Anda di halaman 1dari 17

PENATALAKSANAAN TENTANG BAYI RESIKO TINGGI DAN

BERMASALAH (HIV/AIDS)

Disusun untuk memenuhi tugas Asuhan Kebidanan Neonatus, Balita Dan


Anak Prasekolah

Disusun
Oleh:

Bella Safitri (151211003)


Maria Jesyca Tasuib (151211008)

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO


KEBIDANAN PROGRAM SARJANA
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
PRAKATA

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas Asuhan kebidanan Neonatus,
Balita Dan Anak Prasekolah.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih banyak kepada bapak
Subyantoro selaku rektor Univeristas Ngudi Waluyo, dan kepada ibu Luvi Dian
Afriyani selaku kaprodi S1-Kebidanan, dan juga kepada ibu Isfaizah selaku dosen
pembimbing mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Balita Dan Anak
Prasekolah beserta pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Di dalam makalah ini memuat tema tentang “Penatalaksanaan tentang bayi
resiko tinggi dan bermasalah (HIV/AIDS)”. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Diharapkan adanya saran dan
kritik sebagai perbaikan makalah yang baik dan benar di hari yang akan datang.

Ungaran,November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................................i
PRAKATA......................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan ......................................................................................................1
BAB II ISI........................................................................................................3
2.1 Landasan Teori..........................................................................................3
2.2 Pembahasan...............................................................................................4
BAB III PENUTUP........................................................................................12
3.1 Simpulan...................................................................................................12
3.2 Saran.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Asuhan kebidanan pada neonatus, bayi, dan balita adalah
perawatan yang diberikan oleh bidan pada bayi baru lahir, bayi, dan balita.
Neonatus, bayi, dan balita dengan masalah adalah suatu penyimpangan yang
dapat menyebabkan gangguan pada neonatus, bayi dan balita. Apabila tidak
diberikan asuhan kebidanan pada neonatus, bayi, dan balita pada masa
perkuliahan, sehingga pada saat calon bidan diterjunkan di lahan praktek
sudah mampu untuk memberikan asuhan kebidanan pada neonatus, bayi, dan
balita dengan benar.
Ada berbagai penalaksanaan tentang bayi bayi resiko tinggi dan
bermasalah serta penyakit-penyakit yang lazim pada bayi dan anak balita
yang terjadi di Indonesia (BBLR, Asfiksia nenatorum dan sindrom gangguan
pernafasan, Icterus neonatorum, perdarahan tali pusat, kejang, hypoglikemia,
tetanus nenatorum, & HIV/AIDS). Atas dasar pemikiran di atas, maka kami
menyusun makalah ini dengan harapan mahasiswa kebidanan dapat dengan
mudah memahami masalah yang terjadi pada neonatus, bayi, dan balita
terutama masalah HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
2. Apa penyebab terjadinya HIV/AIDS pada bayi?
3. Apa saja tanda gejala HIV/AIDS pada bayi?
4. Bagaimana proses penularan HIV/AIDS pada bayi?
5. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS pada bayi?
6. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS pada bayi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian HIV/AIDS

1
2. Untuk mengetahui penyebab HIV/AIDS pada bayi
3. Untuk mengetahui apa saja tanda gejala HIV/AIDS pada bayi
4. Untuk mengetahui bagaimana penularan HIV/AIDS pada bayi
5. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan HIV/AIDS pada bayi
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan HIV/AIDS pada bayi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Epidemi kasus HIV/AIDS merupakan permasalahan global, yang selalu
mengalami peningkatan setiap tahun. Estimasi 37,3 (30,2-45,1) juta penduduk
di dunia telah terinfeksi HIV, dengan jumlah 1,5 (1,0-2,0) juta orang
terinfeksi tiap tahunnya dan 680.000 (480.000 – 1 juta) orang telah meninggal
akibat HIV/AIDS (UNAIDS, 2020). Meskipun cenderung fluktuatif, data
kasus HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam
kurun sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus sedangkan kasus
AIDS di tahun 2019 sebanyak 7.036 kasus (Ditjen P2P, 2019). Proporsi kasus
HIV-AIDS pada perempuan dalam periode 6 (enam) tahun terakhir
mengalami peningkatan sebesar 33% pada kelompok umur 25-49 tahun
(Kemenkes RI, 2020).
Seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, dan menularkan kepada pasangan seksualnya
sehingga menyebabkan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV semakin
meningkat. HIV/AIDS merupakan penyebab utama kematian perempuan usia
reproduksi di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Ibu hamil
merupakan kelompok berisiko tertular HIV. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat
mengancam kehidupan ibu dan bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi
HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau motherto child
HIV transmission (MTCT) selama kehamilan, persalinan dan menyusui
(Kemenkes RI, 2013).
Penerapan program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA) dalam layanan ANC Terpadu, masih mengalami kendala. Sejalan
dengan penelitian Ningsih (2018) menyatakan bahwa Program Pencegahan
Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak (PPIA) pada antenatal care (ANC) belum
dilaksanakan secara maksimal oleh Bidan Praktik Mandiri di Kota

3
Yogyakarta. Demikian juga wawancara dengan Bidan Koordinator Bidang
Kesehatan Keluarga mengatakan bahwa kendala program PPIA antara lain:
belum semua ibu hamil maupun masyarakat tersosialisasi program
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), belum semua ibu hamil
dilakukan konseling tentang Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA), keterbatasan reagen, dan konseling hanya diberikan pada saat layanan
kunjungan kehamilan berupa penjelasan singkat. Selain itu, pemahaman
tentang Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) pada ibu hamil
yang telah diberikan konseling masih rendah. Hal ini menyebabkan kesadaran
untuk melakukan tes HIV (VCT) juga masih kurang (Dinkes
Yogyakarta, 2015).
2.2 Pembahasan
2.2.1 HIV/AIDS
A. Pengertian HIV/AIDS.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang
menyebabkan penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang
yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala
dari suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya
mereka telah dapat menulari orang lain. AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi
didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap
penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome”
adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari
infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan
tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh,
sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau
virus. Kebanyakan orang dengan HIV akan meninggal dalam beberapa tahun
setelah tanda pertama AIDS muncul bila tidak ada pelayanan dan terapi yang
diberikan (Kementerian Kesehatan RI 2012).
B. Etiologi

4
Penyebab AIDS telah diketahui secara pasti dan jelas disebabkan oleh
HIV. Namun, asal usul HIV sendiri masih belum diketahui secara pasti. HIV
mampu mengkode enzim khusus yang memungkinkan DNA di transkripsi dari
RNA. Sehingga HIV dapat menggandakan gen mereka sendiri, sebagai DNA
dalam sel inang seperti limfosit helper CD4. DNA virus bergabung dengan gen
limfosit dan hal ini adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan HIV
pada sel inang merupakan rintangan untuk pengembangan antivirus terhadap
HIV. Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia untuk mengeluarkan
antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya pengembangan vaksinasi yang
efektif terhadap HIV.
C. Tanda Gejala
Gejala dan tanda infeksi HIV pada bayi dan anak antara lain bahwa
bayi dan anak tersebut mudah mengalami infeksi berat, misalnya anak
mengalami radang paru/pneumonia dua kali dalam 1 tahun, seiring sariawan
yang luas, berat badan turun, dan diare berulang. Biasanya gejala penyakit ini
muncul segera atau pada usia 12-18 bulan.
D. Proses penularan HIV pada Bayi
Lahirnya Millenium Development Goals tahun 2000 di New York
merupakan komitmen pemimpin dunia untuk mempercepat pembangungan
manusia dan pemberantasan kemiskinan. Namun di Indonesia, tujuan MDGs
dikembangkan dan diklasifikasikan menjadi delapan, antara lain: menurunkan
angkan kematian anak serta memerangi HIV/AIDS (Indriyani, Dian dan
Asmuji, 2014:18). Penularan HIV ke Bayi dan Anak, bisa dari ibu ke anak,
penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seksual (pelecehan
seksual pada anak). Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang
menderita HIV/AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun),
sehingga terdapat risiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in
uteri). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum
ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% SAMPAI 35%,
sedangkan jika sudah ada gejala pada ibu kemungkinan mencapai

5
50%.penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mucosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan . semakin lama proses kelahiran,
semakin besar pula risiko penularan, sehingga lama persalinanbisa dicegah
dengan operasi sectio caecaria. Transmisi lain juga terjadi selama periode
postpartum melalui ASI, risiko bayi tertular melaui ASI dari ibu yang positif
sekitar 10% (Nurs dan Kurniawan, 2013:161).

E. Diagnosis HIV/AIDS pada Bayi


1. Pemeriksaan Fisik
Transmisi vertikal pada 50-70% terjadi sewaktu kehamilan tua atau
pada saat persalinan sehingga pada waktu lahir bayi tidak menunjukkan
kelainan. Jadi bila saat lahir tidak ditemukan kelainan fisik belum berarti
bayi tidak tertular. Pemantauan perlu dilakukan secara berkala, setiap
bulan untuk 6 bulan pertama, 2 bulan sekali pada 6 bulan kedua,
selanjutnya setiap 6 bulan. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain
berupa gagal tumbuh, anoreksia, demam yang berulang atau
berkepanjangan, pembesaran kelenjar, hati dan limpa serta ensefalopati
progresif. Gejala juga dapat berupa infeksi pada organ tubuh lainnya
berupa infeksi saluran nafas yang berulang, diare yang berkepanjangan,
piodermi yang berulang maupun infeksi oportunistik antara lain infeksi
dengan jamur seperti kandidiasis, infeksi dengan protozoa seperti
Pneumocystis carinii,toxoplasma yang dapat memberi gejala pada otak.
Bayi juga mudah menderita infeksi dengan miko-bakterium tuberkulosa.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi berupa pemeriksaan Hemoglobin, leukosit
hitung jenis, trombosit, dan jumlah sel CD4. Pada bayi yang terinfeksi
HIV dapat ditemukan anemia serta jumlah leukosit CD4 dan trombosit
rendah 19,20

6
b. Pemeriksaan kadar immunoglobulin. Ini dilakukan untuk mengetahui
adanya hipo atau hipergammaglobulinemia yang dapat menjadi
pertanda terinfeksi HIV19,20
c. Pemeriksaan antibody HIV. Terdapatnya IgG antibodi HIV pada darah
bayi belum berarti bayi tertular, oleh karena antibody IgG dari ibu dapat
melalui plasenta dan baru akan hilang pada usia kurang lebih 15 bulan.
Bila setelah 15 bulan di dalam darah bayi masih ditemukan antibodi
IgG HIV baru dapat disimpulkan bahwa bayi tertular. Untuk dapat
mengetahui bayi kurang dari 15 bulan terinfeksi atau tidak diperlukan
pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan IgM antibody HIV, biakan HIV
dari sel mononuklear darah tepi bayi, mengukur antigen p24 HIV dari
serum dan pemeriksaan provirus (DNA HIV) dengan cara reaksi rantai
polimerase (polymerase chain reaction = PCR)21.
Bila bayi tertular HIV in utero, maka baik biakan maupun PCR akan
menunjukkan hasil yang positif dalam 48 jam pertama setelah lahir. Bila
bayi tertular pada waktu intrapartum maka biakan HIV maupun PCR dapat
menunjukkan hasil yang negatif pada minggu pertama. Reaksi baru akan
positif setelah bayi berumur 7-90 hari21. Kebanyakan bayi yang tertular
HIV akan menunjukkan hasil biakan dan PCR yang positif pada usia rata-
rata 8 minggu. Dianjurkan untuk

F. Pencegahan HIV/AIDS pada Bayi


Penularan HIV dari dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui 4 cara, mulai
saat hamil, saat melahirkan dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral
selama kehamilan, penggunaan antiretroviral saat persalinan dan bayi yang
baru dilahirkan, penggunaan obstetrik selama selama persalinan,
penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian antiretroviral bertujuan agar
viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Persalinan sebaiknya dipilih
dengan metode sectio caecaria karena terbukti mengurangi resiko risiko

7
penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80% walaupun caesaria. demikian
bedah caesar juga memiliki risiko penularan HIV dari ibu kebayi sampai
80%. Bila bedah caesar selektif disertai penggunaan terapi antiretroviral,
maka risiko dapat ditirinkan sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar
juga mempunyai risiko karena imunitas ibu yang rendah sehingga bisa terjadi
keterlambatan penyembuhan luka, bahkan bisa terjadi kematian saat operasi
oleh karena itu persalinan pervaginam dan sectio caecaria harus
dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain. Namun jika
melahirkan dengan pervaginam maka beberapa tindakan harus dihindari
untuk meminimalisir risiko, seperti terlalu sering melakukan pemeriksaan
dalam atau memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap (Nurs dan
Kurniawan, 2013:165).

G. Penatalaksanaan pada Bayi dengan HIV/AIDS


1. Pengobatan pada anak dengan HIV/AIDS
Prinsip pemberian ART pada anak hampir sama dengan dewasa, tetapi
pemberian ART pada anakmemerlukan perhatian khusus tentang dosisi
dan toksisitasnya. Pada bayi, sistem kekebalannya mulai dibentuk dan
berkembang selama beberapa tahun pertama. Efek obat pada bayi dan anak
juga akan berbeda dengan orang dewasa (Nurs dan Kurniawan, 2013:168).
Pedoman pengobatan HIV/AIDS pada Anak menurut (Departemen
Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2008:35) yaitu Rejimen Lini pertama yang
direkomendasikan adalah 2 Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor
(NRTI) + 1 Non Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor (NNRTI):
2. Perawatan pada anak dengan HIV/AIDS
a. Nutrisi pada bayi dengan HIV/AIDS
Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi
melalui ASI adalah sebanyak 15 %. Kemungkinan transmisi
vertikal intrapartum dapat diturunkan sampai 2-4% dengan
menggunakan cara pencegahan seperti pemberian antiretrovirus,

8
persalinan secara seksio sesaria, maka sebaiknya bayi tidak
mendapat ASI. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pemberian
pengganti ASI jangan berdampak lebih buruk. Analisis dari data
yang diperoleh membuktikan bahwa di negara yang angka
kematian pascaneonatal adalah 90 per seribu, bila penggunaan susu
formula mencapai 10% akan terjadi kenaikan 13% pada angka
kematian bayi dan apabila penggunaan susu formula mencapai
100% angka kematian bayi naik sebanyak 59%24. Penelitian lain
menunjukkan bahwa di daerah dengan higiene yang buruk, angka
kematian karena diare pada anak usia 8 hari sampai 12 bulan
adalah 14 kali pada mereka yang tidak mendapatkan ASI
dibandingkan yang mendapat ASI. Lagipula pada masyarakat yang
kebiasaan menyusui itu lumrah, maka ibu yang tidak menyusui
bayinya akan ketahuan bahwa ia menderita sesuatu sehingga tidak
dibokehkan menyusui. Perlu dipertimbangkan juga biaya
pengadaan makanan pengganti ini. Bila bayi tidak mendapat ASI
maka susu formula yang dibutuhkan adalah: untuk 6 bulan pertama
bayi membutuhkan sekitar 92 liter atau 20 kg susu. Pada usia
antara 6 –12 bulan apabila makanan bayi masih 1/2 diperoleh dari
susu dan pada usia 12-24 bulan masih 1/3 diperoleh dari susu maka
antara 6-24 bulan susu formula yang dibutuhkan adalah 255 liter
atau 43 kg. Jadi dari 0 sampai 24 bulan dibutuhkan sekitar 63 kg
susu formula. Biaya tersebut cukup besar. Belum lagi biaya untuk
air bersih dan bahan bakar dan biaya untuk perawatan kesehatan
oleh karena bayi yang tidak mendapat ASI lebih sering sakit.
Makanan yang dibuat sendiri akan lebih murah seperti yang
dilaksanakan di Bangladesh biaya formula yang dibuat di rumah
hanya 60% dari biaya susu kaleng.
Maka apabila ibu bukan pengidap HIV/AIDS atau statusnya tidak
diketahui maka ibu tetap dianjurkan untuk memberikan ASI
Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa

9
alternatif yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah
mendapat penjelasan perlu didukung.
 Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan
memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara
yang benar, misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih
baik dibandingkan dengan pemberian melalui botol. Di
negara berkembang sewajarnya makanan alternatif ini
disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan.
 Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah
dijelaskan kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan
untuk memberikan ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan
kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan
alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka
karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula
diberikan ASI bersama susu formula karena susu formula
akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan
virus dalam ASI lebih mudah masuk.
b. Imunisasi
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular
HIV melalui transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan
untuk memberi respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2
tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap
dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang
terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurakan
untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya
BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio
vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine)
yang bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga
masih dianjurkan oleh karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi
alamiah pada pasien ini lebih besar daripada efek samping yang
ditimbulkan oleh vaksin campak.

10
c. Dukungan Psikologis
Selain pemberian nutrisi yang baik bayi memerlukan kasih sayang
yang kadang-kadang kurang bila bayi tidak disusukan ibunya.
Perawatan anak seperti pada anak lain. Hindari jangan sampai
terluka. Bilamana sampai terluka rawat lukanya sedemikian dengan
mengusahakan agar si penolong terhindar dari penularan melalui
darah. Pakai sarung tangan dari latex dan tutup luka dengan
menggunakan verban. Darah yang tercecer di lantai dapat
dibersihkan dengan larutan desinfektans. Popok dapat direndam
dengan deterjen. Perlu mendapat dukungan ibu, sebab ibu dapat
mengalami stres karena penyakitnya sendiri maupun infeksi
berulang yang diderita anaknya.

11
BAB III
PENUTUP

1.1 Simpulan
1. Neonatus dapat tertular HIV melalui transmisi vertikal sewaktu
intranatal, intrapartum atau melalui ASI.
2. Transmisi vertikal dapat sangat dikurangi dengan pemberian obat
antiretroviral pada ibu, persalinan melalui seksio sesaria dan
pencucian jalan lahir.
3. Diagnosis dengan PCR dapat memastikan penularan pada usia 8
minggu.
4. Tatalaksana adalah seperti bayi yang tidak tertular. dengan dukungan
suportif berupa makanan bergizi dan pemberian imunisasi rutin.
5. Pemberian ASI tidak dianjurkan. Pengganti ASI ini harus diberikan
secara gratis selama paling kurang 6 bulan. Namun apabila ibu tetap
ingin memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan sebelumnya
tentang risikonya, ASI harus diberikan secara eksklusif selama 3-4
bulan saja.
6. Pemantauan dilakukan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak, serta pemeriksaan darah (hemoglobin, CD4, trombosit dan
sebagainya)
7. Bila timbul gejala segera diobati dengan obat antiretroviral
1.2 Saran
Transmisi penularan HIV pada anak disominasi akibat penularan dari
ibu ke anak, sehingga untuk memutuskan mata rantai HIV pada anak,
peranan berbagai tim kesehatan sangat mengingat anak sebagai
generasi lanjutan yang sangat diperlukan untuk berlangsungnya proses
regenerasi, sehingga tim kesehatan terkhususnya, harus memberikan
perhatian khusus pada kasus tersebut. Salah satu upaya nyata adalah
memberikan edukasi kepada masyarakat luas, terutama ibu hamil agar

12
malakukan pemeriksaan deteksi HIV. Dan mengkonsumsi ART
apabila positif HIV. Serta Sectio Caesaria saat partus.

13
DAFTAR PUSTAKA

Rochmawati Lusa,dkk. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Anak


(PPIA).Yogyakarta: Zahir Publishing,202.
Abdulloh, Abu Isa. Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu
Syaikh Hafizhohulloh. http://muslim.or.id (2 November 2014).
Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada anak di indonesia. Jakarta:DepkeS RI, 2008.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Pelayanan Kesehatan dan
HIV/AIDS. Jakarta:Depnakertrans,2005.
Hasdianah, dkk. Imunologi Diagnosis dan Tekhnik Biologi Molekuler.
Yokyakarta: Nuha Medika, 2014.
Indriyani, Dian dan Asmuji. Buku Ajar Keperawatan Maternitas: Upaya Promotif
dan Preventif dalam menurunkan angka kematian Ibu dan Anak.
Yokyakarta: Ar-Ruzz Media,2014.
Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada
Pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika, 2007.
-------. Asuhan Keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:
Salemba Medika,2013.

14

Anda mungkin juga menyukai