Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang

menyerang sel darah putih yang merusak system kekebalan tubuh. Acquired

Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan dampak dari

perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Penderita HIV

memerlukan pengobatan dengan memerlukan pengobatan dengan

Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh

agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan penderita AIDS

membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi

oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Kemenkes RI, 2020).

Berdasarkan data dari United Nations Joint Program for HIV/AIDS

(UNAIDS) 2020, mengungkapkan bahwa 37,7 juta orang yang hidup dengan

HIV, 1,5 juta kasus baru orang dengan HIV dan 680 ribu orang mengalami

kematian karena penyakit terkait HIV/AIDS.

Data statistik di Indonesia tercatat 32.293 kasus HIV dari Januari-

September 2020 sedangkan data kumulatif kasus HIV sebanyak 409.857 orang

dan 127.873 untuk kasus kumulatif AIDS.

Menurut data Dinas Kesehatn Provinsi Papua jumlah kasus penyakit

HIV pada tahun 2020 adalah 43.219 Kasus dari 3,3 juta penduduk Papua. Data

Kabupaten Jayapura dengan jumlah kasus 3.202 (JUBI, 2020).

1
Tingginya kasus HIV dan AIDS ini tentunya tidak lepas dari

permasalahan stigma terhadap ODHA yang seringkali menjadi hambatan

dalam upaya menurunkan prevalensi HIV dan AIDS. Stigma adalah ciri

negative yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh

lingkungannya. Stigma dengan sendirinya akan melahirkan diskriminasi yang

didefenisikan sebagai tindakan yang menghakimi terhadap orang-orang

berdasarkan status HIV mereka, baik yang pasti maupun diperkirakan atau

keadaan kesehatan mereka (Mardhatillah dkk, 2021).

Berdasarkan penelitian (Ibrahim, 2019) tentang persepsi siswa terhadap

ODHA, peneliti menjelaskan hasil penelitian nilai R2= 0,055= 5,5% yang

berarti pengetahuan tentang ODHA mempengaruhi persepsi siswa. Hal ini

menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki sangat berpengaruh kepada

persepsi seseorang terhadap suatu hal.

Masa remaja ke masa dewasa awal merupakan masa transisi yang

terkait dengan perubahan fisik, emosional dan kognitif yang kompleks dan

pengaruh teman sebaya yang besar dalam pengambil keputusan. Lingkungan

social yang memungkinkan remaja memiliki akses informasi tentang

kesehatan seksual dan reproduksi untuk tetap bersekolah dan memperoleh

keterampilan hidup untuk mempersiapkan mereka menuju kemandirian

ekonomi, semuanya berkontribusi untuk memungkinkan orang muda tetap

HIV-negatif (UNAIDS, 2020).

Persepsi merupakan pandangan yang dimiliki oleh individu, persepsi

yang dimiliki oleh masyarakat maupun mahasiswa dapat dibentuk dari dua

2
faktor persepsi yaitu persepsi kerentanan dan persepsi penerimaan. Persepsi

negative kesehatan terhadap ODHA dapat menjadi gambaran bagaimana

pengetahuan maupun informasi yang diperoleh mahasiswa kesehatan terkait

permasalahan HIV/AIDS (Salsabila & Khoiriyah, 2019).

Stigma terhadap ODHA dikalangan remaja terjadi karena banyak

remaja yang beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS terjadi akibat perilaku

menyimpang, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan narkotika. Masyarakat

terutama remaja banyak yang bersikap seolah tidak ingin bersahabat dengan

ODHA karena beranggapan bahwa HIV/AIDS dapat menular hanya

berdekatan padahal jika tidak ada kontak seksual, transfuse darah yang tidak

aman dan pemakaian jarum suntik secara bersamaan HIV/AIDS tidak akan

menular (Sagitha, 2020).

Penyuluhan tentang HIV/AIDS penting dilakukan agar remaja tidak

memberikan stigma terhadap ODHA Penyuluhan yang diberikan haruslah

secara langsung tidak hanya melalui media massa, media sosial, dan media

elektronik. Remaja sendiri merupakan agen perubahan yang mana nantinya

diharapkan remaja dapat merubah suatu keadaan agar tidak terjadi lagi stigma

dan dapat memutus rantai stigma terhadap ODHA. Stigma sendiri bukan

hanya merugikan ODHA, tetapi bisa merugikan orang lain.

Berdasarkan pengambilan data awal di SMAN 1 Sentani pada bulan

September 2021, diketahui jumlah siswa-siswi kelas X, XI dan XII yaitu

sebanyak 1.226 siswa. Data jumlah siswa kelas XI IPA 1 sampai dengan IPA

5 sebanyak 244 siswa. Studi awal yang dilakukan oleh peneliti pada 7 siswa

3
SMA Negeri 1 Sentani, lima orang mengatakan takut ketika mendengar nama

penyakit HIV/AIDS dan belum pernah mengetahui jelas tentang penyakit

HIV/AIDS yaitu bagaimana cara penularannya, cara pencegahannya serta

mereka takut untuk dekat dengan penderita HIV/AIDS karena takut tertular

penyakit.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Stigma Remaja Tentang HIV/AIDS pada ODHA di SMAN 1

Sentani Kabupaten Jayapura”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah pada latar belakang diatas, maka didapatkan

rumusan masalahnya “Bagaimana stigma remaja tentang HIV/AIDS pada

ODHA di SMAN 1 Sentani Kabupaten Jayapura?”

1.3 Tujuan Penelitian

Diketahuinya stigma remaja tentang HIV/AIDS

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Remaja

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang

HIV/AIDS pada siswa SMAN 1 Sentani agar tidak terjadi stigma terhadap

ODHA.

4
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi dan informasi awal khususnya mata kuliah

keperawatan HIV/AIDS serta menjadi sumbangan pemikiran bagi peneliti

selanjutnya.

1.4.3 Bagi Peneliti

Mampu mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama pendidikan

serta menambah pengalaman.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS

Human immunodeficienty virus (HIV) membahayakan system

kekebalan tubuh dengan menghancurkan sel darah putih yang melawan

infeksi. Virus ini membuat seseorang berisiko terkena infeksi serius dan

kanker. Human Immunedefeciency Virus (HIV) adalah virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. HIV menyerang tubuh

manusia dengan membunuh atau merusak sel-sel yang berperan untuk

system kekebalan tubuh sehinggan kemampuan tubuh untuk melawan

infeksi dan kanker sangat menurun (Ermawan.2017; Sunaryati, 2011).

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu

kumpulam gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh, penyakit ini

bukan pada penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit

ini disebabkan oleh immunodeficiency virus (HIV). Penyakit ini telah

menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat

terjadi peningkatan jumlah pasien dan semakin melanda dibanyak Negara.

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif

untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan di dunia (Widoyono, 2011)

2.1.2 Klasifikasi HIV/AIDS

Menurut ( Ermawan 2017) Ada dua system klasifikasi HIV yang

biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan infeksi, yaitu menurut

6
WHO (World health organizations) dan centre for diseases control and

prevention (CDC)

a. Klasifikasi menurut WHO

WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS Pada orang deasa menjadi 4

stadium klinis sebagai berikut:

1. Stadium I bersiat Asimptomatik

Aktifitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati generalisata.

2. Stadium II simptomatik

Aktivitas normal, berat badan menurun <10% terdapat kelainan

kuit dan mukosa yang ringan, seperti dermatitis Seroboik, prorigo,

onikomikosis, ulkus yang berulang dan kheitis angularis, herper

soster dalam 5 tahun terakhir, serta adanya ineksi saluran naas

bagian atas, seperti sinusitis bakterialis.

3. Stadium III

Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktifitas ditempat tidur <50%,

berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung

lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan,

terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir,

infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia dan piomiositi

4. Stadium IV

Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas ditempat tidur

<50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya

infeksi opotunistik, seperti pneumonia pneumocytis carini,

7
toksoplasmosis otak, diare kriptosporidosis ekstrapulmonal,

retinitis virus sitomegalo herpes simpleks mukomutan >1 bulan,

leukoensefalopati multiocal progresif, mikosis diseminata seperti

histopasmosis, kandidiasis diesoagus, trakea, bronkus, dan paru,

tuberculosis diluar paru, limfoma, sarcoma Kaposi, serta

ensefalopati HIV.

b. Klasifikasi menurut CDC

CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan

dewasa) berdasarkan dua system, yaitu dengan melihat jumlah supresi

kekebalana tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah

supresi kekebalan tubuh ditunjukkan imfosit CD4+. System ini terdiri

dari tiga kategori, sebagai berikut :

1. Kategori klinis A:CD4+>500 sel/ml

Meliputi infeksi tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati,

generalisata yang menetap, infeksi akut primer dengan penyakit

penyerta atau adanya riwayat infeksi akut.

2. Kategori klinis B:CD4+ 200-499sel/ml

Yang termasuk kategori ini antara lain angiomatosis basilari,

kandidiasis orofaringeal, kandidiasis vulvo vanginal, dysplasia

leher rahim, herpes soster, neuropati perifer, penyakit radang

panggul.

3. Kategori klinis C: CD4+<200 sel/ml

Meliputi gejala yang ditemukan pada penderita AIDS dan pada

8
tahap ini orang yang terineksi HIV menunjukkan perkembangan

infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya, meliputi

ensefalopati HIV, pneumonia pneumocytis carinii, tukosplasmosis

otak, diare kriptosporidosis extrapulmunal, retinitis virus

sitomegalo, herpes simpleks mukomutan, leukoensefalopati

multivocal progresif, mikosis diseminata, kandiasis diesofagus,

trakea, bronkus, dan paru tuberculosis diluar paru, limfoma,

sarcoma Kaposi.

2.1.3 Etiologi

Walaupun sudah jelas bahwa HIV adalah penyebab dari AIDS,

tetapi asal-usul virus ini belum diketahui secara pasti. Terdapat 2 jenis

virus penyebab HIV/AIDS yaitu HIV-1 dan HIV-2, HIV-1 paling banyak

ditemukan di daerah Barat, Asia dan Afrika Tengah, Selatan dan Timur.

terutama di Afrika Barat (Ratna, 2010). Pada tahun 1984, Dr. R. Gallo dari

national institute of Health USA, menemukan virus lain disebut HTLV-III

(Human T Lyphotropic Virus Tipe III). Kedua virus ini adalah

penemuannya yang dianggap sebagai penyebab AIDS, karena dapat

diisolasi dari penderita AIDS/ARC di Amerika, Eropa, dan Afrika Tengah.

Penelitian lebih lanjut akhirnya membuktikan bahwa kedua virus ini adalah

sama. WHO kemudian memberikan nama HIV sesuai dengan penemuan

“International Comrhite On Taxonomy Of Viruses” pada tahun 1962. HIV

memiliki tendesik spesifik, yaitu dengan menyerang dan merusak sel

limposit T (sel T4 penolong) yang memiliki peranan penting dalam sistem

9
kekebalan tubuh. HIV juga dapat ditemukan dalam sel monosit, makrofag

dan sel jaringan otak. Virus ini dapat berkembang di sel limfosit T dan

seperti retrovirus yang lainnya dapat hidup dalam sel yang aktif. Virus

dalam tubuh penderita HIV selalu dianggap “Infectious” yang dapat aktif

kembali dan dapat menular selama hidup penderita HIV. (Masriadi, 2014).

Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan bebrapa tipe HIV, yaitu

HIV-1 yang sering menyerang manusia, HIV-2 yang ditemukan di Afrika

Barat. Virus HIV termasuk subfamili Lentivirinae dari famili Retroviridae.

Asam nukleat dari famili retrovirus merupakan RNA yang mampu

membentuk DNA dari RNA. Enzim transkriptase reversi menggunakan

RNA virus sebagai „cetakan‟ untuk membentuk DNA. DNA ini bergabung

dengan kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel makrofak) yang berfungsi

sebagai pengganda virus HIV (Widoyono, 2011).

2.1.4 Patofisiologi

HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp 120, sehingga

akan terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian

masuk kedalam sitoplasma sel induk. Dalam sel induk, HIV akan

membentuk DNA HIV dari RNA HIV melalui enzim polimerase. Enzim

integrasi kemudian akan membentuk DNA HIV untuk berintegrasi dengan

DNA sel induk.

DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk akan

membentuk RNA dengan fasilitas sel induk, sedangkan mRNA dalam

sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel

10
itu selanjutnya mengambil dari selubung dari bahan sel induk untuk

dilepas sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem

imun (imunosupresi) ini akan menyebabkan pengurangan dan

terganggunya jumlah dan fungsi limfosit T. (Widoyono, 2011).

Menurut (Ratna, 2010) seseorang yang terinfeksi virus HIV akan

kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan

atau tahun :

a. Seorang yang sehat memiliki CD4+ sebanyak 800-1300 sel/mL darah.

Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya

menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bias

menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang

terdapat dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi

tubuh tak mampu menekan infeksi.

b. Setelah 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar

yang stabil. Yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+

dan penularan penyakit kepada orang lain terus terjadi. Kadar partikel

virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu

dokter dalam menentukan orang yang beresiko menderita AIDS.

c. 1-2 tahun sebelum terjadi AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya

menurun derastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka

penderita rentang terhadap imfeksi.

d. Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B

(limfosit yang menghasilkan anti bodi) dan sering kali menyebabkan

11
produksi antibodi yang berlebih.

e. Antibodi ini terutama ditunjukkan untuk melawan HIV dan infeksi yang

dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam

melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS.

f. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus

menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam

mengenali organisme dan sasaran yang baru yang akan diserang.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut ( Ermawan 2017) Keganasan AIDS adalah bentuk dari maniestasi

klinis akibat infeksi oportunistik yang khas. Bentuk manifestasi klinis ini

pulalah yang mendorong penderita HIV/AIDS berujung pada kematian.

a. Keganasan

Keganasan virus HIV/AIDS menyebabkan banyak dampak kaner dan

penyakit lain. Bahkan, dampak ineksi HIV memunculkan penyakit

ganas dan kronik. Berikut beberapa bentuk dari manifestasi klinis

HIV/AIDS.

1. Sarkoma Kaposi

Kemunculan keganasan gangguan ini berasal dari manifestasi

poliferasi sel gelondong yang berlebihan sel gelondong

diperkirakan muncul dari system vascular. SK salah satu

mikroorganisme menular secara seksual yang disebabakan oleh dua

virus, yaitu virus, herpes manusia tipe 8 (HHV8) dan virus herpes

terkait sarkoa kaposi. Jadi, penyebarannya bukan HIV. Hampir

12
penderita yang terjangkit virus HHV8 rentan terhadap

kankerserviks pada orang yang terinfeksi akibat vierus papilloma

2. Limfoma maligna

Manifestasi klinis AIDS juga dapat menyebabkan tumor sel B,

yang termasuk bagian dari limfoma maligna. Sebagian besar,

penderita yang mengalami limfoma maligna adalah klien yang

mengidap limfadenopati genelirasata persisten (PGL). Sementara

tumor sel B stadium patologik tinggi disebut dengan small

noncleaved lymphoma. Gejala yang ditimbulkan antara lain

demam, penurunan berat badan secara ekstrem.

3. Tumor system saraf pusat.

Tumor limfoma system saraf pusat prier (SSP). SSP gangguan yang

disebabkan oleh tata letak tumor dan edema.. gejala awal yang

ditunjukkan penderita SPP disertai sakit kepala, memori jangka

pendek berkurang, terjadi kelumpuhan saraf kranialis, perubahan

kepribadian, dan hemiparesis.

4. Kanker serviks invasive.

Kanker serviks invasive disebabkan darikeganasan ginekologi yang

berkaitan dengan HIV Kronik. Menurut fauci lane (1998)

displasiaserviks menyerang perempuan sebanyak 40%. Jenis

dispalsia disebabkan karena virus papiloma yang bermanifestasi.

5. AIDS pediatric.

Penularn HIV pada anak terjadi saat bayi dilahirkan, saat dalam

13
kandungan atau ketika bayi meminum ASI ibu yang posistif HIV.

Sebagian besar bayi baru akan memperlihatkan antibody yang

terinfeksi HIV ketika berusia 10-18 bulan setlah lahir.

b. Infeksi

Penderita AIDS dapat mengalami destruktif secara progresif fungsi

imun. Penderita juga mengalami morbiditas dan mortalitas akibat

infeksi opurtunistik yang menyebabkan terjadinya surveilans dalam

proses system imun.

2.1.6 Komplikasi

Menurut Ermawan (2017) infeksi HIV memperlemah system kekebalan

tubuh, membuatnya sangat rentan terhadap banyak infeksi dan jenis kanker

tertentu. Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS antara lain:

a. Tuberkulsis paru (TB)

b. Sitomrgalovirus

c. Kandidiasis

d. Meningitis kriptokokal

e. Toksoplasmosis

f. Kriptosporidiosis

g. Kanker umum yang terjadi pada HIV/AIDS

1. Tumor sarcoma Kaposi dinding pembuluh darah

2. Sarcoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda

3. Limfoma

h. Sindroma wasting

14
i. Komplikasi neurologis

j. Penyakit ginjal.

2.1.7 Penularan HIV/AIDS

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan

tubuh seperti darah, cairan genetalia dan ASI. Virus juga terdapat dalam

saliva, air mata dan urine (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat

dalam air mata dan keringat. Pria yang sudah di sunat memiliki resiko HIV

yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak di sunat. Selain

melalui cairan tubuh (Widoyono, 2011). HIV juga ditularkan melalui :

a. Ibu hamil

1. Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)

2. Angka transmisi mencapai 20-59%.

3. Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga.

4. Laporan lain menyatakan resiko penulaan melalui ASI adalah 11-

29%.

5. Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian

pada dua kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak

awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah

beberapa waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan

HIV pada bayi yang belum di susui adalah 14% (yang diperoleh

dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan

angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya

15
disusui.

6. Bayi normal dengan ibu HIV biasa memperoleh antibodi HIV dari

ibunya selama 6-15 bulan.

b. Jarum suntik

1. Prevelensi 5-10%.

2. Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum

suntik karena penyalahgunaan obat.

3. Diantara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa

pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di

Bogor 25%, dan bali 53%.

c. Transfusi darah

1. Resiko penularan sebesar 90%

2. Prevelensi 3-5%

d. Hubungan seksual

1. Prevelensi 70-90%

2. Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali

berhubungan intim.

3. Model penularan ini adalah yang tersering di dunia. Akhir akhir

inidengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk

menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung

menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur pengguna

jarum suntik ( Widoyono,2011).

16
2.1.8 Pencegahan Penularan HIV/AIDS

pencegahan penularan HIV/AIDS menurut (Kunoli, 2012) yaitu meliputi :

a. Program pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan

dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk

mencegah dan atau mengurangi perilaku resiko tinggi terhadap

penularan HIV.

1. Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat

harus menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang

berganti-ganti serta pembangunan obat suntik bergantian dapat

meningkatkan resiko terkena infeksi HIV

2. Edukasi (education)

Mencari pengetahuan atau informasi yang benar tentang HIV/AIDS

dan membagikan informasi yang telah diketahui kepada orang-

orang yang belum mengetahui inormasi mengenai HIV/AIDS.

3. Tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks

hanya satu orang yang diketahui tidak mengindap infeksi.

4. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang

akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula program “harm

reduction” yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk

menggunakan metode dekomentaminasi dan menghentikan

penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.

5. Menyediakan fasilitas konseling HIV di mana identitas penderita

17
dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan

tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Konseling, tes

HIV secara suka rela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan

secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin,

klinik bagi kaum homo dan terhadap komunitas dimana

seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi

disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita

penyakit menular seksual(PMS).

b. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :

1. Laporan kepala instansi kesehatan setempat, mengirimkan laporan

resmi kasus AIDS adalah wajib disemua jajaran kesehatan di AS

dan hamper semua Negara di dunia.

2. Isolasi ; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak

perlu tidak efektif dan tidak dibenarkan “Universal Precaution”

(kewaspadaan universal) diterapkan untuk semua penderita yang

dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan

pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.

3. Desinfeksi serentak ; dilakukan pada alat-alat yang terkontaminasi

dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan larutan

pemutih (clorine) atau germisida tuberkulosidal.

4. Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan

seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma organ

untuk transpaltasi, jaringan sel semen untuk inseminasi buatan atau

18
susu untuk manusia.

5. Imunisasi dari orang-orang yang kontak; tidak ada.

6. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi.

7. Pengobatan spesifik : disarankan untuk melakukan diagnosa dini

dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis.

c. Penanggulangan wabah–HIV saat ini sudah pedemik, dengan jumlah

penderita yang sangat besar dilaporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan

Asia Tenggara.

2.1.9 Pengobatan HIV/AIDS

Menurut (Ermawan, 2017) tidak ada obat untuk HIV/AIDS, namun

berbagai obat dapat digunakan dalam kombinasi untuk mengendalikan

virus. Setiap kelas obat anti HIV memblokir virus dengan cara yang

beebeda. Setidaknya kombinasikan setidaknya tiga obat dari dua kelas

untuk menghindari terciptanya strain HIV yang kebal terhadap obat

tunggal. Kelas obat anti HIV meliputi :

a. Inhibitor reserve transcriptase non nukleosida (NNRTI), NNRTI

menonaktikan protein yang dibutuhkan oleh HIV untuk membuat

salinan dirinya sendiri. Contohnya efavirenz (sustiva), etravirine

(intelence) dan nevirapine (nevirapine).

b. Nukleosida atau nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI).

NRTI adalh versi yang salah dari blok bangunan yang HIV perlu

membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya abacavir (ziagen), dan

kombinasi obat emtricitabine-tenofovir (Truvada), dan lamivudine

19
zidovudine (combivir).

c. Protease inhibitor (PI) PI menonaktifkan protease, protein lain yang

HIV perlu membuat salinan dirinya sendiri. Contohnya atazanavir

(reyataz), darunavir (prezizsta), fomasprenavir (lexiva) dan

indinavir (crixivan)

d. Penghambat fusi. Obat-obatan ini menghambat masuknya HIV

kedalam sel CD4. Contohnya enfuvirtide (fuzeon) dan maraviroc

(selzentry).

e. Intergrase inhibitor. Obat-obatan ini bekerja dengan menonaktifkan

integrase, protein yang digunakan HIV untuk memasukkan bahan

genetiknya kedalam sel CD4. Contohnya raltegravir ( isentress),

elvitegravir (vitekta), dan dolutegravir (tivicay)

2.2 Konsep Stigma

2.2.1 Pengertian Stigma

Stigma adalah ekstremnya ketidaksetujuan seseorang maupun

sekelompok orang berdasarkan karakteristik tertentu yang membedakan

atau keberadaan mereka menjadi tidak diinginkan di lingkungan

masyarakat. Stigma juga merupakan seperangkat keyakinan negatif

yang dimiliki seseorang untuk mendasari ketidakadilan yang dimiliki

sekelompok orang tentang sesuatu (Merriam-Webster, 2019).

Stigma terkait AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)

adalah segala perasangka buruk yang berasal dari pikiran sendiri

20
maupun orang lain dengan bentuk diskriminasi maupun penghinaan

yang ditujukan kepada orang yang hidup dengan HIV/AIDS serta

kelompok komunitas yang berhubungan langsung dengan ODHA (F.

Maharani, 2017).

Stigma terkait HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu

keyakinan, perasaan, dan sikap negatif ditujukan terhadap seseorang

yang hidup dengan HIV/AIDS, keluarga mereka, dan orang-orang

terdekat mereka (Points, 2019).

2.2.2 Jenis-jenis Stigma

a. Perceived Stigma

Perceived stigma adalah keyakinan orang lain yang memiliki

pemikiran negatif terhadap mereka yang dirasakan sepenuhnya.

Secara subyektif, terbatas dari pengecualian dan berdampak pada

isolasi yang mencerminkan cara orang dengan suatu penyakit

sehingga memandang diri mereka sebagai stigmatisasi dan mereka

menerima perilaku diskriminatif dari masyarakat dan di kucilkan

(Tsai et al., 2017).

b. Self Stigma

Self stigma adalah perasaan takut dengan kondisi sendiri yang

berasal dari pandangan negatif masyarakat, mereka merasa

keberadaannya merupakan golongan yang tidak disukai akibat

terinfeksi HIV, cap buruk masyarakat dianggap benar, serta bentuk

internalisasi dari masyarakat mengakibatkan ODHA menerapkan

21
stigma untuk diri sendiri yang dapat merusak kesejahteraan mental

orang dengan HIV/AIDS (Ardani & Handayani, 2017).

c. Felt Stigma

Felt stigma adalah perasaan negatif dari kekhawatiran yang

dirasakan pada dirinya dan memilih untuk menjauh dari lingkungan

kelompok masyarakat. Misalnya perempuan lebih memilih untuk

tidak mencari pekerjaan dikarenakan jika status HIV mereka

diketahui oleh orang lain atau rekan kerjanya mereka akan mendapat

perlakuan yang berbeda dan dijauhi oleh orang-orang (Fiorillo,

Volpe, & Bhugra, 2016)

d. Public Stigma

Public stigma adalah reaksi negatif berasal dari keluarga,

orang terdekat, dan masyarakat terhadap mereka yang mengalami

stigmanisasi. Salah satu contoh kata-kata yang sering di lontarkan

adalah “saya tidak mau tinggal bersama orang dengan HIV” (Fiorillo

et al., 2016).

e. Enacted Stigma

Enacted stigma (ES) adalah pengalaman diskriminasi seperti

ditolak, diperlakukan secara tidak pantas karena status HIV positif

(Subedi et al., 2019).

2.2.3 Komponen-komponen Stigma

Menurut (Mahajan et al., 2010) stigma yang dirasakan orang dengan

HIV/AIDS berkaitan dengan empat komponen penting yang mencakup

22
stereotype, separasi, labeling, diskriminasi dengan penjelasan sebagai

a. Stereotype

Stereotype adalah komponen kognitif dengan keyakinan

mengenai karakteristik yang dimiliki seseorang dalam suatu

pengkategorian kelompok sosial tertentu (Link & Phelan, 2001).

Kepercayaan budaya yang dapat menghubungkan orang berlabel

dengan karakteristik yang tidak diinginkan merupakan suatu

tindakan dari stereotype negatif (Mahajan et al., 2010).

b. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku pemberian label yang

menyebabkan penerima label kehilangan status dalam kelompok

sosial dengan perilaku negatif (Link & Phelan, 2001). Orang yang

sudah kehilangan status sosial dan menerima diskriminasi akan

menghasilkan hasil yang tidak setara dalam kekuatan sosial,

ekonomi, dan politik (Mahajan et al., 2010).

c. Separasi

Separasi adalah proses stigma yang terjadi ketika label sosial

menjadi pemisah “kita” (kelompok yang memberikan stigma) dari

“mereka” (kelompok penerima stigma yang dianggap berbeda).

Label ini diberikan untuk memisahkan pemberi dan penerima

stigma. Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi

pembenaran ketika seseorang penerima label mempercayai bahwa

dirinya memang berbeda dengan mereka (Link & Phelan, 2011).

23
d. Labeling

Labeling adalah seleksi sosial dimana orang memberikan label

negatif atau penanaman didasari oleh perbedaan-perbedaan individu

sebagai anggota masyarakat sosial. Perbedaan yang tidak dianggap

relevan secara sosial, namun Sebagian perbedaan dapat di tonjolkan

secara sosial dengan perbedaan yang dimiliki individu, perbedaan

antar manusia seperti preferensi jenis kelamin. Karakteristik yang

menonjol dapat menciptakan label bagi individu sebagai keolmpok

komponen penting stigma (Link & Phelan, 2011).

2.2.4 Faktor-faktor Terbentuknya Stigma

Terbentuknya stigma dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :

a. Persepsi

Persepsi masyarakat terhadap ODHA memberikan pengaruh

terhadap sikap dan perilaku stigma. Wanita dan gadis remaja yang

hidup dengan HIV/AIDS sering dijauhi oleh keluarga dan teman

sebaya, mereka (Shaluhiyah et al., 2015).

b. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan rendah dapat mempengaruhi seseorang

kurang pengetahuan menyebabkan stigma dan diskriminasi yang

banyak terjadi dikalangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat

pendidikannya semakin sedikit perilaku stigma dibanding dengan

mereka yang berpendidikan dasar atau menengah lebih banyak

menyimpan perilaku stigma dan diskriminasi (Lin et al., 2017).

24
Seseorang dengan tingkat pendidikan lebih kebanyakan dari mereka

tinggal di perkotaan, sehingga banyak terpapar informasi tentang

HIV/AIDS dengan begitu memungkinkan mereka lebih terpengaruh

terhadap penerimaan diagnosis HIV positif (Li & Sheng, 2014).

c. Usia

Perilaku stigma meningkat dengan bertambahnya usia (Lin et

al., 2017). Berdasarkan kelompok usia dari semua domain stigma

yang dirasakan sangat tinggi dialami oleh ODHA dewasa muda usia

20-29 tahun (Subedi et al., 2019).

d. Jenis Kelamin

Perempuan memiliki peringkat stigma yang lebih tinggi

dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan beresiko menerima

stigma sehingga perempuan tidak pernah melakukan pemeriksaan

dibandingkan dengan laki-laki. (Lin et al., 2017). Selain itu Stigma

dan diskriminasi terkait gender dapat mengganggu kesehatan mental

dan mempengaruhi kesejahteraan hidup orang dengan HIV/AIDS

(Logie et al., 2018).

e. Ekonomi

Status ekonomi berhubungan dengan sebab dan akibat

terhadap ODHA. Stigma berat pada ODHA dipengaruhi oleh status

ekonomi keluarga yang rendah (F. Maharani, 2017). Perempuan

dengan HIV mengalami penolakan secara sosial, dengan tingginya

tingkat stigma eksternal yang diberlakukan dalam pengaturan

25
penidikan dan pekerjaan dapat berkontribusi pada status ekonomi

yang rendah karena adanya diskriminasi (Armstrong-mensah et al.,

2019).

2.2.5 Pengaruh Stigma

Stigma dapat mempengaruhi berbagai domain seperti masyarakat,

komunitas, keluarga sehingga perilaku menstigma menjadikan

seseorang lebih rentan terinfeksi HIV (Balaji et al., 2017). Stigma terkait

HIV diantara orang dengan HIV/AIDS juga dapat menjadi faktor

penghalang utama peningkatan partisipasi pencegahan perilaku risiko

penularan HIV (Subedi et al., 2019).

Kelompok beresiko enggan melakukan tes HIV dikarenakan jika

hasil tes dinyatakan positif mereka akan dikucilkan. ODHA memilih

enggan mengungkapkan status HIV dan memilih untuk menunda

pengobatan, sehingga berdampak pada penurunan tingkat kesehatan dan

mempeburuk proses pencegahan semakin tidak dapat terkontrol lagi

(Shaluhiyah et al., 2015).

2.2.6 Pencegahan Stigma

Dalam kebijakan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) permenkes No

21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV/AIDS untuk mencegah

stigma dan diskriminasi terhadap ODHA serta populasi kunci adalah

dengan :

a. Memahami dengan benar secara lengkap tentang cara pencegahan

HIV dan penularannya.

26
b. Memberdayakan orang dengan terinfeksi HIV sebagaimana anggota

masyarakat lainnya tanpa pengecualian.

c. Menggerakan masyarakat untuk tidak mendiskriminasi orang

terinfeksi HIV baik dari segi pelayanan kesehatan, pekerjaan,

Pendidikan, dan bagi semua aspek kehidupan lainnya (Rahmawati,

2019).

2.2.7 Alat Pengukur Perceived Stigma

Pengujian ukuran kuantitatif stigma HIV/AIDS berdasarkan apa

yang dialami ODHA untuk mengetahui karakteristik perempuan

HIV/AIDS, karakteristik komponen perceived stigma : sterotype,

separasi, labeling, diskriminasi, menggunakan kuisioner yang sudah

diuji validitasnya oleh Ernawati (2019).

2.3 Konsep Remaja

2.3.1 Pengertian Remaja

Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa.

Pada periode ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan berbagai

hal baik hormonal, fisik, psikologis, maupun sosial (Abrori &

Qurbaniah, 2017). Pada masa remaja terjadi laju pertumbuhan dan

perkembangan baik fisik maupun psikis terutama pada kematangan

organ reproduksi.

2.3.2 Fase Remaja

Usia 11 atau 12 tahun sampai 18 tahun, anak mulai

27
memasuki usia remaja. Anak perempuan mulai memasuki fase

prapubertas pada usia 11 tahun, sedangkan anak laki-laki mulai

memasuki fase prapubertas pada usia 12 tahun. hal tersebut

menunjukkan bahwa tahap perkembangan perempuan lebih cepat

dari laki-laki (Supartini, 2014).

Masa remaja dibedakan menjadi beberapa fase, yaitu:

(Proverawati & Misaroh, 2011)

a. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun.

b. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai dengan 18

tahun

c. Fase remaja akhir : usia 18 tahun sampai dengan 21 tahun.

d. Fase pubertas : usia 11 atau 12-16 tahun, merupakan fase yang

singkat dan menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam

menghadapinya.

2.3.3 Perubahan Fisik pada Remaja

Memasuki usia remaja, beberapa jenis hormon terutama

hormon esterogen dan progesteron mulai berperan aktif sehingga

pada anak perempuan mulai tumbuh payudara, pinggul melebar

dan membesar sehingga tidak terlihat seperti anak kecil lagi.

Disamping itu, akan mulai tumbuh rambut-rambut halus di daerah

ketiak dan kemaluan. Perubahan lainnya antara lain tubuh

bertambah berat dan tinggi, produksi keringat bertambah, kulit dan

rambut berminyak. Perubahan tersebut termasuk ke dalam ciri-ciri

28
kelamin sekunder. Sedangkan untuk ciri-ciri kelamin primer

ditandai dengan mulai berfungsinya organ reproduksi baik laki-laki

maupun perempuan. Pada perempuan, ciri-ciri kelamin primer

ditandai dengan datangnya menarche (Proverawati & Misaroh,

2013).

Menarche merupakan suatu tanda mendasar yang

membedakan antara pubertas pria dan wanita. Terjadinya

menarche pada wanita menjadi suatu tanda awal mulai

berfungsinya organ reproduksi. Keluhan-keluhan yang dirasakan

pada saat menarche umumnya sama dengan saat haid biasa.

Selama 2 hari sebelum menstruasi dimulai, banyak wanita yang

merasa tidak enak badan, pusing, perut kembung, letih atau kadang

merasa tekanan pada bagian pinggul. Gejala tersebut umumnya

akan hilang ketika darah menstruasi sudah keluar dengan lancar

(Aryani, 2010)

Gejala awal menarche umumnya tidak berbeda dengan

gejala menjelang menstruasi yang sudah rutin terjadi setiap bulan.

Namun, ada juga beberapa dari remaja putri yang tidak merasakan

gejala apapun menjelang menarche. Gejala menjelang menstruasi

terjadi hampir di seluruh bagian tubuh, dan berbagai sistem dalam

tubuh, antara lain adanya rasa nyeri di payudara, sakit pinggang,

pegal linu, perasaan seperti kembung, muncul jerawat, perasaan

lebih sensitive, mudah marah, dan kadang timbul perasaan malas

29
(Sukarni & Wahyu, 2015).

Berbagai perubahan fisik selama pubertas bersamaan

dengan terjadinya menarche meliputi thelarche, adrenarche, dan

pertumbuhan tinggi badan lebih cepat. Thelarche merupakan

perkembangan payudara yang disebabkan oleh sekresi hormon

esterogen yang mendorong terjadinya penimbunan lemak di

jaringan payudara. Sedangkan adrenarche merupakan

perkembangan rambut pada aksila dan pubis yang terjadi karena

sekresi androgen adrenal pada masa pubertas. Kemudian diikuti

dengan pertumbuhan tinggi badan yang cepat, karena dipengaruhi oleh

growth hormone, estradicl, dan insulin like-growth factors

(IGF-1) atau somatomedin-C (Sukarni & Wahyu, 2015).

2.3.4 Perkembangan Psikologis pada Remaja

Masa remaja merupakan masa yang dianggap sebagai masa

topan badai dan stres (Storm and Stress). Hal tersebut karena

mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan

keinginan sendiri, bila terarah dengan baik maka ia akan menjadi

individu yang memiliki rasa tanggung jawab (Proverawati &

Misaroh, 2009). Perkembangan psikologis dibagi menjadi 3

menurut Indriani & Asmuji (2014), yaitu:

a. Perkembangan psikososial

Remaja pada usia 12-15 tahun masih berada pada tahappermulaan

30
dalam pencarian identitas diri. Dimulai pada kemampuan yang sering

diungkapkan dalam bentuk kemauan yang tidak dapat dikompromikan

sehingga mungkin berlawanan dengan kemauan orang lain. Bila

kemauan itu ditentang, mereka akan cenderung memaksa agar

kemauannya dipenuhi.

b. Emosi

Emosi adalah perasaan mendalam yang biasanya

menimbulkan perbuatan atau perilaku. Perasaan dapat berkaitan

dengan fisik atau psikis, sedangkan emosi hanya dipakai untuk

keadaan psikis. Pada masa remaja, kepekaan terhadap emosi menjadi

meningkat sehingga rangsangan sedikit saja dapat menimbulkan luapan

emosi yang besar.

c. Perkembangan kecerdasan

Perkembangan intelegensi masih berlangsung pada masa

remaja sampai usia 21 tahun. remaja lebih suka belajar sesuatu

yang mengandung logika yang dapat dimengerti hubungan

antara hal satu dengan hal yang lainnya. Imajinasi remaja juga

banyak mengalami kemajuan ditinjau dari prestasi yang

dicapainya.

31
2.1 Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Stigma
ODHA
Stigma Tidak Stigma

Faktor yang
mempengaruhi Stigma;
1. Persepsi
2. Tingkat pendidikan
3. Usia
4. Jenis Pendidikan
5. Ekonomi
6. Pekerjaan

Sumber: Shaluhiyah et al., (2015); Lin et al., (2017); F. Maharani, (2017);


Logie et al., (2018).

32
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif, untuk

menggambarkan Stigma Remaja tentang HIV/AIDS pada ODHA di SMA

Negeri 1 Sentani Kabupaten Jayapura.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1. Tempat

Penelitian ini telah dilakukan di SMA Negeri 1 Sentani Kabupaten

Jayapura.

3.2.2. Waktu

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni 2022

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Menurut Sugiyono (2013), populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri dari objek atau subjek, yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti ini untuk dipelajari. Populasi dalam

penelitian ini berjumlah 244 siswa yang merupakan siswa-siswi kelas XI

IPA 1-5 di SMA Negari 1 Sentani Kabupaten Jayapura.

33
3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dianggap mewakili

(Notoatmodjo, 2012). Peneliti menetapkan jumlah minimal sampel 30

responden. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan accidental

sampling yaitu pengambilan sampel secara tidak sengaja dan sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan peneliti, jika sampel sesuai maka akan

dijadikan responden, kriteria tersebut yaitu:

1. Kriteria Inklusi

a. Siswa-siswi yang bersedia menjadi responden

b. Siswa-siswi yang merupakan murid Kelas XI IPA

c. Siswa-siswi yang mengisi kuesioner pada google form pada saat

penelitian

2. Kriteria Ekslusi

a. Siswa-siswi yang tidak bersedia menjadi responden

b. Siswa-siswi yang bukan merupakan kelas XI IPA

3.4 Kerangka Konsep Peneltian

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan

atau kaitan antara konsep-konsep atau variable yang akan diamati atau di ukur

melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2015).

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel tunggal

Stigma Remaja pada ODHA Tentang HIVAIDS

34
Keterangan

: Variabel yang diteliti

3.5 Definisi Operasional

Tabel. 3. 1. Defenisi Operasional

Definisi Alat Skala Hasil ukur


Variabel Skor
operasional ukur
Stigma Ekstremnya Kuesioner Sangat Tidak Ordina Hasil ukur
ketidaksetujuan Setuju (STS) l menggunakan
seseorang maupun =5 kategori:
Tidak Setuju 1. Dikatakan
sekelompok orang
(TS)= 4 Stigma apabila
berdasarkan Tidak Dapat ≤ skor median
karakteristik tertentu Menetukan 2. Dikatakan
yang membedakan (TM)= 3 Tidak Stigma
atau keberadaan Setuju (S) = apabila > skor
mereka menjadi tidak 2, Sangat median
diinginkan di Setuju (SS)
=1.
lingkungan
masyarakat. Stigma
juga merupakan
seperangkat
keyakinan negatif
yang dimiliki
seseorang untuk
mendasari
ketidakadilan yang
dimiliki
sekelompok orang
tentang sesuatu

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh

peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi

sistematis dan dipermudah olehnya, alat ukur yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kuisioner (Umam, 2017).

35
Kuisioner A berisi tentang karakteristik responden berupa nomor

responden, usia, jenis kelamin, pernah mendapatkan informasi tentang

HIV/AIDS (ya/ tidak). Sedangkan Kuisioner B berisi pertanyaan tentang

stigma pada ODHA, sebanyak 10 pertanyaan. Kuisioner ini menggunakan

Skala Likert dengan kriteria jawaban yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak

Setuju (TS), Tidak Dapat Menetukan (TM), Setuju (S), dan Sangat Setuju

(SS). Adapun teknisi penilaian untuk pernyataan negative, Sangat Tidak

Setuju (STS) bernilai 5, Tidak Setuju (TS) bernilai 4, Tidak Dapat Menetukan

(TM) bernilai 3, Setuju (S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 1.

Kuisioner ini dikutip dari hasil penelitian Berliana,dkk (2017) dengan hasi uji

relibilitas didapatkan nilai alpha 0,747 > 0,7 maka soal tersebut dinyatakan

reliable.

3.7 Proses Pengumpulan Data

a. Setelah mendapat persetujuan kepala sekolah SMA Negeri 1 Sentani

Kabupaten Jayapura. Selanjutnya peneliti menjelaskan tujuan penelitian

kepada responden.

b. Setelah mendapat ijin dari pihak objek penelitian, selanjutnya

mengunjungi responden untuk memberikan pemahaman dasar tentang

tujuan penelitian yang akan dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan

sebagai berikut:

1. Selalu wajib menggunakan masker baik di dalam maupun di luar

ruangan

2. Selalu jaga jarak minimal 1 meter

36
c. Memberikan informed consent kepada calon responden dengan

memberikan penjelasan kepada responden maksud dan tujuan penelitian.

Apabila responden setuju, maka diberikan lembar informed consent yang

ditanda tangani oleh responden.

d. Peneliti membagikan kuesioner dalam bentuk angket kepada responden.

Waktu pengisian penelitian dilakukan selama 10 menit dan setelah itu

dikumpul kembali. Bagi responden yang mengisi kuesioner secara online

maka kuesioner dikirim melalui google formulir.

e. Setelah itu hasil kuesioner dicek kelengkapan pengisian, dinilai dan

dianalisis.

3.8 Pengelolahan dan Penyajian Data

3.8.1 Pengelolahan Data

Pengolahan data yang dikumpulkan perlu diolah agar menjadi

informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk menjawab tujuan

penelitian melalui tahapan sebagai berikut:

a) Editing

Memeriksa kembali kelengkapan akurasi terhadap kemungkinan

kesalahan pengisian jawaban dan keserasian informasi dari

responden.

b) Processing

Membuat penilaian berdasarkan hasil jawaban kuesiner

responden.

37
c) Coding

Membuat kode-kode tertentu melalui pengelompokan keperluan

untuk memudahkan pengelolahan data.

d) Tabulating

Membuat table frekuensi untuk semua jawaban yang telah

diberikan kode sesuai dengan klasifikasinya masing-masing.

e) Analyzing

Melakukan penelitian berdasarkan univariat

f) Cleaning

Melakukan kegiatan pengecekan data kembali terhadap

kuesioner penelitian yang sudah diisi oleh responden, jika ada error

maka data akan dihapus dan digantikan dengan data responden baru.

3.8.2 Penyajian Data

Penyajian data adalah hasil penelitian yang dibuat berupa tabel,

grafik, gambar, bagan, foto, atau bentuk penyajian data lainya. Penyajian

data dalam penelitian ini menggunakan tabel dan dinarasikan.

3.9 Analisa Data Univariat

Analisa Univariat adalah analisa yang dilakukan untuk menganalisa

tiap variabel dari hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk distribusi

frekuensi (Notoatmodjo, 2012). Setelah data dikumpulkan dan diolah

kemudian data disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan deskriptif

dengan persentase yang dilengkapi dengan table distribusi, frekuensi, dan

38
diagram, kemudian diambil kesimpulan secara narasi dengan diagram atau

grafik. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

deskriptif, univariat, dengan distribusi frekwensi. Untuk distribusi frekuensi,

menggunakan rumus penentuan, besarnya persentase.

Rumus Persentase sebagai berikut;

Keterangan:
P = Persentase
F = Jumlah jawaban yang benar
N = Jumlah total pertanyaan.

3.10 Etika Dalam Penelitian

Peneliti dapat mengukur Pengetahuan lansia tentang penyakit gastritis

di wilayah kerja puskesaman harapan kabupaten jayapura,. Peneliti

melibatkan semua manusia sebagai subjek harus dan menerapkan 8 perinsip

dasar etika penelitian yaitu;

1. Informed Consen)

Informed Consent (Persetujuan) adalah lembar persetujuan yang

diberikan kepada subjek penelitian. Peneliti menjelaskan manfaat, tujuan,

prosedur, dan dampak dari penelitian yang akan dilakukan. Setelah

dijelaskan, lembar informed consent diberikan ke subjek penelitian, jika

setuju maka informed concent harus ditandatangani oleh subjek

penelitian.

39
2. Beneficience

Beneficience (manfaat) merupakan prinsip yang perlu ditekankan

oleh peneliti, menekakankan pada manfaat yang akan diterima oleh

responden dan menjauhkan diri dari bahaya eksplotasi responden.

3. Non malaficience

Prinsip ini menekankan bahwa peneliti tidak melakukan tindakan

yang akan menimbulkan bahaya bagi responden diusahakan terbebas dari

rasa tidak nyaman.

4. Respect for autonomy

Respect for autonomy (kebebasan) artinya peneliti memberikan

kebebasan pada responden untuk mengikuti penelitian atau tidak, serta

tidak memaksa pilih atau jawaban dari kuesioner yang diajuhkan seblum

responden mengisi kuesioner, respon diminta persetujuan bersedia

menjadi responden melalui infomend consent.

5. Anonymity

Anonymity (Inisial/tanpa nama) adalah tindakan menjaga

kerahasiaan subjek penelitian dengan tidak mencantumkan nama pada

informed consent dan kuesioner, cukup dengan inisial dan memberi

nomor atau kode pada masing-masing lembar tersebut.

6. Veracity

Veracity (kejujuran) artinya peneliti menjelaskan terlebih dahulu

mengenai prosedur dan manfaat penlitian dengan jujur kepada responden.

40
Penliti hanya menyampaikan informasi yang benar, jujur, dan tidak

melakukan kebohongan kepada responden.

7. Justice

Justice (Keadilan) adalah keadilan, peneliti akan memperlakukan

semua responden dengan baik dan adil, semua responden akan

mendapatkan perlakuan yang sama dari penelitian yang dilakukan

peneliti.

8. Confidentiality

Confidentiality (Kerahasiaan) adalah menjaga semua kerahasiaan

semua informasi yang didapat dari subjek penelitian. Beberapa

kelompok data yang diperlukan akan dilaporkan dalam hasil penelitian.

Data yang dilaporkan berupa data yang menunjang hasil penelitian.

Selain itu, semua data dan informasi yang telah terkumpul dijamin

kerahasiaannya oleh penelitian.

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

SMA Negeri 1 Sentani salah satu sekolah yang berada di kabupaten

Jayapura, termasuk sekolah yang sudah lama berdiri yaitu 41 tahun yang lalu,

memiliki areal lahan yang cukup luas areal lebih kurang 1800 m2. Sejak

berdiri sampai sekarang SMA Negeri 1 Sentani telah terjadi 8 kali pergantian

Kepala Sekolah. Untuk menjalankan semua program sekolah, SMA Negeri 1

Sentani didukung oleh sumber daya manusia yang terdiri dari tenaga pendidik

sebanyak 73 orang; 39 orang PNS, 21 orang non PNS

(GTT). Latar belakang pendidikan, S-1 sebanyak 70 orang, dan. S-2 sebanyak

3 orang. Dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah dan dibantu 4 wakil kepala

sekolah, Tenaga kependidikan sebanyak 25 orang; 3 orang PNS dan 22 orang

non PNS terdiri dari tenaga administrasi sekolah, pustakawan, teknisi, laboran

42
dan pakarya. Jumlah peserta didik tahun pelajaran 2019-2021 sebanyak 875

peserta didik.

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Analisa Univariat

Analisa univariat dalam penelitian ini memaparkan mengenai

karakteristik responden (usia, jenis kelamin,informasi dan sumber informasi

HIV/AIDS dan stigma).

a. Umur

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan umur

pada Remaja di SMAN 1 Sentani Kabupaten Jayapura Tahun 2022.

No Umur(Tahun) Frekuensi Persentase (%)


1 12-16 Tahun 8 26,7
2 17-25 Tahun 22 73,3
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan bahwa umur responden

terbanyak pada umur 17-25 Tahun sebanyak 22 orang (73,3%), dan

terendah pada umur 12-16 Tahun sebanyak 8 orang (26,7%),

b. Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan jenis

kelamin pada Remaja di SMAN 1 Sentani Kabupaten Jayapura

Tahun 2022

43
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 Laki-laki 14 46,7
2 Perempuan 16 53,3
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa jenis kelamin

responden pada kelompok perempuan sebanyak 16 orang (53,3%)

dan kelompok Laki-laki sebanyak 14 orang (46,7%).

c. Pernah mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan

apakah pernah mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS pada

Remaja di SMAN 1 Sentani Kabupaten Jayapura Tahun 2022

No informasi Frekuensi Persentase (%)


1 Tidak 1 3,3
2 Ya 29 96,7
Total 37 100

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan menunjukan bahwa

responden pernah mendapatkan informasi sebanyak 29 orang

(96,7%), pada kelompok belum pernah mendapatkan informasi

sebanyak 1 orang (3,3%),

d. Sumber Informasi

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan

sumber informasi pada Remaja di SMAN 1 Sentani Kabupaten

Jayapura Tahun 2022

44
No Sumber Informasi Frekuensi Persentase (%)
1 Guru 7 23,0
2 Guru, Media 3 10,0
3 Media 6 20,0
4 Orangtua 3 10,0
5 Penyuluh 10 33,3
6 Teman 1 3,3
Total 30 100

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukan bahwa sumber informasi

responden pada kelompok penyuluh sebanyak 10 orang (33,3%),

pada kelompok guru sebanyak 7 orang (23,0%), pada kelompok

media sebanyak 6 orang (20,0%), pada kelompok guru dan media

sebanyak 3 orang (10,0%), pada kelompok orangtua sebanyak 3

orang (10,0% dan kelompok teman sebanyak 1 orang (3,3%).

e. Stigma

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan

Stigma pada Remaja di SMAN 1 Sentani Kabupaten Jayapura

Tahun 2022

No Stigma Frekuensi Presentase (%)


1 Stigma 4 13,3
2 Tidak Stigma 26 86,7
  Total 37 100
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa tidak stigma

terbanyak sebanyak 26 orang (86,7%), pada kategori stigma

sebanyak 4 orang (13,3%),

45
4.3. Pembahasan

1. Usia

Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden berusia 17-

25 tahun sebanyak 22 responden. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya dilakukan dengan

sampel karyawan menunjukkan bahwa mayoritas usia responden dalam

gambaran sikap pencegahan HIV/AIDS merupakan remaja dengan usia

remaja akhir (usia 17 – 25 tahun) (Muzdalifah et al., 2019). Pada

penelitian Noorhidayah et al., (2016) memaparkan bahwa usia remaja

adalah usia yang sedang mengalami peningkatan kerentanan terhadap

berbagai ancaman dari risiko kesehatan. Ancaman ini terutama yang

berkaitain dengan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk peningkatan

ancanam dari HIV/AIDS. Penyakit tersebut pada remaja tidak terlepas dari

perkembangan globalisasi pada remaja, perubahan sosial dan gaya

hidup remaja saat ini cenderung melakukan perilaku beresiko seperti

hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan hubungan

seks pranikah kondisi ini menyebabkan remaja rentan terhadap

masalah perilaku beresiko dalam penularan HIV/AIDS (Tampi,

2013).

2. Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden

berjenis kelamin Perempuan yaitu sebanyak 16 responden. Hal ini

berbanding terbalik dengan penelitian (Aziz et al., 2020) bahwa jumlah

46
penderita HIV/AIDS lebih banyak laki-laki sebanyak (73%) dan 32

responden perempuan (27%) yang menunjukkan perbedaan cukup

jauh antara penderita HIV/AIDS laki-laki dan perempuan. Pada

penelitian (Hindiarti, 2017) dalam penelitian di peroleh jenis

kelamin laki-laki mempunyai peluang 1,9 kali untuk melakukan

perilaku sesksual berisiko dibandingkan dengan perempuan. Seks

memiliki arti jenis kelamin yang berarti menyangkut dimensi

biologis, psikologfis, sosial, perilaku, dan kultural, pada laki-laki

lebih cepat terangsang dan lebih cepat orgasme bila ada rangsangan

fisik maupun psikis sedangkan pada perempuan libido lebih lambat

munculnya.

3. Pernah mendapatkan informasi tentang HIV

Menurut peneliti bahwa kemungkinan dari pengetahuan yang baik

karena sebagian besar dari responden mendapatkan informasi yang tebih

sekitar 29 (96,7%) responden menjawab pernah mendapatkan informasi

tentang penularan HIV dan AIDS dari lingkungan di luar sekolah ataupun

media sosial sehingga sebagian besar responden sudah mampu

mengidentifikasi dan memahami mengenai penularan HIV dan AIDS.

beberapa faktor sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo(2010) yang

mengatakan bahwa pendidikan, pengalaman, usia, dan paparan informasi

merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

47
4. Sumber informasi tentang HIV

Tsumber informasi tentang kegiatan yang berisiko menularkan dan

tidak menularkan HIV dan AIDS pada remaja SMA Negeri 1 Sentani

termasuk kategori baik yaitu 29 responden menjawab informasi di dapat

dari penyuluh, media, guru dan orangtua. Hal ini berarti bahwa tingkat

pengetahuan tentang informasi kegiatan yang berisiko menularkan dan

tidak menularkan HIV dan AIDS pada remaja pada umumnya sudah baik.

Menurut peneliti bahwa kemungkinan dari infommasi yang baik

karena informasi yang diberikan oleh pihak sekolah sudah cukup. Menurut

Notoatmodjo (2010) bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh proses

pembelajaran. Proses pembelajaran sendiri dipengaruhi oleh berbagai

faktor antara lain subyek belajar, pengajar, metode yang digunakan,

kurikulum, dansebagainya. Apabila faktor-faktor tersebut tersedia dengan

baik maka proses belajar akan efektif dan hasil yang dicapai akan optimal

dan pengetahuan akan meningkat.

5. Stigma

Berdasarkan hasil penelitian stigma HIV/AIDS pada remaja

SMA Negeri 1 Sentani yang tidak stigma sebanyak 26 orang (86,7%), dan

hanya sedikit ditemukan yang memberi stigma yaitu 4 orang (13,3%).

Penelitian sebelumnya di SMK VI Surabaya berbanding terbalik

dengan hasil penelitian ini, dari jumlah 74 orang dan yang memiliki stigma

tinggi sebanyak 45 orang (61%), stigma sedang sebanyak 27 orang (36%)

48
dan terdapat sedikit yang memiliki stigma rendah sebanyak 2 orang (3%)

dikarenakan hubungan negatif antara pengetahuan dengan stigma (Parut,

2016). Stigma siswa SMA bisa timbul diakibatkan beberapa faktor yaitu,

pengetahuan, persepsi personal, interaksi sosial, dan tingkat ekonomi

keluarga (Maharani, 2017). Penelitian sebelumnya di daerah Grobogan

didapatkan 49,7% dari 297 orang memberikan respon negatif dalam

bentuk, tidak mau membeli makanan dari ODHA, melarang anak mereka

bergaul dengan anak ODHA, tidak mau menggunakan kamar mandi yang

sama dengan ODHA, dan tidak mau tinggal berdekatan dengan ODHA

yang memiliki gejala (Shaluhiyah, Musthofa and Widjanarko, 2014).

Beberapa indikator untuk menilai stigma yaitu, indikator keluarga

berkaitan tentang menerima status HIV/AIDS seperti tinggal bersama dan

merawat penderita HIV/AIDS, indikator komunitas berkaitan interaksi

teman dan lingkungan, indikator pendidikan berkaitan dengan lingkungan

pendidikan terhadap ODHA, indikator pelayanan kesehatan berkaitan

pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan terinfeksi

HIV/AIDS, indikator keagamaan berkaitan dengan penerimaan orang

ODHA menjalankan kegiatan keagamaan (UNAIDS, 2011). Indikator

penilaian terhadap stigma semua dapat mewakili dari indikator yang telah

ditentukan. Stigma HIV/AIDS menjadi hambatan orang yang memiliki

risiko tinggi menularkan untuk memulai pengobatan karena malu dan takut

didiskriminasi oleh pasangan, keluarga, maupun lingkungan apabila

49
mereka positif HIV. Secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan

penularan dan pencegahan kasus baru HIV di kalangan masyarakat

Remaja 4 responden mengatakan stigma (13,3%) memberikan

stigma pada penderita HIV AIDS. Menurut Shisana & Simbayi (2012,

disitasi oleh Brendan & Brown, 2016) stigma ODHA adalah fenomena

sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, dan kontekstual,

sehingga dimungkinkan stigma HIV/AIDS akan muncul dalam bentuk

yang berbeda pada orang yang berbeda. Hal ini yang mendasari kelompok

ras menjadi determinan potensial terhadap munculnya stigma ODHA.

Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan

HIV AIDS di Indonesia adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi

terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Stigma berasal dari pikiran

seorang individu atau masyarakat yang memercayai bahwa penyakit AIDS

merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat diterima oleh

masyarakat. Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis,

perasaan ketakutan yang berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap

ODHA. Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksi

HIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri.

Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung

jawab terhadap penularan HIV/AIDS.

Hal inilah yang menyebabkan orang dengan infeksi HIV menerima

perlakuan yang tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit yang

diderita. Stigma terhadap ODHA memiliki dampak yang besar bagi

50
program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS termasuk kualitas

hidup ODHA. Populasi berisiko akan merasa takut untuk melakukan tes

HIV karena apabila terungkap hasilnya reaktif akan menyebabkan mereka

dikucilkan. Orang dengan HIV positif merasa takut mengungkapkan status

HIV dan memutuskan menunda untuk berobat apabila menderita sakit,

yang akan berdampak pada semakin menurunnyatingkat kesehatan mereka

dan penularan HIV tidak dapat dikontrol.

Menurut peneliti kondisi ini sangat di maklumi bahwa tidak

mungkin bias 100 persen untuk menghilangkan stigma kepada penderita

atau kasus HIV/AIDS, hal ini bisa di intervensi oleh factor factor yang

kuat baik secara mental dan psikologis.

Menurut penelitian Shaluhiyah et al. (2015), responden dengan

remaja yang memberikan stigma memiliki kemungkinan memberikan

stigma terhadap ODHA empat kali lebih besar dibandingkan responden

yang keluarganya tidak memberikan stigma. Demikian juga responden

yang berpersepsi negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan

memberikan stigma dua kali lebih besar dibandingkan yang berpersepsi

positif. Faktor sikap tetangga dan tokoh masyarakat terhadap ODHA juga

berhubungan signifikan dengan stigma responden terhadap ODHA.

Sehingga dapat dikatakan bahwa sikap keluarga dan persepsi responden

terhadap ODHA merupakan faktor yang berpengaruh pada munculnya

stigma terhadap ODHA. Hal–hal yang disebabkan oleh stigma adalah

sebagai berikut: 1) perubahan pandangan terhadap seseorang (social

51
identity), 2) penolakan atau penurunan kesempatan interaksi sosial, 3)

kesempatan berkurang misal: perumahan, pekerjaan dan pelayanan

kesehatan, 4) perasaan malu dan membenci diri pada penilaian

masyarakat, 5) memungkinkan pengurangan kualitas hidup seseorang.

52
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini dibahas kesimpulan yang menjawab tujuan penelitian dan saran

sesuai dengan kesimpulan

5.1. Kesimpulan

Stigma remaja HIV/AIDS Di SMA Negeri 1 Sentani terhadap

terbanyak pada kategori tidak Stigma sebanyak 26 orang (86,7%), dan

terendah pada kelompok Stigma sebanyak 4 orang (13,3%)

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian kiranya penulis dapat menyarankan

5.2.1 Bagi Remaja di SMA Negeri 1 Sentani

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan belajar dan

masukan untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya pengetahuan

HIV/AIDS dalam kehidupan sehari-hari

5.2.2 Bagi Tenaga pengajar di SMA Negeri 1 Sentani

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan di

SMA Negeri 1 Sentani untuk lebih mengembangkan dan edukasi

kepada masyarakat siswa dalam pencegahan dan pengetahuan

HIV/AIDS

5.2.3 Bagi keperawatan khususnya keperawatan komunitas

53
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua

tenaga kesehatan khususnya dalam keperawatan komunitas untuk

meningkatkan promosi kesehatan tentang HIV/AIDS.

5.2.4 Peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dasar untuk

penelitian selanjutnya. Dari penelitian ini dapat menggambarkan

pengetahuan tentang HIV/AIDS

54
DARTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Kabupaten. (2021). Laporan Bidang Pengendalian Dan

Pemberantasan Penyakit (P2P). Kabupaten Papua.

Dinas Kesehatan Provinsi Papua. (2020). Laporan Data Sebaran Penyakit

HIV/AIDS 2020 di Provinsi Papua. Papua.

Direktorat Jendral P2P Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2020),

Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual

(PIMS) Triwulan III

Fitrian, H., Suwarni, L., Hernawan, A. D., & Artikel, I. (2019). Determinan

perilaku seks pranikah remaja di Kota Pontianak tahun 2019. Jurnal

Vokasi Kesehatan, 5(2), 107–114

Haeriyanto, S., Ekarini, N. L. P., & Lusiani, D. (2019). Stigma Remaja terhadap

ODHA Studi terhadap pelajar SMA di wilayah Jakarta Timur. JKEP, 4(1),

12-23.

Hariyadi, B., Munasib, M., & Sari, S. . (2018). Peran Keluarga dalam Pencegahan

HIV/ AIDS di Kecamatan Purwokerto Selatan. Jurnal Ilmu Keluarga Dan

Konsumen, 11(2), 96–107. https://doi.org/10.24156/jikk.2018.11.2.96

JUBI. Harian Juru Bicara Papua 2021. (2021)

KemenKes RI. (2017). Situasi Umum HIV/AIDS dan Tes HIV. Berdasarkan

Laporan SIHA Tahun 2013-2017. Pusat data dan informasi kementerian

kesehatan RI: Jakarta.

55
Kurniajati, S., & Anggraini, D. N. (2015). Faktor yang berhubungan

denganvmenarche pada remaja putri. JURNAL PENELITIAN

KEPERAWATAN, 1(2).

Norhidayah et. al., Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Sumber Informasi dengan

Upaya Pencegahan HIV/AIDS pada Remaja Komunitas Anak Jalanan di

Banjarmasin Tahun 2016: Universitas Islam Kalimantan (UNISKA)

Muhammad Arsyad Al Banajry Banjarmasin; 2016.

Notoatmodjo, S. (2012). Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:

Rineka cipta.

Sagitha, O. H. (2020). Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Persepsi Terhadap

Stigma Orang Dengan Hiv/Aids Pada Siswa Smkn 8 Kota

Padang (Doctoral dissertation, Universitas Andalas).

Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2015). Stigma masyarakat

terhadap orang dengan HIV/AIDS. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat

Nasional (National Public Health Journal), 9(4), 333-339.

Situmeang, B., Syarif, S., & Mahkota, R. (2017). Hubungan pengetahuan

HIV/AIDS dengan stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS di kalangan

remaja 15-19 tahun di Indonesia (analisis data SDKI tahun 2012). Jurnal

Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(2).

UNAIDS (The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS). (2021). Diakses

dari https://www.unaids.org/en

56

Anda mungkin juga menyukai