Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Masyarakat Indonesia mulai mengenal HIV dan AIDS pada Tahun 1987, ketika
kasus pertama infeksi ini ditemukan di Bali. Barangkali sebelumnya infeksi ini telah ada,
tetapi tak diketahui. Kasus pertama yang dilaporkan itu terjadi pada seorang pria asing
yang telah berada pada fase AIDS, yaitu ketika sejumlah gejala penyakit menyerang
tubuh karena menurunnya kekebalan tubuh akibat HIV.

Di Indonesia, perkembangan jumlah kasus penyakit AIDS maupun HIV


cenderung meningkat pada setiap tahunnya. Data terakhir sampai Maret 2021, seperti
dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 25 Mei 2021, menunjukkan jumlah
kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV
dan 131.417 AIDS. Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada priode
Januari – Maret 2021 sebanyak 9.327, terdiri atas 7.650 HIV dan 1.677 AIDS yang
dilaporkan 498 kabupaten dan kota dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia.

Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien perawat harus mempunyai


kode etik dan moral, dalam menjalankan praktik keperawatan, ada beberapa masalah etik
yang sering dijumpai perawat isu mengenai pasien seperti HIV/AIDS, aborsi,
transplantasi organ, keputusan untuk mengakhiri hidup. Etika dan moral merupakan
sumber dalam merumuskan standar dan prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku
serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh
semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip dasar dan
profesi dalam standar praktik profesional.

Sebelum masyarakat Indonesia mencapai tingkat pemahaman akan HIV/AIDS


seperti saat ini, pemahaman masyarakat akan HIV/AIDS juga dibentuk oleh pemberitaan
di media massa baik media cetak maupun elektronik. Pemahaman tentang HIV/AIDS
tersebut oleh scortino dibagi kedalam empat paradigma berikut ini. Paradigma pertama
ialah “HIV/AIDS dianggap tidak ada”, paradigma kedua ialah “penyakit orang bule”
banyak pernyataan yang mengatakan moralistic yang mengancam gaya hidup orang
barat, paradigma ketiga menyatakan bahwa pembawa penyakit ini bukan hanya orang
asing, melainkan pria gay secara umum, dan paradigma keempat adalah adanya pendapat
bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit PSK karena pada bulan November 1991
pekerja seks komersial.

Tidak hanya menimbulkan dampak pada penatalaksanaan klinis tetapi juga


dampak sosial, kekhawatiran masyarakat serta masalah hukumdan etika. Oleh karena
sifat virus penyebab AIDS yaitu HIV dapat menular pada orang lain maka muncul
ketakutan masyarakat untuk berhubungan dengan penderita AIDS dan kadang-kadang
penderita AIDS sering di perlakukan tidak adil dan di diskriminasikan.perawat yang
bertanggung jawab dalam merawat klien AIDS akan mengalami berbagai stres pribadi,
termasuk takut tertular atau menularkan pada keluarga dan ledakan emosi bila merawat
klien AIDS fase terminal yang berusia muda dengan gaya hidup yang bertentangan
dengan gaya hidup perawat.

Agar terjadi hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien HIV/AIDS,
perlu memperhatikan hak-hak dan kewajiban pasien HIV/AIDS khususnya. Kaidah
turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy (berarti menghormati hak privacy
pasien), convidentiality (berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai
rahasia), fidelity (berarti kesetiaan) dan veracity (berarti menjunjung tinggi kebenaran
dan kejujuran).5 (Samsi Jacobalis, 2005, Pengantar Tentang Perkembangan Ilmu
Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, CV Sagung Seto bekerjasama dengan Universitas
Tarumanegara, Jakarta, hal 75-76.)

Perawat harus selalu mengevaluasi diri untuk memastikan tindakannya telah


sesuai dengan prinsip etik dan hukum. Hukum merupakan proses yang dinamis sehingga
tenaga kesehatan juga harus selalu memperbarui pengetahuan mereka tentang hukum
yang berlaku saat itu. Prinsipnya, bersikap jujur pada pasien dan meminta informed
consent atas semua tindakan atau pemeriksaan merupakan tindakan yang paling aman
untuk menghindari implikasi hukum.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep etik dan hukum dalam asuhan Keperawatan pasien HIV/AIDS?
2. Apa saja hak pasien HIV/AIDS?
3. Apa saja isu etik dan hukum pada konseling pra dan pasca tes HIV
4. Apa saja stigma dan diskriminasi pasien HIV/AIDS?
5. Apa saja tren dan isu dari pasien HIV/AIDS?

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami Etik dan Legal pada Klien
yang menderita HIV / AIDs dan mampu menerapkannya.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan menjadi manfaat untuk memberikan informasi serta menambah literasi
mengenai Etik dan Legal pada Klien HIV / AIDS,
2. Manfaat Praktis
Hasil makalah ini memiliki manfaat praktis yaitu mendapatkan pengetahuan
mengenai Etik dan Legal pada Klien yang menderita HIV/ AIDS dan dapat
diterapkan dalam Asuhan Keperawatan.
BAB II

Etikolegal HIV dan AIDs

A. Definisi
Human immunodeficiency virus atau HIV adalah virus yang memperlemah kekebalan
pada tubuh manusia yang mengakibatkan seseorang terkena AIDS. Orang yang terkena virus
ini akan rentan terhadap infeksi opportunistic. Dalam hal ini, Nadine Suryoprajogo
memberikan keterangan bahwa HIV menyerang tubuh manusia dengan cara membunuh atau
merusak sel-sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh sehingga kemampuan tubuh
untuk melawan infeksi menurun drastis (Sunaryati, 2014). Sunaryati, S.S., 2014. 14 Penyakit
Paling Sering Menyerang dan Sangat
Mematikan. Yogyakarta: Flashbooks
Acquired immuno deficiency syndrome atau AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh human immunodeficiency virus (HIV). AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa
indonesia, AIDS dapat dialih katakan sebagai sindrome cacat kekebalan tubuh dapatan.
Acquired: didapat, bukan penyakit keturunan. Immune: sistem kekebalan tubuh. Defeciency:
kekurangan. Syndrome: kumpulan gejala-gejala penyakit AIDS diakibatkan oleh faktor luar
(bukan dibawa sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit
terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV (Scorviani, 2016)
Scorviani, V. dan Taufan N., 2016. Mengupas Tuntas 9 Jenis PMS. Yogyakata:
Nuha Medika
B. Cara penularan HIV/AIDs
virus HIV menular melalui empat cara penularan, yaitu hubungn sesual yang tidak aman
dengan penderita HIV/AIDS, penulran secar vertikal, melalui alat kesehatan terkontaminasi,
serta melalui darah dan transplantasi organ.
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anak dan ora dengan penderita HIV tanpa
perlindungn bisa menularkan HIV. Disini saat melakukan hubungan seksual air mani,
cairan vagina, darah, selaput lendir penis, atau mulut sehingga virus HIV mampu
menularkan dan cairan tersebut akan masuk ke aliran darah (Kasper dkk, 2015).
Jika berhubunga seksual terjadi lesi mikro di dinding penis, vagina ataudubur ini juga
mampu menularkan virus HIV dan masuk ke dalam aliran darah pasangan seksual
( Swanstrom dan coffin, 20212).
2. Ibu terhadap bayi
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero), selama
persalanan atau melalui ASI.
Berdasarkan laporan CDC Amerika prevelensi penularan HIV dari ibu ke Bayi adalah
0,01% sampai 0,7% (Oyeludub dkk, 2017). Bila ibu baru terindikasi terinesi HIV dan
belum ada gejajala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%-35%, sedangkan
kalau gejala AIDS sudah ada kemunikan 50% (Oyeludin dkk 2017). Penularan juga dapat
terjadi selama proses persalianan. Semakin lama proses persalinan semakin besar
kemungkinan bayi terkena HIV. Maka dari itu disarankan untuk melakukan tindakan
sectio caesaria (WHO, 2017).
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Produk darah sangat cepa menularkan HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh (maartens dkk., 2014)
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum dan alat-alat lain yang
menyentuh cairan vagina atau air mani yang terinfeks virus HIV dan langsung digunakan
untuk orang laiin yang tidak terinfeksi maka akan dengan mudah terinfeksi virus HIV.
( Simon dkk2010).
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet
yang dipakaisecara bersama-sama, berpelukan, hidup seruma dengan orang HIV/AIDS,
gigitan nyamuk dan hubungan sosial yang lain (Albrecht dkk, 2007).
C. Gejala Infeksi HIV
Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu
dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam seminggu pertama setelah
kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit
menelan dan pembengkakan glenjer getah bening dibawah telinga, ketiak dan selangkangan.
Gejala ini biasanya sembuh sendiri sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada
tahun kelima atau enam tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan dan mulut dan pembengkakan
didaerah gelenjer getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut secara cepat (>10%), diare terus
menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus
(Sonhaji, 2012).
Sonhaji, A., 2012. STOP! Aids Itu Berbahaya. Bandung: CV Firaz Publishing
D. Epideomologi
Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan
seorang gay muda dengan Pneumocytis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma
Kaposis. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem seorang
gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan kekebalan tubuh. Negara Amerika Utara dan
Inggris, epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada
saat ini epidemic terjadi juga pada pengguna obat suntikan dan pada populasi heteroseksual.
Seks tanpa kondom adalah modus utama penularan HIV di Karibia. Survey menunjukan
persentase prevalensi HIV pada beberapa kelompok yaitu : 80- 90% PSK, 30% kelompok
laki-laki, 30% pada kelompok mereka yang dating berobat di klinik penyakit menular
seksual, 10% pada pendonor pendonor darah, dan 10% pada kelompok kelompok wanita
yang diperiksa diperiksa di klinik perawatan antenatal. Sampai dengan tahun 2020 jumlah
penderita penderita HIV diseluruh dunia sebanyak 34 juta orang. Berdasarkan estimasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus baru HIV (Human Immunodeficiency
Virus) di seluruh dunia hampir 1,5 juta kasus pada 2020. Afrika tercatat sebagai kawasan
yang memiliki jumlah kasus baru HIV tertinggi, yakni 880 ribu kasus.
Laporan perkembangan HIV AIDS HIV AIDS di Indonesia Triwulan I nesia Triwulan I
(Januari-Maret) Tahun 2017 dilaporkan sebanyak 10.376 orang. Persantase tertinggi infeksi
HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,6%), diikuti kelompok umur
20-24 tahun (17,6%), dan kelompok umur > 50 tahun (6,7%). Rasio HIV antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1.
Persentase faktor risiko HIV faktor risiko HIV tertinggi adalah hubun adalah hubungan
seks gan seks beresik beresiko pada LSL (Lelaki Seks Lelaki) (28%), heteroseksual (24%),
lain-lain (9%) dan pengguna jarum suntik tidak steril (2%). Dar (2%). Dari bulan januari
sampai dengan Maret 2017 jumlah AIDS dilaporkan sebanyak 637 orang. Persantase AIDS
tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (38,6%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun
(29,3%) dan kelompok umur 20-29 tahun (29,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (16,5%).
Di Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun
dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta
(55.099).

E. Kriteria diagnostik HIV/AIDS


1. Diagnosi HIV
a. Diagnosis HIV pada Remaja dan Dewasa
Tes untuk mendiagnosis HIV dilakukan dengan menggunakan tiga jenis antibodi
yang berbeda sensitivitas dan spesivitasnya. Konseling testing sukarela merupakan
tahapan awal untuk mengetahui status HIV seseorang (kementrian kesehatan
Republik Indonesia, 2014a). Indikasi test HIV menurutt peraturan mentri kesehatan
RI no.21 tahun2013 meliputi :
1) Setiap orang dewasa, anak dan remaja dnegan kondisi medis yang diduga
terinfeksi HIV terutama dengan riwayat TB dan IMS
2) Asuhana antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin.
3) Lelaki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
(kementerian kesehatan RI 2014a).
b. Diagnosis HIV pada Bayi dan anak
Penyakit penanda AIDS tersering yang di temukan pada anak adalah pnemoniayang
di sebabkan pneumonitis cariinii. Gejala umum yang idtemukan pada bayi dengan
infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare crhonis atau
hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien).
Pada pasien bayi dan anak, test HIV hanya bisa dilakukan jika ada izin dari
orangtua/wali, dnegan indikasi yaitu :
1) Anak sakit yang berhubungan dnegan HIV misalnya; TB, BB, mendapat OAT
berulang,
2) Bayi lahir dari ibu HIV
3) Mengetahui status bayi/anak dari ibu yang di diagnosis HIV,
4) Mengetahui status anak setelah saudaranya terdiagnosa HIV atau salah satu orang
tua nya diduga meninggal akibat HIV
5) Terpajan atau berpotensi terinfeksi HIV melalui jarum suntik terkontaminasi atau
mendapat transfusi berulang
6) Anak mengalami kekerasa seksual (kementrian RI, 2014a)
2. Test Diagnostik
Beberapa tes untuk mendiagnosis HIV yang digunakan di Indonesia meliputi tes serologi
dan virologi.
a) Tes serologi
Tes serologi terdiri atas
1) Tes cepat (Rapid test) : tes cepata dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2 dalam waktu yang relatif cepat (<20 menit).
2) Tes enxyme immunoassay: tes yang azim dilakukan adalah tes ELISA. ELISA
dapat mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ini sangat sensitif tapi tidak
terlalu spesifik karena ada bebrapa penyakit yang dapat menghasilkan hasil false
positive antara lain penyakit autoimun, infeksi virus atau keganasan hematologi.
3) Tes western blot : digunakan untuk mengkonfirmasi hasil dari ELISA, ini
digunakan pada kasus yang sulit tes ini dilakukan untuk mendeteksi rantai protein
yang spesifik terhadap DNA.
b) Tes Virologi
Tes virologi menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) ini digunakan
untuk mendiagnosis HIV pada anak berusia kurang dari 18 bulan.

Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang
tinggi (>99%), se sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemer dang untuk
pemeriksaan selanjutnya iksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam
masa jendela menunjukkan hasil”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama
bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
1) Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV Konseling dan tes HIV sukarela
(KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
2) Tes HIV dan kon V dan konseling atas inisiatif petugas kese as kesehatan (TIPK
– PITC = Provider-Initiated Testing and Co PITC = Provider-Initiated Testing
and Counseling unseling).
TIPK merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-
pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh
pasangan seksualnya.
Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan
dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan
menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C –
counseling, consent, confidentiality).
F. Aspek Etikolegal HIV/AIDS
Etik berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti adat kebiasaan yang baik atau yang
seharusnya dilakukan. Etik berbeda dengan hukum. Etik berlaku di lingkungan profesi dam
disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi.
Undang-undang Republik Indonesia No. 38 Pasal 2 menyebutkan bahwa dasar Praktik
keperawatan adalah;
1) Perikemanusiaan
2) Nilai ilmiah
3) Etika dan profesionalitas
4) Manfaat
5) Keadilan
6) Perlindungan
7) Kesehatan dan keselamatan klien ( Pemerintak Republik Indonesia, 2014)

Pasal 37 butir b Undang-undang No. 38 Tentang keperawatan juga menyebutkan bahwa


perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban memberikan pelayanan
keperawatan yang sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi,
standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pemerintang
Republik Indonesi, 2014).

Meskipun terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata
nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi terdapat persamaan dasar di bidang
kesehatan. "Kesehatan klien tetap akan saya utamakan", tetap merupakan asas yang tidak
pernah berubah. Asas dasar tersebut menjadi enam asas etik sebagai berikut (Bryan, 2002;
Hanafiah dan Amir, 2009).

1) Sebagai penghormatan terhadap klien: klien memiliki kebebasan untuk mengetahui dan
memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi
yang cukup.
2) Asas kejujuran.
Tenaga Kesehatan mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi, apa yang akan
dilakukan serta risiko yang dapat terjadi.
3) Asas tidak merugikan.
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan mengutamakan
tindakan yang tidak merugikan klien serta mencari risiko yang paling minimal atas
tindakan 4.
4) Sebagai manfaat.
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien untuk
mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
5) Asas Kerahasiaan.
Kerahasiaan klien harus meskipun klien telah meninggal.
6) Asa keadilan.
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial ekonomi, pendidikan,
gender, agama, dan lain sebagainya.

Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang serta masyarakat nasional maupun
internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah sebagai berikut (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2003).

1) Empati Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih
sayang, dan saling membantu
2) Solidaritas Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidakadilan yang
diakibatkan oleh HIV/AIDS
3) Tanggung jawab jawab jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan pada
ODHA.

Perawat yang merawat orang HIV-positif dan orang lain yang terdampak HIV harus
menyadari prinsip-prinsip etika tersebut. Pengambilan keputusan juga dipandu oleh undang-
undang, dengan demikian, masalah etika dan hukum terkait erat dan sering kali saling terkait.
Pendekatan umum lainnya untuk pengambilan keputusan etis dalam perawatan kesehatan
telah dijelaskan (Lo, 2005) sebagai berikut:

1) Pendekatan konsekuensialis: Tindakan dinilai berdasarkan benar atau salahnya


konsekuensinya (juga digambarkan sebagai pendekatan utilitarian).
2) Pendekatan deontologis: Tindakan dalam dan dari diri mereka sendiri mungkin salah,
terlepas dari hasilnya (misalnya, berbohong, melanggar kerahasiaan).
3) Pendekatan berbasis kasus (casuistry): Pendekatan ini melibatkan dengan membandingkan
kasus saat ini dengan contoh atau paradigmatic kasus etika.
4) Etika berbasis perawatan: Awalnya dijelaskan oleh ahli etika feminis dan dianut oleh
perawat, pendekatan etis ini berusaha untuk melihat prinsip-prinsip etika yang melampaui
abstrak dan memperhitungkan hubungan dan upaya untuk menghindari konflik
interpersonal.
1. Hak Pasien HIV/AIDS
Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/AIDS
yaitu hak terhadap Kesehatan dan hak untuk bebeas dari diskriminasi. Dibandingkan
dengan hak terhadap Kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi terhadap
penderita HIV/AIDS ini jauh lebih kompleks dann sulit.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No.36/2009 dinyatakan bahwa setiap
orang berhak atas Kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak
atas Kesehatan. Hak atas Kesehatan adalah asset utama keberadaan umat manusia karena
terkait dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti Pendidikan
dan pekerjaan. Secara garis besar didalam undang-undang Kesehatan perlindungan
hukum terhadap penderita HIV/AIDS diatur mengenai beberapa hal berikut:
a) Hak atas Pelayanan Kesehatan
Undang-undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh
masyarakat tanpa kecuali penderita HIV/AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan dinyatakan
bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya
Kesehatan, memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Tugas pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedis, dan tenaga
Kesehatan lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan Kesehatan bagi penderita
HIV/AIDS dan menjamin ketersediaan segala bentuk upaya Kesehatan sehingga tercapai
derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan Kesehatan
serta jaminan ketersediaan obat dan alat Kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan
berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS. Keputusan Mentri Kesehatan No.
832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA dan
Strandar Rumah Sakit Rujukan ODHA, semua aturan tersebut dibut berlandaskan pada
undang-undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
b) Hak atas Informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
informasi dan edukasi tentang Kesehatan serta informasi tentang data Kesehatan dirinya
termasuk Tindakan dan pengobatan atas dirinya pada Pasal 8. Peningkatan Pendidikan
untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan
dan penyebaran HIV/AIDS, misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan
upaya dalam memberikan informasi mengenai HIV/AIDS.
c) Hak atas Kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam pasal 57 dimana setiap
orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No.29/2004 juga
mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada ayat 3 dan 4 tentang rekam
medis dan rahasia kedokteran. Rahasia medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya
antara dokter dengan pasien. Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan
tentang rahasia penyakit pasien yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si
pasien.
Berkaitan HIV, tenaga Kesehatan wajib menjaga kerahasiaan pasien, nemun
dipihak lain wajib melindungi masyarakat dari penyebaran HIV/AIDS, maka disinilah
kadang timbul dilemma etik pada petugas Kesehatan dimana di satu sisi wajib
melindungi kerahasiaan pasien dan di sisi lain wajib melindungi keluarga pasien dan
masyarakat dari penularan HIV. Dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan mana
yang harus lebih diutamakan.
Pancasila sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, menjelaskan bahwa
bangsa Indonesia mengakui, menghargai, dan memberikan hak yang sama kepada setiap
warganya untuk menetapkan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun kebebasan HAM
tersebut tidak boleh mengganggu dan harus menghormati HAM orang lain. Didalam
UUD 1945 juga dijelaskan dibeberapa pasal bahwa pelaksanaan HAM seseorang tidak
boleh mengganggu keamanan dan ketertiban nasional. Hal ini menjadi dasar bahwa
dalam penyelesaian dilemma etik, petugas Kesehatan perlu berpegang pada prinsip
bahwa hak asasi pasien tidaklah bersifat mutlak, namun dibatasi oleh hak asasi orang lain
didalam masyarakat itu. Jika ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus
mengalah terhadap kepentingan masyarakat banyak.
d) Hak atas Persetujuan Tindakan Medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan Tindakan medis atau informed
consent. Pemberian informasi terkait penyakit yang diderita pasien dan Tindakan apa
yang hendak dilakukan merupakan kewajiban tenaga Kesehatan terutama dokter. Semua
tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien diberikan informasi yang cukup
tentang tes, tujuan tes, implikasi tes positif ataupun negative yang berupa konseling pra-
tes.

2. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
WHO dan UNAIDS merekomendasikan empat jenis tes HIV yaitu melalui pintu VCT,
Tes, dan Konseling Inisiatif Petugas (TKIP/PITC), jika terdapat indikasi HIV/AIDS pada
seseorang (gejala klinis), dan skrining seluruh darah dan produk darah (World Health
Organization), UNAIDS, GTZ, dan international HIV/AIDS Alliance, 2005). Berkaitan
dengan seluruh jenis tes tersebut, maka petugas harus memastikan keseluruhan proses
mematuhi prinsip etik mulai dari tujuan tes sampai pelaksanaan dan tindak lanjut. Tes harus
memberi manfaat kepada individu yang sedang dites dan ada jaminan keterkaitan antara
lokasi pengujian dan perawatan yang relevan, perawatan dan layanann lainnya, di lingkungan
yang menjamin kerahasiaan semua informasi medis. Hal penting selanjutnya adalah
mengatasi implikasi dari hasil positif, termasuk non-diskriminasi dan akses terhadap
perawatan dan perawatan berkelanjutan bagi orang-orang yang melakukan tes positif dan
memastikan bahwa infrastruktur Kesehatan memadai (Commonwealth Regional Health
Community Secretariat, 2002; World Helath Organization dkk., 2005).
a) Konseling Pra dan Pasca-tes HIV
Konseling adalah proses pemberian pertolongan pada klien yang bertujuan membantu
klien mempelajari dirinya, mengenali, dan mencari pemecahan masalah terhadap
keterbatasan yang diberikan lingkungan. Konseling dilakukan oleh seseorang dengan
niat yang tulus ikhlas, yang bersedia memberikan waktu, perhatian, dan keahliannya
untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Voluntary counseling and testing
(VCT) atau konseling dan tes sukarela merupakan kegiatan konseling yang bersifat
sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di laboratorium.
Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani
informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang
lengkap dan benar.
Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS (Depkes RI, 2008; World
Health Organization dkk., 2005; Yayasan Spiritia, 2012). Konseling dilakukan oleh
konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja
sosial, dokter, psikolog, psikiater, atau profesi lain (UNAIDS, 2002). Selain secara
sukarela, tes HIV juga dapat dilakukan melalui pintu Tes dan Konseling Inisiatif
Petugas (TKIP / PITC) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
b) Informed Consent untuk Tes HIV
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah
positif terinfeksi HIV atau tidak dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV di
dalam sampel darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa
mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari
perilakunya selama ini. Tes HIV harus bersifat seperti berikut (Commonwealth
Regional Health Community Secretariat, 2002; UNAIDS, 2002; World Health
Organization, 2016).
- Sukarela, bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan
atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain. Hal ini juga
berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal - hal apa saja yang
tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kugian dari testing, serta apa saja
implikasi dari hasil positif ataupun hasil negatif.
- Rahasia, apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hanya boleh diberitahu
langsung kepada orang yang bersangkutan.
- Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, baik orang tua / pasangan, atasan, atau
siapapun
c) Aspek Elik dan Legal Tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien te atas dasar penjelasan
mengenal tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Permenkes,
1989). Dasar dari informed consent yaitu sebagai berikut.
1) Asas menghormati otonomi pasien. Setelah mendapatkan informasi yang
memadai, pasien bebas dan berhak memutuskan Pasal 16: dalam apa yang akan
dilakukan terhadapnya. 1239 / Menkes / SK / XI / 2001
2) Kepmenkes melaksanakan kewenangannya perawat wajib menyampaikan
informasi dan meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 22 Ayat 1: bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan meminta
persetujuan.
4) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 15 Ayat 2: tindakan
medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan atau
keluarga.

Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien diberikan
informasi yang cukup tentang tes , tujuan tes , implikasi hasil tes positif atau negatif
yang berupa konseling pra – tes. Dalam menjalankan fungsi perawat sebagai advokat
bagi klien , tugas perawat dalam informed consent adalah memastikan bahwa
informed consent telah meliputi tiga aspek penting yaitu :
- persetujuan harus diberikan secara sukarela ;
- persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami;
- persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai
pertimbangan untuk membuat keputusan.

Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya, persetujuan
diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan perawatan lain
(Kelly, 1997 dalam Chitty, 1993). Persetujuan juga sebaiknya dalam bentuk tertulis,
karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien untuk menyangkal
persetujuan yang telah diberikannya di kemudian hari. Depkes Afrika pada Desember
1999 mengeluarkan kebijakan tentang pengecualian di mana informed consent untuk
tes HIV tidak diperlukan yaitu untuk skrining HIV pada darah pendonor di mana
darah ini tanpa nama. Selain itu informed consent juga tidak diperlukan pada
pemeriksaan tes inisial HIV (rapid test) pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang
terpapar darah klien yang dicurigai terinfeksi HIV, sementara klien menolak
dilakukan tes HIV dan terdapat sampel darah

3. Kerahasiaan Status HIV


Pasien HIV berhak atas kerahasiaan, ini sesuai dengan prinsip etik asas kerahasiaan yaitu
kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal. Untuk itu tenaga
kesehatan mempunyai kewajiaban etik melindungi hak klien tersebut dengan tetap
menrahasiakan apapun yang berhubungan dengan klien. Bahkan terhadap pasangan klien,
petugas kesehatan tidak bisa secara terbuka membuka rahasia penyakit pasien. Hak klien atas
kerahasiaan ini juga dilindungi oleh hukum sehingga apabila melanggarnya kita bisa terkena
sanksi hukum. KUHP Pasal 23 tahun 322, KUH Perdata pasal 1365 dan 1366, serta UU
kesehatan pasal 23 tahun 1922 Ayat 1 menjelaskan beberapa sanksi hukum maupun
administrstif pada tenaga kesehatan yang tidak menjaga kerahasiaan pasien, yaitu tindakan
disiplin maupun sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.
Terdapat pengecualian yakni rahasia pasien HIV/AIDS bisa dibuka yaitu ketika hal
berikut:
a) Berhubungan dengan administrasi (Steward Greme, 1997)
b) Bila kita dimintai keterangan di persidangan (Steward Greme, 1997)
c) Informasi bisa diberikan pada orang yang merawat atau memberikan konseling dan
informasi diberikan dengan tujuan untuk merawat, mengobati, atau memberikan
konseling pada klien (Steward Greme, 1997)
d) Berhubungan dengan penanggualangan HIV/AIDS dan menghambat laju penyebaran
HIV/AIDS. Informasi diberikan kepada Kemenkes. Berdasarkan instruksi Meskes
No.72/Menkes/Inst/II/1988 tentang kewajiban melaporkan penderita dengan gejala
AIDS; petugas kesehatan yang mengetahui atau menemukan seseorang dengan gejala
AIDS wajib melaporkan kepada sarana pelayanan kesehatan yang diteruskan pada
dirjen P2M dan diteruskan ke Depkes. Hal ini penting untuk menjaga kepentingan
masyarakat banyak dari tertular HIV/AIDS (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2003). Keputusan Direktur Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
penyehatan lingkungan dan permukiman No. KH.00.06.4.323 tahun 1998 tentang
petunjuk pelaksanaan kewajiban melaporkan pasien dengan gejala AIDS dalam
bentuk surveilans HIV (Hanifiah dan Amir, 2009)
e) Informasi diberikan kepada pasangan seks/keluarga yang merawat klien dan beresiko
terinfeksi oleh klien karena klien tidak mau menginformasikan pada
keluarga/pasangan seksnya dan melakukan hubungan sekseual yang aman. Hal ini
berkaitan dengan tugas tenaga kesehatan untuk melindungi masyarakat, keluarga, dan
orang terdekat klien dari bahaya penularan HIV. Dalam hal ini, petugas kesehatan
diperbolehkan membuka status HIV pasien hanya jika petugas mengidentifikasi
keluarga/pasangan klien beresiko tinggi tertular, pasien menolak memberitahu
pasangannya, atau menolak melakukan hubungan seks yang aman, tenaga kesehatan
telah memberitahu klien bahwa klien berkewajiban melindungi orang lain dari bahaya
penularan HIV/AIDS tapi klien tetap menolak memberitahu keluarga atau
pasangannya tentang status penyakitnya (Simon, Ho, dan Karim, 2010).
BAB III
KASUS ETIK LEGAL HIV AIDS
A. Isu Terkait Pekerjaan
Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) memiliki hak yang sama dalam
bekerja karena ODHA yang masih hidup dengan HIV dapat hidup produktif seperti orang
normal. Hingga saat ini ODHA masih mengalami banyak diskriminasi di tempat kerja
sehingga mereka diberhentikan atau tidak diterima bekerja. Untuk melindungi hak-hak
ODHA, disepakati bahwa tes skrining HIV tidak menjadi persyaratan untuk
masuk/bekerja di suatu perusahaan/kantor (WHO dan ILO, 2005). Selain itu, untuk
menghindari diskriminasi tersebut, SADC (South African Medical Council)
mengeluarkan “code of good practice” sebagai pedoman bagi perusahaan dan pekerja
tentang cara mengelola ODHA di tempat kerja. Tujuan pedoman ini antara lain:
1. melindungi hak ODHA untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif,
2. melindungi hak ODHA atas kerahasiaan dan privasi;
3. melindungi hak ODHA atas keselamatan kerja;
4. melindungi hak ODHA atas kompensasi yang adil sesuai dengan pekerjaannya.

Deklarasi Komitmen UNGASS dan ILO Code of Practice on HIV / AIDS and World
of Work juga ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan
menetapkan Kemenakertrans No. Kep. 68 / MEN / IV / 2004 tentang Percepatan dan
Penanggulangan HIV / AIDS di tempat kerja (Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, 2005). Keputusan ini dibuat terutama karena dalam jumlah kasus HIV /
AIDS yang terjadi, sebagian besar kasus merupakan kelompok usia kerja produktif yang
akan berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan. Keputusan menteri ini
melarang majikan melakukan segala bentuk diskriminasi dan penyaringan dalam proses
rekrutmen dan promosi

B. Stigma dan Diskriminasi


Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk
moral/perilakunya sehingga mendapatkan penyakit tersebut. Orang-orang yang distigma
biasanya dianggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibatnya mereka
dipermalukan, dihindari, didiskreditkan, ditolak, dan ditahan. Sering kali penderita HIV
justru mengalami banyak penderitaan bukan karena sakit yang diderita atau pelayanan
kesehatan, melainkan dampak dari stigma dan pelabelan (stereotype) yang dikenakan
kepada mereka. Orang terinfeksi acap kali dihubungkan dengan orang terkutuk (amoral)
karena perilakunya yang menyimpang dan memang harus menanggung penderitaan
sebagai karma atas dosa - dosanya (Hanafiah dan Amir, 2009; Heimer, 2013; Indar,
2010). Tidak hanya dalam bentuk stereotip, di banyak tempat juga ditemukan berbagai
pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan diskriminasi, bahkan penganiayaan dan
penyiksaan. Berbagai pelanggaran HAM dan hukum tersebut menyebabkan penderitaan
orang terinfeksi bahkan merupakan penyebab sekunder / nonmedis bagi kematian mereka
(Indar, 2010). Penelitian Nursalam, Kurniawati, Bakar, Purwaningsih, dan Asmoro
(2014) menemukan bahwa stigma terhadap pasien HIV masih sangat kuat menyebabkan
penderita takut membuka status HIV pada keluarga maupun pasangan, menyebabkan
mereka dikucilkan oleh masyarakat sehingga tidak berani secara terbuka menerima
kunjungan petugas kesehatan di rumah mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Kristina
di Kalimantan Selatan dan Cipto (2006) di Jember Jatim tentang pengaruh pendidikan
kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa mengenai stigma pada orang dengan
HIV / AIDS menunjukkan bahwa 72 % orang yang berpendidikan cukup (SMU) kurang
menerima ODHA dan hanya 5 % yang cukup menerima. Faktor yang berhubungan
dengan kurang diterimanya ODHA antara lain karena HIV / AIDS dihubungkan dengan
perilaku menyimpang seperti seks sesama jenis, penggunaan obat terlarang. seks bebas,
serta HIV diakibatkan oleh kesalahan moral sehingga patut mendapatkan hukuman
(Kristina, 2005; Cipto, 2006). Diskriminasi didefinisikan UNAIDS sebagai tindakan yang
disebabkan perbedaan menghakimi orang berdasarkan status HIV mereka, baik yang
pasti atau yang diperkirakan. Diskriminasi dapat terjadi di bidang kesehatan, kerahasiaan,
kebebasan, keamanan pribadi, perlakuan kejam penghinaan atau perlakuan kasar,
pekerjaan, pendidikan , keluarga , dan hak kepemilikan maupun hak untuk berkumpul .
Orang dengan HIV / AIDS menghadapi diskriminasi di mana saja di berbagai negara dan
hal ini berdampak pada kualitas hidup mereka. Membiarkan diskriminasi akan merugikan
upaya penanggulangan infeksi HIV / AIDS.
Nursalam dkk. (2018). Asuhan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba
Medika.
BAB 4
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, R. (2016). PERLINDUNGAN HUKUM PENDERITA HIV/AIDS (ODHA) DALAM
PELAYANAN MEDIS.

Nursalam., Et al. (2018). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:
Salemba Medika.

Pane, Y. W. (2016). Aplikasi Berpikir Kritis dalam Issue Etik Keperawatan.

Pusdatin. (2020). Infodatin Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai