TENTANG HIV/AIDS
DISUSUN OLEH:
1. ELYA MAULINA ELVI SYAHRO 21011001
2. SILVI PAMELA RIZKI 21011052
3. TYO LIANDI MAGHRIZAL 21011010
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HANG TUAH PEKANBARU 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
program penanggulangan penyakit tentang HIV/AIDS. Terima kasih kami ucapkan
kepada Bapak Suharmadji,SKM,M.Kes Dosen Pengampu yang telah membantu kami
baik secara moral maupun materi. Terimakasih juga kami ucapkan kepada teman-teman
yang telah mendukung kami sehingga kami biasa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.
kami menyadari, bahwa Makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca guna
menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga
makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV atau Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Dalam buku “Pers Meliput AIDS”,
virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus, yaitu virus yang
dapat berkembang biak dalam darah manusia. Pasien yang sudah terinfeksi HIV dan
mengalami stress yang berkepanjangan, akan mempercepat menyebarnya AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis sel darah putih (limfosit / sel-sel T4) yang bertugas
menangkal infeksi. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan semakin berat
kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO)
sehingga akan berakhir dengan kematian (Sulastri 2014).
Menurut data yang diperoleh dari Joint United Nations Programme on HIV and
AIDS, atau UNAIDS ada 38,4 juta (33,9 juta-43,8 juta) orang di dunia yang hidup
dengan HIV pada tahun 2021. Sementara itu, di Indonesia, berdasarkan data yang
diperoleh dari Kementerian Kesehatan , hingga Juni 2022, total pengidap HIV yang
tersebar di seluruh provinsi mencapai 519.158 orang. Di Indonesia, sejak pertama kali
ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2021, HIV AIDS telah dilaporkan oleh 498
(97 persen) kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah kasus HIV
yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap
tahun. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai Maret 2021 adalah sebanyak
427.201.
HIV terus menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang utama. Sampai
sejauh ini HIV telah merenggut 40,1 juta [33,6–48,6 juta] nyawa secara global. Pada
tahun 2021, 650.000 [510.000–860.000] orang meninggal karena penyebab terkait HIV
dan 1,5 juta [1,1–2,0 juta] orang tertular HIV.
Permasalahan HIV/AIDS telah menjadi beban kesehatan masyarakat global
dimana kasusnya telah tercatat peningkatanya terus menerus baik negara maju maupun
negara berkembang . Sehingga perlu adanya upaya yang lebih efektif untuk menangani
penyakit AIDS ini dengan upaya pencegahan titik menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) kata pencegahan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mencegah atau
penolakan terhadap suatu hal. Bila dispesialisasikan dalam bahasa kesehatan pengertian
dari pencegahan adalah segala bentuk aksi yang bertujuan untuk mencegah penyakit agar
tidak sampai terjadi pencegahan juga bisa berarti upaya untuk mengira dikasi, eliminasi
dan mengurangi dampak dari penyakit dan ketidakmampuan manusia.
Sementara itu, di Indonesia, kasus HIV pertama kali ditemukan di Bali pada tahun
1987 silam. Perkembangan kasus HIV baru pada tahun 1987 sampai dengan 1998 masih
di bawah 100 kasus.
1.2. Identifikasi Masalah
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan
tubuh. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah stadium penyakit yang paling
lanjut. HIV menargetkan sel darah putih tubuh, melemahkan sistem kekebalan tubuh. Hal ini
membuat kita lebih mudah terserang penyakit seperti tuberkulosis, infeksi, dan beberapa jenis
kanker. HIV ditularkan melalui cairan tubuh orang yang terinfeksi, termasuk darah, ASI, air
mani, dan cairan vagina. Penyakit ini tidak menyebar melalui ciuman, pelukan, atau berbagi
makanan. Bisa juga menular dari ibu ke bayinya. HIV dapat diobati dan dicegah dengan terapi
antiretroviral (ART). HIV yang tidak diobati dapat berkembang menjadi AIDS, seringkali
setelah bertahun-tahun.
WHO kini mendefinisikan Penyakit HIV Lanjutan (AHD) sebagai jumlah CD4 kurang
dari 200sel/mm3 atau WHO stadium 3 atau 4 pada orang dewasa dan remaja. Semua anak
dengan HIV di bawah usia 5 tahun dianggap mengidap penyakit HIV stadium lanjut. HIV masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang utama, sejauh ini telah merenggut 40,4 juta
[32,9–51,3 juta] nyawa dengan penularan yang terus berlanjut di semua negara secara global
dengan beberapa negara melaporkan tren peningkatan infeksi baru, padahal sebelumnya
mengalami penurunan.
HIV dapat menular melalui pertukaran berbagai cairan tubuh pengidap HIV, seperti
darah, ASI, air mani, dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan selama kehamilan dan
persalinan kepada anak. Orang tidak dapat tertular melalui kontak sehari-hari seperti berciuman,
berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan atau air. Penting untuk dicatat
bahwa orang dengan HIV yang memakai ART dan memiliki viral load tidak terdeteksi tidak
menularkan HIV ke pasangan seksualnya. Oleh karena itu, akses dini terhadap ART dan
dukungan untuk tetap menjalani pengobatan sangat penting tidak hanya untuk meningkatkan
kesehatan orang dengan HIV tetapi juga untuk mencegah penularan HIV. Diperkirakan terdapat
39,0 juta [33,1–45,7 juta] orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2022, dua pertiganya
(25,6 juta) berada di Wilayah Afrika WHO. Pada tahun 2022, 630.000 [480.000–880.000] orang
meninggal karena penyebab terkait HIV dan 1,3 juta [1,0–1,7 juta] orang tertular HIV.
Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Namun, dengan adanya akses terhadap pencegahan,
diagnosis, pengobatan dan perawatan HIV yang efektif, termasuk infeksi oportunistik, infeksi
HIV telah menjadi kondisi kesehatan kronis yang dapat dikelola, sehingga memungkinkan orang
yang hidup dengan HIV untuk berumur panjang dan sehat. WHO, Global Fund, dan UNAIDS
semuanya memiliki strategi HIV global yang selaras dengan target SDG 3.3 untuk mengakhiri
epidemi HIV pada tahun 2030.
Pada tahun 2025, 95% dari seluruh orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) seharusnya
sudah terdiagnosis, 95% dari mereka harus memakai pengobatan antiretroviral (ART) yang dapat
menyelamatkan nyawa, dan 95% ODHA yang menjalani pengobatan harus mencapai penekanan
viral load demi kepentingan ODHA. kesehatan seseorang dan untuk mengurangi penularan HIV
di masa depan. Pada tahun 2022, persentasenya masing-masing adalah 86(%), 89(%) dan 93(%).
Ketika mempertimbangkan semua orang yang hidup dengan HIV, 86% [73>–98%]
mengetahui status mereka, 76% [65–89%] menerima terapi antiretroviral dan 71% [60–83%]
telah menekan viral load.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh, dapat melemahkan kemampuan tubuh melawan infeksi dan penyakit[5]. AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) adalah kondisi di mana HIV sudah pada tahap infeksi akhir, dan
tubuh tidak lagi memiliki kemampuan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan. Penyebaran dan
penularan HIV paling banyak disebabkan melalui hubungan intim yang tidak aman dan
bergantian menggunakan jarum suntik yang tidak steril saat memakai narkoba.
Cara pencegahannya yaitu dengan melibatkan upaya untuk mengurangi risiko penularan
HIV, seperti menggunakan kondom dan memberikan informasi dan akses terapi antiretroviral
(ART) untuk mengurangi risiko penularan HIV. Regulasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan yaitu Pemerintah dan pemangku keberadaan mengarahkan dan mendukung
upaya penanggulangan HIV/AIDS, termasuk melalui penyaluran fonds, sumber daya, dan
infrastruktur. Indikator penanggulangan HIV/AIDS meliputi penurunan kerentanan penularan
HIV/AIDS, peningkatan penyediaan darah yang aman untuk transfusi, penurunan prevalensi
infeksi menular seksual (IMS), dan pencegahan penularan dari ibu dengan HIV kepada bayinya
dan dari penderita tuberculosis (TBC) dengan HIV. Dalam menghadapi masalah HIV/AIDS,
penting untuk memahami ruang lingkup penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran,
dan strategi pencegahan yang efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian HIV/AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh penderitanya. Dalam buku “Pers Meliput AIDS”, virus HIV adalah
retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus, yaitu virus yang dapat berkembang biak dalam
darah manusia. Pasien yang sudah terinfeksi HIV dan mengalami stress yang berkepanjangan,
akan mempercepat menyebarnya AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih
(limfosit / sel-sel T4) yang bertugas menangkal infeksi. Replikasi virus yang terus menerus
mengakibatkan semakin berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap
infeksi oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian (Sulastri 2014).
Secara struktural morfologinya, virus HIV sangat kecil sama halnya dengan virus-virus
lain, bentuk virus HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang
melingkar-melebar. Dan pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA atau ribonucleic acid.
Bedanya virus HIV dengan virus lain, HIV dapat memproduksi selnya sendiri dalam cairan darah
manusia, yaitu pada sel darah putih. Sel-sel darah putih yang biasanya dapat melawan segala
virus, lain halnya dengan virus HIV, virus ini justru dapat memproduksi sel sendiri untuk
merusak sel darah putih (Harahap, 2008: 42).
HIV dapat menyebabkan sistem imun mengalami beberapa kerusakan dan kehancuran,
lambat laun sistem kekebalan tubuh manusia menjadi lemah atau tidak memiliki kekuatan pada
tubuhnya, maka pada saat inilah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman dan bakteri sangat
mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Kemampuan HIV untuk tetap
tersembunyi adalah yang menyebabkannya virus ini tetap ada seumur hidup, bahkan dengan
pengobatan yang efektif (Gallant, 2010: 16).
Cara mendiagnosa
HIV dapat didiagnosis melalui tes diagnostik cepat yang memberikan hasil pada hari yang
sama. Hal ini sangat memudahkan diagnosis dini dan kaitannya dengan pengobatan dan
pencegahan. Orang juga dapat menggunakan tes HIV mandiri untuk menguji dirinya sendiri.
Namun, tidak ada tes tunggal yang dapat memberikan diagnosis HIV positif sepenuhnya;
pengujian konfirmasi diperlukan, dilakukan oleh petugas kesehatan atau komunitas yang
berkualifikasi dan terlatih di pusat komunitas atau klinik. Infeksi HIV dapat dideteksi dengan
sangat akurat menggunakan tes prakualifikasi WHO dalam strategi dan algoritma pengujian yang
disetujui secara nasional.
Tes diagnostik HIV yang paling banyak digunakan mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh
orang tersebut sebagai bagian dari respons kekebalan mereka untuk melawan HIV. Dalam
kebanyakan kasus, orang mengembangkan antibodi terhadap HIV dalam waktu 28 hari setelah
terinfeksi. Pada masa ini, masyarakat berada pada masa jendela (window period) dimana mereka
mempunyai tingkat antibodi yang rendah sehingga tidak dapat dideteksi dengan tes cepat, namun
dapat menularkan HIV kepada orang lain. Orang yang baru-baru ini mengalami paparan risiko
tinggi dan hasil tesnya negatif dapat menjalani tes lebih lanjut setelah 28 hari.
Setelah diagnosis positif, orang harus diuji ulang sebelum mereka terdaftar dalam pengobatan
dan perawatan untuk menyingkirkan potensi kesalahan pengujian atau pelaporan. Meskipun tes
untuk remaja dan orang dewasa telah dilakukan secara sederhana dan efisien, hal ini tidak
berlaku pada bayi yang lahir dari ibu yang mengidap HIV positif. Untuk anak-anak berusia
kurang dari 18 bulan, tes antibodi cepat tidak cukup untuk mengidentifikasi infeksi HIV – tes
virologi harus dilakukan sejak lahir atau pada usia 6 minggu. Teknologi baru kini tersedia untuk
melakukan tes ini di tempat perawatan dan memungkinkan hasil pada hari yang sama, yang akan
mempercepat hubungan yang tepat antara pengobatan dan perawatan.
HIV dapat juga didiagnosis melalui tes darah atau air liur. Tes yang tersedia meliputi:
1. Tes antigen/antibodi. Tes ini biasanya melibatkan pengambilan darah dari vena. Antigen
adalah zat yang terdapat pada virus HIV itu sendiri dan biasanya dapat dideteksi – hasil
tesnya positif – di dalam darah dalam beberapa minggu setelah terpapar HIV .
Antibodi diproduksi oleh sistem kekebalan Anda saat terkena HIV . Diperlukan
waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan agar antibodi dapat terdeteksi. Tes
kombinasi antigen/antibodi memerlukan waktu 2 hingga 6 minggu setelah paparan untuk
menjadi positif.
2. Tes antibodi. Tes ini mencari antibodi terhadap HIV dalam darah atau air liur.
Kebanyakan tes HIV cepat , termasuk tes mandiri yang dilakukan di rumah, adalah tes
antibodi. Tes antibodi bisa memakan waktu 3 hingga 12 minggu setelah Anda terpapar
dan hasilnya positif.
3. Tes asam nukleat (NAT). Tes-tes ini mencari virus sebenarnya dalam darah Anda (viral
load). Mereka juga melibatkan darah yang diambil dari vena. Jika Anda mungkin terpajan
HIV dalam beberapa minggu terakhir, penyedia layanan kesehatan Anda mungkin
merekomendasikan NAT . NAT akan menjadi tes pertama yang menjadi positif setelah
terpapar HIV .
1. Factor Agent
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk Retrovirus yang mudah mengalami
mutasi sehingga sulit untuk membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut .Virus
HIV sangat lemahh dan mudah mati diluar tubuh. HIV termasuk Virus yang sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih. sinar matahari dan berbagai
desinfektan.
2. Factor Host
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS Di Amerika Serikat Eropah,
Afrika dan Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun.
Mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan bubungan seksual. Hal ini
membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteseksual merupakan pola
transmisi utama.
Ratio jenis kelamin pria dan wanita di negara pola I adalah 10 :1. karena sebagian
besar penderita adalah kaum homoseksual sedangkan di negara pola II ratio adalah 1 : 1.
Kelompok masyarakat beresiko tinggi adalah mereka yang melakukan hubungan
seksual dengan banyak mitra seks (promiskuitas). kaum homoseksual/biseksual. kaum
heteroseksual golongan pernyalahguna narkotika suntik. Penerima transfusi darah
termasuk penderita hemofilia dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari
ibu pengidap HIV.
Kelompok homoseksual/biseksual adalah kelompok terbesar pengidap HIV di
Amerika Serikat. Prevalensi HIV dikalangan ini terus meningkat dengan
pesat.DiSanFransisco pada tahun 1978 hanya 4% kaum homoseksual yang mengidap
HIV. 3 tahun kemudian menjadi 24% dan 8 tahun kemudian menjadi 80%. Kelompok
heteroseksual lebih menonjol di Afrika dimana prevalensi. HIV pada kaum laki-laki dan
wanita hamil di Afrika pada tahun 1981 mencapai 18%.
Kelompok penyalahguna narkotika suntik di Eropah meliputi 11% dan di
Amerika Serikat 25% dari seluruh kasus HIV/AIDS.
3. Factor Environment
Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan
penyebaran AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada usus genita,
herpes simplex dan syphilis meningkatkan prevalensi penularan HIV. Demikian juga
dengan penggunaan obat KB pada kelompok wanita tunasusila dapat meningkatkan
penularan HIV. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat berpengaruh terhadap
perilaku seksual masyarakat. Bila faktor-faktor ini mendukung pada perilaku seksual
yang bebas akan meningkatkan penularan HIV dalam masyarakat (Purba 2008).
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit T. Sel limfosit T berfungsi untuk melawan
berbagai macam infeksi tanpa menimbulkan gejala peradangan yang parah, uniknya lagi,
sel limfosit T dapat mengingat kuman yang pernah dihancurkannya ke generasi
selanjutnya, sehingga identifikasi jumlah CD4 pada orang dengan sistem kekebalan yang
menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih (limfosit T) yang seharusnya berperan
dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia Nilai CD4 pada orang dengan
sistem kekebalan baik : 1400-1500 sel/ml.
Setelah infeksi HIV terjadi, maka terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel
CD4 yang memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan
pengikatan dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5sel T, makrofag, monosit dan sel
dendrit atau CXCR4sel T). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp51.
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh
enzim reverse transcriptase (RT) yang dibawa virus. Hal tersebut merupakan proses yang
sangat berpotensi mengalami kesalahan, selanjutnya DNA ini ditranspor ke dalam
nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam sel genom penjamu. Virus yang terintegarsi
diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel penjamu, RNA ditranskripsi dari
cetakan DNA tersebut dan selanjutnya ditanslasi menyebabkan produksi protein virus.
Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim (misalnya reverse
transcriptase dan protease) dan protein structural. Hasil pecahan tersebut kemudian
digunakan untuk menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel
dan bersatu dengan membran sel penjamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat
menginfeksi sel yang belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut. Terdapat tiga grup
hampir semua infeksi adalah grup M dan subtipe (grup B dominan di Eropa) untuk HIV-
1.
Masa Inkubasi
Masa inkubasi HIV bervariasi. Walaupun waktu dari penularan hingga
berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1 – 3 bulan, namun waktu dari tertular
HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar < 1 tahun hingga 15 tahun atau lebih.
Tanpa pengobatan anti-HIV yang efektif, sekitar 50 % dari orang dewasa yang
terinfeksi akan terkena AIDS dalam 10 tahun sesudah terinfeksi. Median masa inkubasi
pada anak-anak yang terinfeksi lebih pendek dari orang dewasa. Bertambahnya
ketersediaan terapi anti-HIV sejak pertengahan tahun 90 an mengurangi perkembangan
AIDS di AS dan di banyak negara berkembang secara bermakna.
Masa Penularan
Masa penularan HIV tidak diketahui, diperkirakan mulai berlangsung segera
sesudah infeksi HIV dan berlangsung seumur hidup. Bukti-bukti epidemiologis
menyatakan bahwa infektivitas meningkat dengan bertambahnya defisiensi imunologis,
tanda-tanda klinis dan adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Studi
epidemiologis menyatakan bahwa infektivitas menjadi tinggi selama periode awal
sesudah infeksi (Handayani 2020).
DNA virus yang dianggap oleh sel tubuh sebagai DNA sel induk akan
membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan MRNA dalam sitoplasma akan
diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel itu selanjutnya mengambil
selubung dari bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme
penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan pengurangan dan
terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T.
Dalam keadaan wajar (higiene/sanitasi baik), maka sejak masuknya virus HIV ke
dalam tubuh, seseorang akan mengalami beberapa tahapan infeksi sebagai berikut :
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan memahami dampak kesehatan masyarakat yang luas, regulasi dan
kebijakan pemerintah yang holistik menjadi krusial dalam menghadapi tantangan
HIV/AIDS. Upaya kolaboratif lintas program, sektor, dan masyarakat serta mengatasi
hambatan-hambatan yang ada dapat membentuk dasar untuk program penanggulangan
yang efektif.
B. Saran
Penting untuk memperkuat kerja sama internasional, meningkatkan pendidikan
masyarakat, mengurangi stigma dan diskriminasi, memperluas akses terhadap layanan
kesehatan, dan memastikan sumber daya yang memadai untuk mendukung program
penanggulangan HIV/AIDS. Pemahaman bahwa penanggulangan ini melibatkan seluruh
spektrum masyarakat dapat membawa perubahan yang lebih positif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Handayani, Rini. 2020. “Modul Epidemiologi Penyakit Menular.” Universitas Esa
Unggul 0–14.
2. Purba, Jenny Marlindawani. 2008. “Digitized by USU Digital Library.” Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara (1):1–12.
3. Sulastri, A. Sri. 2014. “Upaya Griya ASA PKBI Kota Semarang Dalam Mencegah
Penularan HIV/AIDS Bagi Wanita Pekerja Seks Di Resosialisasi Argorejo Kalibanteng
(Analisis Bimbingan Konseling).” 22–50.
4. https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/7-cara-penularan-aids-dan-
pencegahannya-97
5. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/
BUKU_3_PENGENDALIAN_HIV_COLOR_A5_15x21_cm.pdf
6. PERATURAN DAER NOM PENANGGULANGAN ACQUIRED IM DENGAN
RAHM BUPA Menimbang : a. bahwa ke salah satu sesuai de dimaksud Negara Re b
https://jdih.belitungtimurkab.go.id/sites/default/files/dokumen/produk_hukum/
15.%20SALINAN_Perda%2015%20tentang%20HIV-AIDS.pdf
7. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV adalah penyakit menular
pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data dari World
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2347/2/BAB%20I.pdf
8. http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/article/view/26
9. https://upk.kemkes.go.id/new/kenali-faktor-risiko-hivaids-dan-pencegahannya
10. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-aids
11. UNAIDS. (2021). Global AIDS Update.
12. World Health Organization. (2022). HIV/AIDS Key Facts.
13. Ministry of Health, Indonesia. (2022). National HIV/AIDS Strategy.