PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masyarakat Indonesia mulai mengenal HIV dan AIDS pada Tahun 1987, ketika
kasus pertama infeksi ini ditemukan di Bali. Barangkali sebelumnya infeksi ini telah ada,
tetapi tak diketahui. Kasus pertama yang dilaporkan itu terjadi pada seorang pria asing
yang telah berada pada fase AIDS, yaitu ketika sejumlah gejala penyakit menyerang
tubuh karena menurunnya kekebalan tubuh akibat HIV.
Agar terjadi hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien HIV/AIDS,
perlu memperhatikan hak-hak dan kewajiban pasien HIV/AIDS khususnya. Kaidah
turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy (berarti menghormati hak privacy
pasien), convidentiality (berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai
rahasia), fidelity (berarti kesetiaan) dan veracity (berarti menjunjung tinggi kebenaran
dan kejujuran).5 (Samsi Jacobalis, 2005, Pengantar Tentang Perkembangan Ilmu
Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, CV Sagung Seto bekerjasama dengan Universitas
Tarumanegara, Jakarta, hal 75-76.)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep etik dan hukum dalam asuhan Keperawatan pasien HIV/AIDS?
2. Apa saja hak pasien HIV/AIDS?
3. Apa saja isu etik dan hukum pada konseling pra dan pasca tes HIV
4. Apa saja stigma dan diskriminasi pasien HIV/AIDS?
5. Apa saja tren dan isu dari pasien HIV/AIDS?
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu memahami Etik dan Legal pada Klien
yang menderita HIV / AIDs dan mampu menerapkannya.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan menjadi manfaat untuk memberikan informasi serta menambah literasi
mengenai Etik dan Legal pada Klien HIV / AIDS,
2. Manfaat Praktis
Hasil makalah ini memiliki manfaat praktis yaitu mendapatkan pengetahuan
mengenai Etik dan Legal pada Klien yang menderita HIV/ AIDS dan dapat
diterapkan dalam Asuhan Keperawatan.
BAB II
A. Definisi
Human immunodeficiency virus atau HIV adalah virus yang memperlemah kekebalan
pada tubuh manusia yang mengakibatkan seseorang terkena AIDS. Orang yang terkena virus
ini akan rentan terhadap infeksi opportunistic. Dalam hal ini, Nadine Suryoprajogo
memberikan keterangan bahwa HIV menyerang tubuh manusia dengan cara membunuh atau
merusak sel-sel yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh sehingga kemampuan tubuh
untuk melawan infeksi menurun drastis (Sunaryati, 2014). Sunaryati, S.S., 2014. 14 Penyakit
Paling Sering Menyerang dan Sangat
Mematikan. Yogyakarta: Flashbooks
Acquired immuno deficiency syndrome atau AIDS adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh human immunodeficiency virus (HIV). AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa
indonesia, AIDS dapat dialih katakan sebagai sindrome cacat kekebalan tubuh dapatan.
Acquired: didapat, bukan penyakit keturunan. Immune: sistem kekebalan tubuh. Defeciency:
kekurangan. Syndrome: kumpulan gejala-gejala penyakit AIDS diakibatkan oleh faktor luar
(bukan dibawa sejak lahir). AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit
terus menerus yang berkaitan dengan infeksi HIV (Scorviani, 2016)
Scorviani, V. dan Taufan N., 2016. Mengupas Tuntas 9 Jenis PMS. Yogyakata:
Nuha Medika
B. Cara penularan HIV/AIDs
virus HIV menular melalui empat cara penularan, yaitu hubungn sesual yang tidak aman
dengan penderita HIV/AIDS, penulran secar vertikal, melalui alat kesehatan terkontaminasi,
serta melalui darah dan transplantasi organ.
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anak dan ora dengan penderita HIV tanpa
perlindungn bisa menularkan HIV. Disini saat melakukan hubungan seksual air mani,
cairan vagina, darah, selaput lendir penis, atau mulut sehingga virus HIV mampu
menularkan dan cairan tersebut akan masuk ke aliran darah (Kasper dkk, 2015).
Jika berhubunga seksual terjadi lesi mikro di dinding penis, vagina ataudubur ini juga
mampu menularkan virus HIV dan masuk ke dalam aliran darah pasangan seksual
( Swanstrom dan coffin, 20212).
2. Ibu terhadap bayi
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero), selama
persalanan atau melalui ASI.
Berdasarkan laporan CDC Amerika prevelensi penularan HIV dari ibu ke Bayi adalah
0,01% sampai 0,7% (Oyeludub dkk, 2017). Bila ibu baru terindikasi terinesi HIV dan
belum ada gejajala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%-35%, sedangkan
kalau gejala AIDS sudah ada kemunikan 50% (Oyeludin dkk 2017). Penularan juga dapat
terjadi selama proses persalianan. Semakin lama proses persalinan semakin besar
kemungkinan bayi terkena HIV. Maka dari itu disarankan untuk melakukan tindakan
sectio caesaria (WHO, 2017).
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Produk darah sangat cepa menularkan HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh (maartens dkk., 2014)
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum dan alat-alat lain yang
menyentuh cairan vagina atau air mani yang terinfeks virus HIV dan langsung digunakan
untuk orang laiin yang tidak terinfeksi maka akan dengan mudah terinfeksi virus HIV.
( Simon dkk2010).
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet
yang dipakaisecara bersama-sama, berpelukan, hidup seruma dengan orang HIV/AIDS,
gigitan nyamuk dan hubungan sosial yang lain (Albrecht dkk, 2007).
C. Gejala Infeksi HIV
Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu
dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam seminggu pertama setelah
kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit
menelan dan pembengkakan glenjer getah bening dibawah telinga, ketiak dan selangkangan.
Gejala ini biasanya sembuh sendiri sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada
tahun kelima atau enam tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan dan mulut dan pembengkakan
didaerah gelenjer getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut secara cepat (>10%), diare terus
menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus
(Sonhaji, 2012).
Sonhaji, A., 2012. STOP! Aids Itu Berbahaya. Bandung: CV Firaz Publishing
D. Epideomologi
Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan
seorang gay muda dengan Pneumocytis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma
Kaposis. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan sistem seorang
gay muda dengan kerusakan sistem kekebalan kekebalan tubuh. Negara Amerika Utara dan
Inggris, epidemik pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya pada
saat ini epidemic terjadi juga pada pengguna obat suntikan dan pada populasi heteroseksual.
Seks tanpa kondom adalah modus utama penularan HIV di Karibia. Survey menunjukan
persentase prevalensi HIV pada beberapa kelompok yaitu : 80- 90% PSK, 30% kelompok
laki-laki, 30% pada kelompok mereka yang dating berobat di klinik penyakit menular
seksual, 10% pada pendonor pendonor darah, dan 10% pada kelompok kelompok wanita
yang diperiksa diperiksa di klinik perawatan antenatal. Sampai dengan tahun 2020 jumlah
penderita penderita HIV diseluruh dunia sebanyak 34 juta orang. Berdasarkan estimasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus baru HIV (Human Immunodeficiency
Virus) di seluruh dunia hampir 1,5 juta kasus pada 2020. Afrika tercatat sebagai kawasan
yang memiliki jumlah kasus baru HIV tertinggi, yakni 880 ribu kasus.
Laporan perkembangan HIV AIDS HIV AIDS di Indonesia Triwulan I nesia Triwulan I
(Januari-Maret) Tahun 2017 dilaporkan sebanyak 10.376 orang. Persantase tertinggi infeksi
HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,6%), diikuti kelompok umur
20-24 tahun (17,6%), dan kelompok umur > 50 tahun (6,7%). Rasio HIV antara laki-laki dan
perempuan adalah 2:1.
Persentase faktor risiko HIV faktor risiko HIV tertinggi adalah hubun adalah hubungan
seks gan seks beresik beresiko pada LSL (Lelaki Seks Lelaki) (28%), heteroseksual (24%),
lain-lain (9%) dan pengguna jarum suntik tidak steril (2%). Dar (2%). Dari bulan januari
sampai dengan Maret 2017 jumlah AIDS dilaporkan sebanyak 637 orang. Persantase AIDS
tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (38,6%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun
(29,3%) dan kelompok umur 20-29 tahun (29,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (16,5%).
Di Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun
dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta
(55.099).
Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang
tinggi (>99%), se sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemer dang untuk
pemeriksaan selanjutnya iksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan
spesifisitas tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam
masa jendela menunjukkan hasil”negatif”, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama
bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
1) Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV Konseling dan tes HIV sukarela
(KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
2) Tes HIV dan kon V dan konseling atas inisiatif petugas kese as kesehatan (TIPK
– PITC = Provider-Initiated Testing and Co PITC = Provider-Initiated Testing
and Counseling unseling).
TIPK merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-
pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh
pasangan seksualnya.
Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan
dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan
menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C –
counseling, consent, confidentiality).
F. Aspek Etikolegal HIV/AIDS
Etik berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti adat kebiasaan yang baik atau yang
seharusnya dilakukan. Etik berbeda dengan hukum. Etik berlaku di lingkungan profesi dam
disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi.
Undang-undang Republik Indonesia No. 38 Pasal 2 menyebutkan bahwa dasar Praktik
keperawatan adalah;
1) Perikemanusiaan
2) Nilai ilmiah
3) Etika dan profesionalitas
4) Manfaat
5) Keadilan
6) Perlindungan
7) Kesehatan dan keselamatan klien ( Pemerintak Republik Indonesia, 2014)
Meskipun terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam tata
nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi terdapat persamaan dasar di bidang
kesehatan. "Kesehatan klien tetap akan saya utamakan", tetap merupakan asas yang tidak
pernah berubah. Asas dasar tersebut menjadi enam asas etik sebagai berikut (Bryan, 2002;
Hanafiah dan Amir, 2009).
1) Sebagai penghormatan terhadap klien: klien memiliki kebebasan untuk mengetahui dan
memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi
yang cukup.
2) Asas kejujuran.
Tenaga Kesehatan mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi, apa yang akan
dilakukan serta risiko yang dapat terjadi.
3) Asas tidak merugikan.
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan mengutamakan
tindakan yang tidak merugikan klien serta mencari risiko yang paling minimal atas
tindakan 4.
4) Sebagai manfaat.
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien untuk
mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya.
5) Asas Kerahasiaan.
Kerahasiaan klien harus meskipun klien telah meninggal.
6) Asa keadilan.
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial ekonomi, pendidikan,
gender, agama, dan lain sebagainya.
Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang serta masyarakat nasional maupun
internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah sebagai berikut (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2003).
1) Empati Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh simpati, kasih
sayang, dan saling membantu
2) Solidaritas Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidakadilan yang
diakibatkan oleh HIV/AIDS
3) Tanggung jawab jawab jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan pada
ODHA.
Perawat yang merawat orang HIV-positif dan orang lain yang terdampak HIV harus
menyadari prinsip-prinsip etika tersebut. Pengambilan keputusan juga dipandu oleh undang-
undang, dengan demikian, masalah etika dan hukum terkait erat dan sering kali saling terkait.
Pendekatan umum lainnya untuk pengambilan keputusan etis dalam perawatan kesehatan
telah dijelaskan (Lo, 2005) sebagai berikut:
2. Isu Etik dan Hukum pada Konseling Pra dan Pasca Tes HIV
WHO dan UNAIDS merekomendasikan empat jenis tes HIV yaitu melalui pintu VCT,
Tes, dan Konseling Inisiatif Petugas (TKIP/PITC), jika terdapat indikasi HIV/AIDS pada
seseorang (gejala klinis), dan skrining seluruh darah dan produk darah (World Health
Organization), UNAIDS, GTZ, dan international HIV/AIDS Alliance, 2005). Berkaitan
dengan seluruh jenis tes tersebut, maka petugas harus memastikan keseluruhan proses
mematuhi prinsip etik mulai dari tujuan tes sampai pelaksanaan dan tindak lanjut. Tes harus
memberi manfaat kepada individu yang sedang dites dan ada jaminan keterkaitan antara
lokasi pengujian dan perawatan yang relevan, perawatan dan layanann lainnya, di lingkungan
yang menjamin kerahasiaan semua informasi medis. Hal penting selanjutnya adalah
mengatasi implikasi dari hasil positif, termasuk non-diskriminasi dan akses terhadap
perawatan dan perawatan berkelanjutan bagi orang-orang yang melakukan tes positif dan
memastikan bahwa infrastruktur Kesehatan memadai (Commonwealth Regional Health
Community Secretariat, 2002; World Helath Organization dkk., 2005).
a) Konseling Pra dan Pasca-tes HIV
Konseling adalah proses pemberian pertolongan pada klien yang bertujuan membantu
klien mempelajari dirinya, mengenali, dan mencari pemecahan masalah terhadap
keterbatasan yang diberikan lingkungan. Konseling dilakukan oleh seseorang dengan
niat yang tulus ikhlas, yang bersedia memberikan waktu, perhatian, dan keahliannya
untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Voluntary counseling and testing
(VCT) atau konseling dan tes sukarela merupakan kegiatan konseling yang bersifat
sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di laboratorium.
Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani
informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang
lengkap dan benar.
Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan memiliki
keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS (Depkes RI, 2008; World
Health Organization dkk., 2005; Yayasan Spiritia, 2012). Konseling dilakukan oleh
konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja
sosial, dokter, psikolog, psikiater, atau profesi lain (UNAIDS, 2002). Selain secara
sukarela, tes HIV juga dapat dilakukan melalui pintu Tes dan Konseling Inisiatif
Petugas (TKIP / PITC) (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
b) Informed Consent untuk Tes HIV
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah
positif terinfeksi HIV atau tidak dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV di
dalam sampel darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa
mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari
perilakunya selama ini. Tes HIV harus bersifat seperti berikut (Commonwealth
Regional Health Community Secretariat, 2002; UNAIDS, 2002; World Health
Organization, 2016).
- Sukarela, bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan
atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain. Hal ini juga
berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal - hal apa saja yang
tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kugian dari testing, serta apa saja
implikasi dari hasil positif ataupun hasil negatif.
- Rahasia, apapun hasil tes ini (baik positif maupun negatif) hanya boleh diberitahu
langsung kepada orang yang bersangkutan.
- Tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, baik orang tua / pasangan, atasan, atau
siapapun
c) Aspek Elik dan Legal Tes HIV
Informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien te atas dasar penjelasan
mengenal tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Permenkes,
1989). Dasar dari informed consent yaitu sebagai berikut.
1) Asas menghormati otonomi pasien. Setelah mendapatkan informasi yang
memadai, pasien bebas dan berhak memutuskan Pasal 16: dalam apa yang akan
dilakukan terhadapnya. 1239 / Menkes / SK / XI / 2001
2) Kepmenkes melaksanakan kewenangannya perawat wajib menyampaikan
informasi dan meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 22 Ayat 1: bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugas wajib memberikan informasi dan meminta
persetujuan.
4) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 15 Ayat 2: tindakan
medis tertentu hanya bisa dilakukan dengan persetujuan yang bersangkutan atau
keluarga.
Semua tes HIV harus mendapat informed consent dari klien setelah klien diberikan
informasi yang cukup tentang tes , tujuan tes , implikasi hasil tes positif atau negatif
yang berupa konseling pra – tes. Dalam menjalankan fungsi perawat sebagai advokat
bagi klien , tugas perawat dalam informed consent adalah memastikan bahwa
informed consent telah meliputi tiga aspek penting yaitu :
- persetujuan harus diberikan secara sukarela ;
- persetujuan harus diberikan oleh individu yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan untuk memahami;
- persetujuan harus diberikan setelah diberikan informasi yang cukup sebagai
pertimbangan untuk membuat keputusan.
Persetujuan pada tes HIV harus bersifat jelas dan khusus, maksudnya, persetujuan
diberikan terpisah dari persetujuan tindakan medis atau tindakan perawatan lain
(Kelly, 1997 dalam Chitty, 1993). Persetujuan juga sebaiknya dalam bentuk tertulis,
karena persetujuan secara verbal memungkinkan pasien untuk menyangkal
persetujuan yang telah diberikannya di kemudian hari. Depkes Afrika pada Desember
1999 mengeluarkan kebijakan tentang pengecualian di mana informed consent untuk
tes HIV tidak diperlukan yaitu untuk skrining HIV pada darah pendonor di mana
darah ini tanpa nama. Selain itu informed consent juga tidak diperlukan pada
pemeriksaan tes inisial HIV (rapid test) pada kasus bila ada tenaga kesehatan yang
terpapar darah klien yang dicurigai terinfeksi HIV, sementara klien menolak
dilakukan tes HIV dan terdapat sampel darah
Deklarasi Komitmen UNGASS dan ILO Code of Practice on HIV / AIDS and World
of Work juga ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan
menetapkan Kemenakertrans No. Kep. 68 / MEN / IV / 2004 tentang Percepatan dan
Penanggulangan HIV / AIDS di tempat kerja (Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, 2005). Keputusan ini dibuat terutama karena dalam jumlah kasus HIV /
AIDS yang terjadi, sebagian besar kasus merupakan kelompok usia kerja produktif yang
akan berdampak negatif terhadap produktivitas perusahaan. Keputusan menteri ini
melarang majikan melakukan segala bentuk diskriminasi dan penyaringan dalam proses
rekrutmen dan promosi
Nursalam., Et al. (2018). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:
Salemba Medika.
Pusdatin. (2020). Infodatin Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.