaten Pidie Tahun 2021.
b. Mengetahui pola makan santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-
Furqan Bambi Kabupaten Pidie Tahun 2021.
c. Mengetahui angka kejadian gastritis pada santri di Pesantren Moderen
Terpadu Al-Furqan Bambi Kabupaten Pidie Tahun 2021.
d. Mengetahui hubungan tingkat stres dengan kejadian gastritis pada santri
di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi Kabupaten Pidie
Tahun 2021.
e. Mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian gastritis pada santri
di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi Kabupaten Pidie
Tahun 2021.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi peneliti


Menambah pengetahuan, meningkatkan wawasan, serta melatih peneliti
untuk mengembangkan kemampuan dalam penelitian selanjutnya.

1.4.2. Bagi Tempat Penelitian


Diharapkan dapat memberikan wawasan khususnya bagi pengurus pondok
pesantren mengenai stres dan pola makan yang dapat mempengaruhi
kejadian gastritis pada santri sehingga dapat memberikan pengawasan
yang lebih kepada santri.
6

1.4.3. Bagi Santri


Diharapkan dengan adanya penelitian ini santri lebih banyak mengetahui
pola makan yang baik seperti tepat waktu atau sesuai jadwal dan tidak
mengonsumsi makanan yang dapat menyebabkan gangguan organ
pencernaan seperti makanan pedas, serta para santri diharapkan dapat
mengatur jadwal untuk mengerjakan tugas agar pikiran lebih santai.

1.4.4. Bagi Institusi Pendidikan


Prodi S-1 Ilmu Gizi Universitas Ubudiyah Indonesia yang dapat dijadikan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan panduan bagi
mahasiswa atau mahasiswi lain yang akan melanjutkan penelitian.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan


Bambi, Kabupaten Pidie. Penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Laili Kurniawati (2019) mahasiswa Keperawatan STIKes Muhammadiyah
Pringsewu Lampung melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Pola
Makan dengan Kejadian Gastritis pada Santri di Pondok Pesantren
Mambaul Hisan Kabupaten Pringsewu Tahun 2019. Metode yang
digunakan yaitu survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah
sampel yang diambil dalam penelitian tersebut adalah 55 responden
dengan kriteria yaitu santri yang berada di Pondok Pesantren Mambaul
Hisan Kabupaten Pringsewu. Berdasarkan penelitian ini, sebanyak 18
responden (32,7%) santri di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Kabupaten
Pringsewu mengalami gastritis, sedangkan untuk pola makan yang tidak
baik terdapat 31 responden (56,4%). Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan pola makan dengan kejadian gastritis pada santri di Pondok
Pesantren Mambaul Hisan Kabupaten Pringsewu tahun 2019 dengan p-
value 0,042 dan OR 4,118 yang berarti responden yang memiliki pola
makan tidak baik memiliki resiko mengalami gastritis 4,118 kali
7

dibandingkan dengan responden yang memiliki pola makan baik.


Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya yaitu pada
lokasi dan waktu penelitian, populasi, jumlah sampel penelitian, variabel
independen penelitian, dan pengolahan data. Lokasi penelitian sekarang
yaitu di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie
dengan waktu penelitian yaitu tahun 2021. Populasi pada penelitian
sekarang adalah santri Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi,
Kabupaten Pidie dengan jumlah sampel pada penelitian yaitu 76
responden. Variabel independen penelitian sekarang adalah tingkat stres
dan pola makan. Adapun persamaannya yaitu adanya variabel pola makan
dan kejadian gastritis dengan kriteria sampel yaitu santri pondok
pesantren, jenis penelitian, desain penelitian, instrumen penelitian, dan
analisis data yang menggunakan uji chi-square.
2. Desty Eka Restiana (2019) mahasiswa Keperawatan. STIKes Bhakti
Husads Mulia Madiun melakukan penelitian yang berjudul Hubungan
Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada Remaja Kelas X di MA
Walisongo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun Tahun 2019.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif
korelasi dan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel
yang diambil adalah 67 responden (rumus Slovin) yang merupakan siswa
kelas X di MA Walisongo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun.
Berdasarkan penelitian ini, sebanyak 37 responden (58,2%) mengalami
gastritis, sedangkan untuk pola makan yang buruk terdapat 40 responden
(59,7%). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara pola makan dengan kejadian gastritis pada remaja kelas X di MA
Walisongo, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun dengan p-value =
0,000 < α = 0,05 dengan nilai koefisiensi kotengensi sebesar 0,617 yang
diinterpretasikan bahwa kekuatan hubungan antara variabel sangat kuat.
Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian sebelumnya yaitu pada
lokasi dan waktu penelitian, populasi, jumlah sampel penelitian, variabel
independen penelitian, dan pengolahan data. Lokasi penelitian sekarang
8

yaitu di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie


dengan waktu penelitian yaitu tahun 2021. Populasi pada penelitian
sekarang adalah santri Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi,
Kabupaten Pidie dengan jumlah sampel pada penelitian yaitu 76 responden
(rumus Lameshow, 1990). Variabel independen penelitian sekarang adalah
tingkat stres dan pola makan. Adapun persamaannya yaitu adanya variabel
pola makan dan kejadian gastritis, kuesioner pola makan dan kejadian
gastritis yang digunakan, dan analisis data yang menggunakan uji chi-
square.
3. Ulfa Sari Al-Bahmi (2018) mahasiswa kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makasar melakukan penelitian yang berjudul Hubungan
Tingkat Stres dengan Penyakit Gastritis pada Mahasiswa Pre-Klinik
Semester 1 di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar
Tahun 2017. Metode penelitian bersifat analitik dengan pendekatan studi
cross sectional dengan jumlah sampel seluruh mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang angkatan 2017 yang
berjumlah 114 orang yang bersedia untuk menjadi responden. Berdasarkan
penelitian ini, terdapat 97 responden (85,1%) dengan tingkat normal, 12
responden (10,5%) dengan tingkat stres ringan, 4 responden (3,5%)
dengan tingkat stres sedang, dan 1 responden (0,9%) dengan tingkat stres
berat. Dari 114 responden, responden yang mengalami gastritis sebanyak
17 orang (14,9%). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara
tingkat stres terhadap penyakit gastritis pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang angkatan 2017 dengan
p-value 0,000 (p<0,05). Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian
sebelumnya yaitu pada lokasi dan waktu penelitian, populasi, jumlah
sampel penelitian, variabel independen penelitian, dan pengolahan data.
Lokasi penelitian sekarang yaitu di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan
Bambi, Kabupaten Pidie dengan waktu penelitian yaitu tahun 2021.
Populasi pada penelitian sekarang adalah santri Pesantren Moderen
Terpadu Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie dengan jumlah sampel pada
9

penelitian yaitu 76 responden (rumus Lameshow, 1990). Variabel


independen penelitian sekarang adalah tingkat stres dan pola makan.
Adapun persamaannya yaitu adanya variabel tingkat stres dan kejadian
gastritis, kuesioner tingkat stres menggunakan kuesioner DASS42, dan
analisis data yang menggunakan uji chi-square.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gastritis

2.1.1. Definisi

Gastritis di dalam dunia kesehatan dikenal sebagai penyakit lambung


atau dyspepsia. Gastritis atau dyspepsia atau istilah yang sering dikenal oleh
masyarakat sebagai maag atau penyakit lambung adalah kumpulan gejala
yang dirasakan sebagai nyeri, terutama di ulu hati. Penderita yang terserang
penyakit ini biasanya mengalami mual, muntah, rasa penuh, dan rasa tidak
nyaman. Gastritis adalah peradangan (pembengkakan) mukosa lambung yang
disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi. Peradangan tersebut terkadang
sampai menjadi luka bernanah yang tidak hanya terjadi di lambung, tetapi
juga dapat terjadi di usus dua belas jari.
Sebagian penderita gastritis tidak menunjukkan gejala sakit
(asimtomatik), sebagian lagi mempunyai keluhan-keluhan yang tidak khas,
misalnya yang merasa nyeri panas atau pedih di ulu hati, ada juga yang
merasa mual. Gastritis merupakan masalah saluran pencernaan yang paling
sering ditemukan. Gastritis dapat bersifat akut yang datang mendadak dalam
beberapa jam atau beberapa hari, dan dapat juga bersifat kronis sampai
berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Gastritis akut biasanya disebabkan karena pola makan yang kurang
tepat, baik dalam frekuensi maupun waktu yang tidak teratur selain karena
faktor isi atau jenis makanan yang iritatif terhadap mukosa lambung.
Makanan yang terkontaminasi dengan mikroorganisme juga dapat
menyebabkan gastritis. Selain itu, gastritis akut juga dapat disebabkan karena
penggunaan obat analgetik seperti aspirin termasuk obat anti-inflamasi
nonsteroid (NSAID). Kebiasaan mengonsumsi alkohol, kafein, refluk bilier,
10
11

dan terapi radiasi. Gastritis kronis merupakan kelanjutan dari gastritis akut,
juga karena peran dari bakteri Helicobacter Pylori yang bahkan sering
menyebabkan keganasan atau kanker lambung.

2.1.2. Klasifikasi Gastritis

Secara umum, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Gastritis Akut
Gastritis akut adalah peradangan parah pada permukaan mukosa lambung
dengan kerusakan-kerusakan erosi (Soeparman dalam Ida, 2017). Gastritis
akut merupakan proses inflamasi bersifat akut dan biasanya terjadi
sepintas pada mukosa lambung. Keadaan ini berkaitan dengan penggunaan
obat-obatan anti inflamasi nonsterois (NSAID) dosis tinggi dalam jangka
waktu lama, konsumsi alkohol yang berlebih, serta kebiasaan merokok. Di
samping itu, stres berat seperti luka bakar dan pembedahan, iskemia, dan
syok juga dapat menyebabkan gastritis akut.

b. Gastritis Kronis
Gastritis kronis adalah inflamasi lambung dalam jangka waktu lama dan
dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung, atau oleh
bakteri Helicobacter pylori (Soeparman dalam Ida, 2017). Gastritis kronis
merupakan keadaan terjadinya perubahan inflamatorik yang kronis pada
mukosa lambung sehingga akhirnya terjadi atrofi mukosa dan metaplasia
epitel. Keadaan ini menjadi latar belakang munculnya dysplasia dan
karsinoma (Robbins, 2016).

2.1.3. Etiologi

Gangguan keseimbangan asam lambung memegang peranan terhadap


terjadinya gastritis. Peningkatan produksi asam lambung dapat mencerna
dinding lambung sehingga terjadinya peradangan pada mukosa lambung,
sedangkan asam lambung diperlukan tubuh untuk mencerna makanan.
Peradangan pada lambung tidak hanya disebabkan oleh konsumsi makanan
12

yang meningkatkan produksi asam lambung, tetapi juga infeksi sejumlah


bakteri. Jika kondisinya sudah parah, maka infeksi bakteri akan menyebabkan
terbentuknya luka pada lambung atau tukak lambung. Selain itu, sejumlah
faktor akan meningkatkan kejadian penyakit gastritis, seperti luka pada
lambung dan mengosumsi obat penghilang rasa nyeri yang merangsang
lambung.
Penyakit gastritis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu infeksi
(disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori, Mycrobacteria, dan virus),
iritasi (disebabkan penggunaan obat-obatan penghilang rasa nyeri jenis Non
Steroid Anti Inflamation Drug atau NSAID, konsumsi alkohol, stres psikis,
pengeluaran asam lambung berlebihan, muntah kronis, racun), dan reaksi
autoimun yang merupakan reaksi yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh
menyerang dan menghancurkan jaringan sehat.

2.1.4. Faktor Resiko Gastritis

Gastritis terjadi karena berbagai sebab, yang paling umum adalah


produksi asam lambung berlebih atau turunnya daya tahan dinding lambung
terhadap pengaruh luar. Gastritis akut yang tidak diobati akan berkembang
menjadi gastritis kronis. Faktor resiko yang dapat memicu penyakit gastritis
antara lain:

a. Pola makan
Pola makan terdiri dari frekuensi makan, waktu makan, dan jenis
makanan (Naisali et al., 2017). Gastritis biasanya diawali oleh pola makan
yang tidak teratur. Kebiasaan makan yang buruk dan mengkonsumsi
makanan yang tidak hygien merupakan faktor resiko terjadinya gastritis
(Hartati et al., 2014). Salah satu penyebab utama meningkatnya asam
lambung adalah pola makan yang tidak teratur. Makanan atau minuman
yang tidak dikonsumsi dan masuk ke dalam lambung berfungsi
mengurangi kepekatan asam lambung sehingga sampai menggerogoti
lambung (Megawati dan Nosi, 2014).
13

Secara alami tubuh akan terus memproduksi asam lambung setiap


waktu dalam jumlah yang kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya
kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga
tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung
terstimulasi. Bila seseorang telat makan 2-3 jam, maka asam lambung
yang diproduksi semakin banyak sehingga dapat mengiritasi mukosa
lambung serta menimbulkan rasa nyeri di epigastrium. Umumnya lambung
kosong antara 3-4 jam setelah mengosumsi makanan, maka jadwal makan
sebaiknya menyesuaikan dengan kosongnya lambung (Oktaviani, 2011).
Mengosumsi makanan pedas secara berlebih dapat merangsang
sistem pencernaan, terutama lambung dan usus kontraksi. Hal ini akan
mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati disertai dengan perasaan
mual dan muntah. Bila kebiasaan mengkosumsi makanan pedas lebih dari
1 kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus menerus
dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis
(Diatsa, 2016). Orang yang cendrung memilih makanan yang pedas dan
asam dapat memicu peningkatan asam lambung sehingga hal tersebut
merupakan salah satu faktor terjadinya gastritis (Milasari, 2017).

b. Faktor psikologis
Stres adalah suatu kondisi dimana seseorang ada dalam keadaan
yang sangat tertekan. Stres menurut Terry Looker dan Olga Gregson
(2005:44), adalah sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah
ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan
untuk mengatasinya. Para ahli kedokteran sependapat menyatakan bahwa
produksi HCl yang berlebih di dalam lambung, terutama disebabkan oleh
adanya ketegangan atau stres mental atau kejiwaan yang cukup berat.
Peneliti Amerika, dr. Selye (1949), telah membuktikan bahwa tubuh
manusia yang menerima suatu tekanan atau ancaman dalam bentuk
apapun, akan mengadakan serangkaian reaksi perlawanan. Tekanan atau
stresor tersebut dapat berupa kesulitan dalam hidup berkeluarga atau
pekerjaan, kekalahan atau keinginan untuk berprestasi, emosi (takut, kaget,
14

dan ketegangan batin lainnya), kedinginan, luka, atau perdarahan, dan


sebagainya.
Adanya stres tersebut, terutama yang berupa tekanan mental dan
emosi, akan mengakibatkan timbulnya suatu reaksi alarm, yaitu suatu
reaksi otomatis yang mengubah seluruh tempo dalam badan manusia,
misalnya denyut nadi bertambah cepat, tekanan darah naik, tangan menjadi
dingin, darah dialirkan dari kulit ke organ vital, asam lambung di produksi
untuk mempercepat proses pencernaan yang mengubah makanan menjadi
energi yang dibutuhkan, dan kelenjar adrenal akan distimulir untuk
memproduksi hormon adrenalin dan steroid yang lebih banyak dari pada
kondisi normal guna melawan stress. Apabila stres mental dan emosi
tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, maka tubuh
akan berusaha untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan tekanan
tersebut. Kondisi yang demikian, dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan patologis dalam jaringan atau organ tubuh manusia
melalui sistem saraf otonom. Sebagai akibatnya, akan timbul penyakit
adaptasi yang dapat berupa hipertesi, jantung, gastritis, dan sebagainya.

c. Rokok
Akibat negatif rokok sudah mulai terasa pada saat seseorang mulai
menghisap rokok. Dalam asap rokok yang dihisap, terdapat kurang lebih
300 macam bahan kimia, diantaranya yaitu acrolein, nikotin, gas CO.
Nikotin tersebut dapat menghalangi terjadinya rasa lapar, sehingga
seseorang menjadi tidak lapar karena merokok. Hal tersebut dapat
meningkatkan asam lambung dan dapat menyebabkan gastritis.

d. Kopi
Zat yang terkandung di dalam kopi adalah kafein. Kafein dapat
menimbulkan rangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem
pernafasan, sistem pembuluh darah, dan jantung. Oleh sebab itu tidak
heran jika setiap mengkonsumsi kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir),
tubuh terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, serta tidak mudah
15

lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf


pusat sehingga dapat meningkatkan aktifitas lambung dan sekresi hormon
gastrin pada lambung dan pepsin. Sekresi asam yang meningkat dapat
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung sehingga
menjadi gastritis.

e. Usia
Usia tua memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit
gastritis dibandingkan dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan bertambahnya usia, mukosa gaster cendrung menjadi tipis
sehingga lebih cenderung memiliki infeksi bakteri Helicobacter pylori atau
gangguan autoimun dibandingkan dengan orang yang lebih muda.

f. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih sering terkena penyakit
gastritis. Hal ini disebabkan karena wanita sering diet terlalu ketat, karena
takut gemuk, makan tidak beraturan, disamping itu wanita lebih emosional
dibandingkan pria.

g. Sosial ekonomi
Bakteri Helicobakter Pylori ialah penyebab utama suatu bentuk
gastritis yang disebut gastritis kronik aktif. Bakteri ini terdapat diseluruh
dunia dan berkolerasi dengan tingkat sosio-ekonomi masyarakat.
Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur (di negara maju 50%
penderita terkena infeksi kuman ini setelah usia 50 tahun). Di negara
berkembang yang tingkat ekonominya lebih rendah, terjadi infeksi pada
80% penduduk setelah usia 30 tahun. Besarnya pengaruh sosial ekonomi
dengan tingginya prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada masyarakat.
Makin rendah tingkat sosial ekonomi makin tinggi prevalensi infeksinya.
Perbaikan tingkat sosial ekonomi dapat menurunkan prevalensi kejadian.
Fedorek SC dkk, dalam penelitiannya juga mendapatkan hubungan antara
tingginya prevalensi infeksi Helicobacter pylori dengan makin rendahnya
tingkat sosial ekonomi.
16

h. Obat yang mengiritasi lambung


Beberapa macam obat yang bersifat asam atau basa keras dapat
menyebabkan gastritis. Obat-obatan yang mengandung salisilat misalnya
aspirin (sering digunakan sebagai obat pereda sakit kepala) dalam tingkat
konsumsi yang berlebihan dapat menimbulkan gastritis. Obat-obat tertentu
yang mengandung aspirin, obat-obat reumatik, dan golongan
kortikosteroid dapat menyebabkan penyakit gastritis bila lambung
penderitanya terlalu peka terhadap bahan-bahan tersebut. Radang lambung
atau gastritis dapat pula disebabkan oleh beberapa obat seperti NSAIDs
(asetosal, indometasin, dan lain-lain ), kortikosteroid. Obat tersebut dapat
menghambat produksi prostaglandin tertentu dengan efek pelindung
terhadap mukosa. Selain itu penggunaan dalam kadar tinggi dapat merusak
barrier mucus lambung dan dapat mengakibatkan pendarahan.

2.1.5. Patofisiologi

a. Gastritis Akut
Gastritis akut dapat disebabkan oleh stres, zat kimia, obat-obatan,
alkohol, dan makanan pedas, panas, maupun asam. Pada pasien yang
mengalami stres akan terjadi perangsangan saraf simpatis NV (nervus
vagus), yang dapat meningkatkan produksi HCl (asam klorida) di dalam
lambung dan menimbulkan rasa mual, muntah, dan anoreksia. Zat kimia
dan makanan yang merangsang akan menyebabkan sel epitel kolumnar
yang berfungsi menghasilkan mukus mengurangi produksinya, sedangkan
mukus tersebut berfungsi untuk memproteksi mukosa lambung agar tidak
ikut tercerna respon mukosa lambung karena penurunan sekresi mukus
bervariasi diantaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa
gaster terdapat enzim yang memproduksi HCl, terutama daerah fundus.
Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan produksi HCl meningkat.
Anoreksia juga dapat menyebabkan rasa nyeri, rasa nyeri ini
ditimbulkan kerana kontak HCl dengan mukosa gaster. Respon mukosa
lambung akibat penurunan sekresi mukus dapat berupa pengelupasan.
17

Pengelupasan sel mukosa gaster akan mengakibatkan erosi memicu


timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat mengancam hidup
penderita, namun dapat juga berhenti sendiri karena proses regenerasi,
sehingga erosi menghilang dalam waktu 24-48 jam setelah perdarahan
(Prince dan Wilson. 2000).

b. Gastritis Kronis
Inflamasi lambung yang kronis dapat disebabkan oleh ulkus benigna
atau maligna dari lambung atau dari bakteri Helicobacter Pylori (H.
pylory). Gastritis kronis dapat diklasifikasikan tipe A dan tipe B. Tipe A
(gastritis autoimun) diakibatkan dari perubahan sel parietal, yang
menimbulkan atrofi dan infiltrasi seluler. Hal ini dihubungkan dengan
dengan penyakit autoimun seperti anemia pernisiosa dan terjadi pada
fundus atau korpus dari lambung. Tipe B (gastritis) mempengaruhi antrum
dan pylorus ini dihubungkan dengan bakteri pylory. Faktor diet seperti
minum panas atau pedas, penggunaan obat-obatan dan alkohol, merokok,
atau refluks isi usus kedalam lambung. (Smeltzer dan Bare, 2001).

2.1.6. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala gastritis yaitu seringkali didapatkan suatu keluhan


abdomen yang tidak jelas seperti contohnya mual, muntah, serta anoreksia
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi harian berkurang dan intake
nutrisi tidak adekuat, kehilangan cairan serta juga elektrolit. Pada beberapa
orang diperoleh juga keluhan yang lebih berat misalnya nyeri epigastrium,
muntah, perdarahan, serta hematemesi yang menimbulkan manifestasi
kecemasan dengan secara individu. (Sari K dan Muttaqin A. 2011). Menurut
(Oktaviani, 2011) dan (Aminudin, 2013), tanda dan gejala gastritis yaitu rasa
terbakar di lambung dan akan menjadi semakin parah ketika sedang makan,
mual dan sering muntah, tekanan darah menurun, pusing, nyeri ulu hati,
keringat dingin, dan nadi cepat.
18

Gastritis akut terjadi secara tiba-tiba dan gejala lebih terlihat, dengan
ditandai mual dan rasa terbakar di lambung serta adanya rasa tidak enak di
lambung bagian atas. Gastritis kronik berjalan perlahan dan gejala yang
umum terlihat adalah adanya rasa perih dan rasa penuh di lambung, serta
kehilangan nafsu makan sehingga hanya mampu makan dalam jumlah sedikit.
Pada sejumlah orang terkadang gastritis kronik tidak menimbulkan gejala
klinis. Terkadang gastritis akan menyebabkan lambung berdarah. Perdarahan
lambung dapat dikeluarkan lewat mulut (muntah darah) ataupun melalui
feses. Apabila pertolongan terlambat dilakukan maka hal yang fatal akan
terjadi. (Nurheti Yuliarti, 2009).

2.1.7. Pencegahan Gastritis

Pencegahan gastritis dilakukan untuk mengurangi gejala agar tidak kambuh.


Upaya pencegahan dapat dilakukan beberapa cara, seperti:

a. Memperbaiki pola makan


Penderita gastritis menjadi sensitif dengan jenis makanan tertentu.
Beberapa makanan dapat memicu gejala maag akibat gastritis, contohnya
makanan pedas , asam, dan berlemak. Tindakan pencegahan gastritis yang
paling tepat dalam hal ini adalah menghindari makanan tersebut.
Memperbaiki pola makan tidak hanya memilih jenis makanan yang tepat,
namun juga harus memperhatikan porsi makanan. Pencegahan gastritis
juga dapat dilakukan dengan memastikan porsi makanan tidak berlebihan.
Dengan cara mengosumsi makanan dalam porsi kecil namun frekuensi
sering. Hindari kebiasaan minum banyak air di tengah makan atau
setelahnya, karena ebiasaan ini dapat memicu perut menjadi kembung dan
tidak nyaman.

b. Menghindari konsumsi alkohol


Tingginya konsumsi alkohol dapat mengiritasi atau merangsang lambung,
bahkan dapat menyebabkan lapisan dalam lambung terkelupas sehingga
menyebabkan peradangan dan perdarahan di lambung.
19

c. Manajemen stres
Stres dapat meningkatkan serangan jantung dan stroke. Kejadian ini akan
menekan respon imun dan akan mengakibatkan gangguan pada kulit.
Selain itu, kejadian ini juga akan meningkatkan produksi asam lambung
dan menekan pencernaan. Tingkat stres berbeda-beda pada setiap orang,
sehingga untuk menurunkan tingkat stres disarankan banyak mengosumsi
makanan bergizi, cukup istirahat, berolahraga secara teratur, serta selalu
menenangkan pikiran.

d. Jangan merokok
Merokok dapat merusak lapisan pelindung lambung. Oleh karena itu,
orang yang merokok lebih sensitif terhadap gastritis maupun ulser.
Merokok juga dapat meningkatkan asam lambung, memperlambat
kesembuhan, dan meningkatkan risiko kanker lambung.

e. Ganti obat penghilang rasa sakit


Jika memungkinkan jangan konsumsi obat penghilang rasa sakit dari
golongan NSAIDs, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen. Obat-obatan
golongan NSAIDs dapat mengiritasi lambung.

f. Memperbanyak olahraga
Olahraga aerobik dapat meningkatkan detak jantung yang dapat
menstimulasi aktivitas otot usus sehingga mendorong isi perut dilepaskan
dengan lebih cepat.

2.1.8. Penatalaksanaan Diet Gastritis

Penderita gastritis disarankan untuk mengonsumsi menu diet khusus.


Tujuan mengosumsi menu diet yaitu untuk mempercepat penyembuhan.
Makanan yang dikonsumsi harus lunak dan bertekstur lembut, oleh karena itu
teknik pengolahannya sebaiknya menggunakan metode rebus, kukus, atau tim
sehingga tidak merangsang produksi asam lambung. Penderita gastritis
disarankan mengosumsi makanan dalam porsi sedikit , tetapi setidaknya
mengosumsi makanan setiap tiga jam sekali untuk menghindari kekosongan
20

lambung. Makanan yang dikonsumsi harus memenuhi kebutuhan zat gizi,


yaitu mengandung protein, karbohidrat, vitamin, air, dan mineral.
Diet bagi penderita gastritis juga harus disesuaikan dengan tingkat
keparahan penyakit yang diderita. Diet gastritis dapat dilakukan oleh
penderita dengan memperhatikan beberapa tips berikut:
1. Makan secara teratur pada jam tertentu. Konsumsi makanan dengan tiga
kali makanan utama dan 3 kali makanan selingan (setiap tiga jam perut
harus diisi makanan).
2. Makan dengan tenang, jangan terburu-buru. Kunyah makanan hingga
hancur/lumat menjadi butiran lembut untuk meringankan kerja lambung.
3. Makan secukupnya, dalam porsi kecil namun frekuensi sering.
4. Pilih makanan yang lunak, yang diolah dengan cara direbus, disemur, atau
ditim. Hindari bahan makanan yang digoreng karena tekstur yang keras
dan sulit dicerna.
5. Hindari mengkonsumsi makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin
karena dapat menimbulkan rangsangan termis.
6. Hindari makanan yanag pedas dan asam, jangan menggunakan bumbu
yang merangsang seperti cabai, merica, dan cuka.
7. Hindari makanan yang mengandung atau menimbulkan gas, seperti nangka
dan durian.
8. Berhenti merokok karena rokok dapat menyebabkan lambung terasa penuh
sehingga penderita tidak merasa lapar.
9. Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, bersoda, dan mengandung
kafein seperti kopi dan teh.
10. Hindari makanan yang mengandung lemak dan berminyak.
11. Siapkan selalu biskuit dan air putih agar mudah dibawa saat berpergian.
12. Hindari konsumsi obat yang merangsang dan menimbulkan iritasi
lambung, misalnya aspirin, vitamin C, dan sebagainya.

Berikut merupakan contoh makanan yang boleh dan yang tidak boleh
dikonsumsi oleh penderita gastritis menurut dr. Endang Lanywati dapat
dilihat pada Tabel 2.
21

Tabel 1 Makanan yang Boleh Diberikan dan Dihindari Penderita Gastritis

No Jenis Bahan Makanan Boleh Diberikan Tidak Boleh Diberikan

1 Sumber hidrat arang Beras, kentang (rebus Beras ketan, jagung,


(nasi atau atau puree), makaroni, ubi, singkong, kentang
penggantinyya) mi, bihun (rebus), roti, goreng, cake, dodol,
biskuit, dan tepung- kue yang terlalu manis.
tepungan (dibuat bubur
atau puding)
2 Sumber protein Ikan, daging sapi Daging, ikan, ayam
hewani empuk, ayam gilinh atau yang dikalengkan,
cincang (direbus, semur, (goreng, dendeng),
cincang), telur ayam telur (ceplok atau
(rebus, dadar, diceplok goreng)
air atau dicampur dalam
makanan), susu
3 Sumber protein nabati Tahu, tempe (rebus, tim, Tahu, tampe, kacang
tumis), kacang hijau merah, dan kacang
(rebus atau haluskan) tanah (goreng)
4 Lemak Margarin dan minyak Lemak hewan, santan
(untuk menumis), santan kental
encer
5 Sayuran Sayuran yang tidak Sayuran yang banyak
banyak serat dan tidak serat dan menimbulkan
menimbulkan gas, gas, misalnya daun
misalnya bayam, labu singkong, kol
siam, wortel, tomat
6 Buah-buahan Pepaya, pisang, sawo, Buah yang banyak
sari buah (sebaiknya serat dan menimbulkan
dimakan bersama nasi) gas, misalnya nanas,
kedongding, nangka,
durian, dan buah yang
dikeringkan (salai
pisang, manisan pala,
dan sebagainya)
7 Bumbu Gula, garam, kunyit, Cabai, merica, cuka,
kunci, serai, salam, dan bumbu yang
lengkuas, jahe, bawang merangsang.
22

2.2. Stres

2.2.1. Pengertian

Stres adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau
sulit dipahami. Stres merupakan ungkapan reaksi tubuh manusia terhadap
setiap tuntutan yang dialami dan merupakan mobilisasi atau gerakan
pembelaan tubuh manusia. Pembelaan tubuh tersebut untuk memungkinkan
suatu proses adaptasi atau penyesuaian terhadap peristiwa-peristiwa atau
ancaman yang menimpa diri seseorang dan juga merupakan adaptasi terhadap
peristiwa-peristiwa menyenangkan yang dialami oleh seseorang. Menurut
Hans Selye, seorang ilmuan dari Kanada dalam bukunya berjudul The Stress
of Live, yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari
tubuh terhadap tuntutan yang diterimanya (Imam Sueharto, 2004).
Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan (Vincent Cornelli, dalam Jenita DT Donsu,
2017). Menurut Richard (2010) stres adalah suatu proses yang menilai suatu
peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan
individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan
perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif (misalnya
merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh : kematian keluarga).
Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressful event) atau
tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu terhadapnya.
Compas (dalam Preece, 2011) berpendapat bahwa stres adalah suatu konsep
yang mengancam dan konsep tersebut terbentuk dari perspektif lingkungan
dan pendekatan yang ditransaksikan.
Dalam terminologi Indonesia, stres disebut cemas. Secara terminologis,
stres berasal dari istilah Yunani yaitu merimnao sebagai paduan dua kata,
yakni meriza (membelah, bercabang) dan nous (pikiran). Dari kedua istilah
ini, pengertian stres berarti membagi pikiran antara minat yang layak dan
pikiran-pikiran yang merusak. Oleh sebab itu, orang yang mengalami stres
tidak mungkin mengalami kesejahteraan pikiran, sebab pikirannya bercabang
23

antara minat yang layak dan pikiran yang merusak. Pikiran yang merusak
tersebut dapat disebabkan oleh ancaman karena hal-hal yang tidak
menyenangkan maupun karena sesuatu yang menyenangkan kepribadian
seseorang. Hal ini membuat mekanisme keseimbangan terganggu sehingga
memacu stres.

2.2.2. Penyebab Stres

Banyak hal yang dapat membuat orang menjadi stres, diantaranya ialah
dalam hal akademik. Siswa mengaku bahwa stres akademik dapat diprediksi
berasal dari proses belajar untuk menghadapi ujian serta kompetisi yang ketat
di kelas, serta kemampuan untuk menguasai materi yang banyak dalam waktu
yang singkat (Abouserie, 1994; Kohn & Frazer, 1986 dalam Misra &
Castillo,2004). Menurut Sudiana (2007), terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan stres akademik, diantaranya adalah :
a. Aspek Kognitif
Perkembangan kognitif remaja menurut Jean Piaget, merupakan periode
terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasional formal.
Periode ini idealnya remaja sudah mampu mencapai tahap pemikiran
abstrak dan sudah mampu terbiasa berpikir kritis dan mampu menganalisis
masalah dan mencari solusi terbaik. Budiutomo dan Bracht menyatakan
bahwa belum tercapainya perkembangan kognitif tersebut dapat
memunculkan pemikiran-pemikiran yang negatif, seperti kebiasaan
menunda, kelemahan dalam pengambilan keputusan, kecenderungan lupa
atau lemahnya daya ingat, kesulitan untuk berkonsentrasi, kehilangan
harapan, berfikir negatif, berputus asa, menyalahkan diri sendiri, dan
kebingungan.

b. Aspek Lingkungan Sekolah


1. Lokasi sekolah merupakan salah faktor yang dapat menyebabkan stres
pada siswa. Lokasi sekolah yang menimbulkan stres pada siswanya
24

antara lain ialah jarak yang jauh dengan tempat tinggal, dekat dengan
pusat keramaian, sering terjebak kemacetan, dan rawan kejahatan.
2. Kondisi sekolah atau kondisi ruangan yang kurang memadai, seperti
ruangan yang terlalu sempit, penerangan yang kurang baik, ruangan
yang kotor, ventilasi yang kurang, dan suasana yang berisik dapat
menyebabkan stres pada siswa.
3. Fasilitas sekolah yang tidak lengkap, seperti tidak tersedianya lapangan
untuk bermain, dapat menimbulkan stres pada siswa karena dengan
bermain dapat melepaskan ketegangan yang dialami selama dikelas.
4. Kondisi kelengkapan sarana umum, seperti WC, telepon umum, dan
fotokopi dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan saat berada di
sekolah sehingga dapat memicu stres.

c. Elemen Sekolah
1. Guru
Sifat pribadi guru dapat memicu stres pada siswanya, diantaranya ialah
kasar, suka marah, kurang senyum, suka membentak, sinis, sombong,
acuh, dan tidak adil. Sifat pribadi guru yang demikian dapat
menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan antara guru
dengan siswa.
2. Suasana di sekolah
Suasana atau kondisi di sekolah yang selalu diwarnai oleh kompetisi
diantara siswa. Bagi yang mampu mengelola stres, ia akan selalu
terpacu dan terdorong oleh keadaan demikian, namun bagi siswa yang
kurang bisa mengatasi keadaan tersebut maka akan menjadi suatu
tekanan.
3. Hubungan antar siswa
Hubungan antar siswa di kelas yang kurang hamonis dapat
menimbulkan ketidaknyamanan, misalnya seperti kekerasan, saling
mengejek, suka mengganggu, pembuat kerusuhan, egois, sombong, dan
tidak adil.
25

4. Kurikulum
Bahan pelajaran yang berstandar tinggi atau sulit, pemadatan materi,
serta pelajaran tertentu seperti pelajaran eksakta, dapat menjadi sumber
stres bagi siswa.
5. Tugas-tugas sekolah
Tugas-tugas yang terlalu banyak dan juga sulit, dapat memicu
terjadinya stres dikalangan siswa, hal tersebut disebabkan tuntutan yang
dihadapinya tidak didukung oleh sumber daya yang dimilikinya.
6. Ulangan
Bagi kebanyakan siswa, ulangan menimbulkan ancaman kegagalan
yang berusaha diatasi dengan belajar. Saat situasi ujian, sebagian besar
dari mereka lupa atas apa yang telah mereka pelajari. Ketegangan dapat
dijadikan salah satu alasannya karena siswa cemas akan kegagalan
dalam ujian.
7. Kegiatan ekstrakulikuler
Kegiatan ekstrakurikuler yang padat dan banyak dapat menjadi sumber
stres, hal ini dikarenakan siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk
beristirahat untuk melepaskan ketegangan fisik dan psikologisnya.

Hasil penelitian Schafer (Rafidah et al., 2009) menyatakan bahwa hal-


hal yang menyebabkan siswa merasa stres adalah stressor yang bersumber
dari masalah akademik seperti tekanan dalam belajar, waktu yang sangat
singkat, membuat makalah, ujian, serta pengajar yang membosankan. Dari
sekian banyak stressor tersebut, tes atau ujian merupakan penyebab utama
dari stres akademik yang mereka alami dan sebagian besar siswa terlihat lebih
rentan secara emosional dalam menghadapi ujian. Penelitian Agolla & Ongori
(2009) juga menyatakan bahwa faktor penyebab utama terjadinya stres
akademik dikalangan siswa adalah beban tugas akdemik, sumber daya yang
tidak memadai, motivasi rendah, terus menerus berada dalam situasi
akademik, ruangan yang terlalu sesak, serta ketidakpastian mendapatkan
pekerjaan setelah lulus sekolah.
26

2.2.3. Gejala Stres

Gejala stres merupakan suatu kondisi yang muncul dalam diri individu
pada beberapa aspek yang mengindikasikan sebagai bentuk terjadinya stres.
Menurut Braham (dalam Handoyo, 2001), gejala stress dapat berupa tanda-
tanda berikut:

a. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air
besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal,
punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang,
keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau
serangan jantung, kehilangan energi.

b. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,


gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah
menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah
bermusuhan serta gampang menyerang, dan kelesuan mental.

c. Intelektual, yaitu mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, sulit
untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi
satu pikiran saja.

d. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada


orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang
mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup
diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.

2.2.4. Penggolongan Stres

Apabila ditinjau dari penyebab stres, menurut Sri Kusmiati dan


Desminiarti (1990), dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau
rendah, suara bising, sinar yang terlalu terang, atau tersengat arus listrik.
b. Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-asam kuat, obat-obatan, zat beracun,
hormon, atau gas.
27

c. Stres mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang


menyebabkan penyakit, misalnya misalnya: tumbuhnya jerawat, demam,
digigit binatang dll, yang dipersepsikan dapat mengancam konsep diri
individu.
d. Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan, organ,
atau sistemik, sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.
e. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua.
f. Stres psikis atau emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan
interpersonal, sosial, budaya, atau keagamaan.

Menurut Prof. Dadang Hawari (dalam Dr. Robert J. Van Amberg,


1979), terdapat 6 tingkatan stres, yaitu:
a. Stres tingkat pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan
nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan
tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi
tajam.

b. Stres tingkat kedua, yaitu stres yang disertai keluhan seperti bangun pagi
pagi tidak segar atau letih, lekas lelah saat menjelang sore, lekas lelah
sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman,
(bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang.
Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tingkat ketiga, yaitu tahan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak
teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit
tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tertidur
kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan hampir pingsan.

d. Stres tingkat keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti tidak
mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan
28

pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun,
serta timbul kecemasan dan ketakutan.

e. Stres tingkat kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan
fisik dan mental (physical and phychological exhaustion),
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan,
gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung,
dan panik.

f. Stres tingkat keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda
seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin, banyak
keluar keringat, lemas, serta pingsan dan collaps.

2.2.5. Efek Negatif Stres

Dilansir dari The American Institute of Stress (3 April 2019), stres


merupakan reaksi alami fisik dan mental terhadap pengalaman hidup. Stres
dapat berakibat baik dan buruk, namun tingkat stres yang berlebih bisa
mengganggu kesehatan. Ketika sedang stres, suatu bagian otak yang disebut
sebagai hipotalamus memicu pelepasan hormon adrenalin dan kortisol.
Adrenalin meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, sedangkan
kortisol menaikkan gula darah. Beberapa efek negatif stres yaitu:

1. Keletihan
Dalam keadaan stres, tubuh akan mengaktifkan respon melawan atau
menghindar untuk memilih tetap aktif maupun diam saja. Akibatnya,
tubuh akan mengeluarkan lebih banyak energi, dan hal ini dapat
menyebabkan keletihan baik secara mental ataupun secara fisik.

2. Sakit kepala
Ketegangan otot merupakan gejala stres nomor satu. Gejala ini
kemungkinan muncul dalam bentuk sakit kepala karena tegang, rahang
terkatup, leher kaku, dan nyeri punggung bagian bawah. Gejala yang
paling umum yaitu sakit kepala karena tegang, terjadi akibat kontraksi otot
di dahi, mata, leher, dan rahang. Kebanyakan orang tidak menyadari
29

peningkatan ketegangan otot ini sampai nyeri mulai terasa di bagian depan
kepala. Stres juga dapat menyebabkan sakit kepala migrain. Sakit kepala
migrain disebabkan oleh peningkatan aliran darah dan sekresi zat kimia ke
bagian kepala. Gejala meliputi pandangan berkunang-kunang diikuti
dengan denyutan yang kuat, pusing, dan mual. Kebanyakan kasus
menganggap migrain berkaitan dengan ketidakmampuan untuk
menyalurkan rasa marah dan frustasi.

3. Masalah lambung
Ketenangan batin memang berkaitan erat dengan masalah pencernaan.
Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya komunikasi silang antara
pencernaan dengan otak. Stres sendiri memiliki efek tidak langsung pada
kesehatan pencernaan, ditambah juga dengan kurang tidur dan pola makan
yang buruk. Penelitian yang dilakukan analisis konsumen Mintel
menemukan, 88% wanita menderita penyakit gangguan pencernaan dalam
satu tahun terakhir, sedangkan pada pria angkanya sekitar 83%. Sakit perut
atau nyeri lambung jarang disebabkan karena intoleransi makanan, infeksi
atau virus. Hampir 30% orang dewasa yang mengalami nyari lambung
menyalahkan stres. Di urutan kedua adalah pola makan yang buruk,
kemudian kurang tidur. Virus menjadi penyebab 14% keluhan perut, selain
itu juga konsumsi alkohol. Perempuan lebih sering mengalami stres berat
dan juga kecemasan, dibandingkan dengan pria. Menurut Dr. Bernard
Corfe, peneliti bidang molekular gastroenterologi, stres memang jadi
pemicu gangguan pada saluran cerna. Namun, stres juga menyebabkan
perubahan pola makan dan pola tidur, yang akhirnya juga memengaruhi
fungsi usus.

4. Insomnia
Tidak dapat tidur merupakan gejala akibat kerja sistem saraf yang terlalu
aktif atau berlebihan. Stimulasi saraf yang berlebihan pada jaringan otak
dan otot dapat menyebabkan rasa gelisah atau resah, baik di siang maupun
malam hari.
30

5. Asma bronkial
Bronkiolus adalah saluran yang membawa udara masuk ke dalam paru-
paru. Saat asma menyerang, saluran ini mulai membengkak karena
dipenuhi dengan cairan bronkial. Tidak lama kemudian, penderita akan
merasa seperti tersedak dan tidak dapat bernapas. Serangan asma ini dapat
cukup berat sampai penderitanya harus dibawa ke rumah sakit dan pada
beberapa kasus dapat berakibat fatal. Saat mengalami stres, napas menjadi
lebih cepat karena tubuh harus mengalirkan oksigen ke seluruh tubuh.
Bagi pengidap asma, kondisi ini bisa menyebabkan masalah yang lebih
serius karena serangan asma sering dikaitkan dengan rasa cemas.

6. Penyakit jantung koroner


Ada dua faktor yang berkaitan dengan respons stres terhadap terjadinya
penyakit jantung koroner. Pertama adalah tekanan darah tinggi atau
hipertensi. Tekanan darah tinggi diketahui dapat membawa kerusakan
pada lapisan bagian dalam pembuluh darah koroner yang menyalurkan
oksigen ke otot jantung. Faktor kedua adalah pelepasan kortisol dari
kelenjar adrenalin, yang diketahui dapat meningkatkan kadar kolesterol
dalam darah. Kolesterol bertindak sebagai pembalut yang dapat
memperbaiki dinding pembuluh darah yang rusak. Akan tetapi, kolesterol
juga dapat menyebabkan kerusakan arteri yang lebih berat, yaitu
menghambat aliran darah. Ada tiga tahap dalam penyakit jantung koroner,
yaitu pertama lapisan lemak tampak di sepanjang dinding pembuluh darah,
kemudian mulai terbentuk penebalan lapisan, dan pada akhirnya pembuluh
darah arteri mengeras seperti pipa timah.

7. Kanker
Kanker menyerang satu dari empat orang di Amerika. American Cancer
Society mendefinisikan kanker sebagai kelompok penyakit besar yang
ditandai dengan pertumbuhan dan penyebaran sel-sel abnormal yang tidak
terkontrol. Saat sel normal bermutasi menjadi sel abnormal, tubuh
memperlakukan mereka sebagai benda asing. Salah satu fungsi sel darah
31

putih adalah mencari dan menghancurkan sel-sel mutan. Jika karena


beberapa sebab jumlah set darah putih terlau rendah, sel abnormal tidak
akan terdeteksi, dan kemungkinan tumbuhnya tumor semakin besar. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa tubuh memproduksi kurang lebih enam
sel mutan setiap harinya. Dalam kondisi normal, sel-sel darah putih dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Dalam kondisi stres, sel-sel mutan
mungkin tidak terdeteksi dan berkembang menjadi tumor ganas. Emosi
negatif yang muncul dapat menekan jumlah sel darah putih, sehingga
memperbesar risiko tumbuhnya tumor ganas tersebut.

8. Bunuh diri
WHO melaporkan terdapat 800 ribu orang yang tercatat bunuh diri setiap
tahunnya, dan sebagian kasus terjadi di usia 15-34 tahun. Tekanan orang
tua, stres akademik, bullying, dan perasaan diabaikan menjadi penyebab
munculnya perilaku bunuh diri pada remaja.

2.2.6. Cara Mencegah Stres

Terdapat beberapa cara untuk mencegah stres, yaitu:


1. Lihat atau ukur kemampuan diri sendiri. Belajar untuk menerima apa
adanya dan mencintai diri sendiri. Temukan penyebab perasaan negatif
dan belajar untuk menanggulanginya. Jangan memperberat masalah dan
coba untuk sekali-kali mengalah terhadap orang lain meskipun berada
dipihak yang benar.
2. Rencanakan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan dengan jangka
lama dan beri waktu untuk menyesuaikan diri dari perubahan satu ke yang
lain. Rencanakan waktu dengan baik, buat daftar yang harus dikerjakan
sesuai dengan prioritas. Buat keputusan dengan hati-hati, pertimbangkan
baik atau buruk sebelum memutuskan sesuatu.
3. Ceritakan permasalahan kepada pasangan hidup, orang tua, teman,
pemimpin instansi, atau pemimpin agama. Mereka mungkin dapat
membantu menyelesaikan masalah.
32

4. Bangun suatu sistem pendorong yang baik, dengan cara banyak berteman,
dan mempunyai keluarga yang bahagia.
5. Rencanakan waktu untuk relaksasi napas dalam, meditasi, atau pijatan
karena dapat membantu menghilangkan stres.
6. Mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dapat mengatasi
stres.

2.2.7. Skala Penilaian Stres

Mengetahui tingkat stress seseorang dapat digunakan alat ukur DASS


(Depression Anxiety Stress Scale) yang pertama kali diperkenalkan oleh
Lovibond tahun 1995. Nilai yang penting dalam DASS yang digunakan
dalam tatacara klinis adalah untuk mengklarifikasi letak gangguan
emosional, sebagai bagian dan tugas penilaian klinis yang lebih luas.
Fungsi esensial dari DASS adalah untuk mengenali gejala inti dari gejala

depresi, kecemasan dan stress. DASS tidak hanya dibuat seperti perangkat
skala yang lain untuk mengukur keadaan emosi seseorang secara
konvensional, tetapi juga mengembangkan proses penentuan, pemahaman,
dan pengukuran keadaan emosi signifikan yang secara klinis dan
digambarkan seperti depresi.
Setiap dari tiga skala DASS mengandung 14 item, terbagi menjadi 2
sampai 5 subskala dengan konten yang hampir sama. Skala depresi menilai
disphoria, putus asa, anhedonia, inersia. Skala kecemasan menilai gairah
otonom, efek otot skeletal, situasi kecemasan, dan pengalaman subyektif dari
pengaruh kecemasan. Skala stress sensitif terhadap pengaruh level gairah non
spesifik kronis. Skala ini menilai kesulitan bersantai, gairah nervous, dan
menjadi jengkel/gelisah, pemarah/reaksi berlebihan. Dalam kuisioner DASS
ini terdapat 42 butir pernyataan, dimana dari setiap pernyataan
dikelompokkan dalam skalanya masing-masing dan jawaban dari hasil
pernyataan yang telah diisi responden akan dinilai sesuai scoring dari masing-
masing skala, yaitu:
33

1. Skala depresi : pernyataan 3,5,10,13,16,17,21,24,26,31,34,37,38,42.


2. Skala kecemasan : pernyataan 2,4,7,9,15,19,20,23,25,28,30,36,40,41.
3. Skala stress : Pernyataan 1,6,8,11,12,14,18,22,27,29,32,33,35,39.

2.3. Pola Makan

2.3.1. Definisi Pola Makan

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan
jenis makanan dengan gambaran informasi meliputi mempertahankan
kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit
(Depkes RI, 2009). Pola makan atau food pattern adalah cara seseorang atau
sekelompok orang memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi
terhadap tekanan ekonomi dan sosial-budaya yang dialaminya berkaitan
dengan pola makan (Margaret Mead dalam Almatsier, 2010). Pola makan
adalah cara atau perilaku yang yang ditempuh seseorang atau sekelompok
orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan
setiap hari yang meliputi frekuensi makan, porsi makan, porsi makan, dan
jenis makan yang berdasarkan faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka
hidup (Hudha dalam Bagas, 2016).
Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber
zat pembangun, dan sumber zat pengatur karena semua zat gizi diperlukan
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta perkembangan otak dan
produktivitas kerja, serta dimakan dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan.

2.3.2. Komponen Pola Makan

Secara umum, pola makan memiliki tiga komponen yang terdiri dari
frekuensi makan, jenis makanan, dan porsi makanan.
a. Frekuensi makan
34

Frekuensi makan merupakan jumlah makan dalam sehari-hari baik


kualitatif maupun kuantitatif. Frekuensi makan adalah beberapa kali
makan dalam sehari meliputi makan pagi, makan siang, makan malam, dan
makan selingan (Riskesdas, 2013). Secara alamiah makanan diolah
didalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus
halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat sifat dan jenis
makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka
jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Pola
makan yang baik dan benar mengandung karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan mineral. Pola makan 3 kali sehari yaitu makan pagi, selingan
siang, makan siang, selingan sore, makan malam dan sebelum tidur.
Makanan selingan sangat diperlukan, terutama jika porsi makanan utama
yang dikonsumsi saat makan pagi, makan siang dan makan malam belum
mencukupi. Makan selingan tidak boleh berlebihan karena dapat
menyebabkan nafsu makan saat menyantap makanan utama berkurang
akibat kekenyangan makanan selingan (Sari, 2012).

b. Jenis makanan
Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang dimakan setiap hari
terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah
yang dikonsumsi setiap hari. Makanan pokok adalah sumber makanan
utama di negara indonesia yang dikonsumsi setiap orang atau sekelompok
masyarakat yang terdiri dari beras, jagung, sagu, umbi-umbian, dan tepung
(Sulistyoningsih, 2011). 

c. Porsi makan
Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang dimakan dalam setiap
orang atau setiap individu dalam kelompok (Paramitha, 2013). Makanan
sehat jumlahnya harus disesuaikan dengan ukuran yang dikonsumsi. Bagi
yang memiliki berat badan yang ideal, maka mengosumsi makanan yang
sehat tidak perlu menambahkan maupun mengurangi porsi makanan.
Sedangkan, bagi pemilik berat badan lebih gemuk, jumlah makanan sehat
35

harus dikurangi. Jumlah atau porsi makan merupakan suatu ukuran makan
yang di konsumsi pada setiap kali makan (Oetoro, 2018).

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan

Koentjaraningrat dalam Santoso & Rani (2010) menyatakan bahwa


kebiasaan makan individu, keluarga, dan masyarakat dipengaruhi oleh:

a. Faktor genetik
Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab
genetik. Anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan
dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas.
Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor
genetik.

b. Faktor lingkungan
Gen merupakan faktor penting dalam timbulnya obesitas, namun
lingkungan seseorang juga memegang peran yang cukup berarti. Yang
Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah perilaku atau gaya hidup,
misalnya apa yang dimakan dan beberpa kali seseorang makan, serta
bagaimana aktivitasnya setiap hari. Seseorang tidak dapat mengubah pola
genetiknya namun dapat mengubah pola makan dan aktifitasnya.

c. Faktor kesehatan
Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pola makan.
Obat-obatan juga mengakibatkan terjadinya obesitas, yaitu obat- obatan
tertentu seperti steroid dan beberapa antidepressant, dapat menyebabkan
penambahan berat badan.

d. Faktor psikis
Ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri adalah faktor penting dalam
gangguan makan. Ketidakpuasaan dalam tubuh menghasilkan usah-usaha
yang maladaptive, yaitu dengan sengaja melaparkan diri dan atau dengan
memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakannya itu untuk
mencapai berat badan atau bentuk tubuh yang diidam-idamkan. Faktor-
36

faktor kognitif juga ikut terlibat yaitu karena sering kali kecewa pada
dirinnya sendiri ketika gagal mencapai standar tinggi yang tak mungkin
dicapainya. Oleh karena itu mereka merasa kesepian.

e. Faktor individu
Ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa gangguan pada biokimia
dan fisiologi otak ternyata dapat menyebabkan gangguan makan, namun
para peneliti belum dapat mengidentifikasi faktor biologi terjadinya
penyakit ini.

f. Faktor biologis
Gangguan makan muncul dalam keluarga hal ini menunjukan peran
komponen genetik. Penelitian ini menunjukan bahwa kadar serotonin yang
rendah dapat mengakibatkan bulimia.

g. Faktor aktivitas fisik


Seseorang dapat kativitas fisik yang kurang dapat meningkatakan
prevaensi terjadinya obesitas. Remaja yang kurang aktif memerlukan
kalori dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan remaja dengan aktivitas
tinggi. Maka jika remaja tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang
dan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, akan cenderung
mengalami obesitas.

h. Faktor Pertumbuhan
Pertumbuhan di tandai dengan bertambahnya materi penyusunan badan
dan bagian-bagiannya. Fase ini dimulai dari kandungan sampai usia
remaja. Kebutahan nutrisi sangat penting untuk pertumbuhan tubuh agar
terbentuk tulang, otot yang kuat, cadangan lemak yang cukup untuk
melindungi tubuh dan organ-organnya. Perkembanagan motorik pada
remaja untuk mulai kritis dalam memilih makanan. Dewasa nutrisi tidak
untuk pertumbuhan, hanya untuk bekerja dan mempertahankan kesehatan
agar optimal.
37

i. Faktor Umur
Usia muda memerlukan nutrisi untuk pertumbahan. Semakin tua
kebutuhan energi dan nutrisi mulai berkurang. Setelah usia 20 tahun proses
metabolisme berangsur-angsur turun secara teratur dan kebutuhan nutrisi
menurun. Pada saat berusia 10 tahun kebutuhan nutrisi laki-laki dan
perempuan mulai dibedakan.

j. Faktor Keadaan
Pada keadaaan sakit akan terjadi perubahan metabolisme sehingga sangat
diperlukan asupan protein tinggi dan nutrisi lainnya. Pola kondisi
menstruasi diperlukan peningkatan asupan makanan sumber pembentukan
sel darah merah antara lain protein, Fe, vitamin C, vitamin B12, dan asam
folat untuk menghindari terjadinnya anemia.

k. Faktor Kebiasaan Makan Keluarga


Kebiasaan makan adalah suatu hal yang berhubungan dengan tindakan
untuk mengkonsumsi pangan dan mempertimbangkan dasar yang lebih
terbuka dalam hubungannya dengan apa yang biasanya di makan dan
berkaitan dengan kemungkinan kondisi perubahan kebiasaan pola pangan
yang timbul dari dalam dan luarnya. Dengan menerapkan kebiasaan
sarapan pagi maka remaja akan mempunyai energi yang cukup untuk
beraktivitas pada siang harinya dan dapat memelihara ketahanan fisik dan
daya tahan tubuh pada saat beraktivitas serta mampu meningkatkan
produktivitas. Kebiasaan sarapan pagi, kebiasaan mengkonsumsi sayuran,
kebiasaan makan makanan siap saji, kebiasaan makan berlemak yang
dikelompokan atas setiap hari, sering (2-5 kali seminggu), jarang (1-4
perbulan), dan tidak pernah.

l. Faktor Pendapatan Keluarga


Pendapatan keluarga merupakan besarnya rata-rata penghasilan yang
diperoleh seluruh anggota keluarga (ayah, ibu, jika bekerja) dibagi dengan
jumlah anggota keluarga. Semakin besar pendapatan yang diperoleh maka
semakin terpenuhnya gizi. Pendapatan keluarga yang memadai akan dapat
38

menunjang status gizi anggota keluarga, karena orangtua dapat


menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder.

2.3.4. Pola Menu Seimbang

Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan
dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi
seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses
kehidupan, serta pertumbuhan dan perkembangan. Kehadiran atau
ketidakhadiran suatu zat gizi esensial dapat mempengaruhi ketersediaan,
absorbsi, metabolisme, atau kebutuhan zat gizi lain. Adanya saling
keterikatan antara zat-zat gizi ini menekan keanekaragaman dalam menu
sehari-hari. Pola menu seimbang terdiri atas makanan sebagai berikut:
a. Makanan pokok, merupakan sumber energi atau kalori utama yang
memberikan rasa kenyang, seperti nasi, jagung, ubi jalar, singkong,
talas, sagu, serta hasil olahannya seperti mie, bihun, macaroni, dan
sebagainya. Dalam susunan hidangan Indonesia sehari-hari, bahan
makanan pokok merupakan bahan makanan yang memegang peran
penting. Bahan makanan pokok dapat dikenal dari makanan yang
dihidangkan pada waktu pagi, siang, atau malam. Umumnya, porsi
makanan pokok dalam jumlah (kuantitas atau volume) terlihat lebih
banyak dari bahan makanan lainnya. Dari sudut ilmu gizi, bahan
makanan pokok merupakan sumber energi (kalori) dan mengandung
banyak karbohidrat. Beberapa jenis makanan pokok juga memberikan
zat protein yang cukup besar jumlahnya dalam konsumsi manusia. Porsi
makanan pokok yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah
sebanyak 300-500 gram beras, atau sebanyak 3-5 piring nasi sehari.

b. Lauk pauk yang memberikan rasa nikmat sehingga makanan pokok


yang pada umumnya memberi rasa netral lebih terasa enak. Lauk pauk
terdiri dari lauk hewani dan lauk nabati.
39

1. Lauk hewani, bersumber dari daging, ayam, ikan, kerang, telur, dan
sebagainya. Lauk hewani mengandung protein dengan nilai biologi
lebih tinggi daripada lauk nabati. Porsi lauk hewani yang dianjurkan
sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 100 gram atau dua potong
ikan/daging/ayam sehari.
2. Lauk nabati, bersumber dari kacang-kacangan dan hasil olahannya
seperti kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, tahu, dan tempe.
Porsi lauk nabati yang dianjurkan untuk orang dewasa sebanyak 100-
150 gram atau 4-6 potong tempe sehari. tempe dapat diganti dengan
tahu atau kacang-kacangan kering.

c. Sayur, untuk memberi rasa segar dan melancarkan proses menelan


makanan karena biasanya dihidangkan dalam bentuk berkuah, seperti
sayur daun-daunan, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Sayuran daun berwarna hijau dan sayuran berwarna jingga seperti wortel
dan tomat mengandung lebih banyak provitamin A berupa betakaroten
daripada sayuran berwarna lain. Semakin hijau warna daun sayuran, maka
semakin kaya zat gizi yang terkandung di dalamnya. Porsi sayuran dalam
bentuk tercampur yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa sebanyak
150-200 gram atau 1-2 mangkuk sehari.

d. Buah-buahan, seperti pepaya, pisang, melon, apel, dan sebagainya. Buah


berwarna kuning seperti mangga, pepaya, dan pisang raja kaya akan
provitamin A, sedangkan buah yang rasanya asam seperti jeruk, gandaria,
dan jambu biji kaya akan vitamin C. porsi buah yang dianjurkan untuk
orang dewasa adalah sebanyak 200-300 gram atau 2-3 potong sehari.

e. Susu, merupakan protein bernilai biologi tinggi akan lebih


menyempurnakan menu hidangan. Porsi susu yang dianjurkan untuk anak-
anak, ibu hamil, dan ibu menyusui adalah sebanyak 1-2 gelas sehari.
40

Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) merupakan penjabaran lebih


lanjut dari pedoman 4 sehat 5 sempurna yang memuat pesan-pesan yang
berkaitan dengan pencegahan timbulnya masalah gizi. PUGS digunakan
sebagai alat untuk memberikan penyuluhan pangan dan gizi kepada
masyarakat luas dalam rangka memasyarakatkan gizi seimbang. Dalam
PUGS pengelompokkan bahan makanan disederhanakan, yaitu didasarkan
pada tiga fungsi utama zat gizi, yaitu:
1. Sumber energi atau tenaga, yang terdiri dari padi-padian, tepung-tepungan,
umbi-umbian, sagu, dan pisang, merupakan makanan pokok.
2. Sumber zat pengatur, terdiri dari sayuran dan buah-buahan.
3. Sumber zat pembangu, terdiri dari ikan, ayam, daging, telur, susu, kacang-
kacangan, dan hasil olahannya seperti tahu dan tempe. (Lilis Banoswati,
2014).

Sebelumnya terdapat 13 pesan PUGS, namun setelah dilakukan survei


kembali terkait gizi, ketigabelas pesan PUGS belum mencapai hasil
maksimal. Gizi seimbang belum sepenuhnya tercapai karena masih
ditemukan berbagai masalah seperti konsumsi makanan pada masyarakat
belum seimbang dan belum mampunya masyarakat untuk menerapkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PUGS sebelumnya terbatas pada
13 pesan, sedangkan PGS terdiri dari pesan umum dan pesan khusus
(Kemenkes RI, 2014). Berikut 10 pesan umum gizi seimbang:
1. Syukuri dan nikmati anekaragam makanan.
2. Biasakan konsumsi sayur dan cukup buah-buahan.
3. Biasakan konsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi.
4. Biasakan mengkonsumsi anekaragam makanan pokok.
5. Batasi konsumsi pangan asin, manis, dan berlemak.
6. Biasakan sarapan.
7. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman.
8. Biasakan membaca label kemasan pangan.
9. Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih mengalir.
10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal.
41

Sedangkan untu pesan khusus, gizi seimbang disesuaikan dengan


golongan umur sebagai berikut:
1. Pesan Gizi Seimbang untuk Ibu Hamil.
2. Pesan Gizi Seimbang untuk Ibu Menyusui.
3. Pesan Gizi Seimbang untuk Bayi (0 – 6) bulan.
4. Pesan Gizi seimbang untuk anak 6-24 bulan.
5. Pesan Gizi Seimbang untuk Anak Usia 2 – 5 Tahun.
6. Pesan Gizi Seimbang untuk Anak dan Remaja (6 – 19 tahun).
7. Pesan Gizi Seimbang untuk remaja putri dan calon pengantin.
8. Pesan Gizi Seimbang untuk usia lanjut.

2.3.5. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis

Pola makan terdiri dari frekuensi makan, waktu makan, dan jenis
makanan (Naisali et al., 2017). Gastritis biasanya diawali oleh pola makan
yang tidak teratur. Kebiasaan makan yang buruk dan mengkonsumsi makanan
yang tidak hygien merupakan faktor resiko terjadinya gastritis (Wahyu dalam
Hartati et al., 2014). Makanan atau minuman yang dikonsumsi dan masuk
kedalam lambung berfungsi mengurangi kepekatan asam lambung sehingga
sampai menggrogoti lambung (Megawati and Nosi, 2014).
Menurut Warmbrand 2000, dalam (Yatmi, 2017) pola makan yang baik
adalah dengan memulai sarapan pagi sebelum beraktivitas, makan siang
sebelum ada rangsangan lapar, dan makan malam sebelum tidur. Pola makan
tidak teratur dapat menyebabkan gastritis, bila seseorang terlambat makan
sampai 2-3 jam maka asam lambung yang di produksi semakin banyak dan
berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung (Smeltzer and Bare,
2010).
Gastritis terjadi karna ketidaksesuain lambung dengan makanan yang
dimakan seperti makanan yang pedas (cabai, atau merica) atau makanan yang
memiliki kadar lemak yang tinggi, sehingga produksi asam lambung tidak
terkontrol (Yuliarti dalam Hartati et al., 2014). Menurut Sani et al. (2016)
faktor jenis makanan juga turut menjadi pengaruh terhadap kejadian gastritis
42

karena memiliki kebiasaan mengkonsumsi jenis makanan seperti asam, asin,


pedas, gas, serta makan makanan yang banyak mengandung lemak.

2.4. Santri

2.4.1. Definisi Santri dan Pondok Pesantren


Definisi santri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Departemen
Pendidikan Nasional adalah orang yang sedang menuntut ilmu agama. Guru
Besar Filsafat Kebudayaan Islam Universitas Paradigma, Prof. Dr. Abdul
Hadi WM, menyatakan istilah santri berasal dari kata Sanskerta, yaitu sastri.
Sastri artinya dalam bahasa Sanskerta, yaitu orang yang mempelajari suatu
ajaran (sastra). Jadi, kata santri berarti orang yang mempelajari suatu ajaran,
dalam hal ini ialah ajaran agama (M. Zamroni, 2020). Menurut KH. Mustofa
Bisri (Gus Mus, 2018), santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih
sayang untuk menjadi mukmin yang kuat dan tidak goyah imannya oleh
pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan.
Menurut antropolog Amerika, Cliffort Greetz dalam bukunya Religion
of Java, seperti dijelaskan oleh Ziemek, pengertian santri mungkin diturunkan
dari bahasa Sanskerta yaitu Shastri yang dalam pemakaian bahasa moderen
memiliki arti yang sempit dan luas. Arti yang sempit adalah seorang pelajar
sekolah agama yang disebut pesantren, sedangkan dalam arti yang luas dan
lebih umum kata santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk jawa
yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh. Adapun menurut
Abdurrahman Wahid, santri adalah siswa yang tinggal di pesantren untuk
menyerahkan diri (Mahfud Junaedi, 2017).
Santri dalam pondok pesantren pada umumnya dikelompokkan menjadi
dua bagian, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah para
santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh, yang tidak
memungkinkan mereka untuk pulang ke rumahnya sehingga mereka tinggal
mondok di pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren
(senior) tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memikul
tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior
43

bertanggung jawab untuk mengajar santri muda (junior) tentang kitab-kitab


dasar dan menengah. Sedangkan santri kalong adalah para santri yang berasal
dari desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
Mereka pulang-pergi dari rumahnya sendiri untuk mengikuti pelajaran di
pesantren. (Hariadi, 2015).
Pesantren atau lebih dikenal dengan nama pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia yang memiliki kaitan
penting dengan tradisi pengajaran keilmuan di pratiwi (Irawan, 2018).
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat
imbuhan “pe” dan akhiran “an” yang menunjukkan tempat, maka artinya
adalah tempat para santri. Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran agama, dimana seorang kiai mengajarkan ilmu
agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan. Dalam sejarahnya, tradisi
pesantren merupakan sistem pendidikan islam yang tumbuh sejak awal
kedatangan Islam di Indonesia.

2.4.2. Pola Makan di Pesantren

Pola makan sehat sangat di perlukan oleh setiap orang karena makanan
adalah faktor utama penentu kesehatan seseorang. Pola makan sehat harus di
tanamkan ke seluruh masyarakat, termasuk pada santri di pondok pesantren.
Di pondok pesantren juga harus di terapkan pola makan sehat bagi santri-
santri, apalagi di pondok pesantren sangat rawan dengan hal yang namanya
penyakit karena kurangnya fasilitas kesehatan dan pengetahuan tentang
kesehatan yang memadai. Namun dewasa ini seiring berkembangnya
teknologi, santri sudah lebih mudah mendapat informasi kesehatan dari
berbagai media.
Santri-santri pada jaman sekarang sudah tidak lagi seperti santri jaman
dahulu, karena kebanyakan santri sekarang selain belajar agama juga belajar
di pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah sampai Perguruan tinggi.
Secara umum, pola makan di pondok pesantren cenderung sama antara satu
44

sama lain. Namun masih banyak perbedaan pola makan di setiap pesantren
karena sebagian pesantren masih ada yang menganut model pesantren salaf
dengan pola makan satu nampan bersama, pesantren yang menganut sistem
catering dengan santri membayar perbulan, dan ada juga yang membeli
makan di luar.
Sebagian pesantren mengelola makanan dari hasil pertanian sendiri.
Selain kesibukan mengaji dan belajar, para santri juga mengelola kebun atau
sawah untuk memenuhi kebutuhan makan mereka. Seperti pesantren ISC
Aswaja Lintang Songo-bantul, para santri yang tidak sekolah terjadwal pada
pagi hari kemudian yang kuliah atau sekolah terjadwal pada sore hari atau
hari libur, sedangkan untuk kegiatan mengaji di lakukan pada malam hari.

2.4.3. Kebutuhan Gizi Santri

Santri yang menempuh pendidikan formal tingkat Sekolah Menengah di


pesantren moderen berusia 12-18 tahun (usia remaja). Usia remaja merupakan
periode rentan gizi karena berbagai sebab. Pertama ialah karena remaja
memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan fisik
dan perkembangan yang dramatis. Kedua ialah perubahan gaya hidup dan
kebiasaan makan remaja mempengaruhi asupan maupun kebutuhan gizinya.
Ketiga yaitu remaja yang mempunyai kebutuhan gizi khusus, yaitu remaja
yang aktif dalam kegiatan olahraga, menderita penyakit kronis, ataupun
melakukan diet secara berebihan.
Menentukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi dan protein untuk
usia remaja sukar dilakukan karena besarnya variasi pada kecepatan
pertumbuhan, aktivitas fisik, laju metabolisme, keadaan fisiologis, dan
kemampuan beradaptasi pada usia remaja. Oleh karena itu, penentuan AKG
remaja dikategorikan berdasarkan usia, bukan berdasarkan perkembangan
kematangannya. Berikut adalah AKG usia remaja:
45

a. Energi
Kebutuhan energi remaja bervariasi tergantung aktifitas fisik dan tingkat
kematangannya. Angka Kecukupan Energi untuk remaja laki-laki berusia
10-12 tahun adalah 2050 kkal, usia 13-15 tahun 2400 kkal, dan usia 16-18
tahun 2600 kkal. Angka Kecukupan Energi remaja perempuan berusia 10-
12 tahun adalah 2050 kkal, usia 13-15 tahun 2350 kkal, dan usia 16-18
tahun 2200 kkal. Dari beberapa penelitian di Amerika Serikat, diketahui
bahwa asupan energi anak laki-laki cenderung meningkat tajam hingga
3470 kkal/hari sampai usia 16 tahun, dan dari 16-19 tahun menurun hingga
2900 kkal/hari. Sedangkan pada anak perempuan, asupan energi
meningkat tajam sampai usia 12 tahun, kemudian menurun sampai usia 18
tahun. Asupan energi anak perempuan pada tiga tahap perkembangan,
yaitu pra-pubertas, tumbuh cepat, dan pasca-pubertas berhubungan dengan
tingkat perkembangan fisiologis, bukan dengan usia.

b. Protein
Kebutuhan protein remaja berkorelasi lebih dekat dengan pola
pertumbuhan dibandingkan dengan usia kronologis. Angka Kecukupan
Protein dalam hubungan dengan tinggi badan merupakan cara paling tepat
untuk memperkirakan kebutuhan remaja. Angka Kecukupan Protein
remaja berkisar antara 0,29-0,32 g/cm tinggi badan untuk laki-laki, dan
0,27-0,29 g/cm tinggi badan untuk perempuan. Apabila asupan energi
kurang karena berbagai hal, maka asupan protein akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi, sehingga protein tidak cukup tersedia untuk
pembentukan jaringan baru atau untuk memperbaiku jaringan yang rusak.
Hal ini dapat menyebabkan pengurangan laju pertumbuhan dan penurunan
massa otot tubuh. Angka Kecukupan Protein didasarkan pada data hasil
metaanalisis penelitian Institute of Medicine (2002), yang dilakukan
terhadap kelompok usia remaja 9-19 tahun. Angka Kecukupan Protein
dihitung berdasarkan berat badan, yaitu 0,66 kg/kg berat badan perhari
dikalikan faktor koreksi mutu protein 1,2. Angka Kecukupan Protein
perhari remaja laki-laki usia 10-12 tahun adalah 50 g/hari, usia 13-15
46

tahun 60 g/hari, dan untuk usia 16-18 tahun sebesar 65 g/hari. Angka
Kecukupan Protein perhari remaja perempuan usia 10-12 tahun adalah 50
g/hari, usia 13-15 tahun 57 g/hari, dan untuk usia 16-18 tahun sebesar 55
g/hari.

c. Mineral
Kebutuhan semua mineral selama masa remaja meningkat. Remaja yang
berada dalam masa puncak pertumbuhan membutuhkan zat gizi dalam
jumlah besar, terutama kalsium, seng, besi, magnesium, dan nitrogen dua
kali lebih besar.
 Kalsium
Kebutuhan kalsium usia remaja lebih banyak dibandingkan dengan usia
anak dan usia dewasa karena peningkatan perkembangan otot, kerangka
tubuh, dan kelenjar endokrin. Pada puncak pertumbuhan cepat,
penyimpanan kalsium harian dapat mencapai dua kali lipat dari rata-rata
penyimpanan selama periode remaja usia 10-20 tahun. Massa kerangka
tubuh bertambah 45% selama masa remaja. Angka Kecukupan Kalsium
usia remaja adalah 1000 mg/hari, baik untuk laki-laki ataupun
perempuan.

 Besi
Kebutuhan besi selama masa remaja meningkat. Peningkatan terjadi
terutama pada laki-laki, karena diperlukan untuk penambahan volume
darah dan kenaikan konsentrasi hemoglobin, sehubungan dengan
terjadinya kematangan seksual. Laju pertumbuhan pada remaja
perempuan tidak secepat laki-laki, tetapi haid biasanya dimulai satu
tahun setelah puncak pertumbuhan. Tambahan besi diperlukan untuk
mengganti besi yang hilang bersama darah waktu haid. Kekurangan besi
selama masa remaja dapat mengganggu pertumbuhan dan respon
kekebalan. Angka Kecukupan Besi remaja laki-laki usia 10-12 tahun
adalah 13 mg/hari, usia 13-15 tahun 19 mg/hari, dan usia 16-18 tahun 15
mg/hari. Angka Kecukupan Besi remaja perempuan usia 10-12 tahun
47

adalah 20 mg/hari, usia 13-15 tahun 26 mg/hari, dan usia 16-18 tahun 26
mg/hari. Angka kecukupan besi remaja perempuan lebih tinggi daripada
remaja laki-laki karena memperhitungkan kehilangan besi selama haid.

 Seng
Seng berperan dalam sintesis Dioxiribonucleic Acid (DNA) dan
Ribonucleic Acid (RNA). Selain itu, seng berperan penting dalam
pertumbuhan dan pematangan seksual. Penelitian mengenai seng sangat
terbatas, namun ada bukti bahwa remaja dengan kadar serum seng rendah
mempunyai masalah jerawat yang meningkat. Angka Kecukupan Seng
remaja laki-laki usia 10-12 tahun adalah 14 mg/hari, usia 13-15 tahun
17,4 mg/hari, dan usia 16-18 tahun 17 mg/hari, sedangkan untuk remaja
perempuan usia 10-12 tahun adalah 12,6 mg/hari, usia 13-15 tahun 15,4
mg/hari, dan usia 16-18 tahun 14 mg/hari

d. Vitamin
Kebutuhan vitamin selama usia remaja meningkat. Meningkatnya
kebutuhan energi, maka kebutuhan tiamin, riboflavin, dan niasin
meningkat untuk melepas energi yang berasal dari metabolisme
karbohidrat. Kebutuhan vitamin B6, asam folat, dan vitamin B12 meningkat
karena peningkatan sintesis jaringan. Peningkatan kebutuhan vitamin D
terjadi untuk pertumbuhan cepat kerangka tubuh. Vitamin A, vitamin C,
dan vitamin E dibutuhkan untuk pertumbuhan sel-sel baru. Angka
kecukupan vitamin pada remaja dapat dilihat pada tabel 3.
48

Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Usia Remaja

Laki-laki Perempuan
Zat Gizi 10-12 13-15 16-18 10-12 13-15 16-18
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
Energi (kkal) 2050 2400 2600 2050 2350 2200
Protein (g) 50 60 65 50 57 55
Vitamin A (RE) 600 600 600 600 600 600
Vitamin D (μg) 5 5 5 5 5 5
Vitamin E (mg) 11 15 15 11 15 15
Vitamin K (μg) 35 55 55 35 55 55
Tiamin (mg) 1,0 1,2 1,3 1,0 1,1 1,1
Riboflavin (mg) 1,0 1,2 1,3 1,0 1,0 1,0
Niasin (mg) 12 14 16 12 13 14
Asam folat (μg) 300 400 400 300 400 400
Peridoksin (mg) 1,3 1,3 1,3 1,2 1,2 1,2
Vitamin B12 (μg) 1,8 2,4 2,4 1,8 2,4 2,4
Vitamin C (mg) 50 75 90 50 65 75
Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000 1000 1000
Fosfor (mg) 1000 1000 1000 1000 1000 1000
Magnesium (mg) 170 220 270 180 230 240
Besi (mg) 13 19 15 20 26 26
Sumber: widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004

2.5. Kerangka Teori

Kerangka teori pada dasarnya adalah ringkasan dari tinjauan pustaka


yang digunakan untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang akan diteliti
atau diambil yang berkaitan dengan konteks ilmu pengetahuan yang
digunakan untuk mengembangkan kerangka konsep penelitian (Notoatmodjo,
2010). Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Penyebab gastritis:
Stres
Makanan dan minuman yang
bersifat iritan
Infeksi bakteri, seperti H.
pylory, H. heilmanii, E. Coli,
Streptococci, Staphylococci
Refluks isi usus kedalam
lambung
Obat-obatan

49

Gambar 1 Kerangka Teori


(Dermawan & Rahyuningsih, 2010)

2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara


konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (diukur) melalui
penelitian yang dimaksud. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah
kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur
melalui penelitian yang akan dilakukan. Dengan kata lain, kerangka konsep
merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori-teori
yang mendukung penelitian, sehingga dengan adanya kerangka konsep dapat
mengarahkan peneliti untuk menganalisis hasil penelitian (Notoatmodjo S,
2018). Berdasarkan pernyataan berikut diatas, maka kerangka konsep pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independen
50

Gambar 2 Kerangka Konsep

2.7. Hipotesis

Hipotesis didalam suatu penelitian merupakan jawaban sementara


penelitian atau dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut. Hipotesis berfungsi untuk menentukan ke arah
pembuktian, yang berarti hipotesis merupakan pernyataan yang harus
dibuktikan (Notoatmodjo S, 2018). Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan tingkat stres dengan kejadian gastritis pada santri di
Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi Kabupaten Pidie 2021.
51

2. Ada hubungan pola makan (frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan)
dengan kejadian gastritis pada santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-
Furqan Bambi Kabupaten Pidie 2021.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey analitik yang mencoba


menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Rancangan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan cross
sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara
faktor-faktor risiko dengan efek, dilakukan dengan cara observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya,
setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran
dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan
(Notoatmodjo, S. 2018).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi diadakan penelitian ini adalah Pesantren Moderen Terpadu Al-


Furqan Bambi, yang beralamat di Jalan Prof. A. Madjid Ibrahim KM. 116
Bambi, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie, Aceh.

3.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian Hubungan Tingkat Stres dan Pola Makan dengan Kejadian
Gastritis pada Santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi,
Kabupaten Pidie dilakukan setelah selesainya proposal penelitian ini dan
dikeluarkannya surat izin penelitian dari Universitas.

52
53

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang


akan diteliti (Notoatmodjo S, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah
santri yang menempuh pendidikan di Pesantren Moderen Terpadu Al.Furqan.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili


seluruh populasi (Notoatmodjo S, 2018). Teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah simple random sampling. Simple
random sampling atau pengambilan sampel secara acak sederhana yaitu
teknik pengambilan sampel yang pada hakikatnya setiap anggota atau unit
dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai
sampel (Notoatmodjo S, 2018). Dalam penelitian ini cara pengambilan
sampel yaitu dengan cara menulis nama kelas dikertas kemudian diundi,
pengundian dilakukan diluar waktu penelitian. Jumlah sampel ditetapkan
dengan menggunakan rumus (Lameshow, 1990) :

Z ²1−α /2 x P ( 1−P ) x N
Rumus :n=
d ² ( N −1 ) +Z ² 1−α /2 x P(1−P)

Keterangan :

n = Jumlah sampel

Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kemaknaan (95% = 1,96)


54

P = Proporsi populasi (0,5)

d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan (0,1)

N = Jumlah Populasi (237)

Berdasarkan rumus tersebut, maka jumlah sampel yang akan diteliti adalah:

Z ²1−α /2 x P ( 1−P ) x N
n =
d ² ( N −1 ) +Z ² 1−α /2 x P(1−P)

( 1,96 )2 ( 0,5 ) ( 1−0,5 ) ( 237)


=
( 0,1 )2 ( 237−1 ) + ( 1,96 )2 ( 0,5 ) (1−0,5)

227,615
=
3,32

= 68,56

Setelah dilakukan perhitungan, maka besaran sampel dalam penelitian ini


dibulatkan menjadi 69 responden, untuk menghindari dropout sampel maka
perlu cadangan sampel sebesar 10%, yaitu penambahan 7 responden sehingga
jumlah sampel menjadi 76 responden.
55

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi
1. Santri yang tinggal di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi,
Kabupaten Pidie.
2. Santri yang bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Ekslusi

1. Santri yang tidak tinggal di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan


Bambi.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini ialah melalui data primer, yaitu
data yang diambil langsung dari masing-masing sampel penelitian di
lapangan dengan menggunakan kuisioner. Pengumpulan data tingkat stres
didapat dari kuisioner DASS (Depression Anxiety Stress Scale) 42.
Pengumpulan data pola makan dan kejadian gastritis didapat dari kuisioner
pola makan dan kuisioner gastritis dari penelitian Renzi Avionita (Restiana
DE, 2019).

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk


pengumpulkan data (Notoatmodjo S, 2018). Alat yang digunakan untuk
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan kuisioner.
Kuisioner kejadian gastritis berjumlah 10 pertanyaan dengan skor iya=1 dan
tidak=0. Pengukuran tingkat stres menggunakan kuisioner DASS 42 yang
berjumlah 42 pertanyaan dengan 14 pertanyaan untuk mengukur skala stres,
kuisioner DASS 42 terdiri dari empat pilihan jawaban (0= tidak pernah; 1=
kadang-kadang; 2= sering; 3= hampir setiap saat). Pengukuran pola makan
56

menggunakan kuisioner yang berjumlah 17 pertanyaan dengan dua pilihan


jawaban, yaitu “iya” dan “tidak” dengan nilai 1 untuk jawaban yang
menunjukkan perilaku negatif, dan 0 untuk jawaban yang menunjukkan
perilaku positif.

3.6. Definisi Operasional

Definisi operasional diperlukan agar pengukuran variabel atau


pengumpulan data (variabel) konsisten antara sumber data (responden) yang
satu dengan responden yang lain. Definisi operasional adalah uraian tentang
batasan variabel yang dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel
yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2018).
57

Tabel 3 Definisi Operasional

Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Variabel Dependen:
Kejadian Kondisi Kuisioner Kuesioner Ordinal Ya = 1
Gastritis ketika berjumlah 10
lapisan pertanyaan dengan Tidak = 0
lambung kriteria:
mengalami
a. Negatif = 1-5
iritasi,
b. Positif = 6-10
peradangan,
atau
pengikisan

Variabel Independen:
Tingkat Hasil Kuisioner DASS42 Kuesioner Ordinal 0 : Tidak
Stres penilaian berjumlah 14 pernah
terhadap pertanyaan dengan
berat kriteria: 1 : kadang-
ringannya kadang
Normal : 0-14 2 : sering
stres yang
Ringan : 15-18 3 : selalu
dialami
Sedang : 19-25
seseorang
Parah : 26-33

Sangat parah : >34


Pola Pola makan Kuisioner Kuesioner Ordinal Perilaku
Makan terdiri dari berjumlah 17 positif
frekuensi pertanyaan dengan
makan, jenis kriteria: Ya = 0
makanan,
Baik : skor 0-8
dan porsi
Buruk : skor 9-17 Tidak = 1
makan
Perilaku
Negatif
Ya = 1
Tidak = 0

3.7. Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1. Pengolahan Data


58

Data kasar yang diperoleh dari kegiatan pengumpulan data di lapangan


dapat memberikan informasi, sebelum melalui suatu proses pengolahan data,
data perlu diolah dan dianalisis agar mempunyai makna guna memecahkan
masalah (Gahayu, 2015). Data yang telah dikumpulkan akan dilakukan
pengolahan data dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian
formulir atau kuisioner, apakah lengkap, apakah jawaban jelas terbaca,
atau apakah jawaban relevan dengan pertanyaan (Notoatmodjo , 2018).
Apabila ada jawaban-jawaban yang belum lengkap, jika memungkinkan
akan dilakukan pengambilan data ulang untuk melengkapi jawaban-
jawaban tersebut. Apabila pengambilan data ulang tidak memungkinkan,
maka pertanyaan yang jawabannya tidak lengkap tersebut tidak diolah atau
dimasukkan dalam pengolahan data missing.

b. Coding

setelah semua kuisioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan


pengkodean atau dikenal dengan istilah coding, yakni mengubah data
berbentuk kalimat atau huruf menjadi angka atau bilangan (Notoatmodjo,
2018). Santri yang berjenis kelamin laki-laki diberikan kode 1, sedangkan
santri yang berjenis kelamin perempuan diberikan kode 2. Variabel
gastritis dalam penelitian ini diberikan kode 1 bila mengalami gastritis dan
0 bila tidak mengalami gastritis. Variabel tingkat stres diberikan kode 0
jika tingkat stres normal,kode 1 jika tingkat stres ringan, kode 2 jika
tingkat stres sedang, kode 3 jika tingkat stres parah, dan kode 4 jika tingkat
stres sangat parah. Variabel pola makan diberikan kode 1 jika pola makan
kurang baik dan 0 jika pola makan baik.

c. Tabulating
59

Proses pengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dan menjumlahkan


dengan teliti dan teratur. Setelah jawaban terkumpul selanjutnya
dikelompokkan jawaban yang sama dengan menjumlahkannya. Pada
tahapan ini data yang diperoleh untuk setiap variabel disajikan dalam
bentuk distribusi frekuensi berupa tabel.

d. Processing (Data Entry)

Jawaban dari masing-masing responden dalam bentuk kode dimasukkan ke


dalam program atau software komputer. Software yang digunakan dalam
penelitian ini adalah program SPSS.

3.7.2. Analisis Data

Adapun analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau


mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo,
2018). Analisis univariat digunakan untuk menjabarkan secara deskriptif
mengenai distribusi frekuensi dan proporsi masing-masing variabel yang
diteliti, baik variabel bebas maupun variabel terikat (Sumantri A, 2015).
Kejadian gastritis, tingkat stres, dan karakteristik pola makan pada
penelitian ini disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase
dari tiap variabel.

b. Analisis Bivariat
60

Analisis bevariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga


berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2018). Analisis bevariat
digunakan untuk menguji hipotesis dengan menentukan hubungan variabel
bebas dan variabel terikat melalui uji chi-square (Sumantri A, 2015).
Analisis bivariat dalam penelitian ini adalah hubungan tingkat stres dengan
kejadian gastritis dan hubungan pola makan dengan kejadian gastritis.
Pengetahuan analisis data bivariat pada penelitian ini menggunakan
bantuan software SPSS. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-
square.
Uji chi-square digunakan untuk mengetahui hubungan variabel yang
mempunyai data kategorik. Data atau variabel kategorik pada umumnya
berisi variabel yang berskala nominal dan ordinal (Notoatmodjo, 2012).
Untuk mengetahui hubungan antar variabel, taraf signifikan yaitu α (0,05):
apabila p ≤0,05 = H0 ditolak, Ha diterima yang berarti ada hubungan antara
tingkat stres dan kejadian gastritis, ada hubungan pola makan dengan
kejadian gastritis. Sedangkan apabila p ≥ 0,05 = H0 diterima, Ha ditolak
yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat stres ataupun pola makan
dengan kejadian gastritis. Aturan yang berlaku pada chi square adalah
sebagai berikut:
1. Bila ada 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka
yang digunakan adalah fisher’s exact test.
2. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang dipakai
sebaiknya continuity correction.
3. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misal 2x3, 3x3, 3x2, dan sebagainya, maka
digunakan pearson chi square.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, YA. 2014. Hubungan Antara Syukur dengan Stres pada Santri di
Pondok Pesantren Moderen Islam Assalam. Psikologi. Fakultas Psikologi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Aizafa, ABN. 2019. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Kejadian Gastritis


pada Remaja Usia 19-22 Tahun. Keperawatan. STIKes Insan Cendekia
Medika Jombang.

Al-Bahmi, US. 2018. Hubungan Tingkat Stres dengan Penyakit Gastritis pada
Mahasiswa Pre-Klinik Semester 1 di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar Tahun 2017. Kedokteran. Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Anshari SN, Suprayitno. 2019. Hubungan Stres dengan Kejadian Gastritis pada
Kelompok Usia 20-45 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Bengkuring
Kota Samarinda Tahun 2019. Borneo Student Research.

Banowati, L. 2014. Ilmu Gizi Dasar. Yogyakarta: Deepublish.

Diyono, Sri M. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Sistem


Pencernaan (Dilengkapi Contoh Studi Kasus dengan Aplikasi NNN (Nanda
Noc Nic). Jakarta: Kencana.

Gahayu, SA. 2015. Metodologi Penelitian Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta :


Deepublish.

61
Ghozali, dkk. 2020. Peran Kader SPG (Stop Penyakit Gastritis) di Pondok
Pesantren. Jurnal Pesut: Pengabdian untuk Kesejahteraan Umat. Volume 2
(No.1), 9-17.

Gintings, EP. 2012. Mengantisipasi Stres dan Penanggulangannya. Yogyakarta:


ANDI.

Hariadi. 2015. Evolusi Pesantren Studi Kepemimpinan Kiai Berbasis Orientasi


ESQ. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Imayani S, Myrnawati CH, Juneris A. 2017. Gastritis dan Faktor-Faktor yang


Berpengaruh (Studi Kasus Kontrol) di Puskesmas Bebesen Kabupaten Aceh
Tengah Tahun 2017. JRKN. Volume 01 (No. 02), 132-144.

Jones, Bartlett. 2004. Manajemen Stres. Terjemahan oleh Palupi Widyastuti.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Junaedi, M. 2017. Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Depok: Kencana.

Kurniati, L. 2019. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada Santri
di Pondok Pesantren Mambaul Hisan Kabupaten Pringsewu Tahun 2019.
Keperawatan. STIKes Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

Lanywati E, Puspadewi VA. 2016. Penyakit Maag dan Gangguan Pencernaan.


Yogyakarta: Kanisius.

62
63

Mappagerang R, Hasnah. 2017. Hubungan Tingkat Stres dan Pola Makan dengan
Kejadian Gastritis di Ruang Rawat Inap RSUD Nene Mallomo Kabupaten
Sidrap. Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah. Volume 6 (No.1), 59-64.

Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna Gastritis (Penyakit Maag),


Infeksi Mycrobacteria pada Ulcer Gastrointestinal. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Ketiga. Jakarta :


PT Rineka Cipta.

Pratiwi, P. 2013. Hubungan Pola Makan dengan Gastritis pada Remaja di


Pondok Pesantren Daar El-Qolam Gintung, Jayanti, Tanggerang.
Keperawatan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Puji, A. 2020. Beragam Cara Pencegahan Gastritis yang Paling Ampuh.


https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/gangguan-pencernaan/gastritis/cara-
pencegahan-gastritis/#gref (diakses tanggal 19 November 2020).

Putri AT, Farit R, Akifah. 2017. Efektifitas Media Audio Visual dan Leaflet
Terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Tentang
Penyakit Gastritis Pada Santriwati di Pondok Pesantren Hidayatullah Putri
dan Ummusshabri Kota Kendari Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat. Volume 2(No.6), 1-11.

Rasyid FA, dkk. 2020. Peta Ideologi Ummat Islam pada Sistem Demokrasi di
Indonesia: Penelitian pada Beberapa Pesantren di Pulau Jawa. Bandung:
LP2M UIN SGD Bandung.
64

Restiana, DE. 2019. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada
Remaja Kelas X di Ma Walisongo Kecamatan Kebonsari Kabupaten
Madiun Tahun 2019. Keperawatan. STIKes Bhakti Husada Madiun.

Rifqiyatunnasiyah. 2017. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada


Santri di Pondok Pesantren Al-Mukmin Sukoharjo. Keperawatan.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

RSUD dr R Soedjati Soemodiardjo. 2019. Pedoman Gizi Seimbang.


https://rsud.grobogan.go.id/158-pedoman-gizi-seimbang (diakses tanggal 14
Desember 2020).

Santri Kreatif. 2014. Pola Makan Santri. http://santrikre.blogspot.com/2014/09/


pola-makan-santri.html (diakses tanggal 14 Desember 2020).

Sugianto, B. 2012. Stres dan Upaya Mengatasinya (Perspektif Pendidikan Islam).


Surabaya: CV. Garuda Mas Sejahtera.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Uwa LF, Susi M, Sulasmini. 2019. Hubungan Antara Stres dan Pola Makan
dengan Kejadian Gastritis yang Terjadi di Puskesmas Dinoyo. Nursing
News. Volume 4 (No. 1), 237-247.

Wahyu, A. 2018. Maag dan Gangguan Pencernaan. Jakarta: PT Sunda Kelapa


Pustaka.

Wahyuni SW, Rumpiati, Rista EML. 2017. Hubungan Pola Makan dengan
Kejadian Gastritis pada Remaja. Global Health Science. Volume 2 (No.2),
149-154.
65

Wawasan BK. 2012. Faktor Penyebab Stress Siswa. http://wawasanbk.blogspot.


com/2012/10/faktor-penyebab-stress-di-sekolah.html. (diakses tanggal 14
Desember 2020).

Yuliarti, N. 2009. Maag: Kenali, Hindari, dan Obati. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.

Zamroni M, dkk. 2020. Dialog Kebangsaan Politik Kebangsaan sebagai


Kataisator di Tengah Polemik Negara. Sidoarjo: Delta Pijar Katulistiwa.

LAMPIRAN
Lampiran 1

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada
Yth. Calon Responden
Di Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Progam Studi S1
Ilmu Gizi Universitas Ubudiyah Indonesia,

Nama : Nadya Rumaisha

NIM : 191010320026

Bermaksud melakukan penelitian tentang berjudul “Hubungan Tingkat Stres


dan Pola Makan dengan Kejadian Gastritis pada Santri di Pesantren Moderen
Terpadu Al-Furqan Bambi, Kabupaten Pidie Tahun 2021”. Sehubungan dengan
ini, saya mohon kesediaan saudara untuk bersedia menjadi responden dalam
penelitian yang akan saya lakukan. Kerahasiaan data pribadi saudara akan sangat
kami jaga dan informasi yang akan saya gunakan untuk kepentingan penelitian.
Demikian permohonan saya, atas perhatian dan kesediaan saudara saya ucapkan
terima kasih.

Sigli, Februari 2021


Peneliti

Nadya Rumaisha
66
67

Nim. 191010320026
Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(Informed Consent)

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :

Setelah saya mendapatkan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, dan


jaminan kerahasiaan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa
Program Studi S1 Ilmu Gizi Universitas Ubudiyah Indonesia yang bernama
Nadya Rumaisha mengenai “Hubungan Tingkat Stres dan Pola Makan dengan
Kejadian Gastritis pada Santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan Bambi,
Kabupaten Pidie Tahun 2021”. Saya mengetahui bahwa informasi yang akan saya
berikan ini sangat bermanfaat bagi penelitian ini. Untuk itu saya akan memberikan
data yang diperlukan dengan sebenar-benarnya. Demikian penyataan ini saya buat
untuk dipergunakan sesuai keperluan.

Sigli, Februari 2021


Responden

( )

65
Lampiran 3

LEMBAR KUESIONER

Judul Penelitian : Hubungan Tingkat Stres dan Pola Makan dengan Kejadian
Gastritis pada Santri di Pesantren Moderen Terpadu Al-Furqan
Bambi, Kabupaten Pidie Tahun 2021.
Peneliti : Nadya Rumaisha (Nim. 191010320026)

Petunjuk Penelitian:
a. Bacalah pertanyaan dengan hati-hati sehingga anda dapat mengerti
b. Pilihlah salah satu jawaban anda dengan cara memberi tanda checklist (√) pada
tempat ([ ]) yang tersedia sesuai dengan satu jawaban yang saudara pilih.
c. Setiap nomer hanya boleh diisi dengan satu jawaban.
d. Setiap jawaban dimohon untuk memberikan jawaban yang jujur.
e. Harap mengisi seluruh jawaban yang ada dalam kuesioner ini (dan pastikan
tidak ada yang terlewati).

Data Demografi
1. Tanggal Pengisian :
2. Nama :
3. Usia :
4. Jeniskelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
5. Pendidikan :
Lanjutan Lampiran 3

A. Kuesioner Tingkat Stres

Keterangan :
0 : Tidak ada atau tidak pernah
1 : Kadang-kadang
2 : Sering
3 : sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat

No Aspek Penilaian 0 1 2 3
1 Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele
2 Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
3 Kesulitan untuk relaksasi atau bersantai
4 Mudah merasa kesal
5 Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas
6 Tidak sabaran
7 Mudah tersinggung
8 Sulit untuk beristirahat
9 Mudah marah
10 Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang
mengganggu
11 Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal
yang sedang dilakukan
12 Berada pada keadaan tegang
13 Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi
Anda untuk menyelesaikan hal yang sedang Anda
lakukan
14 Mudah gelisah
Lanjutan Lampiran 3

B. Kuesioner Pola Makan dan Gastritis

No Pertanyaan Iya Tidak


1 Apakah Anda sehari makan sebanyak 3x?
2 Apakah Anda sehari makan kurang dari 3x?
3 Apakah Anda makan dalam waktu yang sama pada
setiap harinya?
4 Apakah Anda makan ketika merasa lapar?
5 Apakah Anda makan sesuai dengan jam yang Anda
tentukan?
6 Apakah Anda makan dalam sehari sebanyak 3 piring
nasi?
7 Apakah Anda makan dalam sehari kurang dari 3 piring?

8 Apakah Anda makan sedikit-sedikit tapi sering?

9 Apakah Anda makan langsung dalam porsi yang banyak


(4-5)?
10 Apakah Anda sering makan diluar pondok pesantren?

11 Apakah nasi merupakan menu sarapan Anda?

12 Apakah Anda hanya sarapan susu?

13 Apakah Anda sering makan makanan pedas?

14 Apakah Anda sering menyukai makanan asam?

15 Apakah Anda sering mengkonsumsi makanan instan?

16 Apakah Anda lebih suka ngemil daripada makan nasi?

17 Apakah Anda sering mengkonsumsi minuman bersoda?

18 Apakah Anda mempunyai riwayat sakit maag?

19 Apakah Anda sering merasa terbakar di lambung?


20 Apakah nafsu makan Anda sering menurun?

21 Apakah Anda sering nyeri ulu hati?

22 Apakah Anda sering merasa mual?

23 Apakah Anda sering muntah?

24 Apakah perut Anda sering kembung?

25 Apakah Anda sering bersendawa?

26 Apakah maag Anda kambuh saat anda makan pedas?

27 Apakah maag Anda kambuh saat Anda terlambat


makan?

69

Anda mungkin juga menyukai