Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Tentang : Penatalaksanaan Hiv Pada Orang Tua Bayi Dan Anak

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 1

Neli Maryani 201000414201011

Indah Margenita 201000414201006

Muhammad Aziz Alfarizi

Mata kuliah : Keperawatan HiV/Aids

Program Studi S1 Keperawatan

Fakultas Keperawtan Dan Kesehatan Masyarakat

UNIVERSITAS PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kami kelompk 1
kesempatan sehingga kami dapat membuat dan menyelesaikan tugas makalah yang telah
diberikan oleh dosen pengampu matakuliah keperawatan HIV/AIDS tentang pembuatan
makalah penatalaksanaan hiv pada orang tua bayi dan anak

Tugas ini guna untuk menyelaesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu matkul
tersebut. Kami menyadari bahwa adanya kesalahan dan juga kekurangan dalam pembuatan
makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritikan dan juga saran dari dosen pengampu kami
dan juga pembaca makalah kami ini agar kami dapat mengetahui dan memperbaiki dimana
kesalahan dalam penulisan makalah nya menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Semoga proposal ini dapat berguna untuk semua orang.

Bukittinggi, 26 Januari 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………..

BAB 1. PENDAHULUAN…………………………………………………………………………

1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………………………

1.2. Tujuan………………………………………………………………………………………….

1.3. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………...

BAB 2.PEMBAHASAN…………………………………………………………………………...

2.1. Penatalaksanaan Hiv Pada Orang Tua Bayi Dan Anak……………………………………….

BAB 3. PENUTUP…………………………………………………………………………………

3.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………….

3.2. Daftar Pustaka………………………………………………………………………………….

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di
Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa
dalam berbagai hal seperti cara penularan,pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran
penyakit, faktor resiko,metode diagnosis, dan manifestasi oral.

Dampak Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pada anak terus meningkat, dan saat ini
menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian
anak di seluruh dunia. Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak
di dunia telah meninggal karena AIDS.

Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang warga
negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang
secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang,
menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif
sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS.

Kasus HIV-AIDS berkembang sangat cepat di seluruh dunia, terlihat dari besamya jumlah orang
yang telah terinfeksi oleh virus tersebut. Diperkirakan sekitar 40 juta orang telah terinfeksi dan
lebih dari 20 juta orang meninggal. Di seluruh dunia, setiap hari diperkirakan sekitar 2000 anak
di bawah 15 tahun tertular virus HIV dan telah menewaskan 1400 anak di bawah usia 15 tahun,
serta menginfeksi lebih dari 6000 orang usia produktif. HIV-AIDS merupakan penyakit infeksi
yang sangat berbahaya karena tidak saja membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia
namun juga pada negara secara keseluruha

Penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Berdasarkan pelaporan kasus
HIV/AIDS dari tahun1987 hingga 31 Desember 2008 terjadi peningkatan signifikan. Setidaknya,
2007 hingga akhir Desember 2008 tercatat penambahan penderita AIDS sebanyak 2.000 orang.
Angka ini jauh lebih besar dibanding tahun 2005 ke 2006 dan 2006 ke 2007 yang hanya ratusan.
Sedangkan dari keseluruhan penderita, pada akhir 2008, AIDS sudah merenggut korban
meninggal sebanyak 3.362 (20,87 persen), sedangkan mereka yang hidup adalah 12.748 (79,13
persen) orang.

Penatalaksanaan HIV disertai dengan pemberian obat Antiretroviral (ARV), yang kini tersedia
makin meluas dan mengubah dengan cepat perawatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak
menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta
memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Di Indonesia yang sumber

1
dayanya terbatas dianjurkan orang dewasa dan anak yang teridentifikasi infeksi HIV, harus
segera memulai AR di dasari kriteria memulai AR. Kriteria memulai ART didasari pada kriteria
klinis dan imunologis serta menggunakan pedoman pengobatan baku yang sederhana yaitu
Pedoman tatalaksana Infeksi HIV dan terapi Antiretroviral Pada Anak Indonesia. Tatalaksana
awal adalah memberi konseling pada orangtua mengenai infeksi HIV, evaluasi dan tata laksana
infeksi oportunistik, pemberian nutrisi yang cukup,pengawasan tumbuh kembang, dan imunisasi.

b. Tujuan

1. Mengetahui bagaimana tatalaksana HIV/AIDS pada orang tua bayi dan anak
2. Memberikan apa saja jenis jenis infeksi yang berakibatkan terserangnya HIV/AIDS
tersebut
3. Memberikan metode pencegahan untuk menghindari penyebaran lebih besar infeksi
HIV/AIDS
4. Mengetahui apa saja pemenuhan dan pemantauan tumbuh kembangnya HIV/AIDS
5. Memberikan metode pelaksanaan dari penatalaksanaan HIV/AIDS pada orangtua, bayi
dan anak

c. Rumusan Masalah

1. Apa saja tatalaksana yang akan dilakukan dalam penatalaksanaan HIV/AIDS pada orang
tua , bayi dan anak
2. Mengidentifikasikan jenis – jenis dari infeksi yang akan berakibatkan terjadinya
HIV/AIDS
3. Apa saja metode pencegahan dalam penyebaran lebih luasnya HIV/AIDS
4. Bagaimana proses pemenuhan dan juga pemantauan tumbuh kembangnya HIV/AIDS
5. Apa saja metode yang dilakukan dalam penatalaksanaan HIV/AIDS pada orangtua, bayi
dan anak

2
BAB 2. PEMBAHASAN

PENATALAKSANAAN HIV PADA ORANG TUA BAYI DAN ANAK

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya
tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.

HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi HIV.

Pada tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.

Jumlah kasus HIV di Indonesia tumbuh dengan cepat, baik dari sisi wilayah penyebaran maupun
pola penyebaran. Dari sisi wilayah, virus HIV telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di
Indonesia. Jika pada awalnya hanya provinsi-provinsi tertentu saja yang rawan terhadap
penyebaranvirus HIV, sekarang tidak ada lagi provinsi yang kebal terhadap penyebaran virus
tersebut. Demikian halnya dengan pola penyebaran, tidak hanya pada kelompok populasi
beresiko tinggi tetapi penyebaran sudah menjalar pada populasi non resiko tinggi. Selain itu,
karakteristik orang yang terinfeksi HIV telah menyebar di seluruh kelompok umur. Jika pada
mulanya virus HIV tersebut hanya menginfeksi orang-orang yang termasuk dalam kelompok
umur di atas 30 tahun, namun saat ini sudah ada bayi-bayi yang terinfeksi. Yang lebih
memprihatinkan adalah mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA)
adalah penduduk usia produktif antara 15 - 24 tahun.

Angka kejadian anak terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) semakin meningkat di
Indonesia jumlah kasus terus bertambah dan menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia,
baikdi daerah perkotaan maupun perdesaan. Data tentang jumlah sebenarnya orang hidup dengan
HIV-AIDS (ODHA) di Indonesia sulit untuk didapat. Seringkali dikemukakan bahwa jumlah
penderita yang berhasil dihimpun hanyalah puncak dari sebuah gunung es yang di bawahnya
menyimpan petaka yang sangat mengerikan. Setiap kasus yang dilaporkan diperkirakan ada 100
orang lainnya yang sudah terinfeksi HIV, namun tidak terdeteksi.Kasus HIV/AIDS pada anak
sedang menjadi perhatian masyarakat bahkan oleh organisasi dunia seperti WHO dan UNICEF.
Ini adalah sebagai reaksi terhadap hasil statistik dunia pada tahun2015 yang menyebutkan
terdapat 1,8 juta anak berusia kurang dari 15 tahun hidup dengan HIV/AIDS(UNAIDS, 2016).
Indonesia terdapat setidaknya 898 anak mengidap HIV/AIDS dengan rentang usia anak 4 sampai
15 tahun. Data ini diperoleh dari Ditjen PP dan PL tahun 2016. Tantangan penanggulangan
HIV/AIDS bukan sekedar mencegah penyebaran infeksi dan pengobatannya.

3
Timbul permasalah baru yang lebih kompleks. UNICEF menemukan fakta bahwa infeksi
HIV/AIDS bukan hanya mempengaruhi kesehatan dirinya tetapi juga lingkungan sosialnya.
ADHA akan kehilangan hak perhatian dan kasih sayang keluarga, terancam putus sekolah, dan
bahkan kekerasan. (WHO,2014) .Sebagian besar HIV pada anak (90%) diperoleh melalui
transmisi vertikal yaitu penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother to child
transmission/MTCT). Proses transmisi dapat terjadi pada saat kehamilan ( 5-10%), proses
persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui ASI(5-20%). Angka transmisi ini akan
menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu dan anak menjalani program
pencegahan/prevention of mother to child transmission (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan
penggunaan obat anti retroviral untuk ibu sampai dengan penanganan setelah kelahiran.

Salah satu upaya penatalaksanaan yang dilakukan yaitu dengan tersedianya akses untuk obat
ARV di seluruh dunia termasuk Indonesia, sehingga prognosis anak terinfeksi HIV akan menjadi
lebih baik. Hal tersebut terlihat dari angka kematian pasien terinfeksi HIV yang turun.

A. Diagnosis Infeksi Hiv Pada Anak

Infeksi pada anak atau orang dewasa yang menderita HIV disebut juga infeksi oportunistik.
Infeksi ini bisa berupa: Infeksi saluran pernapasan, seperti pneumonia, tuberkulosis, bronkitis,
dan bronkiolitis.

Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS pada anak

I .Uji Virologis 1.

1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah umur
6minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan
carayang sama seperti uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma EDTA
atau Dried Blood Spot(DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat digunakan HIV RNA
kuantitatif(viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan
ujivirologis pada umur 4–6 minggu atau waktu tercepat yang mampu laksanasesudahnya.
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka terapi
ARVharus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah
kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan, maksimal.

4
4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera diikuti dengan
inisiasiARV.

II. Uji Serologis

1. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan Spesifisitas
minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan standardisasi kondisi
laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa.Umur <18 bulan
digunakan sebagai uji untuk menentukan ada tidaknya pajanan HIVUmur >18 bulan–
digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
2. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis,dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil uji
tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan uji
virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang
pada usia 18 bulan.
3. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi HIV
harusmenjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
4. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi uji
virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif.
5. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik dilakukan
tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
6. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan pada
orang dewasa.

III. Diagnosis presumtif HIV pada anak < 18 bulan

Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium
untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis
dengan cara DIAGNOSIS PRESUMTIF.

Bila ada 1 kriteria berikut:

• PCP, meningitis kriptokokus, kandidiasis esophagus

• Toksoplasmosis

• Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standar

5
Minimal ada 2 gejala berikut:

•Oral thrush

• Pneumonia berat

• Sepsis berat

• Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut pada ibu

• CD4+ <20%

Catatan:

1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness (IMCI):a.


a. Oral thrush
Adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa yang normal
ataukemerahan (pseudomembran), atau bercak merah di lidah, langit-
langit mulut atautepi mulut, disertai rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan
pengobatan antifungal topikal.
b. Pneumonia
Adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan gambaran chestin
drawing, stridor atau tanda bahaya seperti letargik atau penurunan
kesadaran,tidak dapat minum atau menyusui, muntah, dan adanya kejang
selama episode sakit sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c. Sepsis
Adalah demam atau hipotermia pada bayi muda dengan tanda yang berat
seperti bernapas cepat, chest indrawing, ubun-ubun besar membonjol,
letargi,gerakan berkurang, tidak mau minum atau menyusui, kejang, dan
lain-lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test ) dengan hasil reaktif harus dilanjutkan dengan 2tes
serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien harus segera mendapat
obat ARV

IV. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan

Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada orang dewasa.
Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat tes dilakukan,uji HIV baru
dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu.Pada umur > 18
bulan .

6
ASI bukan lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk
menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.

V. Penatalaksanaan Pada Neonatus Dengan Ibu Yang Mengidap HIV

Dalam perawatan bayi baru lahir dari ibu dengan HIV harus menggunakan prinsip
standard precautions untuk melindungi petugas kesehatan dari risiko penularan. Bayi dengan usia
gestasi >32 bulan dan dalam kondisi stabil, harus segera dimandikan dengan menggunakan
chlorhexidine 1% (hindari pajanan ke mata bayi). Setelah bayi dimandikan lalu dapat diberikan
injeksi vitamin K IM (berat badan <1500 gram diberikan 0,5 mg vitamin K atau berat badan
>1500 gram diberikan 1 mg vitamin K. Pemberian vaksin BCG (BacilleCalmette Guerin) dan
vaksin hidup lainnya tidak diberikan pada bayi dengan status HIV yangbelum jelas.

Semua bayi yang telah dikonfirmasi terdapat infeksi HIV harus memulai ART, tanpa
mempedulikan tahap klinis atau imunologik. Jika tidak terdapat tes virus, bayi < 12 bulan dengan
diagnosis klinis, infeksi HIV berat berdasarkan dugaan harus memulai ART secepat mungkin.
Konfirmasi infeksi HIV harus dilakukan secepatnya.

Profilaksis diberikan segera setelah lahir. Bayi tersebut harus mendapat Nevirapin sesegera
mungkin (<72 jam) setelah lahir dan dilanjutkan hingga status HIV diketahui (minimal 6
minggu), dapat melalui rapid test maupun tes ELISA. NVP dilanjutkan hingga usia6 minggu dan
diikuti dengan tes PCR pada minggu ke-6.

Jika status kesehatan ibu tidak diketahui maka bayi harus mendapatkan Nevirapin dan tes HIV
(ELISA atau rapid test ) untuk menentukan penanganan selanjutnya. Dosis yang diberikan bila
berat badan lahir >2,5 kg adalah 15 mg dan bila berat badan lahir < 2.5 kg adalah 10 mg.

VI. Pemberian Arv Pada Bayi Dan Anak < 18 Bulan Dengan Diagnosis Presumtif

Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif harus segera
mendapat terapi ARV. Segera setelah diagnosis konfirmasi dapat dilakukan (mendapat
kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18
bulan untuk dilakukanpemeriksaan antibodi HIV ulang) ; maka dilakukan penilaian ulang apakah
pasien pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif maka pemberian ARV dihentikan.

7
VII. Pengobatan HIV Pada Anak

Pengobatan pada Anak dengan HIV/AIDS Prinsip pemberian ART pada anak hampir sama
dengan dewasa, tetapi pemberian ART pada anak memerlukan perhatian khusus tentang dosisi
dan toksisitasnya. Pada bayi, sistem kekebalannya mulai dibentuk dan berkembang selama
beberapa tahun pertama. Efek obat pada bayi dan anak juga akan berbeda dengan orang dewasa
(Nurs dan Kurniawan, 2013:168). Pedoman pengobatan HIV/AIDS pada Anak menurut
(Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2008:35) yaitu Rejimen Lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleosida
Reverse Transkriptase Inhibitor (NRTI) + 1 Non Nucleosida Reverse Transkriptase Inhibitor
(NNRTI).

Pengobatan Profilaksis Infeksi Oportunistik

Profilaksis cotrimoxazole direkomendasikan pada pasien dengan stadium klinis 3 atau 4 atau
jumlah CD4 <200 sel/μL. Profilaksis cotrimoxazole direkomendasikan juga pada semua pasien
dengan TB berapapun jumlah CD4.

Profilaksis cotrimoxazole pada anak direkomendasikan berdasarkan usia dan jumlah CD4, yaitu
pada:

 Anak terinfeksi HIV usia >5 tahun dengan jumlah CD4 <200 sel/μL atau persentase CD4
<15%
 Anak usia 1-5 tahun dengan jumlah CD4 <500 sel/μL atau persentase CD4 <15%
 Bayi usia <12 bulan tanpa melihat jumlah maupun persentase CD4

Profilaksis cotrimoxazole dihentikan satu tahun setelah pasien sehat kembali dengan tingkat
kepatuhan minum obat ARV yang baik dan CD4 >200 (setelah pemberian terapi ARV) pada 2
kali pemeriksaan berturut-turut.

Dosis cotrimoxazole yang digunakan adalah 960 mg sekali sehari. Dosis untuk anak usia <6
bulan adalah 100 mg sulfamethoxazole (SMX) dan 20 mg trimethoprim (TMP) sekali sehari.
Dosis untuk anak usia 6 bulan hingga <5 tahun adalah 200 mg SMX dan 40 mg TMP sekali
sehari. Dosis untuk anak usia >5 tahun adalah 400 mg SMX dan 80 mg TMP sekali sehari.[7,10]

8
Profilaksis Tuberkulosis

Selain profilaksis cotrimoxazole, pasien terinfeksi HIV yang tidak terbukti TB aktif, harus
diberikan profilaksis isoniazid (INH) selama 6 bulan. Terapi profilaksis INH harus diberikan
kepada pasien tanpa melihat derajat imunosupresi, status pengobatan ARV, ataupun status
kehamilan.

Anak terinfeksi HIV yang memiliki gejala gagal tumbuh, demam, batuk lama, atau riwayat
kontak TB, harus dievaluasi ke arah TB atau kemungkinan penyebab lainnya. Apabila tidak
terbukti TB, profilaksis INH selama 6 bulan dapat diberikan berapapun usia anak.

Dosis INH per oral untuk dewasa adalah 300 mg sekali sehari selama 6 bulan. Vitamin B6 juga
dapat diberikan untuk mengurangi neuropati perifer dengan dosis 25 mg per hari. Sementara itu,
dosis INH untuk anak adalah 10 mg/kg/hari, maksimal 300 mg, selama 6 bulan

VIII. Penatalaksanaan HIV pada Anak antara lain:

1. ART Therapy

2. Imunisasi

3. Konseling dan dukungan psikososial

4. Perawatan Nutrisi

IX. Perawatan Pada Anak Dengan Hiv/Aids.

a. Nutrisi

Pada anak dengan HIV/AIDS Pemberian Nutrisi pada bayi dan anak dengan HIV/AIDS tidak
berbeda dengan anak yang sehat, hanya saja asupan kalori dan proteinnya perlu ditingkatkan.
Selain itu perlu juga diberikan multivitamin, dan antioksidan untuk mempertahankan kekebalan
tubuh dan menghambat replikasi virus HIV. sebaiknya dipilih bahan makanan yang risiko
alerginya rendah dan dimasak dengan baik untuk mencegah infeksi oportunistik. Sayur dan
buah-buahan. buahan juga harus dicuci dengan baik dan sebaiknya dimasak sebelum diberikan
kepadaanak. Pemberian (Nurs dan Kurniawan, 2013:167).

9
b. Dukungan sosial spiritual pada Anak dengan HIV/AIDS

Anak yang didiagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya.
Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak,pemberian kasih sayang, dan
sebagainya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orang tua memerlukan
waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok,kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas,
marah, dan berbagai perasaan lain.

Anak perlu diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencakup:

1.) memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk


membicarakan hal-haltertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga.
2.) membangkitkan harga diri anak serta keluarganya dengan melihat
keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah
3.) menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya
4.) mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat
5.) mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diriatau orang lain (Nurs dan
Kurniawan, 2013:169)

c. Intervensi yang bisa dilakukan pada kasus HIV pada anak.

1. Lindungan anak dari kontak infeksius, meskipun kontak biasa dari orang tidak menularkan
HIV
2. Cegah penularan HIV
a. Bersihkan bekas darah atau cairan tubuh lain dengan larutan khusus (10:1) antara
lain berbanding pemutih
b. Pakai sarung tangan lateks bila akan terpajang darah atau cairan tubuh
c. Pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan terdapat aerosolisasi
atau terkena percikan darah atau cairan tubuh.
d. Cuci tangan setelah terpajang darah atau cairan tubuh dan sesudah melepas sarung
tangan.
e. Letakkan jarum tanpa penutup yang dikaitkan ke spuit dalam kotak tertutup yang
tahan tusukan,dengan diberi label sebagai limbah berbahaya/infeksius
f. Tempat sampah yang terkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik
limbah khusus

3. Libatkan pekerja sosial dan tim kesehatan lain untuk membantu anak dan keluarga mengatasi

krisis dan stres terhadap penyakit kronis dan fatal

10
a. Dorong anak dan keluarga untuk mengekspresikan perasaanya
b. Rujuk kerohaniwan untuk mendapatkan dukungan spiritual
c. Diskusikan kemungkinan kematian anak dengan orangtua dan anak
d. Dorong anggota keluarga untuk mendiskusikan diantara mereka, dengan keluarga
lain,dengan teman – teman tentang kemungkinan meninggalnya anak.

4. Bantu kluarga untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat kepatuhan terhadap

rencana pengobatan.

a. Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang resiko ketidakpatuhan


b. Bantu keluarga menetapkan jadwal yang mengoptimalkan efek terapeutik dari
pengobatan dan sesuai dengan gaya hidup keluarga.

B. Penatalaksanaan Hiv/Aids Pada Orangtua

HIV tak hanya didominasi remaja atau dewasa muda, lansia juga bisa mengalaminya. Ini kiat
mengelola gejala HIV pada lansia.

HIV (human immunodeficiency virus) adalah penyakit yang menjadi momok karena
memerlukan pengobatan yang lama dan bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini pun dapat
menyerang semua orang, baik anak-anak, remaja, dewasa muda, hingga lansia. Perlu perhatian
khusus untuk menangani gejala HIV yang dialami lansia.

Selama ini HIV diketahui didominasi oleh populasi muda. Hal ini karena faktor risiko HIV
banyak dialami oleh dewasa muda dan gaya hidupnya, seperti seks bebas dan penggunaan
narkoba jarum suntik. Namun, dengan semakin majunya teknologi untuk pemeriksaan dan
keberhasilan pengobatan HIV, usia harapan hidup penderita HIV semakin panjang.

Pada tahun 2013, tercatat sebanyak 26 persen dari penderita HIV di Amerika Serikat (AS) adalah
mereka yang berusia 55 tahun ke atas. Dengan semakin membaiknya terapi terhadap HIV,
jumlah ini diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun-tahun ke depan. Tak hanya itu,
menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), nantinya lebih dari setengah
penderita HIV/AIDS di AS adalah mereka yang berusia 50 tahun ke atas. Ini karena kerja terapi
yang dinilai lebih efektif membuat banyak penderita yang bertahan hidup hingga usia lanjut.

Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, lebih dari 4 persen orang
yang diketahui mengidap HIV/AIDS berusia 50 tahun ke atas. Jumlahnya diyakini kian
membesar. Lansia yang dilaporkan dengan AIDS meningkat dari 82 (2,3 persen jumlah laporan
AIDS) pada tahun 2006 menjadi 406 (6,5 persen) pada tahun 2013.

10
Jumlah lansia dengan AIDS terus meningkat. Ada tiga jenis lansia dengan HIV. Untuk statistik
digunakan kelompok lansia dengan usia 50 tahun ke atas:

 Orang yang sudah lama hidup dengan HIV


 Orang yang terinfeksi HIV yang baru saja mengetahui status HIV-nya
 Orang yang baru terinfeksi waktu sudah lansia.

a. Perbedaan HIV pada lansia

Pada pasien HIV lansia, terdapat beberapa perubahan fisiologis, yaitu perubahan yang normal
terjadi karena penuaan, maupun patologis, yaitu perubahan yang terjadi karena adanya penyakit,
yang membedakan pengelolaan HIV pada lansia dan orang-orang yang lebih muda.

Seiring dengan pertambahan usia—terutama setelah usia di atas 45 tahun—sistem kekebalan


tubuh seseorang akan semakin menurun. Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah sel darah
putih yang pada tubuh manusia berfungsi untuk melawan infeksi.

Pemberian pengobatan untuk pasien HIV lansia juga berbeda dengan pasien yang lebih muda.
Pada lansia, dikhawatirkan akan terjadi banyak interaksi antar obat, karena biasanya lansia
mengonsumsi banyak obat. Obat yang dikonsumsi lansia biasanya akibat penyakit yang
dideritanya, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, atau adanya gangguan pada
jantung.

Selain itu, fungsi ginjal dan hati pada lansia juga lebih menurun. Hal ini mengakibatkan dosis
obat HIV yang diberikan kepada pasien lansia harus diatur kembali dosisnya. Jika tidak, kondisi
ini dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Perbaikan yang terjadi pada pasien lansia setelah pengobatan HIV juga tidak akan secepat pasien
HIV yang lebih muda. Ini karena pada dasarnya daya tahan tubuh lansia sudah lebih menurun.

b. Pemeriksaan rutin

Untuk mendapatkan hasil pengobatan terbaik, pada lansia yang menderita HIV diharapkan untuk
rutin mengonsumsi obat antivirus secara teratur. Mereka juga selalu diingatkan untuk selalu
kontrol rutin dengan menemui dokter yang menangani mereka.

Tak hanya kontrol rutin, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti
cek fungsi ginjal, fungsi hati, dan fungsi jantung juga perlu dilakukan secara berkala supaya
dapat dipantau tentang adanya penyakit lain yang dapat memengaruhi keberhasilan terapi yang
dijalani pasien HIV lansia.

11
Pada akhirnya, mencegah tetap lebih baik daripada mengobati. Oleh karena itu, CDC
menganjurkan agar mereka yang berusia 13-64 tahun melakukan pemeriksaan HIV secara rutin,
yaitu setiap satu tahun sekali. Bahkan, mereka yang berisiko tinggi, dan merasakan gejala HIV,
disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih sering. Kelompok yang berisiko tinggi biasanya
adalah mereka yang berhubungan seksual tanpa pengaman, bergonta-ganti pasangan, atau
pengguna narkoba jarum suntik.

Penatalaksanaan Ibu Hamil dengan Infeksi HIV

Semua ibu hamil dengan infeksi HIV harus mendapatkan ARV dengan regimen yang sama
dengan regimen ARV dewasa. Penatalaksanaan persalinan pada ibu dengan infeksi HIV
menekankan kepada pentingnya pencegahan infeksi melalui kewaspadaan standar, serta
menghindari pemecahan selaput ketuban dan tindakan invasif seperti episiotomi untuk
menurunkan kemungkinan transmisi vertikal HIV.

Pilihan metode persalinan, baik pervaginam atau bedah sesar, dilakukan berdasarkan indikasi
medis dengan menimbang manfaat dan risiko. Persalinan pervaginam dapat dilakukan jika ibu
telah minum ARV teratur > 6 bulan atau diketahui kadar viral load < 1000 kopi/mm3 pada
minggu ke-36. Pada ibu hamil dengan viral load ≥1000 kopi/mL atau viral load tidak diketahui
pada trimester ketiga kehamilan, direkomendasikan metode sectio caesarea elektif pada usia
kehamilan 38 minggu.

Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya, dimana ibu sudah diskrining
menggunakan pemeriksaan serologis. Saat ini rekomendasi IDAI untuk mengikuti Prevention of
Mother to Child Infection (PMTCT).

Anamnesis dan pemeriksaan fisis:

1. Ibu sudah dilakukan skrining HIV, minimal serologis, lebih baik lagi bila PCR
2. Sebaiknya dilahirkan dengan cara bedah kaisar terencana
3. Direncanakan untuk mendapat susu formula
4. Keadaan umum dan pemantauan adanya infeksi oportunistik pada ibu

Pemeriksaan penunjang

1. Pada saat seputar kelahiran tidak ada yang khusus.


2. Penentuan status infeksi HIV pada bayi dengan PCR RNA/DNA-HIV 2 kali (usia 6
minggu dan 4-6 bulan)

12
Klasifikasi

Bayi status terpapar pada infeksi HIV, prefix E pada klasifikasi CDC tahun 1994.

Tata laksana

Kamar bersalin

- Pertolongan persalinan menggunakan sesedikit mungkin prosedur invasif

- Segera bersihkan bayi dengan mematuhi kewaspadaan universal (universal precaution)

Perawatan hari 1- sebelum pulang dari rumah sakit :

1. Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa.

2. Berikan terapi profilaksis: Zidovudin diberikan untuk bayi mulai usia 6-12 jam:

- Usia gestasi > 35 minggu: dosis zidovudin 4 mg/kg/dosis, 2 kali sehari (tiap 12 jam) selama 6
minggu.

- Usia gestasi > 30 - < 35 minggu: dosis zidovudin 2 mg/kg/dosis, 2 kali sehari (tiap 12 jam),
dilanjutkan menjadi 3 mg/kg/dosis tiap 12 jam pada usia 15 hari. Zidovudin diberikan sampai
usia 6 minggu.

- Usia gestasi < 30 minggu: 2 mg/kg/dosis, 2 kali sehari (tiap 12 jam), dilanjutkan menjadi 3
mg/kg/dosis, 2 kali sehari (tiap 12 jam) saat usia 4 minggu. Zidovudin diberikan sampai usia 6
minggu.

3. Imunisasi hepatitis B I dan polio pada saat akan pulang Usia 7 hari, kontrol pertama

1. Pemantauan efek samping pemberian zidovudin (anemia), kemampuan minum susu, masalah
lain bayi baru lahir.

2. Pemeriksaan laboratorium atas indikasi

3. Pemantauan pemberian obat zidovudin pada bayi (penyesuaian dosis)

Penatalaksanaan Bayi yang Lahir dari Ibu Terinfeksi HIV

Semua bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV harus mendapatkan ARV profilaksis sejak usia 6-
12 jam setelah lahir (atau setidak-tidaknya kurang dari usia 72 jam) untuk mencegah transmisi

13
vertikal HIV yang terjadi terutama pada saat persalinan dan menyusui. Profilaksis zidovudin dan
nevirapine diberikan selama 6 minggu untuk bayi yang mendapatkan ASI, dengan syarat ibu

harus dalam terapi ARV. Sementara itu, untuk bayi yang mendapat pengganti ASI (PASI),
diberikan profilaksis zidovudin selama 6 minggu.

Profilaksis infeksi oportunistik, yaitu cotrimoxazole, juga perlu diberikan sejak usia 6 minggu
sampai diagnosis infeksi HIV dapat disingkirkan atau sampai usia 12 bulan.

Pemberian imunisasi tetap dilakukan mengikuti standar pemberian imunisasi pada anak,
termasuk vaksin hidup, kecuali bila terdapat gejala klinis infeksi HIV.[7,10]

Penatalaksanaan Menyusui bagi Ibu dengan Infeksi HIV

Pemberian susu pada bayi (ASI/PASI) harus memenuhi kriteria AFASS (acceptable, feasible,
affordable, sustainable, and safe), dan selalu mempertimbangkan antara risiko transmisi vertikal
HIV dan manfaat proteksi terhadap mortalitas terkait malnutrisi, diare, dan pneumonia.
Penggunaan terapi ARV dapat menekan transmisi HIV melalui ASI, namun belum dapat
mengeliminasi risiko transmisi seluruhnya. ASI untuk bayi dari ibu terinfeksi HIV hanya dapat
diberikan apabila kriteria AFASS terhadap PASI tidak terpenuhi, dengan syarat ibu harus dalam
terapi ARV dan anak mendapatkan ARV profilaksis

14
BAB 3. PENUTUP

KESIMPULAN

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Jika makin banyak sel CD4 yang hancur, daya
tahan tubuh akan makin melemah sehingga rentan diserang berbagai penyakit.

Tatalaksana medis infeksi HIV adalah pengobatan ARV, yang bertujuan mengurangi laju
penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian, memperbaiki kualitas
hidup orang dengan HIV (ODHIV), memulihkan/memelihara fungsi kekebalan tubuh, menekan
penggandaan virus secara maksimal dan terus-menerus.

Pencegahan infeksi oportunistik terbagi atas 2 yaitu:

1.Pneumonia pneumocystis carini

Pengobatan yang diberikan adalah profilaksis dn pengobatan terhadap infeksi pneumocystis


carinii,diberikan kepda semua anak yang terinfeksi HIV dan diberikan jika sudan PCP.

Obat yang diberikan: Kotrimoksazol

2.Tuberkulosis

Jika seorang anak didiagnosa menderita tuberculosis maka obat yang terlebih dahulu diberikan
adalah antitubeculosis, setelah itu baru diberikan antiretrovirus.

HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(acquired immunodeficiency syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi HIV.

Salah satu upaya penatalaksanaan yang dilakukan yaitu dengan tersedianya akses untuk obat
ARV di seluruh dunia termasuk Indonesia, sehingga prognosis anak terinfeksi HIV akan menjadi
lebih baik. Hal tersebut terlihat dari angka kematian pasien terinfeksi HIV yang turun.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/search?q=PENAtalaksanaan+hiv+ADALAH&oq=PENAtalaksanaan+h
iv+ADALAH

https://www.alodokter.com/hiv-aids

https://www.scribd.com/document/104685491/HIV-Pada-Anak

https://www.scribd.com/document/347999011/Penatalaksanaan-HIV-Pada-Anak#

https://www.google.com/search?q=infeksi+hiv%2Faids+pada+anak+adalah&sxsrf

https://www.alomedika.com/komunitas/topic/bayi-lahir-dari-ibu-hiv-bagaimana-
penatalaksanaannya

16

Anda mungkin juga menyukai